“Apa aku harus membalas perasaan kamu karena kamu sudah menolong dan menyukai aku Ga?” Natasya bertanya dengan kepala masih bersandar pada bahu bidang Gaza.“Tentu saja enggak, masalah perasaan aku adalah urusan aku. Kamu tidak ada tanggung jawab apapun untuk membalasnya. Aku hanya minta kamu berhenti Diwang, bukan meminta kamu juga memiliki perasaan yang sama.”“Aku bisa berhenti minum, tapi tidak bisa berhenti merokok Ga,” kilah Natasya.Gaza berdecap kesal dan tidak menimpali lagi perkataan Natasya yang jelas enggan membahas pekerjaannya sebagai wanita malam.“Ga ... kamu bisa baca rasi bintang?” Natasya memecah sunyi yang kembali membentang diantara mereka berdua.“Enggak bisa, dan enggak tertarik. Aku tahu kamu paling suka di romantisi, tapi maaf aku tidak bisa memberikan itu. Jadi selamat gigit jari jika berharap aku menjadi romantis.” Gaza bersungut-sungut saat mengingat bagaimana Natasya sangat tergila-gila dengan laki-laki yang memberikannya puisi dan menyanyikan lagu d
Natasya mengenakan kaca mata hitam dengan mengikat rambutnya tinggi. Melenggangkan kaki tenang menuju rumah Mami Grace. Pandangan beberapa kawan Natasya lainnya tertuju pada Natasya yang sudah sekian lama tidak terlihat dan tiba-tiba menggemparkan rumah Bordil yang menaungi para pekerja malam.“Sya ... are you ok?” seorang kawan berparas oriental menyapa Natasya dengan menyentuh lengannya pelan. “Tentu saja tidak ok, aku harus jalani rekonstruksi punggung.” Natasya menjawab dengan berlebihan.“Astaga Sya kamu serius?” Hellen melebarkan mata mendengarnya“Mami ada ‘kan?” tanya Natasya ringan tanpa menjawab pertanyaan Hellen“Ada Sya, tapi sepertinya sedang istirahat. Beberapa hari ini pusing katanya,” jawab Hellen masih penasaran dengan kondisi punggung teman sejawat yang menjadi primadona di rumah Mami Grace.Natasya mengangguk kecil melanjutkan langkah kakinya melewati undakan kecil menuju ruangan tengah tempat ia dan yang lainnya bersantai kala tidak ada job. Di sudut ruanga
“Dimana Ga?” Natasya bertanya saat menghubungi Gaza di dalam taksi yang membawanya pergi dari rumah Mami Grace.“Kantor, kenapa?” Gaza menjawab singkat tanpa Natasya tahu jika Gaza sedang menandatangani banyak berkas yang tertunda karena insiden kamar Hotel Natsya.“Aku baru saja memutus kerja sama dengan Mami, ada yang mau aku bicarakan sama kamu. Aku harus tunggu kamu pulang atau aku boleh ke kantor kamu? atau tidak boleh?” Natasya memberondong dengan pertanyaan pada Gaza.“Iya datanglah,” jawab Gaza.“Aku pakai celana pendek tapi.” Natasya meledek dengan menahan tawa.“Nanti aku papas di depan dan bawakan sarung buat kamu pakai.” Gaza menjawab asal dan membuat Natasya yang mendengarnya tertawa berderai-derai di dalam taksi dan membuat sang driver melirik sekilas pada penumpangnya.Dalam waktu sekejap mood Natasya berubah drastis, ia keluar dari rumah Mami Grace dengan emosi membuncah serasa ingin memakan orang. Akan tetapi setelah Natasya mendengar ucapan asal Gaza di balik
“Diwang,” geram Gaza tertahan.“Ucapan terima kasih karena sudah menangisi aku semalaman saat aku sekarat.” Natasya menyeringai lebar setelah mendengar geraman Gaza.“Ucapkan saat di Apartemen,” dengus Gaza yang menjadikan Natasya tertawa lebar melipat kedua tangannya di dada.Gaza kembali menenggak minuman kalengnya, melonggarkan dasi dan kancing pada leher kemeja yang tiba-tiba terasa mencekik. Memandang Natasya dengan menyilangkan kaki dan menyandarkan punggungnya pada sofa.“Mau diam sampai kapan Diwang? Kamu datang kemari mau cerita bukan?” tanya Gaza begitu melihat Natasya hanya diam saja memandangnya.“Kamu sedang bad mood sepertinya, aku jadi malas cerita.” Natasya memilih membatalkan ceritanya.Gaza melepas ikatan dasi dan meletakannya di meja, menautkan kedua tangannya dengan menumpukan siku pada kedua lutut.“Sidang akan segera di gelar, kamu akan dipertemukan dengan tersangka. Apa kamu siap bertemu dengan dia? kalau kamu enggak sanggup, aku akan minta kamu tidak pe
“Diwang .... “Suara itu, wajah itu, sosok itu membuat Natasya bergetar seluruh tubuhnya. Ia langsung bangun dan memundurkan kursi dengan kasar sampai kursinya terjatuh berdebam mengundang perhatian para tamu yang sedang makan lainnya.“Anda siapa?” Gaza langsung menarik tangan Natasya dan membawanya ke belakang tubuh.Menyaksikan bagaimana ketakutannya Natasya di balik punggungnya yang berusaha melepas genggaman tangan karena ingin segera meninggalkan meja tersebut“Kamu siapa? dia keponakan saya, Diwang ... bisa kita bicara? Bibi mencari kamu kemana-mana bertahun-tahun ini Diwang,” pinta sang wanita paruh baya tidak memedulikan Gaza yang menghalaunya menyentuh bagian tubuh Natasya.Mendengar kata bibi, insting Gaza langsung bekerja. Masih menggenggam pergelangan tangan wanitanya, Gaza memberikan tatap penuh ancaman pada wanita di depan mereka.“Jangan pernah berani menemui Diwang lagi.” Gaza mengatakannya dengan serius, menarik bahu Natasya untuk secepatnya keluar dari restora
“Terima Kasih Pak Dayat sudah membantu kami.” Gaza menyalami usai keduanya keluar dari rumah seorang pemuka agama di sekitar Vila Gaza.“Sama-sama Mas Gaza, saya senang bisa membantu. Ini langsung pulang ke Jakarta atau bagaimana?” Laki-laki paruh baya bernama Dayat tersebut melayangkan tanya pada anak muda yang mendatanginya lepas Adzan Maghrib membawa Natasya.“Menginap dulu di Vila Pak, saya sepertinya tidak sanggup menyetir balik ke Jakarta. Nanti saat kami menggelar acara datang ya Pak.” Gaza berucap sebelum meninggalkan rumah yang ada beberapa orang tua dan keluarganya yang akan melepas kepergian Gaza dan Natasya.“Insyaallah Mas Insyaallah. Kalau bapak saya ‘kan sudah sepuh, saya nanti yang datang sama istri anak. Salam untuk papanya Mas Gaza sama Mas Valen juga.” Ramah pak Dayat menepuk bahu Gaza yang tertutup baju koko putih.Gaza mengangguk dan meninggalkan rumah sederhana namun tenang tersebut dengan berjalan kaki yang jaraknya tidak lebih dari seratus meter dari Vilan
“Gaza kamu gila mengerem mendadak? Astaga Gaza kamu bahayakan banyak orang.” Natasya memukul lengan Gaza setelah kekagetannya mereda.“Ke pinggir Ga, biar aku yang bawa mobil.” Natasya memberikan perintah dengan tegas. Gaza dengan bodohnya tertawa dan menyeringai secara bersamaan. Mulai kembali melajukan mobil perlahan setelah mengucapkan maaf pada wanita yang mengenakan kemeja kebesaran miliknya.“Baru dipanggil sayang, sudah membuat aku hampir mati. Apalagi aku sayang-sayang,” gerutu Natasya.“Mau kalau itu sih, di sayang-sayang sama orang tersayang. Bisa melayang aku, Di.” Gaza terkekeh pelan.Natasya berdecap enggan meladeni ucapan Gaza. Ia memilih menenggak minuman dan menyuap sarapan yang sisa beberapa suap saja.“Tadi kamu tidak sadar ya panggil Sayang? mana mau ‘kan kamu panggil begitu.” Gaza bertanya seraya menyugar rambutnya.“Masih mau di bahas?” tegas Natasya tampak malas.Gaza menggeleng, menyadari Natasya mulai malas dengan candaannya. Memilih menghubungi Olan
“Ga ... tadi papa kamu kemari.” Natasya berkata saat keluar dari kamar mandi berganti pakaian sebelum tidur.“Papa? mau apa? kamu ditanya macam-macam?” Gaza meletakan ponsel yang tadi ia pegang untuk memberikan perhatian penuh pada wanita di depannya.“Hanya minta di sampaikan sama kamu kalau kita diminta ke rumah besok pagi. Enggak bilang apa-apa lagi.” Natasya duduk di samping Gaza dan menaikkan kakinya untuk ia lipat.“Tidak tanya kenapa kamu ada di apartemen aku?” Gaza mengerutkan kening dalam.Natasya menggelengkan kepala. “Enggak, hanya bilang itu. Ga ... bagaimana jika Papa kamu tidak menyetujui pernikahan kita?” “Ya biarkan ... aku yang menjalani kok, orang tua tidak memiliki hak apa pun pada pilihan hidup anaknya.” Gaza menjelaskan dengan logis.Natasya terdiam beberapa lama di tempatnya duduk, membaringkan tubuh miring menghadap Gaza yang bersandar pada kepala ranjang besarnya.“Pikiran laki-laki dan wanita memang sangat jauh berbeda Ga. Kamu anak kandungnya, seburuk
“Kamu enggak bisa main ini, nanti kalau jatuh terus berdarah ... aku dimarahi papa kamu dan kamu akan dimarahi mama kamu,” seru suara anak laki-laki usia tujuh tahun. “Ih tapi aku mau ikut naik,” teriak suara anak perempuan. “Kamu pakai rok, Neta. Nanti kelihatan celana dalamnya,” timpal suara anak-anak lainnya. “Kan aku pakai celana pendek, enggak akan kelihatan,” bantah suara perempuan. Natasya terkekeh kecil, menjawil lengan suaminya yang asyik bermain ponsel dengan kaca mata melorot. “Apa?” tanya Gaza. “Itu putri kamu sedang beradu sama dua abangnya, sana samperi,” kekeh Natasya. “Biarkan saja, Shaka lebih keras kepala dibandingkan Neta. Mari kita hitung mundur berapa lama Neta menjerit panggil mama,” jawab Gaza. Tidak sampai hitungan lima setelah mendengar perdebatan di ruang bermain, jeritan melengking terdengar disusul tangisan merobek
“Heh gila! gua bilang pakai uang kantor. Wah pelanggaran.” Gaza berseru menggeplak punggung Olan yang datang bersama Vero dalam satu mobil membuntuti sebuah truk barang salah satu perusahaan elektronik besar. Gaza meminta nota pelunasan dan tidak diberikan oleh Olan dengan seringai menjengkelkan. Olan berkata lemari penyimpan asip hadiah dari mereka berdua untuk Yumna Zanneta Hernando. Putri kecil Gaza dan Diwang yang menggemparkan seantero perkantoran milik papa sang bayi. “Sudahlah Bro terima saja, elu saja gua tanya baik-baik ngelesnya bukan main. Elu menolak rezeki anak elu, hah?” Olan pura-pura melebarkan mata sementara Vero terkekeh akan dua manusia dewasa di sana yang hendak saling berkelahi. “Bukan enggak terima rezeki anak, tapi memang gua inginnya kebutuhan primer dia ya bapaknya yang belikan. Ya sudah karena gua tahu nomor rekening elu, gampanglah urusannya.” Gaza terkekeh merasa menang. “Gua ta
“Mari begadang, Papa,” kekeh Natasya. Yumna Zanneta Hernando telah diperbolehkan pulang dengan mamanya setelah dua hari pasca kelahirannya. Tidak ada sambutan mewah atau sejenisnya, keluarganya paham jika orang tua baru perlu istirahat dan diberikan ruang menikmati kebahagiaan kehadiran putri kecil ditengah-tengah mereka. Jadi saat Natasya dan bayinya pulang, tidak ada yang menjemput dan menyambut di rumah mereka. “Siap, Mama. Kamu duduk dulu sana, akunya masih ngilu lihat kamu jalan saja masih pelan begitu.” Gaza masih menggendong putri kecilnya begitu masuk ke kamar mereka. Natasya mengangguk, menunjuk boks bayi yang menempel pada tepi ranjang mereka di sebelah kanan agar Neta yang lelap dalam gendongan Gaza diletakan di sana. Gaza menurut, meletakan bayi mereka dengan sangat amat perlahan cenderung masih takut dan kaku. Melihatnya membuat Natasya tersenyum, ia hanya diperbolehkan memegang Neta saat perjalanan di mobil d
“Mandi,” bisik Natasya. Gaza terkekeh kecil dengan menatap lembut manik mata wanita dengan mata bengkak dan seluruh wajah bengkak. Membelainya dengan senyuman lebar tanpa suara. Setelah tiga jam pasca melahirkan, Natasya terlelap setelah bayi perempuan mereka menerima asi pertama darinya. Kelahiran yang tidak mudah dan sempat membuatnya ingin menyerah setelah satu jam lebih pembukaan lengkap namun tidak jua lahir. Saat berhasil dilahirkan, suara tangisannya merobek ruang persalinan hingga kedua orang tuanya tergugu dalam kebahagiaan tiada terkira. Natasya langsung terlelap kelelahan dan dibangunkan saat harus kembali menyusui putrinya. “Kusut banget ya?” Gaza menimpali perkataan istrinya yang memintanya mandi. “Iya, kusut sekali. Nanti anaknya cium bau asem pas digendong,” kelakar Natasya.Gaza terkekeh kecil mengangguk. “Iya nanti sebentar lagi mandi, kamu benar sudah enggak sakit duduk begini?”
“Sayang ... kamu lihat tas yang isinya pembalut melahirkan? Perasaan aku taruh dekat tas yang mau dibawa ke rumah sakit nanti deh,” tanya Natasya. “Ada di situ aku lihat tadi. Yang warna biru kan?” Gaza mendekati Natasya yang memakai daster tanpa lengan berjalan mondar-mandir. “Enggak ada kok aku cari dari tadi, kamu buang?” tanya Natasya.Gaza berdecap. “Ya masa aku buang Sayang, kan aku yang beli. Kepintaran amat.” Natasya terkekeh kecil kembali mencari, tarikan nafas Natasya yang tertangkap oleh telinga Gaza membuat Gaza berhenti bergerak. “Sayangku cintaku manisku, bisa tolong kamu duduk manis saja? kamu ngos-ngosan sekali aku dengar. Biarkan suami kamu ini yang cari,” papar Gaza. Natasya menyeringai, memasuki bulan delapan Natasya mulai sering kelelahan padahal hanya berjalan-jalan sebentar. Nafas sering ngos-ngosan dan kegerahan setiap saat padahal pendingin ruangan menyala nonstop 24
“Ya Tuhan ... aku pikir kenapa sampai jongkok di depan kulkas menangis, nanti kita beli lagi ya, aku akan ke sana hari ini buat lihat apa sudah buka atau belum. Sudah Sayang sudah ayo bangun.” Gaza membantu Natasya bangun setelah mbak di rumah berlarian menghampiri dirinya yang sedang duduk menonton film, mengatakan bahwa istrinya menangis di pojok dapur. Gaza pikir istrinya kenapa-kenapa, saat ia hampiri ternyata tangan Natasya sedang memegang mangkok puding karamel dengan saos karamel yang sisa sedikit. Gaza menahan tawa sekaligus meringis saat istrinya bercerita bahwa ia tidak rela karamelnya tumpah. “Tapi bapaknya masih di rumah sakit, dan ini puding terakhir. Enggak tahu kapan bisa buat lagi.” Natasya terisak penuh kesedihan dengan tangan memegang mangkuk erat-erat. “Nanti aku akan cek ya Sayang, semoga sudah buka. Sudah jangan menangis lagi ya, semoga lekas berlalu ya fase sensitif ini.” Gaza memutuskan memeluk istr
“Oh maaf saya tidak buka, Bu. Saya hanya mau mengambil sesuatu di dalam,” jawab sang pemilik toko kue. “Iya maaf Pak, kami memang ke sini mau beli awalnya eh ternyata tutup. Ayo Sayang kita pulang saja ya.” Gaza segera menggandeng Natasya untuk kembali ke mobil mereka yang terparkir di depan toko tersebut. “Apa masih lama Pak, bukanya?” tanya Natasya. “Saya tidak bisa pastikan, Bu. Anak saya sedang di rawat, dan saya hanya mau ambil puding untuk anak saya yang minta. Nanti kalau sudah sehat kembali, baru saya buka.” Pemilik toko menjawab dengan tangan membuka gembok pada pintu kacanya. “Apa puding karamel siram fla, Pak?” Natasya bertanya dengan mata berbibar-binar.Gaza menunduk dengan menghela nafas panjang. “ Sayang, kamu mengganggu bapaknya sedang buru-buru mau kembali ke rumah sakit. Maaf ya, Pak.” “Ibu mau beli puding karemel fla? Ibu sedang hamil?” terka pemilik toko.
Gaza melepas tawa lebar dengan meraba celana belakangnya, masih dengan tertawa, Gaza menganggukkan kepala dan kembali duduk di samping istrinya yang kebingungan mengapa ia tertawa selebar itu. “Tahu kok, ya ampun tadi pagi aku sangat malu, Sayang. Aku enggak tahu dari kapan robeknya, apa dari rumah apa di mobil. Pas turun mobil di tegur sekuriti depan, dan langsung tarik tangan aku untuk mepet tembok lobi. Aku pikir kenapa ini sekuriti kurang ajar sekali main tarik-tarik eh tahunya mau membisiki kalau celana aku robek.” Gaza kembali tertawa “Ya ampun,” kekeh Natasya. “Aku enggak bisa pulang lagi karena ada meeting dengan dua orang penting dan enggak bawa celana ganti juga. Alhasil aku minta Olan selalu jalan belakang aku dan agak mepet biar enggak dilihat orang, Olan sampai tertawa puas sekali dia, kurang ajar memang. Kecangkol apa ya kira-kira?” Gaza masih geli sekali mengingat ia tidak tenang takut tiba-tiba bangun dari k
“Ibu ... Ibu ... jangan Bu, aduh,” seru salah satu karyawan Natasya di klinik. Natasya berada di klinik kecantikannya karena datang stok barang dalam jumlah banyak. Seluruh karyawan sudah tahu jika sang owner tengah hamil dan sudah diberi pesan tegas oleh Gaza bahwa Natasya hanya mengawasi dan menerima laporan. Tidak ada mondar-mandir dan tidak ada angkat barang sekecil apa pun. Natasya kena seruan karyawannya saat menyentuh sebuah serum dalam kardus yang masih tertutup rapat. Karyawannya mengira jika ia akan mengangkatnya. “Aruna ... aku mau baca saja, ok,” kekeh Natasya. “Aduh Ibu pokoknya duduk saja sudah. Kan aku ada di samping Ibu, tinggal tunjuk mana yang mau dibawa dan mana mau digeser. Nanti saya kena pecat bapak,” rengek Aruna.Natasya tergelak. “Aku yang gaji kamu, bukan bapak.” “Iya tapi laporan yang ditunggu bapak dari saya macam militer, Bu. Katanya kalau sampai bapak lihat di cctv Ibu pegang-