Sesudah turun dari kendaraan umum yang membawaku pulang, dengan tergesa setengah berlari aku menuju rumah. Sumi terlihat duduk di teras asik merapihkan barang belanjaan, sepertinya dia juga baru sampai. Terlihat pintu masih terkunci. Melihat aku sudah pulang Sumi menyambut, ada terbersit rasa heran di wajahnya.
"Bang, kok pulangnya, cepat? Memangnya tidak antar barang?" tanya Sumi lembut. Bukannya menjawab aku malah bertanya tentang uang yang di amplop. Sumi tertunduk menjawab pelan bahwa uangnya sudah terpakai untuk membeli perlengkapan bayi dan di pinjam Tini.
"Aduh ... sudah abang bilang di amplop jangan dipakai! Memang kurang uang yang di ATM, Sum?" Dengan suara keras aku bertanya pada Sumi, sedangkan Sumi menahan tangis menjawab, "Tadi aku suruh Tini terlebih dahulu ambil uang di ATM, tapi tidak ada saldonya bang. Aku pikir pakai uang di amplop saja nanti diganti dengan gaji abang."
"Akhhhh ... aku menjambak rambut, bingung harus bagaimana. Ucapan pak Steven selalu terngiang yang mengatakan jiwaku sudah terikat dengan junjungannya. Kini aku hanya bisa terduduk lemas di lantai tidak memperdulikan Sumi yang terus bertanya.
"Sekarang sisa uangnya di mana, Sum?" tanyaku setengah berteriak karena kegalauan hati dan pikiran.
"Sisa sepuluh juta bang. Masih ada di lemari." Sumi menjawab sambil menyeka air mata dengan ujung jilbabnya. Kekhawatiran menjadi saat mendengar nominal sisa uang tersebut, pikiran bertambah kalut dapat uang dari mana untuk menggantinya. Padahal aku sudah bilang pada Pak Steven untuk mengembalikan uang tersebut sekarang. Segera kuraih kunci yang terletak di meja dan membuka pintu rumah, berniat mengambil sisa uang tersebut lalu mengembalikannya.
Ketika hendak melangkah masuk ke kamar, terdengar suara napas memburu seperti hewan, tetapi begitu berat juga diselingi ringkikkan kuda. Dengan perlahan aku membuka pintu kamar, tetapi tak tampak apapun. Lemari dan kasur yang hanya ada di dalam kamar. Lemari terbuka setengah, sepertinya tadi Sumi menutupnya tidak rapat. Amplop yang berisi sisa uang juga diletakkan begitu saja, segera aku raih amplop tersebut, tetapi keanehan kembali terjadi asap berwarna kehijauan menyelubungi. Amplop yang aku pegang terasa panas serta beraroma seperti kotoran manusia. Semua tak kuhiraukan, bergegas tanpa pamit ke Sumi aku berangkat menuju perusahaan, meninggalkan Sumi dengan pandangan heran bercampur sedih.
Rasa tak sabar mulai menggelayuti hati, setelah sekian lama menunggu angkutan umum belum lewat juga, hingga sebuah truk berwarna hijau berhenti. Pintu terbuka, seraut wajah yang kukenal muncul dan berteriak menyuruh segera naik, walau sebenarnya enggan akhirnya aku memutuskan menuruti perintahnya.
"Sembrono kamu, Di!" Suara khas Mas Gondo langsung menyambut saat duduk di dalam truk. Aku memandang Mas Gondo menunggu melanjutkan perkataan nya karena wajahnya terlihat geram, tetapi malah sebaliknya dia terdiam menunggu jawabanku.
"Maksud Mas, bagaimana? Perusahaan apa itu sebenarnya, kenapa orangnya aneh-aneh. Aku mau berhenti dari tempat mengerikan itu!" ucapku dengan nada tinggi. Mas Gondo menarik napas panjang, menghentikan kendaraan dan berkata kini suaranya sedikit melembut, "Terlambat, kamu harus turuti semua aturan perusahaan atau jiwamu, jiwa istrimu, bahkan jiwa anakmu yang belum terlahir, terancam dengan kematian mengerikan."
Aku tersentak mendengar ucapan mas Gondo. Jujur aku merasa ragu mana mungkin orang-orang di perusahaan tersebut bisa membunuh keluargaku, tetapi ucapan Mas Gondo selanjutnya, membuat pikiran dan hati jadi tercekam.
"Kamu tahu, Di. Berapa usiaku? Pasti kamu mengira tiga puluh atau empat puluh tahunan. Tidak salah, tetapi itu usia saat pertama kali mengenal mereka yang tak terjamah," ucap Mas Gondo sambil matanya menatap kosong kedepan.
"Lalu, berapa usia Mas Gondo sebenarnya? Siapa yang di maksud tak terjamah?" tanyaku bingung. Mas Gondo menatap ke depan, pandangannya seakan mengawang, mengingat kejadian masa lampau. Rambutnya yang ikal dijambak dengan kedua tangan lalu menarik napas panjang menatapku dan berkata, "Masih ingat, Yudhis, Di? Dia adalah kakekku sekaligus yang membuat aku terlibat serta tak bisa lepas dari mereka, juga iblis junjungannya."
Aku terperangah mendengar ucapan Mas Gondo. Pantas wajah Yudhis dan Mas Gondo mirip yang membedakan jabatan mereka di perusahaan setan itu. Mendengar penjelasan dari Mas Gondo bagai seorang pendongeng menceritakan kisah horor dan misterius.
"Aku sudah lupa usiaku sebenarnya yang jelas waktu peristiwa pemberontakan sekelompok orang untuk mengganti landasan dasar negara ini, aku sudah beristri dan mempunyai dua orang anak balita yang lucu-lucu. Kamu tahu kan Di, sekarang tahun 2000 berarti sekitar 33 tahun lalu dan aku masih sehat muda seperti ini. Waktu itu aku tidak tahu kalau Yudhis adalah Bapak dari Ibuku karena tampak lebih muda dari usia sebenarnya. Dia menjebak dengan mengatakan jika ingin selamat dari ancaman pembunuhan orang-orang tersebut, harus ikut bergabung ke perkumpulan yang diikutinya. Sialnya aku menyetujuinya. Benar aman dari gerombolan pemberontak, tetapi kematian mengerikan dialami keluargaku. Awalnya anak yang sulung selalu berteriak saat melihat Yudhis datang. Dia bilang wajah Yudhis mengerikan, berlumuran darah. Aku dan istri menyangka hanya candaan semata. Hingga ke esokan hari ...." Mas Gondo terdiam sesaat air mata terlihat mengalir di pipi, tangannya pun mengepal seperti menahan amarah dan kesedihan.
Aku memegang bahu Mas Gondo berusaha menenangkan. Mas Gondo menatapku lalu kembali berkata, "Anak sulungku menghilang, baru beberapa hari kemudian ditemukan mengambang di sungai yang tidak jauh dari rumah. Tak pernah aku memikirkan hal-hal aneh. Namun, suatu hari Yudhis mengatakan bahwa anak sulungku mati dibunuh karena dia mempunyai kekuatan melihat sesuatu yang ghaib yang akan menjadi penghalang untuk menjadikan aku bagian mereka. Aku tak bisa melawan karena aku sempat meminum cairan ajaib mereka serta telah memakai uang yang di berikan Yudhis, dan kamu tahu, Di. Selang seminggu kemudian Lasmi istriku juga mati, tergantung di pohon belakang rumah, sedangkan si Ragil anak bungsuku tubuh kecilnya di temukan tercabik-cabik di dapur. Itu semua karena aku menolak menjadi bagian dari mereka."
Jantung rasanya berdenyut lebih cepat mendengar penjelasan Mas Gondo. Bibir tak berhenti mengucapkan kalimah Allah. Sedangkan Mas Gondo beberapa kali mengusap mata serta menghembuskan napas yang rasanya seperti berat ditahan. Tiba- tiba Mas Gondo berteriak keras, menangis tersedu-sedu lalu tertawa terbahak-bahak. Begitu dalam sakit yang dirasa hingga dia seperti itu.
Aku merengkuh bahu Mas Gondo kembali. Namun, Mas Gondo malah menepis tanganku lalu mengeluarkan sebotol minuman keras dari dalam tasnya, meneguk dengan nikmat. Mulutnya terus meracau berteriak tidak jelas. Aku hanya bisa mengawasi segala tingkah laku Mas Gondo. Melihat keadaan Mas Gondo yang sudah tertidur karena efek minuman itu, maka aku memindahkan tubuhnya ke kursi penumpang dan menggantikannya menyetir.
Tujuanku adalah tempat yang biasa didatangi Mas Gondo karena memang tidak tahu di mana rumahnya. Mata Mbak Yuli menatap nyalang saat aku sampai dengan Mas Gondo yang tertidur. Setelah meletakkan pria bertubuh besar itu di bangku panjang, aku bergegas hendak pulang ke rumah membawa pergi Sumi. Entah kemana yang penting tidak di kota ini dan jauh dari perusahaan mengerikan itu.
"Mbak, titip Mas Gondo ya. Ini kunci truknya."
Bukannya menyahut Mbak Yuli malah mendekat, sebatang rokok menyala terselip di bibir yang dipoles gincu tebal. Membuka mulutnya seraya mengembuskan asap rokok ke wajahku. Rasa mual mendera, saat aroma asap terhisap. Aku terhuyung dan jatuh ke lantai.
Nginggggg ....
Suara dengungan di telinga membuat aku tersadar. Menemukan diri duduk terikat di sebuah kayu jati kuno. Samar-samar terlihat di hadapan terdapat dinding kaca pembatas antara ruang satu dengan ruang lainnya. Hampir melompat dari kursi saat pandangan terpaku pada sosok Sumi yang terlihat bingung mondar-mandir sambil mengelus perut buncitnya.
"Sumi, pergi!"
Sumi terus saja dengan sikapnya, sepertinya dia tak mendengar suaraku. Panik aku terus berteriak juga berusaha melepas ikatan, tetapi sia-sia saja semua yang aku lakukan. Tiba-tiba ruangan di mana Sumi berada menjadi gelap. Kekhawatiran semakin melanda. Kini teriakan menjadi tangisan, kecemasan atas kondisi orang tercinta.
Terdengar pintu di belakangku terbuka aku menengok dan melihat tubuh tegap itu lagi. Senyum tipis menghias wajahnya.
"Benar-kan, kamu kembali lagi ke sini, Di," Suara Pak Steven, pemilik tubuh tegap memecah kesunyian.
"Bajingan, kau! Lepaskan istriku, dia tidak tahu- menahu masalah ini!" ucap ku seraya menatap nyalang ke arah pak Steven, tetapi dia hanya tersenyum tanpa menjawab. Setelah mengusap wajahku tiga kali, dia keluar. Meninggalkanku yang terus berteriak.
Teriakan terhenti saat pandangan menjadi kabur, ruangan penuh asap tipis. Bergulung-gulung membentuk sesuatu di depanku. Memicingkan mata cara terbaik untuk bisa melihat dengan jelas. Ternyata asap tersebut menampilkan peristiwa pembantaian, proses kelahiran, kecelakaan hingga upacara pengorbanan. Aku memandang dengan tubuh gemetar. Tampaknya Pak Steven tadi mengusap wajahku bermaksud memberitahu hal apa saja terjadi pada perkumpulan mereka dan terakhir yang kuingat sebelum pingsan kembali adalah penampakan makhluk mirip patung besar yang pernah aku lihat namun lebih mengerikan. Makhluk tersebut memakan tubuh dan jiwa-jiwa manusia yang dikorbankan.Kepala terasa sakit dan tubuh bagaikan ditusuk ribuan jarum saat tersadar kembali. Masih di tempat yang sama dalam keadaan terikat pula yang jelas aku tidak mengetahui saat ini pagi, siang atau malam. Dirasakan aneh, aku tak merasa lapar atau haus sedikit pun, saat memikirkan hal-hal yang terjadi pintu terbuka. Lima orang pria berp
Terdapat sebuah bak mandi besar terbuat dari bebatuan indah, berisikan air yang sudah di campur berbagai bunga. Setelah melepas seluruh pakaian, aku segera berendam. Tubuh terasa segar, seperti ada yang memijat. Aku menikmati sensasi tersebut sambil memejamkan mata. Diantara sadar atau tidak, sesosok wanita cantik tiba-tiba muncul dihadapanku. Tubuh polos tanpa sehelai benang, memasuki tempatku berendam. Dia mendekatkan bibirnya ke wajahku, mencumbu dengan ganasnya. Hampir aku terlarut dalam permainannya. Namun tersadar hal ini tidak benar. Aku mendorong tubuh wanita tersebut, terlihat rasa kecewa dan marah di raut wajahnya. Kembali dia memaksa memeluk serta mencium, tetapi kali ini aku tidak bisa bergerak, seperti ada kekuatan yang menahan tubuh agar tidak menolak semua perbuatan wanita cantik itu. Kini aku hanya bisa pasrah, menikmati semua sentuhan, belaian. Bahkan saat dia mulai melakukan lebih jauh aku berteriak, rasanya begitu nikmat. Lelah aku pun tertidur. Ciuman basah membu
"Tolong ... tolong ...." Sayup- sayup aku mendengar suara, tetapi jangankan untuk bergerak, membuka mata saja sulit rasanya. Terasa ada yang menetes di dahi, membuatku terpaksa perlahan membuka mata karena tetesan itu kini membentuk genangan di sekitar wajah. Merah serta bertekstur kental saat dilihat olehku cairan yang menetes tersebut. Bergegas aku duduk di atas ranjang, pandangan mencari- cari ke segala arah, tetapi tidak menemukan apapun kecuali keringat membasahi sekujur tubuh. Rupanya aku tertidur dan bermimpi buruk. Ketika hendak melanjutkan tidur kembali terdengar suara minta tolong lagi. Namun, kali ini suara yang dikenali olehku yakni suara Sumi."Bang Adi, tolong ....!"Sontak aku melompat dan berlari ke arah asal suara walau mata rasanya masih sangat mengantuk dan terasa berat."Sumi!" teriakku saat melihat Sumi duduk di lantai dapur dengan memegang perut. Wajahnya meringis menahan sakit, sungguh kondisi yang menyedihkan."Bang, bawa aku ke Bi
"Ya, Sum ... abang lelah banget. Ya, sudah abang mandi dulu,"Aku segera bergegas ke kamar mandi, bayangan wanita berkepala kuda terus menghantui."Sum, abang berangkat ... ucapku setelah mandi dan sarapan. Sumi tidak menjawab hanya mengangguk dan menatap dengan pandangan aneh.Setibanya di perusahaan aku hanya memandang gerbangnya. Baru di sadari ternyata di depannya terdapat juga simbol-simbol yang sama. Aku memandang gelang yang melingkar di pergelangan tangan seraya berpikir bagaimana lepas dari semua ini.Suara klakson. mengagetkanku, terlihat Mas Gondo mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil."Hoi, Di ... ngapain? Buruan masuk!" teriak Mas Gondo.Mobil bergerak maju meninggalkanku yang masih termanggu hingga beberapa karyawan menyapa dan mengajakku masuk.Setelah mendapat pengarahan Pak Steven aku menuju parkiran di mana truk-truk berjejer rapih. Truk putih sudah menungguku sebagai pengemudinya.Semilir angin bera
Aku terkesima, mendengar ucapan wanita itu yang sepertinya tahu apa terjadi pada diriku. Namun, mulut terbungkam tidak bisa berkata. Aku sempat mendengar, Bapak penolong, mengucapkan terimakasih pada wanita tersebut dan mengucap namanya 'Ibu Laras.'Aku mengangguk dan bergegas, tetapi tanganku ditarik seorang pemuda."Biar diantar saya, Mas," ujar pemuda tersebut.Sesaat berpikir, lalu mengiyakannya. Sepeda motor pemuda bernama Koko membawa kami menyusuri jalan menuju rumah sakit. Jantung rasanya mau copot saat melihat truk putih milikku terparkir di jalan."Berhenti, Dek!" Aku segera meloncat dari motor walau kondisi belum stabil. Aku segera mengamati truk milikku, seraya memanggil Sumi,, tetapi tidak terlihat sosoknya. Di belakang kemudi juga kosong yang ada hanya tas berisi pakaian. Aku juga dibingungkan dengan keadaan truk. Bannya tidak ada yang kempes. Akhirnya dengan perasaan tidak menentu, diiringi azan Subuh, aku pulang. Belum semp
Menjelang malam saat aku selesai tugas mengantarkan barang. Melapor pada atasan, absen lalu balik ke rumah. Hari ini aku ingin bermanja-manja dengan Sumi, apalagi kandungannya sudah masuk waktu lahir, pasti akan lama lagi nantinya meminta hakku padanya. Dalam perjalanan, aku tersenyum sambil berdendang membayangkan istriku yangg cantik itu. Sayangnya sesampainya di rumah, setelah membukakan pintu, Sumi aku dapati tertidur pulas di dalam kamar. Aku tidak tega membangunkannya, sehingga kutahan semua rasa yang bergejolak dengan mengguyurkan air dingin ke seluruh tubuh, terutama bagian kepala.Setelah mandi, aku duduk di teras sambil menghisap rokok kesukaan. Hawa terasa dingin sekali, kusesap kopi hitam panas yang tidak terlalu enak karena aku membuatnya sendiri, biasanya Sumi membuatnya. Aku mengedarkan pandangan, suasana sekitar rumah sudah sepi. Tampaknya para tetangga telah menikmati mimpi-mimpi dalam tidurnya.Aku mendengus, sedikit meratapi nasib sambi
Perjalanan ke sana tidak membutuhkan waktu lama, tetapi menunggu bongkar muatanlah yang membuatku bosan, sehingga memutuskan berjalan melihat-lihat ke dalam mall. Aku tertarik saat melintas di sebuah gerai perlengkapan bayi. Kereta dorong hijau muda, segera kubeli agar nanti jika bayiku sudah lahir Sumi tidak terlalu lelah harus menggendongnya terus. Pasti istriku akan senang, aku membelikannya. "Mas, maaf dompetnya jatuh!" Teriakan seorang pria mengagetkanku saat menuruni eskalator. Aku berbalik dan mengucapkan terimakasih padanya sudah diingatkan. Ketika menuju parkiran, aku berpikir seperti pernah melihat pria tersebut, tetapi kutepis semuanya, mungkin hanya perasaanku saja. Sudah hampir masuk Ashar, ketika pembongkaran barang selesai dan aku masih harus ke pelabuhan untuk mengambil barang yang baru turun dari kapal. Untung saja cuma bertugas mengantar bukan bongkar, pasti sangat melelahkan dan menghabiskan waktu jika itu juga kulakukan. Ini saja sudah terlalu lam
Selembar kain hitam dan sebotol air adalah benda yang diberikan Pak Steven kepadaku. Gegas, aku menuju truk. Kupandangi roda truk bagian kiri serta badan truk. Bekas darah dan cairan putih kental masih tampak di sela-sela roda. Tak terasa air mata menetes. Aku menyiramkan air di botol lalu menyeka noda-noda darah tersebut dengan kain hitam seraya terus meminta maaf pada sang korban.Sungguh ajaib, kain hitam itu menyerap semua darah dan kotoran akibat kecelakaan dengan sempurna tanpa sisa. Perlahan dengan langkah lemah aku masuk kembali ke dalam bangunan, memberikan kain itu ke Pak Steven yang menerimanya dengan sumringah.Beramai-ramai para penyembah iblis itu menuju bangunan di mana patung Sang Junjungan berada. Aku mengikuti berdampingan dengan Mas Gondo."Usap seluruh bagian patung dengan lap ini, Di. Bersama Retno, Bibikmu agar ritual berjalan lancar." Kembali Pak Steven memerintah. Aku menuju ke depan menerima kain hitam, lalu bersama Bu Retno menyeka patu
"Mana Sumi? Aku ingin bertemu dia juga anakku!" Adi menerobos masuk ke dalam rumah diikuti si wanita yang tak lain adalah Tini."Dia tidak ada di sini, Di! Cepat keluar dari rumahku!" Tini menarik tangan Adi yang tak menghiraukan perintahnya.Merasa kesal dengan perlakuan Tini, Adi menepis tangan dan mendorong tubuh perempuan cantik tersebut hingga terjatuh ke lantai, lalu bergegas membuka pintu kamar satu persatu dengan harapan bertemu Sumi. Namun, alangkah terkejutnya pria tersebut saat mendapati kamar kedua yang dibukanya terdapat patung menyerupai Sang Junjungan lengkap dengan altarnya."Gil*! Ternyata kau juga salah satu pemuja setan keparat itu, Tin?! Kau sengaja mendekati Sumi agar bisa ditumbalkan?" Adi berbalik mendekati Tini dengan tatapan tajam, kemarahannya sudah di ubun-ubun."Bukan begitu, Di ... malah sebaliknya, aku ingin melindungi Sumi, dia ...." Belum selesai ucapan Tin
Di tempat lain, Retno sedang bercakap-cakap dengan Adi. "Tidak salah lagi, Di. Kampung belakang komplek ini, Sumi berada. Aku bisa merasakan kehadirannya walau sosok istri dan anakmu tidak terlihat." "Jadi bagaimana, Bik?" Adi mendekatkan dirinya kepada Retno. "Menurutku, coba kau yang lihat ke sana. Aku yakin, perisai dibuat Gondo dan Yudhis hanya berlaku kepadaku." Retno menyakinkan Adi agar menuruti perintahnya, dia tidak mau tenaganya terus terkuras habis akibat menembus benteng yang dibuat rival-rivalnya itu. "Baiklah, Bik. Kebetulan besok aku libur, mudah-mudahan benar apa yang dikatakan Bibik." Meski ada rasa kecewa, Adi berusaha bertemu Sumi dan menyakinkan diri agar mereka bisa bersama lagi. **** Keesokan pagi dengan menyewa sepeda motor, Adi berangkat menuju kampung belakang komplek. Semilir angin sejuk menerpa wajah perseginya, membuat
Setelah dirasakan tenang, Dewi dan Armand pamit pulang dengan pikirannya masing-masing. Terutama Dewi yang berniat akan mengaku kepada Sumi tentang keadaan almarhum orang tuanya serta dirinya---para penyembah Sang Junjungan. Dia ingin bertaubat karena tak ingin kematian mengerikan menjemputnya. Namun, niat baiknya itu ternyata tak mampu terwujud. Keesokan hari, Dewi beserta suaminya mati ditemukan gantung diri di langit-langit ruang tamu."Ya Allah, bagaimana kejadiannya, Dek?" tanya Sumi setelah mendengar kematian Dewi dan Surya kepada Armand yang menangkupkan kedua tangan menutupi wajah lelahnya."Selepas salat Subuh di musala, saya mendengar suara tercekik dari dalam rumah, pintu keadaan setengah terbuka. Saya pikir tumben Teh Dewi dan Mas Surya sudah bangun. Ternyata yang saya temukan tubuh mereka tergantung, Mbak." Armand menahan tangis. Dalam hitungan hari, dia sudah kehilangan semua anggota keluarga, membuat hatinya bertanya-tan
"Mbak, saya juga mau pamit, ya." Setelah ikut merapikan ruangan, Armand beserta ibu-ibu lainnya pulang. Meninggalkan Sumi dan Rizky yang terbangun dari sebelum Magrib."Anak Ibu mau apa?" tanya Sumi kepada Rizky yang menatap ceria ke buah-buahan yang masih banyak tersaji. Rizky menunjuk ke arah jeruk Mandarin. Sumi dengan penuh kasih menyuapkan ke anaknya."Enak Sayang ...."Rizky membalas pertanyaan ibunya dengan tawa riang. Sumi gemas lalu menciuminya berulang kali.Siiir!Suara angin berdesir masuk kedalam jendela nako yang masih terbuka, Sumi lupa menutupnya. Aroma daging terbakar seketika menyeruak, pikir Sumi itu adalah bau asap dari penjual sate yang biasa mangkal di seberang jalan.Namun, terjadi keganjilan saat Sumi hendak menutup jendela. Tampak di depan rumahnya beberapa orang berdiri membelakangi. Dia melirik jam di dinding, ternyata sudah p
Sebelum ke rumah Bu Wid, Dewi bertandang ke rumah Sumi untuk memberitahukan tidak perlu menyiapkan apa-apa karena semua kebutuhan tahlilan dia yang akan mempersiapkannya. Namun, Sumi tidak tinggal diam. Saat Rizky bermain dengan mainannya, dia pun membersihkan rumah, agar terasa nyaman jika para tamu datang."Assalamualaikum ...." Suara salam diiringi riuh terdengar dari depan. Beberapa ibu-ibu tampak membawa penganan serta minuman."Waalaikumsallam, masuk Bu." Sumi menyambut ramah.Mereka menata makanan yang dibawa dengan sesekali menggoda Sumi."Aduh, sebentar lagi Rizky punya Bapak baru, nih.""Cocok, tahu, Mbak dengan Armand. Satunya ganteng, satunya lagi cantik."Panas sebenarnya telinga Sumi mendengarkan celotehan ibu-ibu tersebut, tetapi ditahannya di hati. Dia hanya diam, tidak banyak bicara menimpalinya dengan senyuman karena tahu panjang urusan jika
Tragis, mengerikan? Pasti. Siapa yang bersekutu dengan iblis dan akhir hidupnya belum bertaubat, ruhnya akan penasaran bahkan bisa terpenjara dalam lingkaran si iblis. **** Kampung tempat tinggal Pak Dodo dengan Bu Astuti heboh atas peristiwa terbakarnya rumah juragan kaya di wilayah tersebut. Bagaimana tidak, selain seluruh bangunan beserta harta benda lainnya terbakar habis. Para penghuninya pun tersisa jadi abu. Sepasang suami istri tersebut juga kedua anak serta mantunya juga dua pekerja rumah tewas terbakar, keluarga itu hanya tinggal Dewi serta suaminya dan Armand yang kebetulan berada di luar kota untuk keperluan pekerjaan. "Bapak! Ibu!" Teriakan histeris Dewi membahana, suaminya serta Armand berusaha menenangkan. "Sudah, Teh, tenang ... sekarang kita urus acara pemakaman mereka serta tahlilan." Armand berusaha agar Dewi tidak terus berteriak, benar saja Dewi terdiam. Namun, bukan kare
Semua usaha Retno dan Mas Gondo telah mereka lakukan sebisa mungkin walau dengan tujuan berbeda. Satu iblis yang sama dipuja menyebabkan mereka bagaikan dipermainkan dan Sang Iblis hanya tertawa melihat para pemujanya berebutan menarik perhatian apa pun bentuknya."Tin, aku ke rumah Yudhis dulu, mencari jawaban bagaimana cara membunuh Retno." Mas Gondo pamit kepada kekasihnya setelah merasa baikan. Tini mengangguk sebagai jawaban.Terik matahari tidak menghalangi Tini menuju rumah Sumi, sepeninggal Mas Gondo hatinya merasa tidak tenang. Khawatir terhadap anak serta cucunya.Di bawah naungan payung hitam, Tini mengintip dari balik pohon. Perasaannya lega melihat Sumi serta anaknya dalam kondisi baik-baik saja. Namun, ternyata bukan Sumi yang harus dikhawatirkan keadaannya, tetapi dirinya sendiri karena dua pasang mata menatap tajam ke arahnya yakni Pak Dodo dan Bu Astuti. Benar saja, ketika Tini hendak melangkah pulang, l
Setelah menyantap makanan yang disajikan Adi, Retno menuju kamar mandi, membersihkan diri lalu bersiap menjalankan misinya. Mencari keberadaan Sumi, dia dapat merasakan getaran bahwa orang yang dicarinya tidak jauh dari kontrakan Adi.Setelah menengok kiri kanan, Retno mulai menyusuri jalan menuju perkampungan-perkampungan yang berada di belakang komplek perumahan tempat tinggal Adi, tetapi ada yang aneh dengan penampilan Retno kali ini. Dia menyamar sebagai pengemis, berpakaian lusuh, wajah ditutupi jelaga serta memakai selendang di kepala agar dapat leluasa menjalankan aksinya. Sungguh luar biasa tekad perempuan itu, semua demi kejayaannya.Mulut Retno komat-kamit, matanya terus mencari, berharap apa yang dilihat dengan mata batinnya benar adanya. Bahwa Sumi beserta anaknya berada di sekitaran daerah itu, tetapi dari kampung-kampung sudah dijelajahinya sosok dicari belum ketemu jua. Tubuh Retno mulai terasa lelah hingga dia memutuskan beri
Hampir tengah malam saat Adi sampai di kontrakan dan mendapati Retno masih terbaring lemah di lantai."Bik, Bibik!" Adi berusaha membangunkan Retno. Namun, perempuan itu tidak bergeming. Sehingga Adi memutuskan ingin membawanya ke rumah sakit, tetapi saat tubuhnya hendak diangkat, mata Retno membuka."Ambilkan tas Bibik, Di ...." Adi bergegas mengambilkan tas kecil yang diletakkan Retno di kursi, sebelum dia mencoba menerawang tadi."Ini, Bik!" Adi memberikan tas Retno kepada pemiliknya. Perempuan itu langsung mengeluarkan botol kecil berisi cairan merah pekat yang langsung diteguknya habis. Mata Retno mengerjap, wajahnya pun tampak segar setelah meminum cairan tersebut."Ada apa, kok, Bibik pingsan?" tanya Adi."Aku tadi berusaha mencari tahu keberadaan Sumi karena merasakan getarannya, tetapi saat berusaha lebih jauh lagi, aku diserang. Sepertinya oleh Gondo dan Yudhis,"