Alea hendak bangkit berdiri, tapi di tahan oleh Bagas. Sementara Leon dan kedua orang teman nya segera berlalu keluar dari restoran itu. Leon berjalan dengan cepat hampir mengabaikan tamunya, jika saja Mr. Taro tidak menegurnya.
“Anda terlihat sangat kesal, Tuan Leon! Tidak apa-apa, kita bisa makan di tempat lain,” saran Mr. Taro menyadarkan Leon, kalau dia sudah membuat tamunya tidak nyaman.
“Ah, maafkan saya! Saya akan mengajak anda ke tempat lain yang lebih bagus.” Leon memelankan langkah agar kedua tamunya bisa mengejar.
“Santai saja, Tuan Leon!” sahut Mr. Kenzi tersenyum.
***
Di resto, Alea sudah bangkit dari duduknya, meraih tas lalu bergegas keluar. Bagas menyusul setelah membayar tagihan. Pria itu menghentikan langkah Alea di depan restoran.
“Ada apa, Al?” tanya Bagas pada gadis itu. Alea terdiam, tak ta
Pria itu kini berada di seberang jalan, rumah Alea. Dia mengamati dari jauh, tak berani untuk sekedar turun dari mobil. Wajahnya sekarang sudah lebih tenang, dengan nafas teratur, tidak seperti beberapa saat yang lalu sebelum dia sampai ketempat itu.Perubahan itu terjadi, saat netranya menangkap siluet Alea dr balik gorden. Kelihatan gadis itu sedang mondar-mandir di dalam sebuah ruangan, yang ditebak Leon sebagai kamarnya. Ah, melihat bayangan dirimu saja, hatiku sudah kembali membaik! Sekuat itukah pengaruh dirimu dalam kehidupanku, Alea? Bjsik Leon lirih. Wajah murungnya, tak lepas memandang ke arah kamar gadis itu.Ddrrrtttt ...Getar ponsel di dalam saku celana, membuat pria itu sedikit terlonjak. Dikeluarkannya benda pipih itu, lalu mengusap layar. Muncul nama Alea di sana. Seketika wajah murung itu, jadi berseri melihat sebuah pesan masuk dari gadis itu. Buru-buru dia membuka aplikasi hijau bergambar gag
“Hari ini kita jadi ke kantor pengacara Oma?” tanya Alea saat mereka sedang berada di teras rumah. Keduanya sudah bersiap akan berangkat, sesuai kesepakatan dengan Lukman.Ada beberapa hal yang akan mereka urus hari itu, terkait semua harta warisan Hamidah. Menurut wanita sepuh itu, sudah saatnya melegalkan semua aset atas nama Leon. Memberi hak Soraya dan Bagas secara adil, dan melepaskan kedua orang itu dari perusahaan Hutomo.“Tentu saja sayang, Oma kan sudah janji sama pengacara Oma hari jni.” sahut Hamidah lembut.“Ayo, Bu! Aku juga sudah siap.” Nadya yang baru saja keluar dari dalam rumah ikut bergabung dengan mereka. Alea sedikit mengangguk saat mereka berdua saling bertemu pandang. Disambut dengan usapan lembut di ujung kepala gadis itu.Bertepatan dengan muncul nya Pak Asep, mereka bertiga berjalan beriringan menuju mobil. Kali ini Hamidah duduk di d
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Soraya yang mulus. Wanita itu terkesiap, memegangi wajahnya yang memerah.“Beraninya kau!” Teriaknya pada Nadya.“Kenapa? Kau tidak pernah mengira aku akan melakukan itu! Memangnya kenapa, bukankah aku adalah wanita serakah yang tidak tahu diri? Biar kuperlihatkan bagaimana tidak tahu dirinya aku.”Nadya menjambak rambut ikal Soraya dengan kuat, hingga dia mengasuh kesakitan. “Aaww ....” Kedua tangannya menggapai-gapai, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Nadya yang seperti orang kesetanan.Bagas yang melihat ibunya diperlakukan seperti itu, langsung bergerak maju, melerai keduanya. Dia menarik Nadya dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan tantenya itu pada rambut ibunya.“Sudah, Tante! Kasihan Mama,” seru Bagas menghiba agar Nadya melepaskan ibunya, tapi malah ditarik semakin kuat hin
“Saya ingin mengajukan pertanyaan,” soraya menginterupsi ucapan Pak Subagyo.“Ya, silahkan!” sahut pengacara itu dengan tenang.“Bagaimana dengan almarhum suami saya, kenapa dia tidak menerima apapun dari keluarganya?” Soraya bertanya dengan nada tidak puas. Pak Subagyo mengulum senyum sebelum kemudian berkata, “Apa maksud Nyonya dengan tidak menerima apa-apa? Bukankah semua yang di terima oleh Bagas dan Nyonya merupakan warisan keluarga Hutomo untuk suami anda. Kebetulan suami anda,Pak Bagus Hutomo sudah meniinggal dunia, sehingga yang menerima warisan adalah Nyonya dan anak Tuan Bagus, yaitu Bagas.” Pak Subayo menjelakank panjang lebar.“Tidak ada gunanya protes, malah akan merugikan dirimu sendiri. Seharusnya kamu berterima kasih karena aku masih memberikan warisan padamu,,” seru Hamidah dingin.“Baiklah, tidak ada gunanya berdebat!
Alea membelalakkan mata melihat pemandangan di depannya. Tampak seorang wanita dengan pakaian sexy sedang memeluk Leon dari belakang, sementara pria itu menghadap ke arah dinding kaca tebal membelakangi meja kerjanya. Sosok wanita itu tampak tak asing, dengan rambut panjang bergelombang dan suara nya yang manja.Leon membalikkan tubuh saat mendengar suara Alea dari arah pintu, pria itu kaget luar biasa. Tangannya refleks melepaskan lilitan lengan wanita itu di perutnya, dan mengejar Alea yang sudah belari dari sana.“Lepaskan!” bentak Leon dengan suara bergetar menahan amarah. Dia tidak sanggup membayangkan apa yang ada di dalam fikiran Alea saat itu. Hanya dengan sekali hentak, Leon sudah terbebas dari pelukan wanita itu, namun langkahnya tertahan karena tangannya dicekal dengan kuat.“Lepaskan, kubilang! Apa kamu gak bosan, mempermalukan dirimu sendiri, Safira?” wanita yang ternyata adalah Safir
“Apa, Nona menyukai Tuan Muda?”“HEH?” Alea terkejut dengan pertanyaan Cepluk yang terus terang itu. Asisten rumah tangga itu mengulas sebuah senyum di wajah polosnya.“Buktinya, tadi sampai nangis karena khawatir sama Tuan Leon.” Gadis itu menutup mulut karena geli.“Eh, enggak kok! Kata siapa?” Alea mengelak dari pandangan Cepluk, gadis itu mengusap wajahnya yang semakin menghangat.“Kata Cepluk, lah!” lagi-lagi dia menggoda Alea dengan senyuman.“Cepluk, jangan bilang apa-apa sama Nyonya Hamidah, ya!” bisik Alea di dekat telinga gadis itu.“Tenang aja, Nona! Aku yakin Nyonya Hamidah dan Nyonya muda akan merestui Nona jika berjodoh dengan TuanLeon,” sahut Cepluk,juga berbisik di telinga Alea.“Haduh, bukan itu! Tapi yang tadi,” seru Alea mena
“Alea ...!” sebuah suara yang sangat dia kenal terdengar memanggi dari arah belakang, tepat sebelum gadis itu menutup pintu rumahnya.Alea menoleh ke belakang dan mendapati Leon suda berdiri di sana, di balik pagar dengan raut wajah yang tidak bisa di jelaskan. “Leon?” seru gadis itu antara gembira, marah dan panik, bercampur jadi satu. “Ada apa, kesini?” suara nya berubah sinis, saat dia mengingat kejadian tadi siang di ruang kerja pria itu.“Boleh, aku bicara?” tanya Leon dengan wajah memelas. Alea menatap wajah itu, dan luluh melihat wajah tampan yang sekarang sedang memohon di balik pagar. Gadis itu berjalan kembali ke luar da membuka kunci pagar, lalu mempersilahkan pria itu masuk.“Ada apa?” tanya Alea saat mereka sudah duduk dengan nayaman di ruang tamu.“Eum, kata Lukman tadi, kamu memergoki Tante Soraya menelepon seseorang, un
“Aku ingin melamar mu untuk jadi istriku,”“APA,” Alea terpekik kaget, mendengar ucapan Leon barusan. “Kau becanda!” seru gadis itu panik.“Tidak, aku serius!” pria itu menjawab dengan tegas. Alea bergeming di tempatnya.“Apa aku salah jika berfikir kamu memiliki perasaan yang sama denganku?” tanya pria itu serius. Alea menatap wajah itu, tampak berpikir sebentar, sebelum kemudian menyeretnya masuk ke dalam rumah.“Kau serius dengan ucapan mu barusan?” Alea kembali bertanya, dan Leon pun mengangguk dengan mantap sebagai jawaban.“Jika kau ingin mendengar jawabanku, kau harus menceritakan semuanya, apa yang terjadi padamu. Dari awal hingga akhir, tanpa ada yang di tutup-tutupi.” Alea bersedekap, menunggu jawaban pria itu.“Tidak bisakah itu nanti saja? A
Leon berjalan dengan pikiran kosong, meninggalkan apartemen Safira. Setelah turun ke bawah, pria itu baru menyadari kalau hari sudah gelap. Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 02.45 dini hari. Dia tersentak, lalu menyadari bahwa suasana memang sangat sunyi. Buru-buru dia ke tempat mobilnya terparkir, dan langsung melajukan kendaraannya pulang ke rumah...Leon merebahkan diri ke atas ranjang, mencoba mengingat rentetan kejadian yang terjadi di apartemen Safira tadi sore. Pria itu masih tidak bisa mencerna arah pembicaraan gadis itu. Apa maksudnya dengan ‘yang kita lakukan tadi?’ Leon mengacak rambutnya frustasi. Pikiran kotor mulai menghantui, tapi dia berusaha menepisnya sekuat tenaga. Dia berharap tidak terjadi sesuatu disana, antara dia dan Safira.***Pagi-pagi Nadya, ibunda Leon menggedor pintu kamar anaknya. Karena tak ada sahutan, wanita paruh baya itu nekat menerob
Leon terkulai tak sadarkan diri di sofa ruang tamu apartemen gadis itu. Lalu dengan santainya Safira melenggang, kemudian mengambil posisi duduk di atas paha pria itu. Tangan mungilnya dengan lincah memainkan keyboard ponsel, menyentuh tombol dial, untuk menghubungi seseorang. Tak lama kemudian, telepon terhubung.“Semua aman, loe bisa datang sekarang,” ujar Safira. Sementara tangannya mengelus wajah tampan Leon dan menyusurinya hingga dada. Setelah mendengar sahutan dari seberang sana, Safira memutuskan sambungan telepon, kemudian beralih mengamati wajah yang terlelap itu.“Oh, Leon! Seharusnya kita tidak perlu berada dalam situasi seperti ini, jika saja kau tidak memilih gadis kampung itu.” Gadis itu bergumam, dengan pandangan sedikit sayu. Ada sorot penyesalan yang terpancar dari mata itu. “Sayangnya, kau memilih dia daripada aku yang sudah sekian lama menemanimu.” Suara itu kini bergetar, sedikit serak
Alea menyambar tas nya, dan beranjak dari tempat itu, meninggalkan Leon disana. Namun, baru tiga langkah kakinya berjalan, lengan kekar pria itu sudah menahannya.“Gitu aja ngambek,” godanya sambil menyentil hidung Alea dengan ujung jari. Alea diam saja, masih memalingkan wajah. Pura-pura kesal.“Jangan marah, aku bingung kalau kamu marah.” Leon menggenggam kedua tangan gadis itu, disaksikan oleh pengunjung lain dan pemilik rumah makan. Mereka mulai bersuara, mendukung Leon.“Udah, Mbak! Jangan ngambek lagi, kasihan mas nya,” seorang ibu berkomentar. Alea melebarkan mata, memandang Leon. Lalu perlahan melirik keadaan sekitar. Betapa malunya gadis itu, saat menyadari kalau mereka sudah jadi bahan tontonan sejak tadi.Buru-buru Alea menarik tangannya, tapi di tahan oleh Leon. Pria itu malah menariknya hingga kini mereka berhadapan dengan jarak tak lebih dari tiga pul
Alea tidak menyadari bahwa sikap leon yang menyebalkan hanyalah cara agar dia selalu berada di samping pria itu, dan dia tidak menyadarinya. Bulir-bulir kristal bening lolos begitu saja dari kedua sudut matanya. Dia menutup mulut, agar suara tangisnya tak terdengar. Ternyata Leon sangat melindunginya, dan dia malah sibuk membenci pria itu...“Leon!” Alea berdiri di ambang pintu, dengan wajah bersimbah air mata. Bibirnya bergetar saat menyebut nama pria itu. Leon dan Asha, yang sedang asik berbincang kaget melihat wajah sembab gadis itu.“Alea, kenapa?”“Kamu, kenapa?”Kedua orang itu berdiri, bingung. Lalu Alea menghambur ke pelukan Leon, tanpa menghiraukan Bundanya yang berdiri disana. Dia menangis sesenggukan. Leon mengusap rambut panjang gadis itu, menenangkannya. Berpaling ke arah Asha, dan meminta maaf dengan isyarat.“Kamu, kenapa
“Aku ingin melamar mu untuk jadi istriku,”“APA,” Alea terpekik kaget, mendengar ucapan Leon barusan. “Kau becanda!” seru gadis itu panik.“Tidak, aku serius!” pria itu menjawab dengan tegas. Alea bergeming di tempatnya.“Apa aku salah jika berfikir kamu memiliki perasaan yang sama denganku?” tanya pria itu serius. Alea menatap wajah itu, tampak berpikir sebentar, sebelum kemudian menyeretnya masuk ke dalam rumah.“Kau serius dengan ucapan mu barusan?” Alea kembali bertanya, dan Leon pun mengangguk dengan mantap sebagai jawaban.“Jika kau ingin mendengar jawabanku, kau harus menceritakan semuanya, apa yang terjadi padamu. Dari awal hingga akhir, tanpa ada yang di tutup-tutupi.” Alea bersedekap, menunggu jawaban pria itu.“Tidak bisakah itu nanti saja? A
“Alea ...!” sebuah suara yang sangat dia kenal terdengar memanggi dari arah belakang, tepat sebelum gadis itu menutup pintu rumahnya.Alea menoleh ke belakang dan mendapati Leon suda berdiri di sana, di balik pagar dengan raut wajah yang tidak bisa di jelaskan. “Leon?” seru gadis itu antara gembira, marah dan panik, bercampur jadi satu. “Ada apa, kesini?” suara nya berubah sinis, saat dia mengingat kejadian tadi siang di ruang kerja pria itu.“Boleh, aku bicara?” tanya Leon dengan wajah memelas. Alea menatap wajah itu, dan luluh melihat wajah tampan yang sekarang sedang memohon di balik pagar. Gadis itu berjalan kembali ke luar da membuka kunci pagar, lalu mempersilahkan pria itu masuk.“Ada apa?” tanya Alea saat mereka sudah duduk dengan nayaman di ruang tamu.“Eum, kata Lukman tadi, kamu memergoki Tante Soraya menelepon seseorang, un
“Apa, Nona menyukai Tuan Muda?”“HEH?” Alea terkejut dengan pertanyaan Cepluk yang terus terang itu. Asisten rumah tangga itu mengulas sebuah senyum di wajah polosnya.“Buktinya, tadi sampai nangis karena khawatir sama Tuan Leon.” Gadis itu menutup mulut karena geli.“Eh, enggak kok! Kata siapa?” Alea mengelak dari pandangan Cepluk, gadis itu mengusap wajahnya yang semakin menghangat.“Kata Cepluk, lah!” lagi-lagi dia menggoda Alea dengan senyuman.“Cepluk, jangan bilang apa-apa sama Nyonya Hamidah, ya!” bisik Alea di dekat telinga gadis itu.“Tenang aja, Nona! Aku yakin Nyonya Hamidah dan Nyonya muda akan merestui Nona jika berjodoh dengan TuanLeon,” sahut Cepluk,juga berbisik di telinga Alea.“Haduh, bukan itu! Tapi yang tadi,” seru Alea mena
Alea membelalakkan mata melihat pemandangan di depannya. Tampak seorang wanita dengan pakaian sexy sedang memeluk Leon dari belakang, sementara pria itu menghadap ke arah dinding kaca tebal membelakangi meja kerjanya. Sosok wanita itu tampak tak asing, dengan rambut panjang bergelombang dan suara nya yang manja.Leon membalikkan tubuh saat mendengar suara Alea dari arah pintu, pria itu kaget luar biasa. Tangannya refleks melepaskan lilitan lengan wanita itu di perutnya, dan mengejar Alea yang sudah belari dari sana.“Lepaskan!” bentak Leon dengan suara bergetar menahan amarah. Dia tidak sanggup membayangkan apa yang ada di dalam fikiran Alea saat itu. Hanya dengan sekali hentak, Leon sudah terbebas dari pelukan wanita itu, namun langkahnya tertahan karena tangannya dicekal dengan kuat.“Lepaskan, kubilang! Apa kamu gak bosan, mempermalukan dirimu sendiri, Safira?” wanita yang ternyata adalah Safir
“Saya ingin mengajukan pertanyaan,” soraya menginterupsi ucapan Pak Subagyo.“Ya, silahkan!” sahut pengacara itu dengan tenang.“Bagaimana dengan almarhum suami saya, kenapa dia tidak menerima apapun dari keluarganya?” Soraya bertanya dengan nada tidak puas. Pak Subagyo mengulum senyum sebelum kemudian berkata, “Apa maksud Nyonya dengan tidak menerima apa-apa? Bukankah semua yang di terima oleh Bagas dan Nyonya merupakan warisan keluarga Hutomo untuk suami anda. Kebetulan suami anda,Pak Bagus Hutomo sudah meniinggal dunia, sehingga yang menerima warisan adalah Nyonya dan anak Tuan Bagus, yaitu Bagas.” Pak Subayo menjelakank panjang lebar.“Tidak ada gunanya protes, malah akan merugikan dirimu sendiri. Seharusnya kamu berterima kasih karena aku masih memberikan warisan padamu,,” seru Hamidah dingin.“Baiklah, tidak ada gunanya berdebat!