“Kembalikan!” Alea merampas kembali sendok dari tangan Agus, tapi anak itu mengelak membuat Alea melotot marah.
“Kembalikan, kataku!” Lea menggebrak meja dengan kedua tangan, sedangkan Agus hanya terkekeh. “Sudah Alea, biarkan saja. Aku juga udah kenyang kok! Kita pergi saja.” ucapku berbisik, lalu menggandeng tangannya hendak melangkah ke luar kelas, tapi ditepis oleh gadis itu. “Kembalikan, atau aku aduin sama ibu guru!” ancamnya, membuat tawa Agus seketika berhenti. “Nih! Makan aja sisa gua.” Dilemparkannya sendok yang berada di tangan begitu saja ke atas meja. “Kali ini gua ngalah, tapi lo liat aja nanti, apa yang bakalan terjadi sama temen lo yang burik itu.” Sambil mengucapkan itu, Agus menunjuk ke arahku yang hanya bisa diam tak tahu harus berbuat apa. Alea memungut sendok yang tergeletak begitu saja di atas meja, lalu menyimpan kembali kotak bekalnya ke dalam tas tanpa bicara. Sementara Agus, Bondan dan teman-temannya sudah berlalu pergi setelah melemparkan kembali buku yang tadi sempat dipinjamnya. Aku menghempaskan bobot tubuh ke atas kursi, dan merapikan kembali buku yang tadi dilempar Bondan. Sesekali aku melirik ke arah Alea, tapi gadis itu sedang asik dengan bukunya. Akhirnya aku memutuskan untuk diam saja. Walaupun sebenarnya, aku ingin meminta maaf. Tidak lama kemudian, siswa-siswi lain mulai berdatangan, membuat suasana kelas menjadi riuh, tapi aku masih merasa sendiri. *** Bel tanda pelajaran hari ini usai, telah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Tinggal aku yang masih sibuk merapikan kursi dan membersihkan kelas. Hari ini memang jadwalku piket. Jangan tanya kenapa aku piket sendiri, Bondan dan teman-temannya yang memang teman piketku, tak akan mau untuk membantu. Jangankan membantu, mereka malah lebih sering mengerjaiku. Aku pernah mengadukan kepada guru wali kelas tentang perbuatan mereka padaku, tapi malah dihukum karena telah memfitnah teman sendiri. Setelah itu, mereka semakin sering mengganggu. Aku tidak punya kekuatan ataupun kuasa untuk membela diri. Jika hanya memakai kekuatan fisik, aku memang masih bisa menang, tapi setelah itu mereka akan mengadu kepada orang tuanya lalu menghukumku sesuka mereka. Itulah sebabnya, aku selalu mengalah di sekolah. Sedang asyik memasukkan sampah ke dalam keranjang, tiba-tiba saja terdengar suara berdebum. Saat menoleh, terlihat pintu sudah ditutup dari luar. Aku berlari ke arah pintu dan menarik handle-nya, tapi sia-sia. Pintu itu telah terkunci dan aku sudah bisa menebak siapa pelakunya. Kuselesaikan tugas piket dengan perasaan tidak enak. Tidak biasanya aku begini, padahal ini sudah sering terjadi. Biasanya, sebentar lagi Pak Dayat penjaga sekolah akan berkeliling, memeriksa ruangan kelas yang belum di kunci dan aku akan memanggilnya untuk membukakan pintu. Sembari menunggu, akhirnya kuputuskan untuk menghabiskan waktu dengan menulis. Benar saja, tak sampai setengah jam menunggu, aku mendengar suara pintu dan jendela ditutup lalu di kunci. Pasti Pak Dayat sedang mengunci kelas sebelah. Dengan cepat aku berlari ke pintu, dan menggedornya sekuat tenaga. “Pak! Buka. Pak Dayat!” aku berteriak, beberapa saat hingga mendengar suara kunci bergerincing, lalu pintu terbuka. “Terkunci lagi, Cil?” ucapnya dengan wajah datar. Pak Dayat bukan orang yang ramah, tapi juga tidak jahat. Aku tersenyum lebar, bergegas keluar sebelum kembali di kunci oleh Pak Dayat. *** Langkah kakiku terhenti beberapa puluh meter dari rumah yang kutempati bersama ibu. ‘kenapa banyak orang?’ Ada sebuah mobil sedan berwarna hitam terparkir tak jauh dari sana. Deg! Seperti ada sesuatu yang besar menghantam dada, aku terhenyak. Lutut seakan tak mampu lagi menopang berat tubuh. Apakah? Kupercepat langkah, menyibak kerumunan orang yang berjejal di depan pintu. Beberapa menepi, memberi jalan agar aku bisa lewat. Tak lagi kurasakan detak jantung, saat melihat ibu terbaring dengan mata tertutup. Aku mendekat dengan seluruh tubuh gemetar. “I -ibu,” kusentuh tangan wanita yang telah membesarkanku itu, tapi beliau diam saja membuatku semakin cemas. “I -ibu, kenapa wak? Ibu tidak kenapa-napa, kan?” Kutatap Wak Samsul, tapi wajah itu malah semakin menunduk dalam. “Ibumu pingsan Cil, Uwak juga gak tahu persis penyebabnya apa. Tadi pagi, setelah kamu menyampaikan pesan ibumu, Uwak langsung datang kesini. Oleh ibumu, Uwak diminta untuk menghubungi seseorang, jadi Uwak pergi ke rumah Pak RT buat menelepon. Saat Uwak kembali, ibumu sudah tak sadarkan diri." Aku mendengarkan penjelasan Wak Samsul dengan mata berlinang, entah apa yang ada di pikiran ibu dan siapa orang yang diminta ibu untuk di hubungi Uwak Samsul. Setahuku, kami tidak punya saudara ataupun kerabat yang tinggal di luar kampung. Berbagai macam hal berkecamuk di pikiran, ketika tanpa sengaja netraku bertumpu pada sosok pria ber-Jas, yang entah sejak kapan ada di ruangan ini. “Maaf, Bapak siapa? Bapak mengenal ibu saya?” Aku mendekati pria itu dan bertanya dengan sopan. Pria itu menarik sedikit sudut bibirnya, mengulurkan tangan lalu berkata, "Saya Lukman, suruhan orang yang dihubungi oleh Uwakmu tadi. “Suruhan?” Aku tak paham maksudnya. “Ehm, maksud saya, saya sopir Tuan Hutomo dan saya tidak bisa menjelaskan lebih dari itu. Saya mohon maaf!” Pria yang mengaku bernama Lukman itu sedikit membungkuk setelah selesai berbicara. Aneh! “Sebaiknya, kita bawa Bu Rahmi ke Rumah Sakit terlebih dahulu agar segera mendapatkan pertolongan.” Dia melanjutkan, lalu membungkuk lagi. Aku mundur dua langkah. “Ta, ta -pi," “Soal biaya jangan khawatir, Tuan Hutomo akan membiayai seluruh perawatan Ibu Rahmi sampai sembuh.” Dia memotong ucapanku, seolah bisa membaca pikiran. Aku dan Wak Samsul saling tatap, tak percaya dengan apa yang baru saja kami dengar, pun juga warga kampung. Banyak yang menduga-duga, tapi tidak sedikit yang menuduh. Aku tak sempat memikirkan pandangan orang terhadap kami. Yang paling penting sekarang, aku harus menyelamatkan Ibu terlebih dahulu. “Gimana, Wak?” aku berbisik. “Uwak rasa, saat ini kita tidak punya pilihan Cil. Kita harus menolong ibumu.” Sahut Wak Samsul lirih. *** Sudah lima hari ibu di Rumah Sakit, tapi belum ada kabar dari Wak Samsul ataupun Pak Lukman. Aku memang tetap berangkat ke sekokah. Sesuai perjanjian, aku akan menjenguk dan menemani ibu setelah pulang sekolah. Selesai mengerjakan semua tugas dan pekerjaan, baru aku akan naik angkot ke Rumah Sakit dan menemani ibu semalaman. Sehabis subuh, aku akan menumpang mobil sayur Mang Ujang yang tiap hari mengantar dagangannya ke kota. Aku hanya perlu berjalan kaki sekitar 20 menit dari Rumah Sakit ke persimpangan, tempat kami berjanji untuk bertemu setiap harinya. “Heh, Ibu lo dulu wanita panggilan ya?” Reza mendorong kursi yang kududuki dari belakang. “Ucil anak haram!” Bondan menimpali, membuat anak lain seketika tergelak. “Pantas saja selama ini kita gak pernah liat bapaknya, iya kan, teman-teman ?” kali ini Amir angkat bicara. “Anak haram, anak haram ....” Seluruh kelas riuh bersorak. Ada yang melempari dengan kertas, mendorong-dorong kursi dari belakang, bahkan Bondan menoyor kepalaku. Dia memang paling ditakuti di sekolah karena ayahnya donatur tetap di sekolah dan penyumbang dana terbesar. Itulah yang membuat Bondan merasa istimewa. Terlebih guru-guru yang seolah menganak emaskannya, membuat tingkah laku Bondan semakin seenaknya. Sebenarnya, aku ingin menghajar Bondan karena sudah keterlaluan tapi sosok Alea membuat aku harus menahan amarah sekuat tenaga. Aku terlalu malu pada Alea. Hingga yang kulakukan hanya menunduk. “Diam kalian semua, apa kalian gak punya hati? Ibu Ucil lagi sakit, dan kalian malah sibuk menjelek-jelekkannya!” Alea menggebrak meja dengan wajah penuh amarah Bersambung Yang udah baca sampai bab 2 aku ucapkan makasih banyak 🤗 Jangan lupa tinggalkan jejak ya gaess, biar aku makin rajin update 🥰“Diam kalian semua, apa kalian gak punya hati? Ibu Ucil lagi sakit dan kalian malah sibuk menjelek-jelekkannya!” Alea menggebrak meja dengan wajah penuh amarah. “Bukannya Ucil emang jelek, siapa yang menjelek-jelekkan?” Bono menanggapi ucapan Alea dengan hinaan dan senyum sinis. Mendengar itu, teman-temannya malah lebih riuh bersorak. Kali ini mereka menyoraki Alea, dan melemparinya dengan kertas. “Huh, sok pahlawan!” “Pahlawan kesiangan!” Tiba-tiba seisi kelas diam, saat Pak Rahmat memasuki ruang kelas dan memulai pelajaran. Dalam hati aku bersyukur, bukan karena terbebas dari hinaan mereka, tapi karena Alea. Aku tidak mau dia menjadi bulan-bulanan, cukup aku saja! Aku melirik sekilas ke arah Alea yang duduk dua kursi di depanku, tapi sepertinya dia baik-baik saja. Syukurlah. Seharian, aku tak bisa konsentrasi, tak satu pun pelajaran yang bisa diikuti, kata-kata Reza dan yang lainnya terus saja terngiang hingga bel tanda pelajaran usai berbunyi. Anak haram! Benarkah aku anak
Kuamati amplop putih di tangan, membolak-baliknya seolah akan ada sesuatu yang keluar dari sana. Sudah beberapa hari ini aku ingin membaca surat yang ditinggalkan oleh ibu untukku, tapi entah kenapa ada rasa enggan tiap kali aku hendak membukanya. Surat terakhir ibu, juga sebuah kotak yang beliau titipkan pada Wak Samsul sesaat sebelum beliau meninggal kini sudah berada di pangkuanku. Perlahan kubuka kotak berwarna biru itu. Di dalamnya ada pakaian dan selimut bayi, sebuah foto juga sebuah kalung. Sedikit mengernyit, mengamati benda-benda di depanku. Masih tak mengerti, kenapa ibu meninggalkan ini untukku. Jika ini milikku, kenapa baru sekarang di berikan? Jika milik orang lain, kenapa diberikan padaku? Berbagai macam pertanyaan berkelebat di kepala. Kuraih amplop yang tadi sempat kuletakkan, dan membukanya. Ragu, aku membaca. Seketika mataku melotot membaca kalimat demi kalimat yang ibu tuliskan di dalam suratnya. Tidak! Ini tidak mungkin! Kuremas surat di tangan, seke
Kupandangi gambar wanita di foto itu, ada desir halus dan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul. Kualihkan pandangan menatap gambar pria di sebelahnya. Tampan! Garis wajah, bentuk hidung, sangat mirip dengan milikku. Benarkah pria di foto itu ayahku? “Aku tidak mau ikut denganmu. Lagi pula aku tidak mengenal mereka. Di sini aku sudah hidup nyaman dan bahagia.” Aku berdiri, hendak melangkah masuk ke dalam rumah. “Jangan berbohong! Aku tahu apa yang kamu alami. Aku memperhatikanmu, sejak pertama kali kesini," sanggahnya cepat, dan sebelum aku sempat mengucapkan sepatah kata pun, dia telah melanjutkan kalimatnya. “Jika kamu muak dengan keadaan ini dan jika kamu ingin mengubah hidupmu, ikut lah denganku.” Aku tercekat mendengar penuturan pria setengah baya ini. Benar apa yang di ucapkannya. Aku sudah muak dengan keadaan ini. Aku memang ingin mengubah hidup, tapi .... “Kenapa? Apa kamu ragu?” Tanpa sadar, aku mengangguk. “Karna Nona Alea?” refleks aku menoleh, dengan warna wajah
Setelah sarapan pagi ini, aku, nenek dan Pak Lukman berangkat ke Rumah Sakit. Untuk tes DNA kata nenek dan aku ikut saja. Lagi pula, aku tidak tahu apa itu tes DNA. Selagi menunggu hasil tes keluar, nenek cek up kesehatan atas permintaan Pak Lukman. Awalnya, nenek menolak tapi karena aku ikut mendesak akhirnya nenek luluh juga. Hari mulai siang saat kami keluar dari Rumah sakit. Pak Lukman berinisiatif untuk makan siang terlebih dahulu, sebelum melanjutkan aktivitas. Sebuah rumah makan lesehan menjadi pilihan. Menu ikan gurami goreng, lalap, dan sambal terasi, lengkap dengan tahu dan tempe bacem, mampu mengingatkanku pada masa sulit ketika ibu masih hidup. “Kenapa, Leon? Kamu teringat rumah lamamu?” tanya nenek. Aku sedikit tersenyum, lalu menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa, kok Nek! Hanya teringat Almarhumah Ibu, beliau sangat suka ikan gurami goreng, seperti ini,” sahutku dengan mata mulai berkaca-kaca. “Banyak-banyak berdoa untuk beliau. Shalat yang rajin dan sering-sering
“Kira-kira dua belas tahun yang lalu, waktu kamu masih berumur dua bulan, seseorang mengambil kamu dari Box bayi di kamar saat mama sedang ke dapur membuatkan susu untukmu.” Mama mulai bercerita. “Saat kejadian itu, papa kamu sedang berada di luar kota. Karena panik, Mama menelepon papa, dan meminta papa untuk pulang.” Raut wajah mama seketika berubah muram, dielusnya punggung tanganku berulang kali dengan tangan yang mulai gemetar. “Papa pulang dengan pesawat tercepat, tapi saat dalam perjalanan dari bandara ke rumah .... Mama tak mampu meneruskan ceritanya. Beliau terisak. Nenek menggeser posisi duduk di samping mama. Serta merta memeluk menantu tertuanya itu. “Sudah! Tidak usah diteruskan jika kamu belum kuat untuk bercerita.” Nenek menasihati mama, yang langsung kuiyakan. Begitu juga dengan Pak Lukman. “Biar saya yang memberitahu tuan muda, Nyonya!” pria yang sejak tadi lebih banyak diam itu, mengutarakan niatnya. Lagi, langsung kuiyakan. Aku tak tega melihat Mama menangi
Sedang asyik termenung, aku dikagetkan suara bel tanda jam istirahat yang nyaring berbunyi. Aku terkesiap, dengan dada berdebar, menanti sebuah momen, di kantin ini. Tak sampai satu menit hingga suasana kantin menjadi ramai. Walaupun bukan kantin besar yang mewah, tapi kantin sekolah tetap menjadi tempat favorit siswa disaat jam istirahat. Aku menikmati gorengan dan segelas es teh dengan santai. Dari sudut mata, dapat kulihat pandangan menyelidik dari siswa yang berdatangan. Aku memang tidak memakai seragam sekolah. Tak berapa lama, orang yang kutunggu akhirnya memperlihatkan batang hidungnya. Segera aku bangkit dari duduk dan membayar gorengan yang tadi kupesan, tepat saat anak itu juga memilih makanan, aku menyela. Awalnya dia ingin membentak, tapi saat melihat siapa yang menyela, sikapnya langsung melunak. Sedikit gugup dia memberi ruang padaku dengan bergeser ke samping. Aku tersenyum sinis. Setelah menerima kembalian, aku langsung pergi dari sana. Tak kuhiraukan kata-kata merek
Aku lulus dengan nilai baik tapi tidak memuaskan. Seharian semangatku hilang dan hanya uring-uringan di kamar. Bik Munah datang dan meminta agar aku menemui Nenek dan Paman di bawah.“Ada apa, Nek?” kuhempaskan tubuh ke sofa dengan wajah ditekuk. Bibir Paman sedikit tertarik ke atas hingga membentuk lengkung samar saat melihat wajah masamku.“Wajahmu, kenapa?” Gantian, Paman yang bertanya padaku sebelum nenek menjawab apa yang baru saja kutanyakan. Kulirik Paman dengan ekor mata, melipat tangan di depan dada lalu mendengkus kasar.“Bosan!” jawabku. Yang langsung disambut gelak tawa mereka berdua.“Kenapa gak main ke kompleks belakang rumah? Atau ke Mal, atau mau nenek belikan PS buat main game? Kamu mau apa, bilang saja.” Nenek meletakkan kertas-kertas yang tadi bertumpuk di pangkuannya ke atas meja lalu bergeser lebih dekat. Mengelus pucuk kepala dan mencium dari samping.“Hum, sebenarnya Leon kepingin komputer, atau
“Perkenalkan, nama saya Bagas Hutomo. Putra pemilik Grup Hutomo.” Serunya lantang membuatku ingin muntah. Jadi ini, anaknya tante Soraya? Persis Ibunya! Aku bersenandika. Semua anak bertepuk tangan, kecuali aku. “Hey! Kamu gak dengar, Kak Bagas memperkenalkan dirinya,” seru salah satu kakak kelas cewek yang penampilannya mirip ondel-ondel. “Dengar!” sahutku acuh. “Kenapa diam saja?” tanyanya, lagi. “Trus gua harus bilang WOW! Gitu?” ucapku menirukan salah satu iklan televisi, membuat yang lain tertawa. Namun tidak demikian halnya dengan Bagas. Wajahnya seketika merah padam, dengan wajah ditekuk dia melangkah kearahku. “Kamu jangan berlagak hebat disini!” Dia menjulurkan tangan kearahku berusaha untuk mendorong, aku sedikit bergeser ke samping menyebabkan tangannya mendapati tempat kosong. Tubuhnya terhuyung ke depan, membuat semua orang kembali te
Leon berjalan dengan pikiran kosong, meninggalkan apartemen Safira. Setelah turun ke bawah, pria itu baru menyadari kalau hari sudah gelap. Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 02.45 dini hari. Dia tersentak, lalu menyadari bahwa suasana memang sangat sunyi. Buru-buru dia ke tempat mobilnya terparkir, dan langsung melajukan kendaraannya pulang ke rumah...Leon merebahkan diri ke atas ranjang, mencoba mengingat rentetan kejadian yang terjadi di apartemen Safira tadi sore. Pria itu masih tidak bisa mencerna arah pembicaraan gadis itu. Apa maksudnya dengan ‘yang kita lakukan tadi?’ Leon mengacak rambutnya frustasi. Pikiran kotor mulai menghantui, tapi dia berusaha menepisnya sekuat tenaga. Dia berharap tidak terjadi sesuatu disana, antara dia dan Safira.***Pagi-pagi Nadya, ibunda Leon menggedor pintu kamar anaknya. Karena tak ada sahutan, wanita paruh baya itu nekat menerob
Leon terkulai tak sadarkan diri di sofa ruang tamu apartemen gadis itu. Lalu dengan santainya Safira melenggang, kemudian mengambil posisi duduk di atas paha pria itu. Tangan mungilnya dengan lincah memainkan keyboard ponsel, menyentuh tombol dial, untuk menghubungi seseorang. Tak lama kemudian, telepon terhubung.“Semua aman, loe bisa datang sekarang,” ujar Safira. Sementara tangannya mengelus wajah tampan Leon dan menyusurinya hingga dada. Setelah mendengar sahutan dari seberang sana, Safira memutuskan sambungan telepon, kemudian beralih mengamati wajah yang terlelap itu.“Oh, Leon! Seharusnya kita tidak perlu berada dalam situasi seperti ini, jika saja kau tidak memilih gadis kampung itu.” Gadis itu bergumam, dengan pandangan sedikit sayu. Ada sorot penyesalan yang terpancar dari mata itu. “Sayangnya, kau memilih dia daripada aku yang sudah sekian lama menemanimu.” Suara itu kini bergetar, sedikit serak
Alea menyambar tas nya, dan beranjak dari tempat itu, meninggalkan Leon disana. Namun, baru tiga langkah kakinya berjalan, lengan kekar pria itu sudah menahannya.“Gitu aja ngambek,” godanya sambil menyentil hidung Alea dengan ujung jari. Alea diam saja, masih memalingkan wajah. Pura-pura kesal.“Jangan marah, aku bingung kalau kamu marah.” Leon menggenggam kedua tangan gadis itu, disaksikan oleh pengunjung lain dan pemilik rumah makan. Mereka mulai bersuara, mendukung Leon.“Udah, Mbak! Jangan ngambek lagi, kasihan mas nya,” seorang ibu berkomentar. Alea melebarkan mata, memandang Leon. Lalu perlahan melirik keadaan sekitar. Betapa malunya gadis itu, saat menyadari kalau mereka sudah jadi bahan tontonan sejak tadi.Buru-buru Alea menarik tangannya, tapi di tahan oleh Leon. Pria itu malah menariknya hingga kini mereka berhadapan dengan jarak tak lebih dari tiga pul
Alea tidak menyadari bahwa sikap leon yang menyebalkan hanyalah cara agar dia selalu berada di samping pria itu, dan dia tidak menyadarinya. Bulir-bulir kristal bening lolos begitu saja dari kedua sudut matanya. Dia menutup mulut, agar suara tangisnya tak terdengar. Ternyata Leon sangat melindunginya, dan dia malah sibuk membenci pria itu...“Leon!” Alea berdiri di ambang pintu, dengan wajah bersimbah air mata. Bibirnya bergetar saat menyebut nama pria itu. Leon dan Asha, yang sedang asik berbincang kaget melihat wajah sembab gadis itu.“Alea, kenapa?”“Kamu, kenapa?”Kedua orang itu berdiri, bingung. Lalu Alea menghambur ke pelukan Leon, tanpa menghiraukan Bundanya yang berdiri disana. Dia menangis sesenggukan. Leon mengusap rambut panjang gadis itu, menenangkannya. Berpaling ke arah Asha, dan meminta maaf dengan isyarat.“Kamu, kenapa
“Aku ingin melamar mu untuk jadi istriku,”“APA,” Alea terpekik kaget, mendengar ucapan Leon barusan. “Kau becanda!” seru gadis itu panik.“Tidak, aku serius!” pria itu menjawab dengan tegas. Alea bergeming di tempatnya.“Apa aku salah jika berfikir kamu memiliki perasaan yang sama denganku?” tanya pria itu serius. Alea menatap wajah itu, tampak berpikir sebentar, sebelum kemudian menyeretnya masuk ke dalam rumah.“Kau serius dengan ucapan mu barusan?” Alea kembali bertanya, dan Leon pun mengangguk dengan mantap sebagai jawaban.“Jika kau ingin mendengar jawabanku, kau harus menceritakan semuanya, apa yang terjadi padamu. Dari awal hingga akhir, tanpa ada yang di tutup-tutupi.” Alea bersedekap, menunggu jawaban pria itu.“Tidak bisakah itu nanti saja? A
“Alea ...!” sebuah suara yang sangat dia kenal terdengar memanggi dari arah belakang, tepat sebelum gadis itu menutup pintu rumahnya.Alea menoleh ke belakang dan mendapati Leon suda berdiri di sana, di balik pagar dengan raut wajah yang tidak bisa di jelaskan. “Leon?” seru gadis itu antara gembira, marah dan panik, bercampur jadi satu. “Ada apa, kesini?” suara nya berubah sinis, saat dia mengingat kejadian tadi siang di ruang kerja pria itu.“Boleh, aku bicara?” tanya Leon dengan wajah memelas. Alea menatap wajah itu, dan luluh melihat wajah tampan yang sekarang sedang memohon di balik pagar. Gadis itu berjalan kembali ke luar da membuka kunci pagar, lalu mempersilahkan pria itu masuk.“Ada apa?” tanya Alea saat mereka sudah duduk dengan nayaman di ruang tamu.“Eum, kata Lukman tadi, kamu memergoki Tante Soraya menelepon seseorang, un
“Apa, Nona menyukai Tuan Muda?”“HEH?” Alea terkejut dengan pertanyaan Cepluk yang terus terang itu. Asisten rumah tangga itu mengulas sebuah senyum di wajah polosnya.“Buktinya, tadi sampai nangis karena khawatir sama Tuan Leon.” Gadis itu menutup mulut karena geli.“Eh, enggak kok! Kata siapa?” Alea mengelak dari pandangan Cepluk, gadis itu mengusap wajahnya yang semakin menghangat.“Kata Cepluk, lah!” lagi-lagi dia menggoda Alea dengan senyuman.“Cepluk, jangan bilang apa-apa sama Nyonya Hamidah, ya!” bisik Alea di dekat telinga gadis itu.“Tenang aja, Nona! Aku yakin Nyonya Hamidah dan Nyonya muda akan merestui Nona jika berjodoh dengan TuanLeon,” sahut Cepluk,juga berbisik di telinga Alea.“Haduh, bukan itu! Tapi yang tadi,” seru Alea mena
Alea membelalakkan mata melihat pemandangan di depannya. Tampak seorang wanita dengan pakaian sexy sedang memeluk Leon dari belakang, sementara pria itu menghadap ke arah dinding kaca tebal membelakangi meja kerjanya. Sosok wanita itu tampak tak asing, dengan rambut panjang bergelombang dan suara nya yang manja.Leon membalikkan tubuh saat mendengar suara Alea dari arah pintu, pria itu kaget luar biasa. Tangannya refleks melepaskan lilitan lengan wanita itu di perutnya, dan mengejar Alea yang sudah belari dari sana.“Lepaskan!” bentak Leon dengan suara bergetar menahan amarah. Dia tidak sanggup membayangkan apa yang ada di dalam fikiran Alea saat itu. Hanya dengan sekali hentak, Leon sudah terbebas dari pelukan wanita itu, namun langkahnya tertahan karena tangannya dicekal dengan kuat.“Lepaskan, kubilang! Apa kamu gak bosan, mempermalukan dirimu sendiri, Safira?” wanita yang ternyata adalah Safir
“Saya ingin mengajukan pertanyaan,” soraya menginterupsi ucapan Pak Subagyo.“Ya, silahkan!” sahut pengacara itu dengan tenang.“Bagaimana dengan almarhum suami saya, kenapa dia tidak menerima apapun dari keluarganya?” Soraya bertanya dengan nada tidak puas. Pak Subagyo mengulum senyum sebelum kemudian berkata, “Apa maksud Nyonya dengan tidak menerima apa-apa? Bukankah semua yang di terima oleh Bagas dan Nyonya merupakan warisan keluarga Hutomo untuk suami anda. Kebetulan suami anda,Pak Bagus Hutomo sudah meniinggal dunia, sehingga yang menerima warisan adalah Nyonya dan anak Tuan Bagus, yaitu Bagas.” Pak Subayo menjelakank panjang lebar.“Tidak ada gunanya protes, malah akan merugikan dirimu sendiri. Seharusnya kamu berterima kasih karena aku masih memberikan warisan padamu,,” seru Hamidah dingin.“Baiklah, tidak ada gunanya berdebat!