Pramono mulai siuman dan Indira menyambut dengan sukacita. Tidak henti-hentinya ia mengucap syukur dan mengecup pipi kakeknya, dengan hati meluap oleh kelegaan.
Penantian setelah sekian jam berbuah baik. Walaupun masih harus tidur miring dan terlihat lemah. Namun Pramono sudah menyunggingkan senyum, yang mampu menyingkirkan kekhawatiran Indira.
"Terima kasih sudah bersabar pada kakung, Nduk," ucap Pramono pelan.
Indira mengangguk dengan senyum manis.
"Makasih juga buat Kakung yang udah mau bertahan demi Indira," sambut gadis itu tidak kalah sumringah.
Pramono mengerjapkan mata dengan lemah.
"Haus ...," keluh Pramono dengan lirih.
Indira mengangsurkan gelas dengan sedotan padanya. Pramono meminum cairan putih itu dengan susah payah. Napasnya kembali tersenggal.
"Jangan banyak-banyak dulu minumnya, ya?" pesan perawat yang muncul untuk memeriksa kondisi pasien.
Indira mengangguk
Siwi mencoba menahan tawa saat dokter Toni, teman Alden, memeriksa dengan seksama. Widari dan Sandi terbaring di kamar tamu yang memiliki dua tempat tidur dengan wajah memerah. Hati mereka penuh umpatan dan mendongkol."Saya harus memasang infus untuk membantu meredakan syaraf mereka yang menegang. Untuk serangan jantung mereka, saya akan memberi surat pengantar ke rumah sakit. Supaya ada tindakan lanjutan," ucap Toni dengan wajah masih serius dan melepas stetoskop dari kupingnya."Jika ada saran pemasangan ring, saya sarankan ke Penang. Mereka bisa membantu cara alternatif yang lebih efektif," lanjut Toni."Jangan ke rumah sakit. Dokter keluarga kami tahu cara menangani, kok!" cegah Sandi dengan wajah panik."Ibu Siwi sudah menggantikan dengan saya, Pak. Dokter Dedi sepertinya bercanda dengan kasus jantung kalian. Bisa-bisanya serangan jantung berulang kali kok tidak ada rekomendasi ke rumah sakit," tukas dokter Toni dengan wajah pura
"Kupikir pakde dan eyang adalah pemain utama. Ternyata ular beludak ini sumbernya," desis Siwi terdengar geram ketika membaca semua bukti yang Shana dan Alden kumpulkan."Sorry ya, Wi. Aku udah nggak sabar pengen libas itu bule keparat. Aku balik Jakarta, kamu running sini sambil kumpulin bukti. Gimana?" tawar Shana. Siwi mengangguk setuju."Itu rencana paling ok saat ini. Mungkin aku memang gampang terkecoh, nggak semudah kamu," renung Siwi dengan sesal."Hei! Jangan loyo gitu dong! Udah anggap aja aku yang doing dirty job, kamu yang terima beres, ok??" hibur Shana. Siwi tersenyum kecut."Kenyataannya aku masih terlalu dangkal memahami dunia bisnis yang kotor," aku Siwi dengan jujur."Kamu selalu terdepan, aku percaya itu," puji Siwi pada sahabatnya Shana. Wanita itu mengibaskan tangannya."Nggak ada yang ngalahin insting bisnismu, kita saling melengkapi.""Makasih, ya. Selalu mendukung aku."&
Shana mencoba melarikan diri dari jerat perasaan pesona Alden. Tidak dia duga bahwa percintaan yang ia tegaskan pada Keenan untuk tidak melibatkan perasaan, kini berbalik pada dirinya sendiri.Ini merupakan hari kedua Shana menjauh dan tidak bersama dengan Alden. Hatinya jengkel. karena tidak sedikit pun ada perhatian untuknya. Bahkan sekedar pertanyaan sederhana mengenai kabar ataupun perkembangan pekerjaan mereka.Keenan jauh lebih baik, karena sempat menelepon dirinya untuk menanyakan kabar sekilas. Tapi Alden? Hilang dari radarnya.Apa yang membuat pikirannya menjadi gila dan mengejar kenikmatan juga perhatian dari pemuda itu? Alden hanya menyentuhnya jika ingin. Tidak mengumbar setiap hari seperti Keenan yang akan selalu siap sedia kapan pun Shana mau.Dengan kesal, Shana menyemprotkan parfum ke tubuhnya. Malam ini ia memiliki janji dengan Greg, pemilik Mercure, untuk membicarakan tentang rencana peluncuran desain berikutnya.***Kee
Sore itu Indira mencai-cari Alden. Tidak nampak batang hidungnya sedari tadi. Rasa bersalah karena telah menggodanya memenuhi pikiran Indira.Benarkah tadi pagi Alden serius? Rasanya tidak mungkin pemuda setampan dia memiliki hati untuknya. Indira sendiri belum siap menyukai pria mana pun. Perasaan untuk Alden hanya sekedar sahabat, tidak lebih."Indi, jangan lupa utuk mengirimkan hasil scan karyamu ke Jakarta, ya?!" seru Siwi mengingatkan."Ya, Mbak. Nanti malam saya kirim," sahut Indira dengan sigap.Siwi berlalu dengan Laras dan meninggalkan Indira sendiri di depan ruang kantornya. Alden tidak bersama dengan mereka. Dengan gontai, Indira melangkah keluar dan pulang menuju rumah sakit.***Alden memilih pergi dari kantor dengan alasan ingin mengunjungi Solo untuk menyelidiki pabrik batik yang ia curigai sebagai pusat pembuatan pabrik yang akan menyuplai Mercure Asia.Namun jauh dalam lubuk hatinya, Alden berusaha me
Salatiga selalu akrab dengan hujan. Bulan Mei yang harusnya mulai panas, ternyata masih menguyurkan hujan gerimis sore itu. Langit Salatiga terlihat mendung dan berawan gelap.Indira masih menunggu suster perawat mengganti perban kakeknya dan memilih menunggu di luar. Ponselnya bergetar dan dua pesan masuk. Indira melihat pengirim, Keenan.Mengabarkan jika sedang bersama dengan Siwi, untuk menyampaikan pesan bahwa dirinya berangkat ke Jakarta pagi tadi. Indira membalas singkat dan menyimpan kembali ponselnya."Mbak Indi, bisa ketemu dengan dokter Willy sebentar?!" seru suster Ani. Ini bergegas mendekatinya."Ada apa ya, Sus?""Kurang tau, Mbak. Coba ditemui aja, kita jaga kakung di sini," jawab suster tersebut dengan senyum ramah.Indira mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Sepanjang koridor menuju ruang praktek dokter Willy, Indira merasakan instingnya menerka sesuatu yang buruk.Namun ketegaran
Lega hati Indira ketika mereka tiba di rumah siang itu. Pramono tidak henti-hentinya tersenyum dan memamerkan giginya yang masih utuh. Ketampanan masih jelas terukir pada wajah keriputnya."Kita pulang ...," bisik Indira mesra pada kakeknya. Pramono tertawa."Ini yang paling kakung tunggu!" seru Pramono dengan suara dipaksa keras.Indira tersenyum bahagia. Dengan lembut ia membetulkan selimut kakeknya dan sekilas melihat kulit Pramono di tangan juga leher mulai menghitam. Inikah efek dari penderita diabetes, atau kanker itu mulai mengerogoti dengan ganas? Indira tidak mengerti. Namun Pramono terlihat sehat dan ceria."Pakde Pram!" seru Siwi yang muncul dengan sekeranjang hamper buah di tangan."Lho Mbak Siwi ...?" sambut Pramono terkejut sekaligus senang karena mendapat kunjungan. Siwi mencium tangan pria yang ia kenal dari kecil."Banyak yang tanya sama Siwi lho, Pakde. Teman-teman di Solo mau nengokin ..
Indira masuk agak terlambat pagi ini. Ban motornya sempat bocor dan ia harus menambal di bengkel terlebih dahulu.Dengan baju setengah basah karena keringat, Indira masuk ke ruangannya dengan lega. Udara dingin ac ruangannya memberi sedikit kesejukan dan menghilangkan rasa gerah.Tidak banyak karyawan yang mereka rekrut saat ini.Tia bagian HRD, Laras memegang Business Development, kemudian Kuncoro sebagai Finance and Cost Control juga merangkap Merchandising.Indira sebagai desainer utama, Dian adalah Marketing Manager dan beberapa bagian staf biasa yang berjumlah sekitar sepuluh orang termasuk beberapa satpam juga cleaning service.Mereka bekerja saling bahu membahu, terkadang tidak perduli dengan job-description mereka.Siwi sangat beruntung karena Shana dan Alden mempekerjakan orang yang tepat."Indi!" panggil Alden yang muncul dengan wajah khawatir. Indira yang sedang mengipas tubuhnya kaget."J
Kemelut ini akan menjadi beban tersendiri buat Indira. Melangkah ke titik percintaan bukan bagian dari rencananya. Dia tidak ingin terpecah konsentrasinya dan melupakan tanggung jawabnya pada Pramono.Keenan duduk sambil memainkan telunjuknya di bibir. Dia masih bisa merasakan rasa manis bibir Indira. Ternyata beda sekali berciuman dengan penuh perasaan cinta dan hanya sekedar nafsu belaka."Senyum-senyum sendiri neh ...," ledek Alden sambil menuang cairan whisky digelas. Tangannya terulur dan Keenan menyambut gelas berisi alkohol kesukaannya."Anggep aja, gue menang jackpot hari ini," ucap Keenan dengan penuh kebanggaan. Alden menduga sahabatnya telah mendapatkan Shana."Bibirnya lembut dan manis. Napasnya yang hangat membuatku mabuk dan terlena. Gila dicium aja udah bikin gue klepek-klepek," lanjut Keenan yang memang selalu terus terang pada Alden tentang hal apa pun.Berbeda dengan Alden, pemuda itu cenderung menilai ter
You know I want youIt's not a secret I try to hideI know you want meSo don't keep sayin' our hands are tiedYou claim it's not in the cardsAnd fate is pullin' you miles awayAnd out of reach from meBut you're here in my heartSo who can stop me if I decideThat you're my destiny?What if we rewrite the stars?Say you were made to be mineNothing could keep us apartYou'd be the one I was meant to findIt's up to you, and it's up to meNo one can say what we get to beSo why don't we rewrite the stars?Maybe the world could be oursTonightYou think it's easyYou think I don't wanna run to youBut there are mountainsAnd there are doors that we can't walk throughI know
Inilah kisah dari beberapa manusia yang mampu menaklukkan tantangan hidup dan cobaannya.Indira Sartika, seorang wanita yang begitu tegar menjalani berbagai krisis dalam hidupnya selama ini, akhirnya merengkuh dan layak mendapatkan buah dari keprihatinannya.Bukan karena dia wanita hebat dan memiliki kualitas bertahan yang mumpuni, tapi karena dia mencoba mengikuti nuraninya yang tidak mungkin berbohong. Setiap jalan yang ia ambil selalu menempuh cara benar dan bukan yang mudah.Berani berkata tidak dan menolak segala nikmat dunia, demi mempertahankan martabat sebagai wanita yang juga pantas dihormati.Pria melihat dia sebagai pribadi yang begitu berharga untuk dimiliki, karena prinsipnya tidak sekedar menjadi perempuan yang pasrah.Indira tahu dengan baik, tujuan hidup dan keinginannya. Tahu bagaimana memperjuangkan haknya sebagai wanita dan juga berani mengambil tanggung jawab meskipun pahit.Siwi dan Shana adalah saksi bagaimana Indira me
Alunan musik yang memenuhi ruang keluarga membuat hati siapa pun menjadi damai. Pilihan mereka adalah menikah di Bali dan setelah persiapan matang di Salatiga, akhirnya bersama-sama terbang ke Bali dua hari lalu.Besok adalah hari yang mereka nantikan. Persiapan gedung dan catering memang menggunakan event organizer, tapi Indira dan Menik tampak tidak bisa diam.Keduanya sibuk memeriksa bunga, pilihan makanan, tamu undangan, tempat duduk dan bahkan persiapan bulan madu. Keduanya memastikan jika ini akan berjalan baik dan tidak ada kendala.Kini malam sebelum pernikahan, Gya harus tinggal di hotel dan menjauh dari Renzo sementara waktu. Alden menggoda putranya yang tampak mulai gugup dengan seloroh yang cukup vulgar. Keenan menimpali dengan tawa yang tergelak. Genta dengan tenangnya mengatakan semua akan berakhir indah.“Seindah lenguhan panjang dan senyum cemerlang di pagi hari!” imbuh Alden tanpa menahan diri.Indira muncul dan bertola
Silka dan Ignar bergilir merawat dan menjaga Gya hingga sembuh. Renzo masih harus menyelesaikan keperluan surat menyurat untuk persyaratan pernikahan.Setiap sore dia datang menggantikan kedua adik sepupunya dan tidur di rumah sakit.Gya memang tidak memiliki luka dalam, tapi sepertinya dia masih menyimpan ketakutan tersendiri. Wajahnya sesekali mengernyit dan cemas.“Kamu masih inget kejadian itu, Kak?” tanya Silka tampak prihatin.Gya memejamkan mata dan membenarkan.“Kebencian sama Bayu nggak sebanding dengan penyesalanku karena udah ngebiarin dia masuk dalam hidup ini.”“Nyalahin diri adalah target Bayu yang sebenarnya. Jangan terpengaruh oleh hal itu, Kak. Kayaknya nggak berharga banget,” bantah Silka dengan cepat-cepat.“Ya. Dia memang mau ngancurin aku pelan-pelan, lewat pikiranku.”Gya sadar sekali akan hal itu.“Kita nggak akan ngebiarin itu, kan?” Silk
Renzo merasakah tubuhnya gemetar oleh amarah yang mengelegak. Melihat kekasihnya dihajar sedemikian rupa oleh pria biadab, membuat Renzo diliputi dendam.Alden dan Indira terus menenangkan dengan kata-kata lembut.“En, tenang. Pakai ini dan bukan ini,” ucap Alden sembari menunjuk kepala kemudian lengan.Putranya duduk terkulai dan meremas rambut gusar.Ibu dan kakak Gya sudah dikabari dan mereka sedang menuju ke rumah sakit dari hotel. Pernikahan tinggal dua minggu lagi dan suasana gembira menjadi duka dalam sekejap.Saat bertemu dengan Leo dan Dion, kedua pria yang akan menjadi kakak iparnya tersebut menepuk pundaknya dengan pelan.“Kita nggak akan bertindak apa pun, kecuali lapor polisi! Semua bakal ditindak melalu proses hukum yang benar dan tahan emosi kalian. Kalo ada yang nekad, Bayu menang dan kita kalah telak!” ingat Alden dengan lantang dan tegas.Ibu Gya terlihat gemetar dan tidak sanggup berdiri. Ind
Persiapan pernikahan memang selalu merepotkan. Namun Gya tidak melihat sedikit pun kesulitan yang membuatnya kelelahan dan stress. Ibu mertuanya, Indira, selalu membantu dan mengarahkan dengan sabar.Pemilihan pernak pernik yang berbeda pendapat dengan keluarga besarnya, akhirnya berhasil ditengahi dengan elegan dan bijak oleh Indira.Ibu Gya memuji berkali-kali tentang calon ibu mertuanya yang ternyata masih muda dan sangat cantik tersebut. Terlebih lagi ayah mertuanya, Alden, yang mirip dengan pria muda dengan penampilan masih tidak kalah menarik dan modis dengan Renzo.Dengan hati-hati, Gya menjelaskan mengenai siapa Renzo dan ibunya semakin kagum dengan keluarga mereka. Gya melihat dengan jelas, bagaimana ibunya sedikit syok dan tersentuh oleh kebesaran hati Indira yang membesarkan Renzo tanpa menimbang dia bukan putra yang terlahir dari rahimnya.Keputusan buat Indira tidak memiliki anak kandung adalah karena dirinya merasa lebih dari cukup mendapatk
Alden berdiri di depan bingkai foto di ruang tengah rumah Salatiga. Matanya menatap gambar dirinya bersama Indira dan Renzo dalam baju adat Jawa.Di sebelah bingkai foto besar tersebut, terdapat foto Indira bersama Jantayu dan Renzo dengan baju pernikahan modern. Hatinya berdesir sakit.Bukan karena cemburu, melainkan merasa prihatin akan nasib Jantayu yang malang.Pria baik itu tidak sempat menjalani kehidupan bahagia yang lama dengan wanita luar biasa, Indira. Alden bahkan sempat mengalah demi memberi kesempatan pada Jantayu untuk menjadi pria yang bisa meneruskan harapannya.“Kayaknya baru kemarin dia ada di sini,” gumam Indira tiba-tiba ada di sebelahnya.Alden mengingat dengan jelas saat datang ke rumah ini beberapa belas tahun yang lalu setelah Jan meninggal. Foto itu menjadi satu-satunya kehangatan yang terpancar dan bisa memberi sinar juga kekuatan bagi Indira untuk bertahan dalam kesedihan.Dunia istrinya mungkin dalam k
Kembali ke Jakarta dengan status baru, cukup membuat Silka risih. Antara dia dan Alka adalah hubungan kecelakaan yang tidak disengaja.Sementara kembali pada aktivitas kuliah yang super sibuk mendekati akhir semester, Silka memilih tidak lagi memusingkan tentang Alka.Pria itu cukup memberinya ruang dan gerak yang tidak mengikat. Mungkin inilah enaknya pacaran dengan orang dewasa. Banyak pengertian yang dia dapatkan dari Alka.“Sil! Kamu beneran pacaran sama dosen baru anak fakultas kedokteran?” tanya teman kuliahnya dengan wajah penasaran.Silka mengangguk ragu.“Gila! Keren banget sih! Pak Alka itu ganteng dan baik banget!”Silka terus mendengarkan puluhan pujian untuk kekasihnya yang hingga detik ini belum pernah dia cium atau pegangan tangan.Setelah mendekati jam masuk kelas, Silka mengakhiri obrolan satu arah itu dan melenggang masuk. Selama kuliah berjalan, dia tidak habis-habisnya memikirkan tentang Alk
Mungkin bertemu jodoh itu terjadi tanpa bisa terduga.Bagi Silka yang masih berusia awal dua puluhan, ini bukan menjadi pertimbangan seriusnya. Terlebih lagi Ignar juga masih bimbang akan jati dirinya, semua keluarga tidak akan berpusat pada hal pernikahan dalam waktu dekat.Mengunjungi orang tua dan kerabatnya di Salatiga memang menyenangkan. Dia kadang malas meninggalkan kota kecil tempat ia tumbuh dan besar. Teman masa kecilnya ada di sini. Tapi Silka untuk saat ini tidak memiliki pilihan.Semua keluarga berkumpul di rumahnya. Ayahnya, Keenan, tampak masih tampan meskipun menjelang usia setengah baya. Mati-matian ayahnya menolak dengan mengatakan masih lima tahun lagi, tapi Silka suka mengangguk dengan gencar.Malam itu Renzo datang sendiri dan Silka senang karena memiliki waktu untuk berbagi lebih banyak. Perhatian kakak sepupunya memang tertuju pada dua hal akhir-akhir ini.Untuk Ignar dan Gya, kekasihnya.Silka merindukan masa-masa di