Seseorang tidak akan menjadi sangat cerdas jika belum pernah melakukan sesuatu yang sangat bodoh. Sama dengan apa yang dilakukan Raleigh ketika ia memiliki masalah dengan Celia. Pikirnya menuruti keinginan Celia agar pergi dari rumah adalah sebuah jawaban, tapi ternyata itu menambah deretan kebodohan Raleigh di mata mertuanya, terutama Dad Mark. Setelah mendapat telfon dari Gerard bahwa Dad Mark membuat keributan karena tidak menemukan Raleigh di Coolworths, swalayan tempatnya bekerja, Raleigh segera memacu mobilnya kesana dengan perasaan kacau balau. Ia malu jika Dad Mark benar-benar membuat keributan di hadapan para anak buah Raleigh. Jika memang benar demikian, ditaruh dimana mukanya setelah ini? Kewibawaan yang dijunjung setinggi langit bisa hancur dalam sekejap lalu Raleigh akan menjadi trending topic yang menarik di kalangan para anak buah. Oh, tidak, Raleigh tidak bisa membayangkannya. "Dad?" Raleigh menghampiri Dad Mark penuh kehati-hatian. Ia sedang ditemani Gerard ber
Raleigh mendorong troli belanjaan Celia yang sangat berat. Bagaimana tidak berat, keranjang troli besar itu berisi beberapa kardus besar hingga Raleigh tidak habis pikir dengan barang-barang apa yang dibeli istrinya. Apa Celia akan membuka mini mart di depan rumahnya? Mengabaikan pikirannya sendiri, Raleigh segera menata kardus-kardus itu ke dalam bagasi mobilnya serapi mungkin agar semua kardus bisa terangkut. "Aku pulang bersama Paula!" Ucapnya ketus tapi Raleigh segera menahannya. Paula, sepupu Celia. "Pulang denganku!" Putus Raleigh tapi Celia menepis tangannya kasar. "Jangan mengaturku! Aku membencimu!" Raleigh menutup pintu mobil Paula sebelum Celia meraihnya lebih dulu. "Jangan membantahku Celia. Aku sudah cukup bersabar dengan kelakuanmu."Paula yang menyadari keadaan sedang tidak baik pun akhirnya menyarankan Celia kembali pulang bersama Raleigh. Setelah ketegangan itu, mereka berdua berada dalam satu mobil Raleigh menuju kediaman. Celia melipat tangan dengan memalingka
Keesokan harinya, sepulang dari bekerja, Raleigh menjemput Valerie di kediamannya. Masih dengan memakai kemeja kerja, Raleigh mengetuk pintu rumah Valerie namun tidak ada yang menyahuti hingga lima menit lamanya. "Apa Vale belum pulang?"Tapi lampu teras dan penerangan taman sudah menyala. Itu artinya Valerie sudah pulang. "Then where is she?"Raleigh mencoba mengintip dari balik celah jendela kaca ruang tamu namun di dalam nampak kosong. Akhirnya ia memberanikan diri untuk membuka pintu rumah tanpa permisi. "Tidak dikunci?"Raleigh masuk perlahan lalu menutup pintu. Suasana sangat sepi namun semua lampu telah menyala. Bahkan lampu kamar depan yang kemarin sempat dijadikan tempat penampungan sementara baginya masih menyala. Raleigh belum mengemasi pakaian dan kopernya dari rumah Valerie karena kemarin ia memutuskan tidur di rumah setelah Celia mengizinkannya pulang. Yeah, itu adalah rumah pemberian orang tua Celia. Walau Raleigh telah menjadi suaminya tapi tidak berhak atas proper
Raleigh termenung dengan ucapan William sepanjang perjalanan kembali ke rumah Valerie. Ia sadar jika belum bisa menjadi suami yang diinginkan Celia dan tidak bisa memenuhi apa yang Celia harapkan. Dia masih terlalu egois dengan menuruti kemauannya sendiri.Karena ia masih murung akibat sentilan ucapan William, maka Valerie yang menyetir mobilnya demi alasan keamanan. Ia tidak mau sesuatu yang tidak mengenakkan terjadi sedang masalah yang lama belum selesai.Sesampainya di rumah Valerie, bukannya segera pulang, Raleigh malah duduk di ruang tamu dan ingin mengobrol lebih lama lagi. Saat ini, hanya Valerie tempatnya mencurahkan segala keluh kesah mengenai Celia. Bukan tanpa arti, itu semua karena Celia dan Valerie berteman lama dan saling mengenal.Kalaupun Raleigh tiba di rumah, ia tidak bisa menyelesaikan masalah ini alih-alih berkata jujur pada Celia tentang isi hatinya. Dia ingin Celia mengikuti keinginannya tanpa menyakiti hati Celia. Satu hal langka yang tidak bisa diterima banyak
Tidak dipungkiri ada rasa bahagia yang teramat membuncah di dalam hati Raleigh atas keputusan Celia untuk tidak mengadopsi anak. Namun, Raleigh berusaha menjaga ekspresi wajahnya nampak biasa saja. Bahkan seperti ikut bersedih dengan keputusan Celia. Hal ini semata-mata dilakukan untuk mengecoh perasaan Celia. Padahal, Raleigh diam-diam menyusun kembali rencana awal untuk merayu Celia agar bersedia menerima sarannya untuk mencari wanita pendonor sel telur. "Kenapa kamu tidak bersedia mengadopsi anak sayang? Bukankah itu yang kamu harapkan?"Celia menggeleng lalu mengajak Raleigh masuk ke rumah. Mereka duduk di sofa ruang tamu. "Aku telah menghubungi seorang teman lama Ral, namanya Dokter Wilmarie.""Lalu?""Aku menceritakan segalanya, bahkan mengirimkan hasil laboratorium kita kepadanya. Lalu dia menyarankan untuk menemui seorang dokter spesialis ginekolog terbaik di Sydney."Seakan mengerti jalan pemikiran Celia, niat Raleigh untuk mencari wanita pendonor sel telur perlahan meredu
Raleigh dan Valerie yang kerap membahas hubungan rumah tangga Raleigh dan Celia, secara tidak langsung menimbulkan ikatan batin yang dalam. Raleigh berangsur memiliki kepekaan yang lebih besar terhadap hubungannya dengan Valerie, walau hanya dengan melihat gerak-gerik Valerie saja. Awalnya Raleigh terkejut dengan keinginan Valerie yang ingin memeluknya. Menyadari itu Valerie berubah pikiran. "Maaf Ral. Tolong jangan dimasukkan hati." Kemudian Valerie berlalu sesaat untuk menumpahkan kesedihannya. Ia perlu menangis untuk melampiaskan stres yang melanda sejak perceraiannya kala itu. Ia tidak bisa bertemu dengan Diego, putranya yang masih berusia tiga tahun sejak satu tahun yang lalu. Kerinduan itu membuncah ketika teringat jari Diego yang terluka akibat mainan lalu Valerie menghisapnya. Dan hal itu seperti de javu ketika melihat jari Raleigh terluka. Menyadari kepergian Valerie yang tidak kunjung kembali, Raleigh pun berinisiatif mencarinya. Ia tidak tega melihat tangis Valerie y
Keinginan Raleigh tidak pernah berubah sejak mengetahui Celia mengalami menopause dini. Dia masih kekeh dengan keinginannya untuk mencari wanita pendonor sel telur yang sesuai kriteria. Karena ia benar-benar ingin menimang buah hatinya sendiri, dari benihnya. Pikir Raleigh, mendapat anak melalui wanita pendonor sel telur tidak mengharuskan dirinya melakukan hubungan suami-istri yang berpotensi melukai hati Celia. Karena semua proses itu dilakukan secara inseminasi. Namun penolakan Celia dengan dalih ia tidak bisa melihat kehadiran anak yang berasal dari penggabungan benih Raleigh dan sel telur wanita lain. Bagi Celia itu sama seperti pengkhianatan atas kekurangan yang melanda dirinya. "Kamu masih menginginkan wanita itu Ral?" Tanya Valerie dengan kepalanya masih bersandar di pundak Raleigh.Raleigh mengangguk. "Apa Celia tidak marah?" "Kamu tahu, kedatanganku kemari ingin mengatakan bahwa Celia menolak mengadopsi anak."Seketika Valerie menegakkan tubuh lalu memutar tubuh Raleigh
Sudah lama Raleigh meninggalkan kebiasaan lamanya yang buruk dan melanggar prinsip. Tidak biasanya ia menyalakan rokok ditemani bir berkaleng-kaleng seperti saat ini. Umumnya, lelaki memiliki alasan besar mengapa memilih menghabiskan waktu dan uangnya untuk menikmati kesenangan duniawi yang semu. Tekanan dan masalah yang mengepung hari-harinya adalah pemicu utamanya. Dan Raleigh menderita karena itu. Harapannya di usia yang menginjak 35 tahun tidaklah besar, hanya sekedar memiliki keluarga bahagia bersama Celia hingga maut memisahkan. Namun bukankah sekecil apapun harapan tetap membutuhkan perjuangan? Hembusan asap rokok meluncur berkali-kali dari bibir Raleigh lalu diikuti tegukan bir yang sudah membuat kepalanya pening. Ia berada di sekitar area Curtis Park padahal ini sudah pukul 10 malam. "Raleigh!" Raleigh menoleh lalu tersenyum dengan wajah sedikit teler. Walau belum terlalu mabuk tapi kesadarannya telah dibawa setan melayang entah kemana. "Apa yang kamu lakukan malam
'Apa yang harus kulakukan?' batin Celia. Celia tidak bisa berbuat banyak jika Raleigh meminta sertifikat rumah yang terlanjur ia gadaikan untuk kepentingan foya-foyanya. Demi melupakan kenyataan bahwa dia mengalami menopause dini, Celia berani bertindak sejauh itu. "Ehm ... nanti aku akan mencari sertifikat rumah kita, Ral. Sepertinya aku menaruhnya jadi satu dengan tumpukan ijazahku," Celia berkilah. "Oke, tolong kamu cari. Biar aku bisa segera membawanya ke bank untuk tambahan biaya bayi tabung kita." Usai bicara demikian, Raleigh menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Meninggalkan Celia yang mematung penuh kebingungan. Dari mana ia akan mendapatkan uang yang banyak untuk melunasi hutang bank yang tidak sedikit itu? Meminta pada kedua orang tuanya? Tidak! Celia tidak seberani itu apalagi pada Daddy-nya. Lalu, apa yang bisa ia lakukan? *** Hampir dua malam ini Celia tidak bisa tidur memikirkan bagaimana cara melunasi hutang diam-diam itu agar sertifikat tanahnya bi
Valerie tidak bahagia sama sekali saat mendengar ucapan Celia tentang rencana bayi tabungnya bersama Raleigh. Bukankah itu artinya jika seharian ini Raleigh melupakan dirinya itu karena dia berniat akan meninggalkannya lalu kembali ke pelukan istrinya. "Ah... ya, Cel. Aku dengar dan bahagia sekali mendengar kabar baik ini." Kilah Valerie. Padahal hatinya bagai ditikam sebilah pisau hingga menembus ke punggung. "Doakan semua lancar ya, Val." "Kapan kalian akan melakukan bayi tabung itu?" "Secepatnya. Tapi, ada satu masalah yang aku tidak siap jika Raleigh tahu, Val." "Apa?" "Tentang keuangan yang diperlukan untuk bayi tabung." Ucap Celia lirih bernada gelisah. "Maksudmu, kamu tidak memiliki cukup uang untuk melakukan bayi tabung?" Tebak Valerie. Sembari menggeleng pelan, Celia berucap melalui sambungan telfon, "Kamu masih ingat dengan para petugas bank yang datang ke rumah kan?!" "Iya. Kenapa?" Mata Celia tidak lepas dari pintu kamar, dia tidak siap jika Raleigh mengetahui
Saat jam makan siang, Raleigh memilih berdiam diri di ruangannya. Hatinya bimbang saat Celia tiba-tiba ingin kembali dalam pelukannya dan Valerie yang sudah terlanjur dekat dengannya.Perasaan cintanya masih ada untuk Celia, dan mulai berkembang untuk Valerie."Apa yang harus kulakukan?" Gumamnya.Ucapan Celia tadi pagi juga makin menambah kebingungannya. Haruskah ia pergi ke bagian kesehatan Kota Armidale untuk bertanya tentang proses bayi tabung?Jika ia melakukannya maka ia harus melepas Valerie demi istrinya. Lebih tepatnya demi kebahagiaan rumah tangganya.Baru saja berbahagia karena Valerie menerima cintanya bahkan mau menunggunya berpisah dengan cara baik-baik dari istrinya, tapi air mata Celia membuat Raleigh tidak tega. Karena bagaimanapun janji sehidup semati yang telah ia gaungkan di hadapan orang tua, Tuhan, dan para saksi adalah janji yang seharusnya dijalani hingga mati. Tapi satu lagi, mau sampai kapan Raleigh bisa menahan gairahnya ketika Celia tidak bisa melayaninya?
POV RALEIGHEntah sudah berapa minggu aku dan Celia tidak melakukan hubungan suami istri. Malam ini, setelah dia mencurahkan segala kesedihannya karena menopause dini yang dialami, berikut dengan ketakutannya akan kehilangan diriku, aku makin tidak berkutik lagi.Mengapa dia tidak mencoba mencintai dan melayaniku dengan baik sejak dulu? Sejak awal kami menikah?Aku tidak menuntut banyak dari pernikahan kami selain saling memahami, mengisi, dan membalut luka masing-masing. Tapi Celia yang saat itu enggan melepas cinta sejatinya pada William, mantan kekasihnya, membuatku terlunta-lunta sebagai seorang suami yang tidak diinginkan. Tapi kini, semua berbalik arah. Celia memujaku di saat yang kurang tepat. Saat hatiku tidak hanya ada dirinya yang bersemayam."Ral, aku mencintaimu. Tolong jangan tinggalkan aku."Setelah mengatakan itu ia melepas pelukan lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah cairan bening yang aku sendiri tidak tahu apa kegunaannya. Dia meneguknya sedikit lalu me
Setelah memastikan stok sayuran di etalase supermarket tempatku bekerja tersaji dengan tepat, langkahku kembali ke ruangan kerja untuk mengambil tas dan merapikan berkas yang sedikit berserakan di atas meja. Ketika tanganku hendak meraih tas, Valerie menghubungiku."Apa Vale?" "Ral, kamu sudah pulang?" "Sebentar lagi. Kenapa?" Mendengar suaranya yang kalem dan lembut saat berbicara denganku membuat senyum tipis tercetak di bibirku."Aku merindukanmu Ral."Aku tertawa lalu membayangkan wajahnya yang cantik saat duduk di pangkuanku."Tapi sekarang sudah tidak rindu lagi."Senyumku luntur seketika mendengar pengakuannya. "Kenapa? Apa aku berbuat salah?" "Karena aku lebih merindukan Diego dari pada kamu."Aku menghela nafas lega lalu kembali duduk di kursi kerja. "Aku cemburu pada lelaki kecil itu. Andai aku bisa mengajaknya bergulat."Valerie terkekeh sejenak lalu kembali bertanya. "Ral, apa Celia akan pulang sore ini?" Tadi, aku mengatakan pada Valerie perihal kepulangan istriku itu
POV RALEIGH Akhirnya aku memutuskan untuk mematikan nada dering panggilan dari istriku, Celia. Hatiku berbisik lembut agar tidak menambah luka yang Valerie terima setelah hubungan kami membaik beberapa hari ini. Walau kami tidak resmi berkencan sebagai sepasang kekasih, tapi melihatnya terluka karena ulahku apalagi menjauh dari jangkauanku, semua terasa tidak rela. Aku ingin menjaga hatinya yang sedang bersedih karena tidak bisa menemui putranya karena ulah sang mantan suami. Aku berani jamin jika James masih mencintai Valerie dengan menggunakan Diego sebagai alat untuk memperumit jadwal bertemu mereka. Ah, mengapa dua malam lalu saay kami bertemu aku tidak segera menghantam wajah sialannya itu. "Siapa yang menelfon Ral?" Tanyanya dengan hidung memerah sedang matanya masih sembab.Jemariku terulur menghapus bulir kristal kesedihan itu. "Gerard. Sepertinya dia sudah mantap untuk mengambil cuti agar bisa berlibur dengan keluarganya."Tidak ada cara terbaik selain berbohong pada Vale
POV RALEIGHValerie menggeleng lalu tersenyum hangat sembari menatap kedua bola mataku. "Aku hanya terkejut dengan perhatian yang kamu berikan Ral. Semuanya merasa mimpi bagiku.""Mimpi?" "Sejak bercerai dari James, aku tidak pernah jatuh cinta seperti ini. Aku hanya fokus pada putraku.""Oh ya, kapan kita akan menemui putramu lagi?" Valerie tersenyum lebar seraya memeluk erat tubuhku. "Apa kamu ingin mengambil hati Diego agar diterima sebagai ayah tirinya? Atau ingin tahu bagaimana rasanya memiliki anak?"Aku membiarkan Valerie nyaman dalam pelukanku lalu tanganku bergerak mengusap punggungnya. "Dua-duanya."Kemudian mengurai pelukan lalu menatapnya lekat. "Vale, jika di kemudian hari ada batu sandungan yang membuat kita harus mengalah demi hubungan terlarang ini, tolong jangan bersedih."Valerie menggenggam tanganku erat dengan senyum sendu. "Aku tidak tahu bagaimana hubungan kita ke depannya Ral, tapi aku akan selalu berusaha jadi yang terbaik demi kita. Aku tidak akan merebut ka
POV RALEIGH Malam ini aku meminta izin Valerie untuk menginap di rumahnya. Alasannya sederhana, aku enggan pulang ke rumahku sendiri yang kosong dan dingin. Seperti tidak ada kehidupan disana, karena sang pemilik rumah, Celia alias istriku, tengah menikmati liburan bersama-sama sahabatnya. Tanpa aku, suaminya. Hebat bukan?! Sejak mengidap menopause dini, Celia berubah dingin seperti awal kami menikah. Meski aku berusaha untuk tetap menghidupkan api rumah tangga agar tetap hangat, nyatanya itu tidak berjalan dengan baik. Dia berubah menjadi lebih sensitif dan semaunya sendiri. Alhasil, usahaku kerap menjadi abu gosok yang berakhir sia-sia. Apakah aku tidak hilang kesabaran? Hampir saja! Namun aku kembali teringat akan sumpahku di hadapan Tuhan, Dad Mark, dan Mom Clarie akan menemani putrinya itu seumur hidup dalam suka maupun duka. Jelas bukan sumpah yang kukatakan? Seumur hidup! Jika aku berkhianat maka apa bedanya Raleigh yang dulu dengan Raleigh yang sekarang? Andai saja
"Apapun keputusanmu, aku akan menerima dan mengikutinya, Ral."Dengan jarak sedekat ini aku berusaha mengabadikan dan membingkai lekat-lekat wajahnya ke dalam otakku. Dia tersenyum tipis namun itu bisa memberi efek mendebarkan yang luar biasa pada jantungku. Meski sudah lama tidak jatuh cinta, namun di sisi Raleigh aku menjadi sangat luar biasa. Aku merasa kembali muda dan layak mengejar cinta sejatiku. Meski pada kenyataannya Raleigh adalah suami sahabatku."Terima kasih selalu mau ada disisiku. Termasuk menjadi seseorang yang lain dalam hatiku." Aku mengangguk lalu menghamburkan diri dalam pelukannya. Raleigh merengkuh tubuhku dengan hangatnya sembari mengusap pucuk kepalaku. "Ral?""Apa?""Kita harus menyembunyikan ini semua dari Celia dan siapapun yang mengenal kita.""Iya. Maaf jika aku belum bisa menjadikan kamu satu-satunya, Vale.""Aku tidak masalah, Ral. Aku yakin suatu saat nanti kita akan memiliki waktu yang tepat untuk mengumumkannya."Raleigh terdiam sesaat seperti mem