Mereka memacu kuda dengan kecepatan sedang dan tak terasa sudah semaikin jauh melintasi jalur itu. Rangga, Wiji, Banu dan Sanji terus-terusan memasang kewaspadaan. Bukan hanya soal komplotan itu saja yang menjadi ancaman, namun juga harimau hutan dan hewan buas lainnya.“Jika ada perampok, mereka pasti sudah tahu jika ada yang melintasi jalur ini, kan!” kata Rangga.“Biasanya begitu, kang. Salah satu atau dua anggotanya itu biasanya berjaga di pohon tinggi memantau wilayah mereka. Apalagi tadi kita sempat melewati jalur yang jarang ada pohon-pohonnya. Keberadaan kita pasti bisa dilihat…” kata Wiji.“Tetap waspada saja…” kata Rangga. Mereka masih melanjutkan perjalanan dengan kecepatan lambat hingga kemudian jauh di depan sana, ada sekawanan burung yang tiba-tiba terbang dari pohon.“Sial. Sepertinya ada yang hendak menghadang di depan sana…” kata Wiji yang memiliki kepekaan lebih dari pada yang lain. Dia juga sangat familiar dengan situasi hutan. Sebab, dulu perguruannya pun berada di
Rangga menghitung, ada 17 orang sekaligus pimpinan komplotan itu yang tersisa.Jika dilihat-lihat, 17 orang itu semacam tim inti dari komplotan tersebut. Sedangkan orang-orang yang sudah tumbang itu hanyalah semacam kroco.Wiji, Banu dan Sanji merapat mendekati Rangga. Dalam kepala mereka masing-masing sudah ada bayangan apa yang akan mereka lakukan nanti.Tentu saja Rangga akan menantang pimpinan itu. Ia tak akan membiarkan ketiga pengawalnya itu justru yang akan bertarung dengan orang tersebut.Pemimpin komplotan Kera Hitam itu tampak berusia paruh baya. Tubuhnya gempal dan perutnya sedikit buncit. Wajahnya terlihat sangar dengan brewok lebat yang hampir menutupi sepertiga bagian wajahnya.“Jadi kau pemimpinnya! Komplotan apa ini?” tanya Rangga dengan tenang sambil maju dua langkah lagi. Wiji, Banu dan Sanji sejujurnya tetap merasa cemas meski mereka sudah mendapatkan bukti bahwa Rangga memiliki ilmu aneh yang mungkin tak akan membuat dia celaka meski dicelakai.“Ya, akulah pemimpin
Komplotan itu tumbang semua. Ada banyak yang terbunuh dan banyak pula yang terluka baik ringan atau pun berat.Sementara, ketiga pengawal Rangga itu tak ada yang terluka. Semua dalam keadaan baik-baik saja meski dalam pertarungan itu pun mereka sempat terkena tendangan atau pukulan.“Akan kita apakan mereka semua, Kang?” tanya Wiji dengan nafas masih terengah-engah setelah menyelesaikan pertarungan itu.“Bagaimana menurut kalian? Kita tinggalkan saja? Bunuh semua? Atau kita perlu mencari jagabaya terdekat untuk mengurus orang-orang itu?” tanya Rangga tak malu meminta pendapat meski ia pemimpinnya.“Jagabaya terdekat jelas tak akan mungkin ada yang kemari, Kakang. Jika kita bunuh semua, tak akan ada yang mengurusi mayat-mayat itu. Dan aku rasa, mereka juga tak akan berulah lagi dalam waktu lama. Bisa dibilang, kelompok ini sudah hancur…” kata Sanji.“Apakah kita perlu mencari markas mereka di sini?” tanya Banu.“Tidak perlu. Makan banyak waktu. Kita sedang dalam sebuah urusan yang haru
Kusuma dan anak buahnya bergerak cepat menuju ke arah jalan yang tadi dilalui oleh Rangga.“Itu dia orangnya. Lekas giring dia ke tempat sepi!” Kusuma memberi perintah sambil menunjuk ke arah Rangga.Enam orang anak buah Kusuma itu mempercepat langkah untuk menyusul Rangga.Merasa ada yang aneh, Rangga menoleh ke belakang dan ia melihat ada enam orang yang bergerak cepat dan semuanya menatap tajam ke arahnya. Kemudian, Rangga melihat seseorang yang tak asing baginya; dia berada paling belakang.‘Hah! Kusuma!’ ucap Rangga dalam hati. Seketika ia tak berminat melanjutkan langkahnya. Dalam hati, ia senang juga bertemu dengan musuh bebuyutannya itu tanpa ada niat untuk mencarinya.Rangga berdiri dengan tenang menunggu orang-orang itu. Enam orang langsung mengepungnya dengan tatapan mengintimidasi. Lalu Kusuma sampai juga.“Hehehe, kebetulan sekali. Kau masih ingat padaku, kan!” kata Kusuma dengan nafas sedikit terengah-engah.“Tidak akan pernah lupa, Kusuma. Kebetulan sekali. Jadi, kau in
Kusuma tak sadarkan diri setelah terhantam pipinya dengan sangat keras. Melihat seluruh gigi dibagian kanan telah patah semua hingga serahang-rahangnya, Rangga tahu ia telah memberikan pukulan fatal kepada lelaki itu. Darah segar keluar dari mulut lelaki itu. Rangga juga memeriksa mulutnya dan memang benar ia telah mematahkan hampir semua gigi di bagian kanan lelaki itu. Rahang atas dan bawahnya pun juga remuk.Rangga ragu apakah ia harus menambahkan sebuah pukulan lagi untuk memastikan bahwa Kusuma mati atau tidak. Namun sesaat kemudian, sudah banyak orang yang keluar rumah mendengar suara keributan itu.Rangga sedang malas berurusan dengan orang-orang itu dan apalagi jika sampai ia membunuh orang. Kusuma dan anak buahnya masih hidup meski mereka cidera parah. Setidaknya, mereka tak akan mati malam itu juga.Itu sebabnya, Rangga memilih untuk segera meninggalkan tempat itu dan menyempatkan mematahkan satu kaki Kusuma dengan cepat sebelum ia berdiri.Rangga terus melangkah menjauh. Ia
Rangga tersenyum mendengar pertanyaan si nona berkulit putih yang tampak masih muda dan cantik itu.“Namaku Rangga. Aku wakil mentri pembangunan Tirtapura. Ini lencanaku jika Nona ingin memeriksanya!” Rangga memperlihatkan lencananya.Wang Li memeriksanya sebentar. Ia tak paham. Namun ia merasa lencana itu asli. Lagipula, itu tak terlalu penting. Yang penting baginya adalah menjual produk dan mendapatkan keuntungan.“Boleh tahu untuk apa tuan ingin membeli bubuk api?” tanya Wang Li.“Saya tahu di sini sering ada perayaan dengan ledakan-ledakan yang meriah. Jika benda itu dibuat dengan ukuran besar, aku berpikir ledakannya akan besar pula. Saat ini, sejujurnya, istana sedang dalam keadaan genting. Aku harap nona merahasiakan hal ini. Akan ada perang antara Tirtapura dengan Wonobhumi. Kami butuh jenis senjata baru yang membuat mereka bingung. Jadi kami butuh bubuk api berkualitas dan pasti bisa meledak!” kata Rangga.Wang Li mengerutkan keningnya dan mencoba berpikir sejenak. Ia tahu, b
Rangga sanga puas melihat-lihat proses pembuatan bubuk api itu. Ia bertanya banyak hal tentang cara-cara membuat bubuk api. Ia sudah menyimpan semua bahan yang dibutuhkan dan semua itu ternyata tidaklah sulit.Meski demikian, Rangga berpura-pura tidak peduli. Ia hanya berlagak sebagai petugas yang memeriksa mutu. Ia bertanya, bagaimana ciri bubuk api yang bermutu dan juga tidak. Mereka menunjukkannya; mana yang produk gagal dan mana yang berhasil.“Nona, kami akan membeli sedikit sebagai contoh dan akan kami bawa ke istana. Kami yakin, raja kami akan menyukainya dan berikutnya, Nona hanya perlu menunggu kabar dari kami!” kata Rangga.“Iya. Tuan tak perlu lagi mencari pengusaha lain. Kami akan memberikan harga terbaik dan juga kualitas terbaik untuk bubuk api yang kami buat!” kata Wang Li.“Aku percaya nona. Aku sudah melihat sendiri bagaimana kalian membuatnya. Sungguh mengagumkan. Para pekerjanya juga rajin!” Rangga memuji. Wang Li terlihat senang.Setelah itu, Rangga pamit. Ia membe
Kini Rangga dan Citra duduk berdua di saung samping rumah. Wajah sang istri tercinta itu masih terlihat lesu.“Aku juga ikut bersedih dengan kejadian ini, Nimas. Sayang sekali. Tapi nasib memang siapa yang tahu…” kata Rangga.“Padahal aku sudah sangat ingin menimang bayi. Jika kita belum bisa memilikinya, maka Ratih yang mendapatkannya di awal. Tapi sayang sekali…”“Bukan rejeki kita berempat, Nimas. Oh iya, aku bertemu dengan Kusuma di utara!” kata Rangga.“Oh ya? Lalu apa yang terjadi?” tanya Citra dengan ekspresi terkejut.“Dia mengikutiku. Kebetulan sekali bukan. Ya sudah, aku hajar saja dia sampai babak belur. Dia terlalu percaya diri dan menganggap aku seperti yang dulu. Aku tidak tahu dia masih bisa bertahan dan masih hidup atau tidak. Yang pasti, jika pun dia selamat, dia tak akan lagi mengingat kita!” kata Rangga.“Baguslah. Jadi, kini kita bisa tenang dari gangguan orang itu?” tanya Citra.“Ya. Kita bisa tenang sekarang. Setidaknya satu hal sudah berlalu. Awalnya, aku merasa
Serangan fajar itu berlangsung sengit. Pasukan Tirtapura benar-benar diuntungkan dengan keadaan musuh yang tidak siap dan masih kaget dengan ledakan.Pasukan pemanah segera beraksi menghujani benteng dan apapun di baliknya dengan panah. Lalu begitu panah-panah itu habis, pasukan darat segera berlari menyerbu melewati benteng yang rubuh itu dengan gagah berani sambil berteriak lantang saling membakar semangat satu sama lainnya.Senopati Teguh menahan Rangga agar tidak ikut masuk.“Di sini saja, Den… tugamu sudah selesai. Sisanya biar dibereskan pasukan darat dan pasukan kuda. Kita hanya perlu menunggu. Hari ini, tak sampai tengah hari, istana Wonobhumi akan takluk…” kata Senopati Teguh.Rangga tidak membantah. Ia menyaksikan kemelut itu dari kejauhan dan mendengarkan teriakan-teriakan mengerikan di balik benteng itu. Musuh tidak sepenuhnya siap dan kalah jumlah.Rupanya perang itu berlangsung cepat. Belum sampai matahari terasa terik, perang berakhir diiringi suara sorak sorai pasukan
Kereta Rangga berhenti di tempat yang direncanakan. Rangga bukannya lolos dari serangan itu. Ada dua anak panah yang telah tertancap di bahunya. Rasanya sungguh menyakitkan. Namun Rangga menghiraukan rasa sakit itu. Ketegangan membuatnya tak peduli dengan apapun.Pihak musuh tidak mengerti. Mereka banyak yang berpindah hingga di atas dan di sisi kanan dan kiri benteng itu sambil tetap berancang-ancang dengan panahnya. Rangga masih terpindung oleh bagian lengkung benteng sehingga siapa saja yang berada di atas belum bisa menyerangnya. Sementara ada banyak juga prajurit yang berada di balik gerbang benteng.Rangga segera bergegas ke belakang kereta. Ia menarik beberapa sumbu, lalu membakarnya tanpa ragu. Setelah itu, ia kembali memayungi tubuhnya dengan tameng dan ia berlari meninggalkan kereta itu kembali menuju ke pemukiman barat.Sungguh pun, Senopati Teguh sangat cemas. Ia sudah menyiapkan banyak prajurit pemanah saat itu. Saat Rangga berlari menyelamatkan diri, senopati Teguh memin
Beberapa hari kemudian, Pasukan Tirtapura sudah bergerak dan mereka berhasil menguasai wilayah barat kotaraja. Kini jarak kedua kubu itu bisa dibilang hanya beberapa langkah saja, terpisah oleh jalan dan juga benteng istana yang tinggi dan tebal.Dua kubu pasukan itu sudah sempat saling bersitegang dan bertukar serangan anak panah. Namun Senopati Wuring segera menghentikan hal itu karena bisa menjadi sebuah pemborosan.Dalam benak senopati Wuring ada banyak metode untuk menaklukkan Wonobhumi. Atau membuat mereka pada akhirnya membuka gerbang dan menyerang. Hal itu adalah sebuah kerugian besar bagi pihak Wonobhumi.Salah satu cara yang terpikirkan adalah dengan mengisolasi tempat itu. Tak akan ada pasokan makanan dan mereka tak akan bisa bertahan.Sementara, pasukan Tirtapura masih akan bisa bertahan karena mereka masih bisa mendapatkan pasokan makanan entah bagaimana caranya.Dan metode itu disampaikan oleh Senopati Wuring kepada semua jajaran senopati dan orang penting di kubu Tirtap
Hari-hari berlalu. Kini Rangga bersama rombongan besar pasukan Tirtapura sedang menuju ke kotaraja Wonobhumi.Pasukan Wonobhumi yang bertahan di kota Suluk akhirnya berhasil dikalahkan. Tidak banyak dari pasukan itu yang berhasil melarikan diri ke kotaraja. Selebihnya mati dan terluka parah, serta dijadikan tahanan sampai entah kapan.Yang pasti, kota-kota yang dilewati oleh pasukan Tirtapura selalu gemetar ketakutan sebab Wonobhumi sudah benar-benar kehilangan kekuatan, kecuali yang tersisa di kotaraja.Tentu setiap kota kadipaten akan memiliki pasukan sendiri-sendiri. Namun pada saat perang terjadi, kotaraja meminta sumbangan prajurit sehingga setiap kadipaten yang ada di wilayah Wonobhumi telah kehilangan setengah pasukannya.Dan kali ini, daripada hancur lebur, para adipati memilih untuk menyerah dan berdamai dengan Tirtapura yang artinya mereka dengan suka rela menyerahkan diri dan mengakui kedaulatan Tirtapura, serta mau menjadi bagian dari kerajaan tersebut.Hal itu tentu saja
Dalam kekacauan itu, sayangnya tim yang berada di titik kedua kurang sabar. Banu juga merasa bingung dengan hiruk pikuk yang terjadi. Sehingga, semula yang seharusnya mereka menyalakan petasan ketika prajurit darat kembali untuk mengevakuasi teman-teman mereka, malah terburu-buru menyalakan petasan itu manakala mereka menganggap situasinya sudah tepat.Sehingga, pasukan darat musuh bisa dibilang selamat dari jebakan itu. Yang kena hanyalah kesatuan yang bertugas untuk mengangkut dan mengawal perbekalan.Senopati Teguh tak berani mengambil banyak resiko. Ia hanya menyuruh pasukannya untuk menghabiskan anak panah yang mereka miliki dan juga menjatuhkan bebatuan berukuran sedang dari atas gunung. Selebihnya mereka pergi meninggalkan tempat itu.Apapun itu, hasil dari serangan petasan tersebut cukup memuaskan. Ada banyak korban jatuh dari pihak Wonobhumi meski jumlah prajurit mereka masih sangat banyak.Namun demikian, mereka kehilangan waktu, kehilangan banyak kuda, dan juga amunisi lain
Rangga dan beberapa anggota timnya berada di lokasi titik pertama namun tak persis di tempat-tempat petasan itu dipasang sedemikian rupa.Prajurit darat sudah lewat dari tadi. Dan juga kereta-kereta pengangkut perbekalan. Rangga sampai merinding sendiri melihat banyaknya iringan panjang prajurit Wonobhumi tersebut.Yang dilakukan Rangga dan teman-temannya hanyalah berdiri di pinggir jalan karena tugas para prajurit di tempat itu memang hanya menjaga jalur.Hanya di awal-awal saja, pemimpin rombongan pasukan darat berhenti dan menanyakan situasi. Rangga menjawab jika jalur telah bersih dan aman untuk dilewati. Selebihnya para prajurit itu melanjutkan perjalanannya.“Panjang sekali barisannya… dan pasukan berkuda masih sangat jauh. Aku khawatir jika petasan kita gagal…” bisik Sanji yang saat itu berada di sebelah Rangga.“Jangan khawatir. Ada puluhan petasan dan tak mungkin tak ada yang meledak. Kita hanya harus berhati-hati saja, sebab yang akan kita hadapi nanti adalah kuda-kuda yang
Ketika Rangga tiba di lokasi, rupanya Senopati Teguh dan pasukannya sudah membereskan pasukan Wonobhumi yang menguasai jalur itu. Sehingga, Rangga dan timnya bisa segera langsung bekerja.Petasan-petasan itu dipasang sedemikian rupa di tempat-tempat tertentu, tersembunyi, namun juga kelak bisa dinyalakan dengan mudah. Kuncinya ada pada pemasangan sumbu dan hal itu cukup menguras persediaan bubuk api yang dibawa oleh Jian Zhu.Pasukan Senopati Teguh merampas peralatan dan juga seragam pasukan musuh. Kini mereka semua menyamar menjadi pasukan Wonobhumi. Sehingga jika ada pasukan pemeriksa datang, mereka berpikir jika jalur itu masih aman dan dalam kekuasaan Wonobhumi.Hal itu adalah hal yang sangat fatal bagi pihak Wonobhumi. Mereka menganggap remeh jalur itu dan tidak teliti.Hanya butuh satu hari saja bagi tim Rangga untuk memasang petasan-petasan itu dan setelahnya, ia membuat rencana sangat matang bersama timnya, Senopati Teguh dan juga para prajurit tertentu yang terpilih untuk mem
Rangga memutuskan untuk mencari Banu sendirian. Wiji dan Sanji sebetulnya menawarkan diri. Namun Rangga menolaknya. Ia meminta dua orang itu untuk beristirahat saja.Namun saat Rangga telah berada di depan penginapan, ia melihat Banu kembali.“Kau baik-baik saja?” tanya Rangga khawatir.“Masuk dulu, kang! Aku tadi terpaksa harus bersembunyi dari kejaran orang yang memergokiku melemparkan sesuatu di gudang dan membuatnya meledak!” kata Banu.Maka mereka segera masuk ke dalam penginapan itu. Rangga sungguh merasa lega. Tak ada yang celaka. Ia hanya merasa sangat bersalah apabila orang yang ia bawa itu celaka meski semua paham resiko menjadi prajurit; mati dalam tugas.Serangan petasan atau bisa dibilang serangan bom berkekuatan kecil itu sungguh membuat pihak Wonobhumi geram. Mereka menetapkan kejadian itu sebagai serangan dari Tirtapura. Dan mereka belum memahami apa yang digunakan pihak Tirtapura hingga bisa meledakkan sesuatu dan ledakannya itu cukup berbahaya pula.Malam itu, ada ba
Tenda-tenda yang menjadi pemukiman sementara para prajurit Wonobhumi itu masih ramai. Orang-orang cenderung berkelompok mengelilingi api unggun. Di sana mereka bertukar cerita sambil membakar ubi.Tak ada daging. Mereka akan mendapatkan daging di waktu tertentu untuk perbaikan gizi. Camilan malam seperti ubi bakar itu biasanya mereka dapatkan dari ladang entah milik siapa siapa yang mereka jarah semena-mena.Sudah bukan rahasia jika ada banyak prajurit nakal yang dengan dalih patroli, mereka pergi keluar dari kota menuju ke desa-desa dan perkebunan untuk mencari makanan. Dan bahkan yang keterlaluan, mereka tak hanya mencuri hasil ladang seperti ubi, singkong dan jagung, namun mereka juga mencuri ayam dan kambing.Sesungguhnya banyak warga kecil yang menderita oleh ulah para prajurit itu. Di satu sisi, para prajurit itu memang lapar dan stress. Mereka akan menyikat habis kesempatan yang ada selama tidak ketahuan atasan. Masa-masa perang, di mana pun itu, selalu menjadi masa kelam dan j