Rani dan Bayu akhirnya mulai bisa mengobrol panjang. Sebenarnya, Bayu lah yang lebih mendominasi obrolan itu. Ia menceritakan hal-hal lucu dan konyol di masa lalunya. Tentu semua itu bukan pengalamannya, hanya pengalaman teman-temannya, atau cerita yang ia dengar dan seolah dialah yang menjadi tokoh utama dalam cerita itu.Rani mendengar sambil tertawa dan sesekali saja ia menyahut.“Kenapa Damar lama sekali. Ini sudah mulai siang…” kata Bayu. Saking asiknya mereka mengobrol, mereka sampai lupa jika sedari tadi Damar masih di dalam rumah.“Aduh… seharusnya aku pulang ini… aku tidak bisa seenaknya pergi lama…” kata Rani.“Kenapa memangnya?” tanya Bayu.“Aku kan pengawalnya Mbakyu Citra…”“Uhuk… apa?” kata Bayu tak mengerti.“Ya pengawal… aku yang menjaga Mbakyu Citra. Meski sekarang suaminya pulang, aku juga harus tetap selalu ada untuk mereka. Dulu sebelumnya aku yang menjadi pengawal Kang Rangga…” kata Rani.“Lho… jadi kau ini bisa kanuragan? Maksudnya pengawal itu menjaga mereka dar
Keluarga Sunu adalah keluarga prajurit di istana. Kematian Sunu masih meninggalkan duka mendalam meski sudah hampir dua bulan sang anak sulung itu mati.Praja, adik lelaki Sunu, masih belum memberi tahu keluarganya tentang satu kemungkinan yang menjadi penyebab kematian sang kakak.Waktu itu, ketika anak buah Sunu datang dan memberi tahu kabar soal Rangga yang telah tertangkap, kebetulan pula Praja sedang bersama kakaknya. Jadi dia tahu kemana Sunu pergi dan dia menduga jika besar kemungkinan penyebab kematian Sunu adalah Rangga. Apalagi, kini Rangga sudah kembali dan dalam keadaan baik-baik saja.Praja jelas tak terima. Namun mau mengangkat hal ini sebagai kasus pun ia juga tak mungkin bisa sebab kejadian itu jelas Sunu lah yang salah.Ia benar-benar dilanda galau hingga kemudian ia tak tahan lagi lalu ia menemui eyangnya yang merupakan seorang senopati sepuh di istana.“Ada apa kau menemuiku dengan raut wajah seperti itu, Praja?” tanya Eyang Bantar, sang senopati sepuh di istana itu
Apa yang membuat Rangga enggan bercerita adalah perihal kemampuan aneh yang ia miliki; yakni tak bisa mati. Ia merasa seperti memiliki ilmu hitam yang membuat tubuhnya akan kembali utuh setelah dilukai.Namun pada akhirnya, dalam situasi seperti itu, ia akan bercerita. Namun kali ini ia harus berhati-hati juga meski ia akan bercerita secara gamblang. Yang pasti, ia tak akan mengatakan jika jantungnya tertusuk parang.Lalu ia mulai bercerita dengan gamblang mulai dari awal ia dikejar lima anak buah Sunu, lalu ia bertemu Sunu ketika lelaki itu datang ke kedainya dan terakhir ketika ia kembali dikejar oleh anak buah sunu.“Awalnya saya tidak pernah mengira jika yang menyuruh orang-orang itu adalah Senopati Sunu. Dan begitu mereka kembali membawa sang majikan yang menginginkan kematian saya, barulah saya tahu bahwa ternyata dia adalah Senopati Sunu. Saya hanya membela diri. Jika tidak membunuh, maka sayalah yang akan mati!” kata Rangga mengakhiri ceritanya.Namun sepandai-pandainya Rangga
Kematian Eyang Kartareja membuat Rangga harus memikirkan pula semua pekerja yang bekerja untuk semua lini bisnis sang Eyang mulai dari siapa yang menjadi pelayan di rumah itu, para pengawal, dan juga para pekerja lain di perkebunan, penginapan, kedai-kedai dan lain-lain.Eyang Kartareja memiliki banyak tanah perkebunan dan juga tempat usaha di kotaraja. Bukan hal sulit bagi Rangga untuk mengelola itu semua. Ia sudah paham seluk beluk bisnis. Dan bahkan ia bisa mengembangkannya berkali-kali lipat lebih besar dari apa yang sudah dikelola oleh sang eyang.Hanya saja, Rangga tak tahu apakah ia bisa lolos dari masalah kematian Sunu. Itu sebabnya, dalam pertemuan bersama seluruh orang yang bekerja untuk Eyang Kartareja, Rangga mengajak pula Citra untuk turut terlibat. Citra masih tak mengerti dan ia menjadi pendengar yang baik ketika Rangga mengajaknya dalam pertemuan itu.Semua masih akan bekerja seperti sediakala dan tak ada yang berubah untuk sementara waktu. Yang berbeda hanyalah majika
Tak ada Eyang Kartareja, namun masih ada Eyang Dibya; sang mentri yang menjadi atasan Rangga.Mau tak mau Rangga menceritakan secara gamblang bahkan hingga momen saat Eyang Kartareja meninggal dunia.Eyang Dibya menghela nafas panjang. “Bantar memang orang yang bertanggung jawab, namun tidak bagi keluarganya. Semua ketururnannya itu orang-orang busuk di istana. Namun posisi mereka kuat sehingga sampai hari ini pun mereka tetap bekerja dengan posisi-posisi bagus di keprajuritan…”“Lantas apa yang harus saya lakukan, Eyang? Saya sungguh tidak tahu saat itu jika Sunu adalah seorang senopati…” kata Rangga.“Kau ceritakan saja secara gamblang di pengadilan. Tenanglah, aku akan mendampingimu. Mungkin kau tetap akan dihukum, namun setidaknya hukumanmu itu akan ringan mengingat kau berjasa besar dan kau tidak sepenuhnya bersalah dalam hal ini. Kau hanya membela diri dan tidak tahu siapa Sunu. Lagipula, kita bisa melimpahkan kesalahan ini kepad Praja, cucu dari Si Bantar itu. Bukankah dia satu
Seharusnya Rangga memenangkan persidangan itu. Namun ada satu dalih yang membuatnya tak bisa lepas dari hukuman.Rangga dinyatakan bersalah hanya karena ia tak melaporkan kejadian yang menimpanya kepada siapapun. Bahkan prajurit rendahan pun tetap harus melapor jika membunuh penjahat agar tak menutup yang namanya jalur penyelidikan.Rangga mendapatkan hukuman 2 tahun penjara dan setelah itu ia masih bisa menjadi pejabat istana. Selama dipenjara ia tetap bisa berkarya, yakni menyumbangkan ide dan gagasannya untuk pembangunan. Ia masih mendapatkan gaji dan ia belum diberhentikan. Ia hanya menjalani hukuman karena tidak melapor karena telah membunuh orang yang menyerangnya.Hal itu dilakukan agar kedepannya tak ada lagi yang seperti itu. Jika Rangga tak dihukum, maka kasus itu hanya akan menciderai hukum yang berlaku di istana.Namun demikian, Prana sebagai satu-satunya saksi pun juga tak lepas dari hukuman. Hal itu menjadi pil pahit bagi keluarga Sunu sebab apa yang mereka lakukan demi
Dua bulan berlalu dengan cepat. Selama dua bulan itu, Citra tak pernah absen menjenguk Rangga di penjara. Kadang sehari dua kali. Kadang tiga kali.Nawang juga sering ikut Citra menjenguk Rangga. Biasanya ia ikut di sore atau siang hari dengan alasan ingin mengunjungi Citra. Nah, di saat seperti itu (ketika Citra hendak menjenguk Rangga) tentu saja secara otomatis Citra sekalian mengajak Nawang. Tak ada kecurigaan sama sekali. Apalagi, Nawang memang hanya menjaga sikap dan biasa-biasa saja; memberi dukungan sebagai teman. Kadang Damar ikut serta. Kadang Nawang sendirian. Si tampan Bayu tak pernah muncul selama dua bulan itu. Ia sedang berada entah di mana dan hal itu membuat Nawang pusing sebab Bayu adalah salah satu pion penting yang nantinya akan menjalankan tugas penting.Selama dua bulan itu, Citra juga menyibukkan diri dengan usaha peninggalan Eyang Karta. Ia tentu saja tak hanya duduk diam menunggu laporan dan setoran di sore hari, namun ia juga perlu meninjau semua tempat usaha
“Kalian sudah lama di sini?” sapa Citra setelah ia turun dari kereta dan bergegas mendekati Nawang dan dua lelaki tampan yang ikut dengannya itu.Rani tampak sedikit tersipu melihat kehadiran Bayu. Jantungnya kembali berdesir-desir. Lelaki itu memang sangat tampan. Bening. Ia mengira tak akan pernah bertemu dengan lelaki itu lagi. Namun ternyata petang itu, setelah membahasnya di kereta bersama Citra, Rani bisa melihatnya lagi.Hatinya kian berdebar saat Bayu sengaja tersenyum manis ke arahnya.“Tidak terlalu lama, Citra. Kau baru saja menjenguk Kang Rangga?” tanya Nawang.“Benar. Wah, maaf jika membuat kalian menunggu…” kata Citra.“Tidak apa-apa. Ini lho, ada teman kami yang sedang kangen bertemu Rani. Dia baru saja kembali setelah mengirim barang ke tempat jauh,” kata Nawang sambil melirik Bayu. Sengaja. Bayu memang akan dijadikan umpan untuk menaklukkan Rani yang selalu menjaga Citra siang dan malam.“Wah-wah… umur panjang, Bayu. Tadi kami berdua membicarakanmu,” kata Citra.“Mbak
Serangan fajar itu berlangsung sengit. Pasukan Tirtapura benar-benar diuntungkan dengan keadaan musuh yang tidak siap dan masih kaget dengan ledakan.Pasukan pemanah segera beraksi menghujani benteng dan apapun di baliknya dengan panah. Lalu begitu panah-panah itu habis, pasukan darat segera berlari menyerbu melewati benteng yang rubuh itu dengan gagah berani sambil berteriak lantang saling membakar semangat satu sama lainnya.Senopati Teguh menahan Rangga agar tidak ikut masuk.“Di sini saja, Den… tugamu sudah selesai. Sisanya biar dibereskan pasukan darat dan pasukan kuda. Kita hanya perlu menunggu. Hari ini, tak sampai tengah hari, istana Wonobhumi akan takluk…” kata Senopati Teguh.Rangga tidak membantah. Ia menyaksikan kemelut itu dari kejauhan dan mendengarkan teriakan-teriakan mengerikan di balik benteng itu. Musuh tidak sepenuhnya siap dan kalah jumlah.Rupanya perang itu berlangsung cepat. Belum sampai matahari terasa terik, perang berakhir diiringi suara sorak sorai pasukan
Kereta Rangga berhenti di tempat yang direncanakan. Rangga bukannya lolos dari serangan itu. Ada dua anak panah yang telah tertancap di bahunya. Rasanya sungguh menyakitkan. Namun Rangga menghiraukan rasa sakit itu. Ketegangan membuatnya tak peduli dengan apapun.Pihak musuh tidak mengerti. Mereka banyak yang berpindah hingga di atas dan di sisi kanan dan kiri benteng itu sambil tetap berancang-ancang dengan panahnya. Rangga masih terpindung oleh bagian lengkung benteng sehingga siapa saja yang berada di atas belum bisa menyerangnya. Sementara ada banyak juga prajurit yang berada di balik gerbang benteng.Rangga segera bergegas ke belakang kereta. Ia menarik beberapa sumbu, lalu membakarnya tanpa ragu. Setelah itu, ia kembali memayungi tubuhnya dengan tameng dan ia berlari meninggalkan kereta itu kembali menuju ke pemukiman barat.Sungguh pun, Senopati Teguh sangat cemas. Ia sudah menyiapkan banyak prajurit pemanah saat itu. Saat Rangga berlari menyelamatkan diri, senopati Teguh memin
Beberapa hari kemudian, Pasukan Tirtapura sudah bergerak dan mereka berhasil menguasai wilayah barat kotaraja. Kini jarak kedua kubu itu bisa dibilang hanya beberapa langkah saja, terpisah oleh jalan dan juga benteng istana yang tinggi dan tebal.Dua kubu pasukan itu sudah sempat saling bersitegang dan bertukar serangan anak panah. Namun Senopati Wuring segera menghentikan hal itu karena bisa menjadi sebuah pemborosan.Dalam benak senopati Wuring ada banyak metode untuk menaklukkan Wonobhumi. Atau membuat mereka pada akhirnya membuka gerbang dan menyerang. Hal itu adalah sebuah kerugian besar bagi pihak Wonobhumi.Salah satu cara yang terpikirkan adalah dengan mengisolasi tempat itu. Tak akan ada pasokan makanan dan mereka tak akan bisa bertahan.Sementara, pasukan Tirtapura masih akan bisa bertahan karena mereka masih bisa mendapatkan pasokan makanan entah bagaimana caranya.Dan metode itu disampaikan oleh Senopati Wuring kepada semua jajaran senopati dan orang penting di kubu Tirtap
Hari-hari berlalu. Kini Rangga bersama rombongan besar pasukan Tirtapura sedang menuju ke kotaraja Wonobhumi.Pasukan Wonobhumi yang bertahan di kota Suluk akhirnya berhasil dikalahkan. Tidak banyak dari pasukan itu yang berhasil melarikan diri ke kotaraja. Selebihnya mati dan terluka parah, serta dijadikan tahanan sampai entah kapan.Yang pasti, kota-kota yang dilewati oleh pasukan Tirtapura selalu gemetar ketakutan sebab Wonobhumi sudah benar-benar kehilangan kekuatan, kecuali yang tersisa di kotaraja.Tentu setiap kota kadipaten akan memiliki pasukan sendiri-sendiri. Namun pada saat perang terjadi, kotaraja meminta sumbangan prajurit sehingga setiap kadipaten yang ada di wilayah Wonobhumi telah kehilangan setengah pasukannya.Dan kali ini, daripada hancur lebur, para adipati memilih untuk menyerah dan berdamai dengan Tirtapura yang artinya mereka dengan suka rela menyerahkan diri dan mengakui kedaulatan Tirtapura, serta mau menjadi bagian dari kerajaan tersebut.Hal itu tentu saja
Dalam kekacauan itu, sayangnya tim yang berada di titik kedua kurang sabar. Banu juga merasa bingung dengan hiruk pikuk yang terjadi. Sehingga, semula yang seharusnya mereka menyalakan petasan ketika prajurit darat kembali untuk mengevakuasi teman-teman mereka, malah terburu-buru menyalakan petasan itu manakala mereka menganggap situasinya sudah tepat.Sehingga, pasukan darat musuh bisa dibilang selamat dari jebakan itu. Yang kena hanyalah kesatuan yang bertugas untuk mengangkut dan mengawal perbekalan.Senopati Teguh tak berani mengambil banyak resiko. Ia hanya menyuruh pasukannya untuk menghabiskan anak panah yang mereka miliki dan juga menjatuhkan bebatuan berukuran sedang dari atas gunung. Selebihnya mereka pergi meninggalkan tempat itu.Apapun itu, hasil dari serangan petasan tersebut cukup memuaskan. Ada banyak korban jatuh dari pihak Wonobhumi meski jumlah prajurit mereka masih sangat banyak.Namun demikian, mereka kehilangan waktu, kehilangan banyak kuda, dan juga amunisi lain
Rangga dan beberapa anggota timnya berada di lokasi titik pertama namun tak persis di tempat-tempat petasan itu dipasang sedemikian rupa.Prajurit darat sudah lewat dari tadi. Dan juga kereta-kereta pengangkut perbekalan. Rangga sampai merinding sendiri melihat banyaknya iringan panjang prajurit Wonobhumi tersebut.Yang dilakukan Rangga dan teman-temannya hanyalah berdiri di pinggir jalan karena tugas para prajurit di tempat itu memang hanya menjaga jalur.Hanya di awal-awal saja, pemimpin rombongan pasukan darat berhenti dan menanyakan situasi. Rangga menjawab jika jalur telah bersih dan aman untuk dilewati. Selebihnya para prajurit itu melanjutkan perjalanannya.“Panjang sekali barisannya… dan pasukan berkuda masih sangat jauh. Aku khawatir jika petasan kita gagal…” bisik Sanji yang saat itu berada di sebelah Rangga.“Jangan khawatir. Ada puluhan petasan dan tak mungkin tak ada yang meledak. Kita hanya harus berhati-hati saja, sebab yang akan kita hadapi nanti adalah kuda-kuda yang
Ketika Rangga tiba di lokasi, rupanya Senopati Teguh dan pasukannya sudah membereskan pasukan Wonobhumi yang menguasai jalur itu. Sehingga, Rangga dan timnya bisa segera langsung bekerja.Petasan-petasan itu dipasang sedemikian rupa di tempat-tempat tertentu, tersembunyi, namun juga kelak bisa dinyalakan dengan mudah. Kuncinya ada pada pemasangan sumbu dan hal itu cukup menguras persediaan bubuk api yang dibawa oleh Jian Zhu.Pasukan Senopati Teguh merampas peralatan dan juga seragam pasukan musuh. Kini mereka semua menyamar menjadi pasukan Wonobhumi. Sehingga jika ada pasukan pemeriksa datang, mereka berpikir jika jalur itu masih aman dan dalam kekuasaan Wonobhumi.Hal itu adalah hal yang sangat fatal bagi pihak Wonobhumi. Mereka menganggap remeh jalur itu dan tidak teliti.Hanya butuh satu hari saja bagi tim Rangga untuk memasang petasan-petasan itu dan setelahnya, ia membuat rencana sangat matang bersama timnya, Senopati Teguh dan juga para prajurit tertentu yang terpilih untuk mem
Rangga memutuskan untuk mencari Banu sendirian. Wiji dan Sanji sebetulnya menawarkan diri. Namun Rangga menolaknya. Ia meminta dua orang itu untuk beristirahat saja.Namun saat Rangga telah berada di depan penginapan, ia melihat Banu kembali.“Kau baik-baik saja?” tanya Rangga khawatir.“Masuk dulu, kang! Aku tadi terpaksa harus bersembunyi dari kejaran orang yang memergokiku melemparkan sesuatu di gudang dan membuatnya meledak!” kata Banu.Maka mereka segera masuk ke dalam penginapan itu. Rangga sungguh merasa lega. Tak ada yang celaka. Ia hanya merasa sangat bersalah apabila orang yang ia bawa itu celaka meski semua paham resiko menjadi prajurit; mati dalam tugas.Serangan petasan atau bisa dibilang serangan bom berkekuatan kecil itu sungguh membuat pihak Wonobhumi geram. Mereka menetapkan kejadian itu sebagai serangan dari Tirtapura. Dan mereka belum memahami apa yang digunakan pihak Tirtapura hingga bisa meledakkan sesuatu dan ledakannya itu cukup berbahaya pula.Malam itu, ada ba
Tenda-tenda yang menjadi pemukiman sementara para prajurit Wonobhumi itu masih ramai. Orang-orang cenderung berkelompok mengelilingi api unggun. Di sana mereka bertukar cerita sambil membakar ubi.Tak ada daging. Mereka akan mendapatkan daging di waktu tertentu untuk perbaikan gizi. Camilan malam seperti ubi bakar itu biasanya mereka dapatkan dari ladang entah milik siapa siapa yang mereka jarah semena-mena.Sudah bukan rahasia jika ada banyak prajurit nakal yang dengan dalih patroli, mereka pergi keluar dari kota menuju ke desa-desa dan perkebunan untuk mencari makanan. Dan bahkan yang keterlaluan, mereka tak hanya mencuri hasil ladang seperti ubi, singkong dan jagung, namun mereka juga mencuri ayam dan kambing.Sesungguhnya banyak warga kecil yang menderita oleh ulah para prajurit itu. Di satu sisi, para prajurit itu memang lapar dan stress. Mereka akan menyikat habis kesempatan yang ada selama tidak ketahuan atasan. Masa-masa perang, di mana pun itu, selalu menjadi masa kelam dan j