Semua sudah tahu jika Rangga dan Citra kembali mendapat musibah hingga kemudian Citra harus mengungsi demi keamanan.Orang mungkin berpikir betapa enak hidup Rangga; dia masih muda, kaya, selalu beruntung dalam berbisnis, dan memiliki istri cantik juga setia. Namun Rangga sendiri tak merasa jika hidupnya seindah apa yang dibayangkan orang lain.Dua hari sudah terlewati tanpa Citra di rumah. Rasanya sungguh hampa. Rangga sendiri berpikir ia tak akan berumur panjang. Kurang dari satu bulan sang malaikan maut akan mengambil nyawanya sebab ia gagal membuat istrinya hamil.“Semangat, Ngga! Jangan nglokro terus. Wis ta, kakang iparmu pasti berhasil menangkap bajingan itu! Duh kami itu menyesal membiarkan Kusuma pergi begitu saja dengan Nawang. Kini dia kembali lagi dan menjadi masalah besar bagimu…” kata Boneng yang saat itu menghampiri Rangga yang duduk melamun di kandang kuda.“Waktu itu pun kita juga tak punya dasar apa-apa untuk menangkap Kusuma. Mereka hanya kepergok tidur. Mau dituntu
Rangga merasa tidak tenang manakala tak ada kabar apapun soal Kusuma. Ia berpikir, tentu Teja juga tak akan punya waktu untuk mengabarinya. Sehingga, Rangga berpikir untuk datang saja ke kotaraja. Siapa tahu ia bisa bertemu Teja atau justru malah bisa bertemu Kusuma.Maka Rangga juga mempersiapkan sesuatu. Ia tak mau pergi ke kotaraja hanya untuk mencari Teja atau Kusuma. Sekalian saja ia membawa sesuatu untuk dijual. Kebetulan, bubuk cabe yang ia produksi sudah selesai. Satu pedati cabe basah itu kini hanya menjadi tiga gentong bubuk cabe.Di kotaraja ada banyak peluang Rangga bisa bertemu dengan banyak saudagar besar dari utara. Jadi kemungkinan bubuk itu terjual juga tinggi.Rangga sudah membeli kuda baru yang lebih bagus dari kuda yang dicuri Kusuma. Ia juga sudah membeli satu kereta.Hari itu, bersama Boneng saja Rangga berangkat ke kotaraja.“Seharusnya orang sepertimu sudah menyewa pendekar untuk mengawalmu, Ngga!” kata Boneng yang saat itu menjadi kusir. Rangga juga ikut duduk
Tak ada pilihan lain, Rangga menggunakan mulutnya untuk mendorong obat tersebut agar bisa tertelan oleh wanita itu.Dan sebenarnya, bukan tidak sadarkan diri. Ia tahu apa yang sedang terjadi, namun ia tak bisa berbuat apa-apa kecuali menggigil. Ia hanya bisa pasrah dan bersusah payah menelan obat tersebut, entah obat itu memang penangkal racun atau tidak.“Obat sudah masuk sepertinya…” kata Rangga.“Kalau begitu, kita obati saja luka luarnya. Untung kita membawa bekal obat-obatan…” kata Boneng. Sudah lazim mereka membawa bekal obat-obatan luar seperti itu dalam perjalanan, sebab jika bukan mereka yang terluka entah karena apa, bisa saja kuda mereka yang terluka meski hal itu jarang terjadi.Mereka menghabiskan banyak waktu untuk mengurusi wanita itu; memeriksa di mana saja bagian tubuh yang terluka dan di sanalah Rangga dan Boneng mengobatinya dengan obat balur.Wanita itu memejamkan mata seperti pingsan. Namun sebenarnya tidak. Ia hanya mencoba mengatasi racun yang sudah masuk ke dal
Maharani merenungkan ucapan Boneng. Ia telah diselamatkan dan ia tahu diri untuk membalas budi. Ia berpikir tak masalah jika ia harus mengawal Rangga selama satu tahun penuh dan ia tak akan meminta bayaran apapun. Ia juga ingin membantu kesulitan lelaki itu.Tak lama kemudian, Rangga kembali dan membawa cukup banyak barang yang berupa pakaian untuk Maharani serta bekal untuk melanjutkan perjalanan.“Ini untukmu, Rani… semoga ukurannya pas. Tapi aku rasa pas… e… di kotaraja kau bisa memilih sendiri barang yang kau butuhkan. Sementara ini dulu tidak apa-apa kan…” kata Rangga. Tadinya ia ingin mengajak Maharani untuk memilih sendiri. Namun keadaan wanita itu masih belum memungkinkan untuk berjalan-jalan di pasar.“Ini sudah sangat bagus, Kang Rangga. Terimakasih banyak. Aku tidak akan melupakan semua kebaikanmu telah menolongku dan bahkan memberikan aku semua ini…” kata Maharani.“Tak usah sungkan. Aku sedang mencari karma baik untuk keberuntunganku di masa depan!” kata Rangga sambil ter
Sesampianya di pasar, Rangga memanggil Boneng dan Maharani lalu memberi mereka uang, “Kalian bisa belanja apapun yang kalian butuhkan. Aku akan di sini melihat jalan. Siapa tahu kakak iparku sedang berkeliling bersama bawahannya…”“Aku tidak butuh apa-apa…” kata Maharani.“Bagaimana dengan pakaian?” tanya Rangga.“Aku sudah kau belikan dan itu pakaian bagus. Aku menyukainya. Kebetulan ukurannya juga pas…” kata Maharani.“Kau boleh belanja, Neng… belikan emakmu sesuatu dari kotaraja…” kata Rangga.“Hehehe. Iya. Aku memang ingin beli oleh-oleh… kalau begitu, aku belanja dulu ya Juragan Muda yang baik hati!” kata Boneng sambil menerima lima keping emas dari Rangga.“Ya sana…” kata Rangga.“Aku di sini saja mengawalmu!” kata Maharani. “Lagipula aku tidak terlalu suka keramaian di pasar…” lanjutnya.“Baiklah…” kata Rangga.Boneng masuk ke dalam pasar. Rangga dan Maharani duduk-duduk saja di dekat kereta sambil mengamati situasi pasar yang ramai itu.Maharani, jika dilihat dari tampilannya
Rangga sungguh merasa was-was. Dan sungguh benar kata orang-orang itu, tak ada yang peduli dengan apa yang terjadi. Orang-orang pasar itu tampak cuek dan malahan pura-pura tak melihat jika Maharani jelas-jelas sedang dikeroyok oleh empat orang lelaki.Rangga merasa harga dirinya tercabik-cabik; ia seorang lelaki. Namun ia hanya diam saja membawa parangnya sambil menatap Maharani yang sedang akan menghadapi empat orang lelaki bersenjata pisau itu.‘Kenapa pula Rani tak mau menggunakan parangku? Astaga… ini membuatku sangat khawatir… dan Boneng belum juga kembali. Mungkinkah Rani bisa menang dengan mudah melawan mereka berempat? Tapi di hutan itu dia berhasil membunuh banyak pendekar yang menjadi musuhnya. Masalahnya saat ini dia sedang sakit…’ ucap Rangga dalam hati.Rangga tidak tahu bahwa bagi Maharani, empat berandal pasar itu hanyalah butiran kerikil yang mengganggu. Mereka bahkan tidak memahami dasar beladiri.Maka dalam kepungan empat lelaki bersenjata pisau itu, Maharani masih b
Nawang dan Teja serta yang lain langsung menoleh ke arah Rangga.Saat itu juga, Nawang langsung menundukkan wajahnya tak kuat mendapatkan tatapan tajam dari Rangga. Ia pun sungguh merasa cemas saat itu; jika sampai Rangga mengatakan bahwa dialah salah satu otak yang ingin mencelakai Citra, habislah sudah.Rangga berjalan dengan penuh emosi, “Kenapa dia di sini!” ucapnya dengan nada kasar sambil menuding ke arah Nawang. Hal itu tentu membuat Teja dan yang lainnya merasa heran; sebenarnya ada hubungan apa antara Rangga dengan Nawang.“Sabar, Rangga! Kenapa kau marah-marah saat melihat dia? Nawang inilah yang ingin menyelamatkanmu dan Citra!” kata Teja.Dengan memasang wajah memelas, Nawang bersimpuh di lantai menghadap Rangga seolah hendak bersujud, “Kangmas… tidak selamanya aku berbuat buruk… aku ingin menebus kesalahanku. Itu saja. Aku juga tak berharap kau mengakuinya…” kata Nawang.“Rangga, duduklah!” kata Teja. “Kau juga, Nawang!” lanjutnya.Terpaksa Rangga duduk. Demikian halnya d
Rangga menimbang sejenak dan ia memutuskan untuk tidak pergi ke tempat keberadaan Kusuma. Ia mempertimbangkan kesehatan Maharani. Lebih baik wanita itu pulih lebih dahulu. Lagipula, Teja memang akan ke sana.Awalnya Maharani keberatan dengan keputusan Rangga. Namun kemudian ia sepakat juga. Toh yang ia lakukan hanyalah untuk membalas budi; apa yang Rangga putuskan, maka ia akan mengikutinya.“Ngga… ini aku cuma tanya lho, kira-kira berapa hari kita di sini? Ingat di rumah kita masih ada banyak tanggungan. Kuda-kudamu, dan lain-lain…” kata Boneng mengingatkan.“Dua hari. Apapun hasilnya, kita akan kembali!” kata Rangga.“Baiklah. Maksudku bukan untuk membuatmu merasa terburu-buru lho Ngga. Kalau aku sih santai saja. Toh kau sudah tahu sendiri aku tidak punya tanggungan apa-apa…” kata Boneng.“Aku paham, Neng. Mudah-mudahan saja ada hasilnya. Kademangan Bangunraga tidaklah jauh. Kang Teja pasti bisa bekerja cepat!” kata Rangga. “Dan mumpung di sini, kau boleh bebas jalan-jalan, Neng. Ka
Serangan fajar itu berlangsung sengit. Pasukan Tirtapura benar-benar diuntungkan dengan keadaan musuh yang tidak siap dan masih kaget dengan ledakan.Pasukan pemanah segera beraksi menghujani benteng dan apapun di baliknya dengan panah. Lalu begitu panah-panah itu habis, pasukan darat segera berlari menyerbu melewati benteng yang rubuh itu dengan gagah berani sambil berteriak lantang saling membakar semangat satu sama lainnya.Senopati Teguh menahan Rangga agar tidak ikut masuk.“Di sini saja, Den… tugamu sudah selesai. Sisanya biar dibereskan pasukan darat dan pasukan kuda. Kita hanya perlu menunggu. Hari ini, tak sampai tengah hari, istana Wonobhumi akan takluk…” kata Senopati Teguh.Rangga tidak membantah. Ia menyaksikan kemelut itu dari kejauhan dan mendengarkan teriakan-teriakan mengerikan di balik benteng itu. Musuh tidak sepenuhnya siap dan kalah jumlah.Rupanya perang itu berlangsung cepat. Belum sampai matahari terasa terik, perang berakhir diiringi suara sorak sorai pasukan
Kereta Rangga berhenti di tempat yang direncanakan. Rangga bukannya lolos dari serangan itu. Ada dua anak panah yang telah tertancap di bahunya. Rasanya sungguh menyakitkan. Namun Rangga menghiraukan rasa sakit itu. Ketegangan membuatnya tak peduli dengan apapun.Pihak musuh tidak mengerti. Mereka banyak yang berpindah hingga di atas dan di sisi kanan dan kiri benteng itu sambil tetap berancang-ancang dengan panahnya. Rangga masih terpindung oleh bagian lengkung benteng sehingga siapa saja yang berada di atas belum bisa menyerangnya. Sementara ada banyak juga prajurit yang berada di balik gerbang benteng.Rangga segera bergegas ke belakang kereta. Ia menarik beberapa sumbu, lalu membakarnya tanpa ragu. Setelah itu, ia kembali memayungi tubuhnya dengan tameng dan ia berlari meninggalkan kereta itu kembali menuju ke pemukiman barat.Sungguh pun, Senopati Teguh sangat cemas. Ia sudah menyiapkan banyak prajurit pemanah saat itu. Saat Rangga berlari menyelamatkan diri, senopati Teguh memin
Beberapa hari kemudian, Pasukan Tirtapura sudah bergerak dan mereka berhasil menguasai wilayah barat kotaraja. Kini jarak kedua kubu itu bisa dibilang hanya beberapa langkah saja, terpisah oleh jalan dan juga benteng istana yang tinggi dan tebal.Dua kubu pasukan itu sudah sempat saling bersitegang dan bertukar serangan anak panah. Namun Senopati Wuring segera menghentikan hal itu karena bisa menjadi sebuah pemborosan.Dalam benak senopati Wuring ada banyak metode untuk menaklukkan Wonobhumi. Atau membuat mereka pada akhirnya membuka gerbang dan menyerang. Hal itu adalah sebuah kerugian besar bagi pihak Wonobhumi.Salah satu cara yang terpikirkan adalah dengan mengisolasi tempat itu. Tak akan ada pasokan makanan dan mereka tak akan bisa bertahan.Sementara, pasukan Tirtapura masih akan bisa bertahan karena mereka masih bisa mendapatkan pasokan makanan entah bagaimana caranya.Dan metode itu disampaikan oleh Senopati Wuring kepada semua jajaran senopati dan orang penting di kubu Tirtap
Hari-hari berlalu. Kini Rangga bersama rombongan besar pasukan Tirtapura sedang menuju ke kotaraja Wonobhumi.Pasukan Wonobhumi yang bertahan di kota Suluk akhirnya berhasil dikalahkan. Tidak banyak dari pasukan itu yang berhasil melarikan diri ke kotaraja. Selebihnya mati dan terluka parah, serta dijadikan tahanan sampai entah kapan.Yang pasti, kota-kota yang dilewati oleh pasukan Tirtapura selalu gemetar ketakutan sebab Wonobhumi sudah benar-benar kehilangan kekuatan, kecuali yang tersisa di kotaraja.Tentu setiap kota kadipaten akan memiliki pasukan sendiri-sendiri. Namun pada saat perang terjadi, kotaraja meminta sumbangan prajurit sehingga setiap kadipaten yang ada di wilayah Wonobhumi telah kehilangan setengah pasukannya.Dan kali ini, daripada hancur lebur, para adipati memilih untuk menyerah dan berdamai dengan Tirtapura yang artinya mereka dengan suka rela menyerahkan diri dan mengakui kedaulatan Tirtapura, serta mau menjadi bagian dari kerajaan tersebut.Hal itu tentu saja
Dalam kekacauan itu, sayangnya tim yang berada di titik kedua kurang sabar. Banu juga merasa bingung dengan hiruk pikuk yang terjadi. Sehingga, semula yang seharusnya mereka menyalakan petasan ketika prajurit darat kembali untuk mengevakuasi teman-teman mereka, malah terburu-buru menyalakan petasan itu manakala mereka menganggap situasinya sudah tepat.Sehingga, pasukan darat musuh bisa dibilang selamat dari jebakan itu. Yang kena hanyalah kesatuan yang bertugas untuk mengangkut dan mengawal perbekalan.Senopati Teguh tak berani mengambil banyak resiko. Ia hanya menyuruh pasukannya untuk menghabiskan anak panah yang mereka miliki dan juga menjatuhkan bebatuan berukuran sedang dari atas gunung. Selebihnya mereka pergi meninggalkan tempat itu.Apapun itu, hasil dari serangan petasan tersebut cukup memuaskan. Ada banyak korban jatuh dari pihak Wonobhumi meski jumlah prajurit mereka masih sangat banyak.Namun demikian, mereka kehilangan waktu, kehilangan banyak kuda, dan juga amunisi lain
Rangga dan beberapa anggota timnya berada di lokasi titik pertama namun tak persis di tempat-tempat petasan itu dipasang sedemikian rupa.Prajurit darat sudah lewat dari tadi. Dan juga kereta-kereta pengangkut perbekalan. Rangga sampai merinding sendiri melihat banyaknya iringan panjang prajurit Wonobhumi tersebut.Yang dilakukan Rangga dan teman-temannya hanyalah berdiri di pinggir jalan karena tugas para prajurit di tempat itu memang hanya menjaga jalur.Hanya di awal-awal saja, pemimpin rombongan pasukan darat berhenti dan menanyakan situasi. Rangga menjawab jika jalur telah bersih dan aman untuk dilewati. Selebihnya para prajurit itu melanjutkan perjalanannya.“Panjang sekali barisannya… dan pasukan berkuda masih sangat jauh. Aku khawatir jika petasan kita gagal…” bisik Sanji yang saat itu berada di sebelah Rangga.“Jangan khawatir. Ada puluhan petasan dan tak mungkin tak ada yang meledak. Kita hanya harus berhati-hati saja, sebab yang akan kita hadapi nanti adalah kuda-kuda yang
Ketika Rangga tiba di lokasi, rupanya Senopati Teguh dan pasukannya sudah membereskan pasukan Wonobhumi yang menguasai jalur itu. Sehingga, Rangga dan timnya bisa segera langsung bekerja.Petasan-petasan itu dipasang sedemikian rupa di tempat-tempat tertentu, tersembunyi, namun juga kelak bisa dinyalakan dengan mudah. Kuncinya ada pada pemasangan sumbu dan hal itu cukup menguras persediaan bubuk api yang dibawa oleh Jian Zhu.Pasukan Senopati Teguh merampas peralatan dan juga seragam pasukan musuh. Kini mereka semua menyamar menjadi pasukan Wonobhumi. Sehingga jika ada pasukan pemeriksa datang, mereka berpikir jika jalur itu masih aman dan dalam kekuasaan Wonobhumi.Hal itu adalah hal yang sangat fatal bagi pihak Wonobhumi. Mereka menganggap remeh jalur itu dan tidak teliti.Hanya butuh satu hari saja bagi tim Rangga untuk memasang petasan-petasan itu dan setelahnya, ia membuat rencana sangat matang bersama timnya, Senopati Teguh dan juga para prajurit tertentu yang terpilih untuk mem
Rangga memutuskan untuk mencari Banu sendirian. Wiji dan Sanji sebetulnya menawarkan diri. Namun Rangga menolaknya. Ia meminta dua orang itu untuk beristirahat saja.Namun saat Rangga telah berada di depan penginapan, ia melihat Banu kembali.“Kau baik-baik saja?” tanya Rangga khawatir.“Masuk dulu, kang! Aku tadi terpaksa harus bersembunyi dari kejaran orang yang memergokiku melemparkan sesuatu di gudang dan membuatnya meledak!” kata Banu.Maka mereka segera masuk ke dalam penginapan itu. Rangga sungguh merasa lega. Tak ada yang celaka. Ia hanya merasa sangat bersalah apabila orang yang ia bawa itu celaka meski semua paham resiko menjadi prajurit; mati dalam tugas.Serangan petasan atau bisa dibilang serangan bom berkekuatan kecil itu sungguh membuat pihak Wonobhumi geram. Mereka menetapkan kejadian itu sebagai serangan dari Tirtapura. Dan mereka belum memahami apa yang digunakan pihak Tirtapura hingga bisa meledakkan sesuatu dan ledakannya itu cukup berbahaya pula.Malam itu, ada ba
Tenda-tenda yang menjadi pemukiman sementara para prajurit Wonobhumi itu masih ramai. Orang-orang cenderung berkelompok mengelilingi api unggun. Di sana mereka bertukar cerita sambil membakar ubi.Tak ada daging. Mereka akan mendapatkan daging di waktu tertentu untuk perbaikan gizi. Camilan malam seperti ubi bakar itu biasanya mereka dapatkan dari ladang entah milik siapa siapa yang mereka jarah semena-mena.Sudah bukan rahasia jika ada banyak prajurit nakal yang dengan dalih patroli, mereka pergi keluar dari kota menuju ke desa-desa dan perkebunan untuk mencari makanan. Dan bahkan yang keterlaluan, mereka tak hanya mencuri hasil ladang seperti ubi, singkong dan jagung, namun mereka juga mencuri ayam dan kambing.Sesungguhnya banyak warga kecil yang menderita oleh ulah para prajurit itu. Di satu sisi, para prajurit itu memang lapar dan stress. Mereka akan menyikat habis kesempatan yang ada selama tidak ketahuan atasan. Masa-masa perang, di mana pun itu, selalu menjadi masa kelam dan j