Bening membuka mata dengan rasa sesak sekaligus malas yang menggelayut di dalam dada. Sudah tiga hari ia mengurung diri di kamar, dan hari ini, masa cuti berkabungnya pun telah usai. Sudah waktunya kembali menata hidup, untuk menghadapi ujian dunia di luar sana.
Wajah manis itu masih saja terlihat sembab dengan mata yang membengkak. Menangisi kepergian Sinta yang tidak pernah pernah ia duga sebelumnya.
Bening bergegas mandi dan menyelesaikan semua aktivitas paginya seperti biasa di dalam kamar. Selama tiga hari, Bening tahu kalau Christ selalu menyempatkan diri untuk datang ke rumah. Namun, Bening tidak tidak pernah mau menemuinya sama sekali. Bukan hanya Christ sebenarnya, tapi, Bening juga tidak ingin menjumpai siapa pun.
Seperti biasa, setelah semua urusan di kamar selesai, Bening akan turun ke bawah untuk sar
Bening menjulurkan tangan pada wanita cantik dengan pakaian formal yang berdiri di depannya terlebih dahulu. Penampilannya sangat rapi, dan tidak bisa dicela sama sekali. Juntaian surai lurus nan indah yang jatuh tepat di atas bahu itu, sungguh membuat Bening iri akan kesempurnaan tersebut. Tidak seperti surai ikal miliknya, yang kerap terlihat mengembang dan tidak beraturan jika Bening tidak merawatnya dengan benar. Satu yang pasti, kalau Bening ternyata pernah bertemu dengan wanita itu sebelumnya. Ya, Bening ingat benar, kalau wanita itulah yang ia tabrak setelah keluar dari ruangan Rohit kala itu. “Vira, Elvira Danuarja Malik,” ucapnya mengenalkan diri dengan sangat tegas. “Saya kuasa hukum yang akan menangani semua hal terkait wasiat ataupun warisan dari almarhumah bu Sinta. “Bening.” Tatapannya beralih sejenak pada Rohit, yang sudah berada di tengah-tengah mereka saat ini. Duduk melingkari sebuah meja persegi, yang ada di ruang kerja pria itu. Ternyata, tidak perlu sampai menun
Dagu Vira mengetat heran ketika melihat sang suami sudah berada di rumah di sore hari seperti ini. Biasanya, Aga akan sibuk berada di kantor, dan baru datang ke rumah di malam harinya. Saat libur pun, Aga juga kerap berada di luar rumah, karena sang suami mendapatkan jatah liburnya di hari kerja.“Tumben sudah di rumah?” tanya Vira langsung duduk di depan meja rias untuk membersihkan make upnya terlebih dahulu.Aga yang baru saja keluar dari kamar mandi, dan hanya menutupi tubuhnya dengan selembar handuk, langsung menghampiri Vira. Ia berdiri di belakang sang istri lalu menyentuh kedua bahu Vira dan memberi pijatan lembut di sana.“Aku baru pulang dari Banjarmasin, Vir,” jawab Aga. “Apa kamu lupa?”“Nggak lupa,” bantah Vira
“Mau pulang?” sapa Aga ketika mendapati Bening di dalam lift di lantai lobi. Terlihat jelas kalau wajah itu masih saja sembab setelah pemakaman Sinta tiga hari yang lalu. Bening mengangkat wajah dan tersenyum tipis melihat Aga. Setelah menemani Bening di rumah sakit kala itu, Aga memang tidak bisa berlama-lama menemani dirinya. Ada sebuah tugas yang mengharuskan Aga pergi keluar kota sore harinya. “Bapak sudah pulang?” Bening melangkah keluar lift dan berhenti tepat di depan sang atasan yang terlihat sangat segar. Bening menebak, pria itu baru saja mandi dan langsung pergi ke kantor setelahnya. Aga mengangguk dan kembali mengulang pertanyaannya. “Mau pulang?” “Iya, Christ sudah jemput—” “Kembali ke atas,” titah Aga melew
Setelah menolak permintaan Aga, yang memintanya untuk bertanggung jawab atas perasaan pria itu saat ini, sebenarnya Bening ingin sekali keluar dari mobil. Ia lebih memilih untuk melanjutkan perjalanannya memakai transportasi on-line, tapi pria itu tidak mengizinkannya. Aga tetap bersikeras untuk mengantar Bening hingga sampai ke rumah gadis itu.Tidak ada obrolan lagi setelahnya, karena mereka sibuk mencerna semua hal yang terjadi di antara keduanya. Sampai roda empat itu berhenti di depan pagar rumah Bening yang kini terbuka lebar.“Ada tamu sepertinya,” celetuk Aga sambil menarik handremnya. Melihat ke arah mobil yang sebagian body belakangnya menjorok ke luar pagar.“Mobil yang punya rumah,” ucap Bening seraya melepas sabuk pengamannya.“
“Ngapain cari kosan, kamu bisa tinggal di apartemen.” Pagi-pagi sekali, Christ sudah bertandang ke rumah Bening. Duduk berdua di sebuah kursi besi panjang di teras depan dan bercerita tentang berbagai hal. Selama ini, Bening memang tidak pernah menyembunyikan hal mengenai kehidupan keluarganya pada Christ. Karena sedari awal Christ memintanya berkomitmen, Bening ingin pria itu menerimanya dengan semua kekurangan yang ada. Sejak itulah, Christ selalu tahu semua hal yang terjadi di keluarga Bening. “Christ, aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, tapi, aku sudah putuskan untuk nggak akan ngelanjutin hubungan ini.” “Tapi, Ning. Uti sudah nggak ada,” sahut Christ masih ingin berusaha meyakinkan gadis itu dan memilikinya. “Kita bisa pergi ke Singapur dan meneruskan sem
Sejak, Aga mengantarkan Bening terakhir kali, pria itu mulai menjaga jaraknya ketika mereka berada di kantor. Sikapnya kembali seperti dulu, hanya berbicara pada Bening untuk urusan pekerjaan saja. Namun, ada satu hal mencolok yang Bening rasakan, yaitu, pria itu sudah tidak segarang dahulu kala yang selalu saja protes dengan perihal tampilan serta attitude Bening ketika berada di kantor. Sementara untuk hubungannya dengan Christ, saat ini Bening sungguh-sungguh ingin menata hatinya terlebih dahulu. Hingga saat ini, mereka berdua memang sudah tidak lagi memiliki hubungan sama sekali. Kendati, Christ masih menghubunginya, tapi Bening hanya merespons pria itu dengan seadanya. Sakit memang. Namun, ketika ia kembali mengingat bahwa hal tersebut yang diinginkan oleh Sinta di saat-saat terakhirnya, maka Bening seolah memiliki kekuatan untuk melupakan pria itu.
Setelah pertemuan yang membahas mengenai pembagian harta wasiat itu selesai, Bening tidak langsung pergi dari hotel tersebut. Kakinya melangkah santai menuju lobby lounge, untuk menikmati makan siang seorang diri. Mengingat nominal warisan yang sudah pasti menjadi miliknya, Bening berniat memanjakan diri untuk mengusir penat yang menggantung di kepala.Dengan satu porsi oxtail ramen di depan mata, ditemani sparkling water dan segelas red berries smoothy, Bening betul-betul menikmati kesendiriannya. Setelah makan siang, Bening pun berniat pergi ke klinik kecantikan untuk menghilangkan stresnya. Merawat diri dari ujung rambut hingga kaki, lalu pulang ke rumah dan tidur sampai esok pagi.Di saat makan siangnya hampir selesai, Bening menangkap sosok Vira yang masuk ke dalam lounge dan langsung mendatangi sebuah meja kosong. Wanita itu terlihat mengeluarkan ponsel,
Keduanya terdiam di dalam lift yang membawa ke lantai atas. Tidak bersuara apalagi berdebat, karena di dalam sana ada beberapa orang lagi yang memenuhi bilik persegi tersebut.Setelah sampai di lantai tujuan yang sama dengan pengunjung lain, kaki Bening buru-buru melangkah mendahului Aga untuk menuju ke tempat parkir.“Ning, kamu beneran mau berhenti?” tanya Aga dengan gampangnya menyamakan langkah di samping Bening.“Kan, sudah jadi cita-cita Bapak mau pecat saya dari dulu,” sindir Bening semakin mempercepat langkahnya. “Jadi, saya kabulkan biar Pak Aga senang.”Saat wajah Aga menunduk, ia baru menyadari kalau barang belanjaan yang dibawa Bening saat ini, semuanya berasal dari brand ternama. Jelas saja Aga tahu, dahulu kala ia s
Haluu Mba beb ... Sang Sekretaris beneran tamat dund. Mas Telaga Cakrawala sama mba Bening Bhanuwati mohon pamit undur diri dulu. Mereka mau istirahat. Kan, mau buatin adek buat Awan. :D :D :D Nanti, kita ketemu sama mereka lagi di spin off-nya dengan judul SANG PENGACARA, dan kita tuntasin hil-hil yang masih menggantung di sana. Daaan, berikut ini daftar penerima koin GN dari saia untuk 5 top fans pemberi Gems terbanyak di Sang Sekretaris. Datanya diambil per tanggal 30 June 2022 tepat pukul 06.00 WIB. RF Rifani : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Tralala : 750 koin GN + pulsa 150 rb Demigoddess : 500 koin GN + pulsa 100 rb Zee Sandi : 350 koin GN + pulsa 50 rb Lili Ning Mardani : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeh @kanietha_ Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi, saia bisa setor
“Ayo, keluar.” Bening merengek, sembari menggelengkan kepala. Ia belum siap dengan ajakan Aga, untuk menemui sang mertua yang meminta mereka datang pagi ini. Karena Bening tahu, yang akan dibahas oleh Arum, pasti masalah itu lagi, itu lagi. “Dulu, waktu sama bu Vira, mama begini juga nggak, sih?” “Nggak.” Aga langsung menjawab dengan pasti. “Kok, sama aku begini?” sambar Bening secepat mungkin, sambil meremas tali sabuk pengaman yang masih belum ia buka. “Tapi sama bu Vira, nggak?” “Karena kami dulu masih muda, Beb,” jawab Aga lalu mencondongkan tubuh untuk membuka sabuk pengaman sang istri. “Masih sibuk meniti karir, dan betul-betul merintis semua dari nol.” “Eh, aku juga masih muda.” Bening kembali berkilah seperti biasa. “Tapi aku?” Aga menjatuhkan satu kecupan hangat di pipi sang istri. “Sebentar lagi, aku sudah kepala empat. Mama sama papa juga nggak akan selalu fit seperti sekarang.” “Kamu, tuh, sepertinya udah mulai oleng, deh.” Bening mencibir lalu memanyunkan bibir. “I
“Mama itu ada ngomong apa, sih, sama Awan?” Bening membuka rumah pemberian Aga yang baru saja selesai di bangun. Masih kosong, dan belum diisi furniture sama sekali. Ini pertama kalinya, Bening dan Aga menghampiri rumah mereka ketika semuanya sudah bersih dan siap diisi berbagai perabotan dan ditempati. Jika mengingat resepsi pernikahan mereka yang akan digelar sebentar lagi, keduanya sudah bisa menempatinya setelah pulang dari bulan madu. “Mama? Ku?” Aga bertanya ragu, karena mereka pagi tadi sempat mengajak Awan pergi ke rumah Clara. Sudah dua hari Awan menginap di apartemen, dan waktunya mengembalikan bocah itu pada Vira. Jika tidak, mantan istrinya itu pasti akan menelepon Aga tanpa henti. “Atau, mamamu?” “Mamamulah.” Hentakan ujung high heels Bening menggema pada lantai marmer di seluruh ruang yang masih kosong itu. “Mama Arum.” “Mamaku, ada ngomong apa?” Aga dengan cepat menyusul langkah Bening yang terlihat kesal. Namun, tidak berniat untuk mensejajarkan langkahnya. Ke ruan
Arum membuang napas panjang. Meskipun masih setengah hati, tapi ia sudah tidak bisa berbuat apapun lagi. Mengingat, bagaimana putranya itu terlihat sangat jatuh cinta dengan Bening, pun dengan Awan yang tidak mempermasalahkan semuanya, Arum menyerah. Namun, menyerah di sini bukan berarti Arum setuju, karena ada sebagian dari hatinya masih tertinggal dengan Vira.Dalam diam, terkadang Arum masih memikirkan nasib mantan menantunya itu. Arum mengerti jika sikap Vira memang tidak bisa dibenarkan, tapi Aga pun ternyata sudah patah arang dan tidak ingin melanjutkan rumah tangganya kembali. Jadi, hanya perpisahan yang menjadi jalan keluar satu-satunya.“Jadi, bagaimana kalau resepsinya dipercepat saja?” usul Clara di tengah-tengah pertemuan kedua keluarga yang diadakan di rumahnya. Sudah dua bulan berlalu dari pembacaan surat wasiat Camila kala itu, tapi baik Aga, maupun Bening tidak kunjung menyinggung masalah resepsi pernikahan. Sampai akhirnya, Clara meminta Aga menghubungi kedua orang tu
“Telaga … Cakrawala.”Pria paruh baya yang duduk santai pada kursi taman di belakang rumah, mengangguk-angguk ketika melihat Aga muncul di hadapannya.“Awalnya saya sangsi kalau yang disebut mendiang ibu Camila adalah Aga yang sama, tapi, sangat kecil kemungkinannya kalau ada dua orang yang namanya sama persis seperti kamu,” tunjuk pria itu, lalu menatap gadis yang berada di samping Aga.Seluruh anggota keluarga yang sudah lebih dulu berkumpul, hanya bisa tersenyum canggung. Selain berprofesi sebagai pengacara keluarga, pria paruh baya yang duduk bersama putranya itu, juga merupakan sahabat dekat mendiang Camila.Aga memberi senyum ramah, lalu segera menghampiri pria tersebut bersama Bening. “Apa kabar, Be? Kita lama nggak ketemu.”Pria paruh baya dengan nama asli Rasyid Pamungkas itu, segera berdiri untuk menyambut uluran tangan Aga. “Saya kaget, waktu Abi bilang kamu sudah nikah lagi. Lebih kaget lagi, waktu tahu kamu menantu dari mendiang ibu Camila.”Setelah menjabat tangan Aga, R
“Percuma beli mobil baru.” Bening berdecak, dan selalu saja sibuk membeo setiap kali jalan bersama Aga. “Pergi ke mana-mana selalu disupirin gini. Buang-buang uang tahu, nggak!”“Kan, lebih enak disupirin gini.”“Terus ngapain beli mobil baru, kalau aku nggak boleh nyetir sendiri,” protes Bening.“Siapa bilang nggak boleh nyetir sendiri?” sanggah Aga tetap tenang tanpa melirik sang istri sama sekali. Ia hanya menatap lurus pada jalan raya, sembari menahan tawa. “Kebetulan aku punya waktu luang, jadi mending aku yang nyupiri, kan?”“Kenapa kamu selalu punya waktu luang pas aku mau jalan.” Bening kembali protes karena curiga dengan sikap Aga. Semakin ke sini, pria itu semakin posesif saja. Ke mana pun Bening pergi, Aga akan selalu punya waktu pergi menemaninya. “Pas jam kerja juga gitu. Pasti mendadak bilang kerjaan selesai, kalau aku izin mau jalan.” “Karena kerjaanku memang sudah selesai,” jawab Aga santai tanpa beban. “Lagian mobilmu ini juga kepake, kan? Jadi, kita belinya nggak si
Meskipun Camila sudah beristirahat dengan tenang di pembaringan terakhirnya, suasana rumah duka yang begitu megah itu masih saja terlihat ramai. Para tamu datang silih berganti, untuk menyampaikan duka mendalamnya.Yang Bening perhatikan, Fikalah yang justru terlihat sangat kehilangan atas kepergian sang oma. Gadis itu bahkan sempat tidak sadarkan diri, ketika tubuh beku sang oma diturunkan ke peristirahatan abadinya. Untuk satu hal itu, Bening bisa merasakan semua yang dialami Fika karena pernah berada di posisi yang sama.Clara terlihat lebih tegar, dan terus mencoba menguatkan putri kesayangannya atas kehilangan mereka. Sungguh sebuah pemandangan yang membuat hati Bening kembali tercubit perih.Bening … cemburu dengan kedekatan Clara dan Fika.“Hei.” Aga mengusap lengan Bening yang berada dalam rangkulannya. “I know what you’re thinking.”“No, you’re not.”“Ayolah, Beb. Kamu harus paham situasinya.” Sedari tadi, Aga memperhatikan ke mana tatapan sang istri tertuju. Pun dengan ekspr
Aga berbalik, ketika mendengar pintu kamar mandi terbuka. Menelan ludah, saat melihat kaki jenjang itu melangkah pelan, dan menampilkan tubuh segar yang hanya berbalut handuk. Senyum jahil yang disematkan oleh sang istri yang tengah mengusap surai basahnya, sungguh membuat Aga ingin menghempas tubuh Bening ke ranjang dan memasukinya.Namun, jadwal bulanan yang tengah didapatkan sang istri, membuat Aga hanya bisa menggigit jari. Bersabar, karena Aga tahu penantiannya nanti tidak akan sia-sia.“Jam sepuluh balik, lho, ya,” ujar Bening mengingatkan dengan wajah semringah. “Kita cari mobil baruuu.”“Aku cuma di bawah, Beb.” Aga meraih pinggang ramping sang istri yang sudah berhenti tepat di depannya. “Kamu bisa susul ke bawah, terus kita langsung jalan.”Bening mengangguk setuju dengan usul Aga. Ia lalu berjinjit, dan memberi satu kecupan singkat pada bibir bawah Aga yang terbuka. “Awan jadi nginap di sini? Atau masih ditahan sama omanya?”“Omanya masih mau nahan karena kesepian, tapi Aw
“Lama banget pulangnya.” Dengan memegang sepiring bihun goreng yang masih tersisa separuh, Bening sedikit merajuk menyambut kedatangan sang suami.Aga melepas jaket bombernya, sembari menghampiri Bening. Melemparnya ke sembarang arah, lalu menghempas bokongnya di samping sang istri. Aga memberi kecupan pada pipi Bening terlebih dahulu, barulah menanggapi protes istrinya.“Tadi ada om Romi di bawah.” Pulang ke apartemen dan disambut dengan pemandangan indah seperti sekarang, sungguh membuat semua lelah Aga hilang seketika. Satu setel baju tidur yang terdiri dari tanktop dan celana pendek itu, sungguh memberi sebuah energi tersendiri bagi Aga.“Om Romi?” Bening menoleh sambil mengunyah bihunnya. “Ngapain malem-malem dateng ke sini? Sendirian apa sama istrinya?”Aga langsung mencapit bibir istrinya itu dengan gemas. “Istrinya om Romi itu, mamamuuu,” decak Aga lalu sedikit menggeser bokongnya untuk merebahkan diri, dan meletakkan kepala di paha mulus sang istri. “Om Romi datang sama Dean.