Berulang kali Hendra menghirup oksigen dan menghembuskan secara kasar untuk mengurangi sesak di rongga dada. Sebab, melihat kelakuan wanita yang baru saja menjadi istrinya itu.
"Ibuk nggak pernah mengaduh, La. Tapi, Mas tahu sendiri. Tolong hargai Ibuk, beliau sayang sekali sama kamu." Hendra meraih tangan istrinya yang mencengkram sprei.Manik hitam milik lelaki itu menatap Laila dengan tatapan memohon.Hendra benar-benar kasihan melihat ibunya yang sudah susah payah memasak, apalagi harus bangun pagi tanpa ada yang membantu. Walau keluarga Hendra golongan menengah ke atas, tetapi urusan rumah selalu diurus Bu Tari sendiri, tanpa asisten rumah tangga. Usaha Bu Tari mendekatkan diri pada menantunya mendapat penolakan. Hati Hendra sangat sakit melihat tatapan kecewa di mata ibunya."La, tolong!" Kembali Hendra memohon."Maaf, aku salah. Aku akan minta maaf sama Ibuk, tapi temenin ya?" Laila menundukan kepala. Ucapan maaf hanya untuk mengakhiri perdebatan di antara mereka. bukan berarti Laila serius untuk itu.Senyum di bibir lelaki berkumis tipis itu mengembang sempurna, lalu mengangguk mengiyakan permintaan Laila. Dia pikir Laila benar-benar sadar akan kesalahannya. Nyatanya tanpa sepengetahuan Hendra, istrinya itu tersenyum miring.'Kena kamu, Mas.' Laila bergumam dalam hati."Turun sekarang, yuk. Biasanya habis sarapan, Ibuk ada di taman, pas buat kamu minta maaf." Dengan antusian Hendra meraih tangan Laila. Tidak lupa, Hendra memberikan kerudung untuk menutup rambut indah milik istrinya."Nggak bisa nanti aja, Mas. aku belum selsai menggunakan masker." Laila berusaha menolak, tetapi Hendra tidak perduli.Laila panik, sebab dirinya hanya ingin mengambil hati suaminya. Namun semua terlambat Hendra sudah membawanya menuruni tangga.Sampai di dapur, mereka langsung menuju taman belakang milik pak Tono. Taman ini banyak di tanami bunga bugenvil dan beberapa pohon buah-buahan. Terlihat di tengah taman ada kolam ikan. Di situlah Bu Tari duduk sembari menikmati sinar mentari pagi, sedangkan Santi mengitari bunga guna membuang daun-daun kering."Buk, kenapa ya Laila sikapnya seperti itu? Sopan santunnya jauh banget, nggak seperti pamannya.""Ibuk juga nggak tau, San." Bu Tari memejamkan matanya, tidak terlalu menanggapi ucapan anaknya."Sepertinya Hendra salah-""Ibuk lagi apa? Enak banget habis sarapan santai di sini." Sebelum kakaknya menyelesaikan ucapan lebih dulu Hendra berbicara dan mendekati ibunya."Kamu ngagetin aja Ndra!" ujar Santi, sedikit kesal. Kemudian dia menoleh, lebih terkejut lagi melihat ada Laila berdiri tidak jauh dari pintu."Eh, ada Laila juga. Sini La, duduk." Santi sedikit salah tingkah, takut jika Laila mendengar apa yang diucapkan.Sementara Laila masih diam terpaku dan kedua tangannya mengepal. Kesal, ada yang membandingkan dirinya dengan orang lain. Ucapan Santi pun tidak di sambut baik."Sayang, duduk sini." Hendra lebih dulu duduk, lalu menepuk-nepuk kursi di sampingnya. Dia mencoba mencairkan suasana dengan bersikap seolah tidak mendengar apapun."Iya duduk di sini, La. Capek berdiri terus." Bu Tari menimpali ucapan Hendra.Dengan terpaksa Laila jalan mendekat, lalu duduk di samping suaminya.Kemudian Hendra memberi kode dengan usapan di tangan Laila agar berbicara pada Bu Tari, sesuai kesepakatan tadi. Namun, Laila tidak kunjung mengeluarkan suara. Sehingga Hendra yang lebih dulu membuka pembicaraan."Sayang, katanya kamu tadi mau bicara sama Ibuk."Bu Tari menoleh, menatap menantunya penuh tanya.Yang ditatap tentu saja menjadi salah tingkah, sebab Laila tidak siap mengakui kesalahannya. Kesal yang berangsur hilang, kini tumbuh kembali, malah semakin subur. Sehingga Laila merasa enggan meminta maaf pada sang mertua.'Tadi cuma pura-pura mau minta maaf, sekarang terjebak situasi nggak enak. huuu!' Dalam hati Laila menggerutu."Hm .... aku mau minta maaf, Buk," ucap Laila terbata sembari tertunduk. Tangan saling bertaut.Bu Tari tersenyum, lalu tangannya meraih tangan menantunya itu dan di tepuk-tepuk pelan."Tanpa kamu minta maaf pun, Ibuk udah memaafkan."Hendra menghembuskan napas penuh kelegaan, melihat kedua wanita spesial dalam hidupnya sudah akur. Walau sebenarnya dia yakin jika sang ibu tidak menyimpan dendam, tetapi ucapan maaf itu sangat penting. Apalagi Hendra mulai mengajarkan Laila untuk lebih menghargai dan memaafkan orang lain. Setelah Bu Tari dan Laila saling memaafkan, lalu keduanya berpelukan.Kini, Santi mendekati Laila untuk meminta maaf. Wanita itu berbesar hati lebih dulu meminta maaf karena melihat tatapan mata sang ibu berbinar bahagia saat memeluk Laila. Dia tidak ingin melihat kesedihan di mata tua itu hanya karena pertengkaran dirinya dan Laila. Namun, permintaan maaf itu disambut setengah hati."Mbak buat aku malu. Tapi, oke lah aku maafkan." Laila mengucapkan dengan gaya congkak.Terlihat Santi menghela napas. Meski kesal dengan jawaban Laila, dia berusaha tersenyum."Maaf udah buat kamu malu. Kita berbaikan?" Santi menyodorkan tangan.Laila menyambut tangan yang sudah lama menggantung di udara dan memiringkan sedikit bibirnya.Wanita yang mengenakan gamis tosca itu tidak pernah sadar jika yang membuat malu adalah dirinya sendiri, bukan Santi atau pihak keluarga lainnya. Namun, dia berasumsi penyebab kekacauan adalah iparnya itu.Lama tidak ada pembicaraan, sibuk dengan pikiran masing-masing. Kemudian ponsel di saku gamis Laila berbunyi, memecah keheningan."Siapa, Dek?" tanya Hendra ingin tahu."Emak." Laila menjawab sembari menggeser ikon hijau di layar ponselnya, lalu sedikit menjauh."Laila, bilang ke mertua kamu ya, besok Emak datang. Jangan lupa masakkan yang enak." Laila sedikit menjauhkan telepon dari telinga, sebab suara cempreng ibunya menyakiti telinga.Dan, suara itu pun masih bisa di dengar oleh Bu Tari, Santi dan Hendra. Padahal Laila cukup jauh dari mereka. Bu Tari dan anak perempuannya saling pandang, lalu tersenyum kaku. Permintaan ibu Laila terdengar sangat memalukan, belum lagi bertemu sudah minta di masakan."Jangan buat malu, Mak!" Laila berbisik."Alah sama besan sen-""Ck, sampai jam berapa nanti?" Laila berdecak kesal, sebelum ibunya selesai berbicara lebih dulu di potong."Kebiasaan, kamu suka seenaknya. Tunggu aja, pokoknya Emak minta banyak makanan yang enak, ya. Pamanmu bilang kamu dapat suami keluarga kaya." Tidak tahan dengan suara sang ibu, Laila memutus panggilan.'Punya Emak satu cerewetnya minta ampun. Aduh, mana buat malu lagi.' Laila menebalkan muka menghadap mertua dan suaminya. dia tersenyum kaku."Buk, Emak di kampung katanya mau datang besok," ujar Laila."Mau ngapain ke sini?" Santi bertanya sembari tersenyum sumbang, sebab dia tidak suka dengan permintaan ibu iparnya itu."Huss .... Santi!" Bu Tari memperingatkan.Kemudia Bu Tari berkata pada Laila,"Kamu tenang aja, kita semua bakal nyambut Ibu kamu.""Pak, besan kita mau datang. Bagusnya masakkan apa, ya?" Bu Tari sedari tadi memikirkan membuat masakan apa untuk besannya itu, sehingga wanita paruh bayah itu tidak bisa memejamkan mata. Padahal hari sudah larut malam.Pak Tono yang sudah memejamkan mata, kini kembali membuka matanya mendengarkan ocehan sang istri yang tidak ada habisnya."Masak apa ya, Pak?" Pertanyaan kedua di lontarkan. Namun, Pak Tono tidak juga menanggapi. Wanita paruh bayah itu menoleh. "Lah wong di tanya kok malah diam aja, dikasih solusi loh, Pak. Jangan diam aja.""Dari tadi itu terus yang di bahas. Udah kamu masak yang biasa aja. Kalau nggak tanya Laila, ibunya suka apa." Pak Tono memberikan saran."Terserah Ibuk aja, yang penting makanan enak. Itu yang diminta ibuku." Begitu kata Laila kala Bu Tari menanyakan apa makanan kesukaan besannya.Tentu saja Bu Tari semakin bingung harus memasak apa. Laila seakan tidak perduli akan kedatangan sang ibu. Dia terkesan tidak bahagia. Padahal sudah cukup lama wanita it
"Mak, rumah Kak Laila bagus banget ya," ucap anak berusia empat tahun yang baru saja turun dari angkot.Setelah membayar, Bu Hambar menjawab pertanyaan anaknya."Iya, kakakmu udah jadi orang kaya. Kamu bisa minta apa aja."Riuh gembira keempat anak Bu Hambar, menyambut ucapan sang ibu.Dipandangi rumah di hadapannya.Rumah siapa lagi, jika bukan rumah keluarga Pak Tono. Rumah bergaya modren dengan pagar besi mengelilingi serta perpaduan cat warna putih dan krem membuat rumah minimalis itu terlihat mewah. Apalagi sekeliling rumah banyak pepohonan dan rerumputan hijau, menambah kesan sejuk dan teduh.Ya, Bu Hambar baru kali ini menginjakkan kaki di rumah besannya. Saat acara pernikahan dan resepsi tidak bisa datang karena di kampung halaman sedang masa tanam padi. Sebagai buruh, tentu saja Bu Hambar tidak bisa meninggalkan sumber mata pencariannya.Sebagai perwakilan, maka Paman Laila yang mendampingi. Setelah mempunyai kesempatan untuk datang, tidak membuang waktu Bu Hambar datang ke k
"Bu-kan gi-tu, Mbak." Laila tergagap.'Mati! Salah ngomong!' gumam Laila dalam hati."Kamu-"Karena panggilan dari Bu Tari, Santi menyudahi introgasi. Kemudian mengambil piring berisi cemilan. Sebelum meninggalkan dapur dia memberikan lirikan maut. "Bilang mau aja, susah banget!" Santi menggerutu.Setelah kepergian Santi, istri Hendra itu menghembuskan napas lega dan mengusap dadanya.'Hampir aja ketauan. Enak banget itu kue, baru juga coba dikit,' keluh Laila dalam hati. Dan, segera Laila menyusul iparnya.Cemilan baru saja di letakkan, dengan cepat pula tangan Bu Hambar dan anak-anaknya mengambil kue dan makan dengan rakus, seperti orang kelaparan.Santi dan Roni bergidik ngerih melihat cara makan anak-anak Bu Hambar. Pak Toni dan Bu Tari saling lirik."Loh, Emak kok udah sampai sini? Tadi aku sama Mas Hendra cari di terminal nggak ada.""Iya, Mak. Kami muter-muter nggak ketemu jadi pulang." Hendra ikut menimpali ucapan istrinya. Sedari tadi Hendra ingin bertanya, tetapi tidak memi
Bu Hambar beserta anak-anaknya berjalan menuju meja makan. Laila dan Bu Tari sudah lebih dulu. Sebelum Laila meninggalkan ibunya, dia berpesan agar tidak makan terlalu banyak karena akan mempengaruhi citranya sebagai menantu tersayang. Namun, sepertinya kata-kata Laila tadi tidak diindahkan.Terbukti saat ini, Bu Hambar berbisik ke anak-anaknya,"Makan yang banyak aja, nggak apa. Semua yang ada di sini punya kakak kalian.""Hore, Ibu memang terbaik." Anak Bu Hambar yang paling kecil mengacungkan kedua ibu jari. Senyum bu Hambar tidak luntur. Saat sudah di meja makan, berulang kali menelan saliva, melihat banyaknya hidangan. Ada gulai udang, sup ayam, dan rendang yang dimasak sepenuh hati.Wanita yang masih muda. Namun, terlihat tua karena banyak terpapar sinar matahari itu mengamati keadaan. Dilihat tidak ada pak Tono, Santi dan menantu kesayangan. Hatinya bersorak gembira bisa makan tanpa harus memperhatikan sopan santun."Mana yang lainnya, Buk?" tanya Bu Hambar sekadar berbasa bas
Di bengkel, Hendra masih berkutat dengan peralatan bengkel dan oli. Tidak seperti biasanya dia hanya memantau keadaan bengkel, tidak pernah turun tangan langsung. Kali ini sedikit berbeda, padahal sebentar lagi azan magrib berkumandang. Bengkel pun sudah tutup sedari tadi, tetapi tidak mengurungkan niat lelaki itu untuk berhenti bekerja.Lelaki yang mengenakan pakaian bengkel itu bekerja untuk mengurangi beban di hati. Perbincangan bersama sang ayah sangat mengganggu pikirannya."Ndra, kamu saat mau menikahi Laila apa nggak tau seluk beluk keluarganya?" tanya Pak Tono kala itu.Hendra sudah bisa menebak arah pembicaraan ini. Sudah pasti membahas perihal sikap ibu mertuanya. Kemudian lelaki itu menggelengkan kepala karena saat menikah memang benar-benar tidak tahu seperti apa keluarga Laila. Yang dia tahu paman istrinya adalah orang taat agama dan berakhlak baik. Itulah yang membuat dia tertarik untuk meminang Laila. "Bapak nggak habis pikir ..., kenapa ibunya Laila seperti itu sikap
Pagi ini seperti biasa selesai memasak Bu Tari memanggil semua orang untuk menyantap sarapan.Hendra dan Laila turun, dengan sigap Laila membantu Bu Tari yang menyusun lauk dan piring. Kemudian dengan cekatan menyendokkan nasi ke piring suaminya.Itu semua tidak luput dari pandangan Pak Tono dan Bu Tari. Keduanya saling lirik dan tersenyum tipis."Lihat Pak, Hendra berhasil didik istrinya," bisik Bu Tari dan diangguki oleh Pak Tono."Ayo, La. Kamu makan juga, jangan terlalu sibuk ngurus Hendra," ujar Bu Tari sembari menyendokkan nasi. Namun, belum sempat mendarat di piring, Laila lebih dulu menolak."Maaf, Buk. Aku belum bisa makan nasi." Kemudian Laila mengambil appel yang tersedia. Ya, dia memutuskan makan buah saja dari pada makan nasi yang konon katanya bisa membuat tubuh langsingnya berubah."Oh, iya. Ibuk lupa, kamu belum terbiasa makan nasi kalau pagi."Akhirnya disela makan Bu Tari banyak bertanya tentang kehidupan Laila selama ini. Tentu saja Laila sedikit melebih-lebihkan ce
"Aku nggak kenal, Buk. Ayo kita pergi." Laila menarik paksa tangan Bu Tari."Tapi, kita belum selesai belanja, La." Bu Tari sedikit terhuyung, sebab Laila menariknya terlalu kuat. Namun, wanita yang mengenakan gamis hitam itu tidak perduli dengan keadaan mertuanya.Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah pergi menjauh dari mantan kekasihnya itu. Jika berlama-lama ditakutkan Bu Tari akan tahu siapa lelaki tadi.Ya, lelaki yang menyapa Laila adalah Doni. Dari kejauhan dia melihat Laila sendiri, itu sebabnya Dia menghampiri karena rindu yang menggebu."La, pelan-pelan. Kaki Ibuk sakit," ujar Bu Tari dengan napas terengah.Sontak saja Laila langsung melepas genggaman tangannya. Terlihat kulit putih Bu Tari memerah, lalu wanita itu mengusap kulitnya yang terasa sakit.Melihat itu Laila mengucapkan maaf dan meminta pada mertuanya untuk segera pulang dengan alasan tubuhnya lelah dan Bu Tari mengiyakan, wanita itu pun merasakan hal yang sama. "Kayaknya Ibuk pernah jumpa laki-laki tadi, tapi
Hendra melakukan perjalanan bersama sahabat karibnya. Lelaki itu menyandarkan tubuh di sandaran kursi sembari menutup kedua matanya."Kenapa Bro? Kusut amat tuh muka?" tanya Saka memecah keheningan di antara mereka. Di nada bicaranya terselip kekhawatiran sebab tidak biasa sahabatnya itu tidak banyak bicara.Perlahan mata Hendra terbuka dan tersenyum melihat Saka."Nggak ada, pengen istirahat aja." Hendra masih belum jujur apa yang membuatnya terlihat berbeda. Lagi, lelaki itu memejamkan mata.Saka menghela napas dalam."Ayolah jujur, ada apa? Nggak usah sungkan, Ndra. Kita berteman bukan sehari dua hari, udah belasan tahun."Hendra tetap saja tidak ingin memberitahu kegundahan hatinya tentang keuangan. Sejak Laila menjadi istrinya ada saja yang diminta, Hendra pun tidak mampu menolak dan akibatnya keuangan tidak stabil. Dia bukan tidak mau bercerita. Namun, Hendra hanya menjaga perasaan sahabatnya. Jika tahu perangai Laila tentu saja sahabatnya itu akan merasa bersalah karena sedikit
"Apa-apaan ini, Mas?" "Rasakan! Buat malu. Bukannya untung malah dapat malu nikahin kamu. Cantik-cantik murahan. Cuih!" Lelaki bertubuh tambun serta rambut putih memenuhi kepalanya itu berkacak pinggang setelah mendorong istrinya hingga terjerembap. Tidak puas sampai di situ dia pun membuka ikat pinggang, lalu diayunkan hingga mengenai punggung wanita yang sudah setahun menjadi istrinya. Tidak ada belas kasihan karena emosi membakar hati.Plak! Plak!"Ampun, Mas ...." rintih Laila.Ya, wanita itu adalah Laila yang sudah menikah dengan juragan tanah di kampung satu tahun lalu ...."Mak, apa-apaan ini? Aku nggak mau nikah sama dia. Udah tua!" kata Laila kala baru tiba di rumah."Tapi kaya, dari pada kau kejar terus Hendra itu nggak dapet-dapet. Jamuran aku nunggu kaya. Sekarang rumah ini hasil dari juragan Seno. Mau nggak mau kau harus nikah sama dia.""Nggak!"Para tamu undangan saling pandang melihat perdebatan ibu dan anak itu. Begitu juga Juragan Seno merasa di permalukan karena m
Sudah satu jam Hendra bersama yang lainnya mencari Ahmad, tetapi belum juga mendapatkan titik terang.Pikiran semakin kalut kala melihat awan mulai berubah warna kuning keemasan, sebentar lagi waktu magrib tiba. "Gimana Ndra, udah ketemu belum, Le?" tanya Bu Tari di seberang telepon.Wanita paruh paya itu menunggu di rumah harap-harap cemas, tidak bisa ikut mencari karena sejak Ahmad hilang tubuhnya tiba-tiba lemas tak bertenaga dan tidak berhenti menangis. "Belum Buk, ini Saka, Hendra masih fokus ke jalanan.""Kalau udah ketemu langsung kabari Ibuk, ya," kata Bu Tari dengan suara parau. Setelah mengiyakan lantas sambungan telepon terputus."Gimana ini Ndra, belum ketemu juga?" tanya Saka yang mengemudi menyusuri jalanan.Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Hendra. Pandangan tidak lepas sepanjang jalan, dengan teliti mencoba mencari Ahmad di tengah padatnya jejeran rumah hingga tepi jalan raya. Bibirnya tidak berhenti melapaskan nama Allah agar hati lebih tenang, meski situasi
Beberapa kali Laila mencoba menemui Ahmad di luar hanya mendapat kegagalan. Padahal dia ingin sekali menggunakan Ahmad sebagai alat agar uang terus mengalir ke dompetnya. Namun, ada saja halangannya. Kini, dia kembali mencoba, tetapi di rumah Bu Tari. Berharap Ahmad bermain di luar.Baru percobaan pertama mendapat penolakan dari penjaga rumah. Dia kekeuh ingin masuk hingga memancing amarah. Tanpa rasa hormat penjaga tersebut menyeret Laila hingga jauh dari rumah majikkannya."Lebih baik, Mbak pergi dari sini.""Huuu, dasar pembantu kurang ajar," makinya kesal sembari berjalan menjauh.Wanita itu tidak menyerah, dia mencari tempat sembunyi menunggu Hendra keluar rumah, baru menemuinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Laila tersenyum lebar saat melihat mobil Hendra keluar. Cepat dia menghadang.Decitan ban mobil dan jalan memekakan telinga. Terpaksa ngerem mendadak. Lantas Hendra dan Saka saling pandang melihat wanita berdiri merentangkan tangan."Laila," gumam Hendra tak percaya dengan p
Berkat bantuan ibunya kini Laila benar-benar terlepas dari Arman, lelaki yang diperjuangkan, tetapi penuh perjuangan pula saat ingin lepas darinya. Laila mengancam akan membunuh jika Arman tidak pergi. Mau tidak mau, setelah terucapnya talak Arman pergi dari kampung, membawa amarah terpendam.Sekarang dengan tekat yang kuat, Laila akan berangkat ke tempat di mana dia selalu di jadikan ratu. Cukup sudah penderitaannya yang dia rasakan. Berbekal uang hasil kerja keras menjadi buruh dia pergi menggunakan bus. Dia duduk gelisah, tidak sabar menemui lelaki yang selalu berada dalam benaknya. Berharap dalam hati sang pujaan hati belum memiliki tambatan hati baru.Setelah melakukan perjalanan panjang, akhirnya Laila sampai di terminal."Akhirnya .... Aku datang, Mas ...." ucapnya sembari menghirup udara kota yang sudah lama tidak dirasakan. Bibirnya tidak henti tersenyum.Rindu kian menggebu kala mengingat semua kenangan manis bersama Hendra berputar bak karet. Padahal dulu Laila menganggap
"Paket .... Paket ....""Iya, paket dari siapa, Mas?" tanya Laila pada kurir. Merasa heran tidak biasanya ada paket."Ada alamatnya di situ, Kak, bisa dilihat sendiri."Wanita yang mengenakan kerudung instant itu mendengkus. Tentu dia tahu, hanya saja malas membaca siapa pengirimnya. Bertanya lebih mudah, begitu menurut Laila.Setelah membubuhkan tanda tangan, kurir segera pergi meninggalkan Laila yang wajahnya berubah masam."Apa sih, ini?" Dibaca alamat yang tertera. Betapa senangnya Laila tahu jika pngirimnya adalah Hendra. Tanpa sadar dia senyum-senyum sendiri membayangkan isinya. Sebab, teringat ibunya yang menelepon meminta uang pada mantan suaminya itu."Apa uang, ya. Tapi, ringan. Apa surat rumah?" Laila menerka-nerka seraya membuka bungkusan itu. Tidak sabar mengetahui isinya. Jika benar dugaanya, betapa senang hidupnya."Eh, apaan tuh, La? Tumben banget dapet paket?" tanya Wak Ijah yang lewat seketika Laila menghentikan aktivitasnya."Bukan urusan Uwak, paket-paketku juga."
"Kenapa uangnya cuma segini!" bentak Arman karena Laila membawa pulang uang hanya lima puluh ribu saja."Memang adanya segitu. Lihat ini tanganku melepuh kerja dari pagi sampai jam segini. Pulang-pulang malah dapet amukan. Kita cerai aja!" teriak Laila tidak kalah kuat. Mencoba untuk tidak kalah. Lantas melangkah pergi, tetapi baru beberapa langkah Arman mencekal tangannya.Plak! Plak!"Apa katamu? Cerai? Enak aja. Atau mau aku viralkan video kita?" tanya Arman sembari menunjuk-nunjuk wajah wanita yang baru sehari menjadi istrinya.Serangan yang tiba-tiba membuat Laila terduduk di lantai, tak kuasa menahan tangis. Bukan karena sakitnya tamparan, tetapi tidak tahan hidup dalam kemiskinan dan tekanan lelaki yang kini menatap nyalang ke arahnya. "Nangis? Gitu aja nangis?" teriak Arman. Urat lehernya sampai terlihat karena terlalu emosi."Kalian ini kenapa sih, ribut terus. Lihat itu, semua ketakutan." Bu Hambar menunjuk anak-anaknya yang mengintip di balik pintu kamar.Sepasang suami
"Nah, ini Pak RT dia bawa laki-laki masuk ke rumah ini," ujar Wak Ijah sembari menunjuk wajah Laila."Usir aja! Usir!"Iya usir dari kampung kita!"Mengerti maksud wanita di hadapannya, seketika Laila panik. Apalagi terdengar sahutan dari beberapa warga yang meminta dirinya di usir. Belum hilang rasa sakit dipukul sang ibu, kini harus menghadapi kenyataan bahwa warga sudah tahu keberadaan Arman. Dia melihat ibunya serta lelaki yang sama paniknya dengan dirinya. Bingung harus berbuat apa. Sedangkan Arman segera menjauh tahu situasi tidak aman, sebelum warga menyadari keberadaannya."Ada apa ini Pak? Kenapa ribut di rumah saya?" tanya Bu Hambar yang baru beranjak dari duduknya seraya mengerutkan alis bingung. Sebab, pelataran rumah penuh dengan warga dan tatapan sinis terasa menusuk.Belum lagi dia melihat kumpulan geng gibah ikut serta. Mereka tersenyum remeh, membuat Bu Hambar geram."Begini Buk, ibu-ibu di sini heboh karena melihat Laila bawa laki-laki selain suaminya masuk ke rumah
"Tumben pulang? Ada angin apa?" tanya Bu Hambar. Terkejut melihat putrinya pagi-pagi sudah berdiri di depan pintu dengan dua koper di bertengger cantik di belakangnya."Aku laper mau makan." Tanpa memperdulikan tatapan protes dari sang ibu, Laila menerobos masuk.Tubuhnya lelah minta istirahat setelah melakukan perjalanan cukup panjang. Ya, tadi malam Arman berhasil mencari bus tercepat menuju desa hingga pagi-pagi buta telah sampai di rumah ibunya. Meski harus bertaruh nyawa karena supir bus yang ugal-ugalan.Dia langsung menuju dapur mencari makanan, lalu setelahnya memeriksa baju-bajunya agar terlihat sibuk, tidak ingin mendapat pertanyaan yang tentu sulit di jawab. Sementara itu Bu Hambar yang akan pergi ke sawah mengurungkan niatnya. Menatap penuh curiga gelagat putrinya yang tidak biasa. Menjadi orang sok sibuk. Tahu betul anaknya tidak pernah serajin dan tanpa ada sebab pulang begitu saja. "Kenapa pulang sendiri? Mana Hendra?"Pertanyaan itu menghentikan aktivitas Laila. Dili
Sudah seminggu sejak Laila memutuskan meninggalkan rumah. Sejak itu pula Ahmad tidak berhenti menangis mencari ibunya.Selalu menanyakan di mana ibunya, kenapa belum kembali. Tidak satu pun Hendra jawab, hanya mencoba mengalihkan perhatiannya. Namun, hanya bertahan sebentar saja karena setelahnya Ahmad kembali menangis."Amad berhentilah nangis, Nak." Hendra mulai frustasi menghadapi anaknya yang menangis sejak bagun pagi.Tadi Hendra di bantu Saka, hanya diam sebentar lalu menangis lagi. Hingga akhirnya Hendra meminta sahabatnya itu untuk pergi menggantikan dirinya di bengkel. Mau sepercaya apapun pada kariyawan bengkel tidak bisa di tinggal begitu saja.Sudah beberapa hari ini Hendra tidak bekerja, harinya habis untuk bermain dan menenangkan Ahmad saat menangis mencari Laila hingga penampilannya kacau. Tubuh wangi serta baju rapi tidak ada lagi, hanya ada kantung mata hitam karena terlalu sering bergadang."Amad mau Bubu, Ayah .... Bubu kemana nggak pulang-pulang?" tanya anak kecil