Setelah selesai merencanakan dan mengatur di mana Allen dan ayahnya akan membagi posisi orang-orang mereka, Allen mengakhiri pertemuan mereka. Sekarang, waktunya Allen berbicara dengan Dokter Abian setelah yang lainnya pergi. Allen sudah akan bicara ketika menyadari ayahnya yang tadi sudah berdiri, kembali duduk di kursi kerja Allen, sementara Val sudah keluar.“Apa ada hal lain lagi yang perlu kau bicarakan?” tanya Allen tanpa basa-basi pada ayahnya.“Tidak,” jawab ayahnya. “Aku hanya merasa sedikit lelah dan ingin istirahat di sini sebentar.”Omong kosong macam apa itu? Namun, Allen memutuskan untuk mengabaikan ayahnya. Toh, dia ada atau tidak di sana tidak akan mempengaruhi apa pun.“Sepertinya, ada yang ingin kau bicarakan denganku,” Dokter Abian berkata.“Ya,” jawab Allen. Ia juga tak perlu berbasa-basi dengan dokter ini. “Siapa kau sebenarnya?”Dokter Abian mengangkat alis. “Bukankah kau sudah tahu jika aku dokter keluarga Martin?”“Aku tidak tahu jika seorang dokter keluarga bi
Val terdiam cukup lama setelah Allen membagi informasi dari Dokter Abian mengenai peran dokter keluarga Woodz dan dokter keluarga Martin yang sebenarnya. Menurut Dokter Abian, Val belum tahu tentang itu karena masih ada George. Informasi itu hanya diturunkan pada dokter utama keluarga.“Apa kakekmu … tak pernah mengatakan sesuatu padamu tentang itu?” tanya Allen.Val menggeleng. “Sejujurnya, aku sudah menyadari ada yang janggal ketika hal yang harus kupelajari sebagai dokter keluarga bukan hanya hal-hal tentang medis,” ungkapnya. “Maksudku, dokter macam apa yang belajar tentang cara mendapatkan informasi, pengintaian, beladiri, bahkan hingga strategi?”Benar juga. Brand sangat dekat dengan Val. Dia selalu menyebutkan tentang kemampuan strategi Val. Meski ketika bersama Allen, Val hanya terus beromong kosong. Well, Allen tak bisa menyebutnya omong kosong sekarang ketika apa yang dia katakan tentang Freesia di awal keberadaan wanita itu di rumah ini dulu menjadi kebenaran.“Aku benar-be
“Brandon Woodz!” Allen menyerukan nama itu.“Aku di sini. Kau tak perlu berteriak-teriak,” balas pria bertopeng hitam itu.“Apa yang terjadi? Bagaimana bisa …?”“Nanti.” Hanya itu yang dijadikan jawaban pria itu untuk semua tanya yang berkecamuk di kepala Allen. “Orang-orangku sudah menangkap anggota keluarga Bennet yang ada di markas mereka dan akan segera membawa mereka kemari. Kita akan mengeksekusi mereka malam ini.”Allen tak punya pilihan selain menuruti kata-kata pria itu. Saat ini, prioritasnya memang adalah keluarga Bennet. Ia tidak boleh teralihkan. Meski begitu …“Sekarang semua sudah selesai, kau bisa melepas topengmu,” Allen berkata.Brand mungkin memakai topeng agar Rod tak mengenalinya. Bahkan Allen pun mungkin tak akan mengenali Brand jika bukan karena suara kakaknya itu. Tidak hanya memakai topeng, tapi rambutnya tumbuh memanjang hingga bawah telinga. Bahkan, sebagian rambutnya menutupi bagian kanan wajahnya yang tertutup topeng.“Nanti,” jawab Brand lagi. Lalu, dia m
Eksekusi keluarga Bennet berakhir dengan tewasnya Rod di tangan Brand. Setelahnya, Allen, Brand, dan ayah mereka pergi ke ruang kerja Allen untuk bicara. Ayah Allen duduk dulu di sofa tunggal, lalu Allen dan Brand duduk di sofa kanan-kirinya yang berhadapan.Brand perlahan melepas topengnya. Allen mengernyit melihat luka bakar dari bagian kanan keningnya, pelipis, hingga nyaris ke pipinya. Dalam kecelakaan Sonya itu, mobil Sonya terbalik, terbakar, dan meledak. Tiga tubuh yang terbakar ditemukan di sana. Sonya, suaminya, dan Brand.Namun, saat ini Brand berada di sini dengan luka bakar di keningnya. Itu berarti, ada orang lain yang menjadi korban dalam kecelakaan itu. Apa yang sebenarnya terjadi …?“Ada dua orang dari keluarga Bennet di dalam mobil yang menabrak mobil Sonya,” Brand bercerita. “Ketika aku berusaha menolong Sonya, salah satu dari mereka berusaha mencelakaiku. Saat itulah, tepat sebelum mobil meledak, Sonya mendorongku ke sisi jalan di tepi jurang. Efek dari ledakan itu
Freesia terkejut ketika melihat seorang pria yang tak dikenalinya ada di ruang makan saat ia masuk ke sana bersama Allen dan Lily untuk sarapan. Pria itu memakai topeng setengah wajah yang menutupi bagian mata kanan hingga pipinya. Lily yang juga tampaknya terkejut, menarik-narik ujung baju Freesia.Freesia menoleh dan mendapat Lily sudah bersembunyi di belakangnya. Reaksinya nyaris sama dengan saat ia bertemu ayah Allen. Freesia sudah akan menggendong Lily, tapi lagi-lagi Allen bergerak cepat dan menggendong anak itu lebih dulu.“Itu Brand,” Allen menyebutkan.Brand? Brand, kakak Allen? Namun, bukankah dia sudah …?“Bland?” tanya Lily.“Ya,” jawab Allen. “Dia kakakku. Jadi, dia adalah ommu.”“Om?” Lily mengerutkan kening. “Apa dia … kelualgaku?”Allen tersenyum kecil. “Ya. Dia keluargamu.”“Whoaaa …” Lily ternganga takjub. “Kelualgaku beltambah lagi. Setelah nenek, kakek, sekalang aku punya om!” Lily terkekeh.Freesia memperhatikan ekspresi sendu Brand yang tertuju pada Lily. Jadi …
Ketika Lily tidur setelah makan siang, Allen mengajak Freesia ke ruang kerjanya karena Brand ingin bicara dengan mereka. Freesia tidak tahu banyak tentang Brand selain jika dia adalah kakak sulung Allen dan dia adalah bos di rumah ini sebelum Allen.Tunggu. Bagaimana jika Brand tak menyetujui hubungan Freesia dengan Allen? Dia mungkin akan memberi Freesia uang untuk meninggalkan Allen. Tidak, tidak. Dia tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Freesia juga sedang hamil anak Allen.Jika bukan itu … apa dia akan memarahi Freesia? Itu masuk akal. Mengingat bagaimana tadi pagi mereka semua berjemur di tepi kolam renang sambil mendengarkan lagu anak-anak. Meski ayah Allen sepertinya tak keberatan dan menikmati waktu bersantai mereka tadi, tapi Freesia tak tahu bagaimana reaksi Brand. Pria itu juga tak banyak bicara sepanjang pagi tadi.“Um … Allen,” panggil Freesia dalam perjalanan ke ruang kerja pria itu.“Kenapa, Freesia?” tanya pria itu.“Kakakmu itu … dia orang yang bagaimana?” tanya F
“Aku akan mendukung rencana kalian mengambil alih perusahaan keluarga Martin,” Brand berkata. “Dan kurasa, Mary juga pasti tidak akan keberatan dengan itu. Well, jika itu untuk cucunya, dia akan memberikan apa pun.”“Kau … mengenal nenekku?” Freesia tampak terkejut.Brand tersenyum. “Aku banyak belajar dari Mary tentang bisnis.”“Oh …”“Dia juga pernah memintaku untuk membantu cucunya jika suatu saat dia tertarik dengan bisnis keluarganya,” lanjut Brand.Freesia tersenyum sendu. “Aku benar-benar … sudah tidak adil pada nenekku,” ucapnya. “Aku selama ini selalu berpikir jika dia hanya memaksaku melakukan hal yang tak kuinginkan. Tapi, aku sekarang sadar, dia melakukan semua itu benar-benar untukku. Karena seandainya orang tuaku masih ada … dia hanya ingin aku melakukan apa yang kuinginkan.”Brand mengangguk. “Nenekmu punya impian untuk menghabiskan waktu tuanya bermain denganmu,” Brand berkata.Freesia mengernyit dan tampak akan menangis.“Aku tahu kau sudah salah paham tentang nenekmu
“Mama masih sedih?” tanya Lily dengan nada sedih.Freesia tersenyum dan menggeleng. “Maaf, Mama membuatmu khawatir,” sesalnya.Lily menggeleng. “Mama jangan sedih lagi. Kan, Mama sudah bilang sendili, aku bisa belmain ke lumah itu lagi kapan pun aku ingin. Itu belalti, Mama juga bisa pelgi ke sana kapan pun Mama ingin.”Freesia tersenyum sendu dan mengangguk. Padahal ia yang mengatakan itu pada Lily, tapi justru Freesia yang bereaksi seperti ini. Lily bahkan tak menangis ketika berpisah dengan orang-orang rumah Allen tadi. Namun, justru Freesia yang menangis. Val bahkan menertawakan Freesia hingga Lily mengomelinya dan mereka berdebat sampai detik terakhir perpisahan mereka tadi.“Lily benar, Freesia,” ucap Allen sembari merangkul Freesia. Pria itu duduk di sebelah kanan Freesia. “Aku tak tahu apa yang membuatmu sesedih itu ketika rumah itu penuh dengan aturan yang tak bisa memberi kau atau Lily kebebasan.”“Tapi, itu adalah rumahmu, Allen,” Freesia berkata. “Aku tahu, kau punya banya
Beberapa minggu kemudian …“Mama!” Lily berlari masuk ke rumah dengan membawa selembar kertas di tangannya.Freesia yang menunggu di ruang tamu seperti biasanya, meski kali ini tanpa Leon yang masih tidur, tersenyum menyambut kepulangan putrinya itu.“Bagaimana sekolahmu tadi, Kakak Lily?” tanya Freesia ketika Lily mencium pipinya.“Mama, lihat ini!” Lily mengangkat selembar kertas yang dibawanya tadi dan Freesia bisa melihat gambar di sana.Freesia ternganga takjub melihat gambar dirinya di sana. Freesia yang duduk di kursi santai di tepi kolam renang rumah Allen. Dan itu adalah gambar Freesia yang sedang tertawa. Dari semua fiture Freesia di gambar itu, ekspresi Freesia tampak begitu jelas. Kebahagiaan yang dirasakan Freesia tergambar dengan baik di sana.“Aku dan Reyn menggambar ini bersama-sama,” Lily berkata.Ah … jadi ini ekspresi yang disukai anak-anak ini dari Freesia? Freesia memeluk Lily.“Terima kasih, Sayang,” ucap Freesia sungguh-sungguh.Lily terkekeh bangga. “Reyn bilan
“You’re impressive,” Brand berkomentar sembari mengawasi Lily dan anak-anak panti asuhan Alia bermain di kolam renang dari balkon lantai dua. Ah, ada satu lagi, anak yang menjadi sumber keresahan Allen saat ini. Anak seusia Lily yang bernama Reyn.“Yeah, indeed,” timpal Val. “Aku takjub Freesia masih menerimamu sebagai suaminya.”“Huh! Kalian belum merasakan saja jika kalian punya anak perempuan,” cibir Allen. “Anak itu bahkan sudah berani menggandeng tangan Lily …”“Kudengar, Lily yang menggandeng tangannya dulu. Jangan memutarbalikkan fakta dan membuat anak orang lain menjadi kriminal,” tegur Brand.“Jika Lily menggandeng tangannya lebih dulu, bukankah seharusnya dia melepaskan tangan Lily jika dia memang seorang gentleman?” balas Allen.“Freesia benar,” tukas Val. “Kau tak masuk akal. He’s a baby, Dude! A freaking baby!” Val terdengar frustasi.“Allen, jika kau terus bersikap seperti itu, kau akan merepotkan Freesia.”Brand, Allen, dan Val menoleh ke sumber suara yang berada di pin
Sejak dia bangun tadi, Lily tampak sangat bahagia. Tidak, lebih tepatnya, sejak Allen mengatakan jika dia akan mengajak Freesia dan Leon mengantarkan Lily ke sekolah. Allen sudah memberitahukan Freesia tentang situasi Reyn dan dia ingin Freesia menemui Reyn agar anak itu tidak terlalu waspada pada orang dewasa.Mungkin karena perlakuan orang-orang panti asuhan, anak itu terlalu waspada pada orang dewasa. Karena itu, dia selalu menolak bantuan guru-guru sekolahnya. Dia pertama kali membuka diri pada Lily yang berkeras menemaninya seharian kemarin.Ketika mereka tiba di sekolah Lily, Leon tertidur. Kepala sekolah Lily yang sudah dihubungi Allen dan menyambut mereka di gerbang, mengantarkan Freesia ke ruang kesehatan agar Leon bisa tidur dengan nyenyak di sana. Freesia memercayakan Leon pada dua pengasuh dan dua pengawal sebelum dia pergi ke tempat Lily dan Reyn berada. Sementara, Allen pergi ke ruang kepala sekolah untuk membicarakan masalah panti asuhan Reyn dengan pihak sekolah.Salah
Lily baru masuk ke ruang kelasnya ketika melihat salah satu teman sekelasnya didorong temannya yang lain hingga jatuh terjengkang ke belakang.“Jangan dekat-dekat! Bajumu jelek!” hardik Lucy yang mendorong teman sekelas Lily yang lainnya tadi.Lily bergegas menghampiri Reyn, anak laki-laki yang didorong Lucy hingga jatuh tadi. Reyn adalah anak yang baru masuk beberapa hari terakhir ini. Dia adalah anak dari panti asuhan. Dia masuk ke sekolah ini sebagai murid beasiswa. Lily dengar, salah satu guru kesenian di sekolahnya melihat kemampuan menggambar Reyn dan menawarkan beasiswa untuk Reyn.“Kenapa kalian jahat sekali pada Reyn?!” tegur Lily.“Lily, kau jangan dekat-dekat dengan dia! Kau tidak lihat bajunya? Jelek dan kotor. Bajumu bisa ikut kotor!” Lucy heboh.Memang yang dikatakan Lucy tidak salah tentang baju seragam Reyn yang jelek karena warnanya pudar dan kotor karena noda yang tidak hilang meski telah dicuci. Sepertinya itu seragam bekas. Namun, dia tidak harus mengatakannya deng
Beberapa bulan kemudian …Pintu kamar tidur Allen dan Freesia terbuka lebar dan Lily yang sudah memakai seragam sekolah, menghambur masuk sembari berseru,“Selamat pagi, Mama, Papa, Leon!”“Selamat pagi, Kakak Lily,” Freesia yang duduk bersandar di kepala tempat tidur sembari menyusui putranya, Leon, membalas sembari tersenyum.“Lily, jangan ganggu adikmu,” Allen mengingatkan Lily.“Papa, kapan aku mengganggu Leon?” protes Lily sembari melepas sepatu sekolahnya dan naik ke tempat tidur.Bahkan setelah dia memprotes peringatan Allen, dia langsung menciumi pipi Leon yang sedang menyusu. Akhirnya, seperti biasa, Leon mulai risih dan merengek.“Lihat itu, kau mengganggunya!” tuding Allen.“Aku hanya memberinya ciuman selamat pagi,” Lily beralasan sembari mundur.Freesia hanya tersenyum geli sembari menenangkan Leon. “Leon sepertinya masih mengantuk. Nanti setelah dia tidur, kita sarapan bersama, ya, Kakak Lily?”“Ya, Mama,” jawab Lily riang.Setelah Leon tertidur, Allen memindahkan Leon k
“Mama masih sedih?” tanya Lily dengan nada sedih.Freesia tersenyum dan menggeleng. “Maaf, Mama membuatmu khawatir,” sesalnya.Lily menggeleng. “Mama jangan sedih lagi. Kan, Mama sudah bilang sendili, aku bisa belmain ke lumah itu lagi kapan pun aku ingin. Itu belalti, Mama juga bisa pelgi ke sana kapan pun Mama ingin.”Freesia tersenyum sendu dan mengangguk. Padahal ia yang mengatakan itu pada Lily, tapi justru Freesia yang bereaksi seperti ini. Lily bahkan tak menangis ketika berpisah dengan orang-orang rumah Allen tadi. Namun, justru Freesia yang menangis. Val bahkan menertawakan Freesia hingga Lily mengomelinya dan mereka berdebat sampai detik terakhir perpisahan mereka tadi.“Lily benar, Freesia,” ucap Allen sembari merangkul Freesia. Pria itu duduk di sebelah kanan Freesia. “Aku tak tahu apa yang membuatmu sesedih itu ketika rumah itu penuh dengan aturan yang tak bisa memberi kau atau Lily kebebasan.”“Tapi, itu adalah rumahmu, Allen,” Freesia berkata. “Aku tahu, kau punya banya
“Aku akan mendukung rencana kalian mengambil alih perusahaan keluarga Martin,” Brand berkata. “Dan kurasa, Mary juga pasti tidak akan keberatan dengan itu. Well, jika itu untuk cucunya, dia akan memberikan apa pun.”“Kau … mengenal nenekku?” Freesia tampak terkejut.Brand tersenyum. “Aku banyak belajar dari Mary tentang bisnis.”“Oh …”“Dia juga pernah memintaku untuk membantu cucunya jika suatu saat dia tertarik dengan bisnis keluarganya,” lanjut Brand.Freesia tersenyum sendu. “Aku benar-benar … sudah tidak adil pada nenekku,” ucapnya. “Aku selama ini selalu berpikir jika dia hanya memaksaku melakukan hal yang tak kuinginkan. Tapi, aku sekarang sadar, dia melakukan semua itu benar-benar untukku. Karena seandainya orang tuaku masih ada … dia hanya ingin aku melakukan apa yang kuinginkan.”Brand mengangguk. “Nenekmu punya impian untuk menghabiskan waktu tuanya bermain denganmu,” Brand berkata.Freesia mengernyit dan tampak akan menangis.“Aku tahu kau sudah salah paham tentang nenekmu
Ketika Lily tidur setelah makan siang, Allen mengajak Freesia ke ruang kerjanya karena Brand ingin bicara dengan mereka. Freesia tidak tahu banyak tentang Brand selain jika dia adalah kakak sulung Allen dan dia adalah bos di rumah ini sebelum Allen.Tunggu. Bagaimana jika Brand tak menyetujui hubungan Freesia dengan Allen? Dia mungkin akan memberi Freesia uang untuk meninggalkan Allen. Tidak, tidak. Dia tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Freesia juga sedang hamil anak Allen.Jika bukan itu … apa dia akan memarahi Freesia? Itu masuk akal. Mengingat bagaimana tadi pagi mereka semua berjemur di tepi kolam renang sambil mendengarkan lagu anak-anak. Meski ayah Allen sepertinya tak keberatan dan menikmati waktu bersantai mereka tadi, tapi Freesia tak tahu bagaimana reaksi Brand. Pria itu juga tak banyak bicara sepanjang pagi tadi.“Um … Allen,” panggil Freesia dalam perjalanan ke ruang kerja pria itu.“Kenapa, Freesia?” tanya pria itu.“Kakakmu itu … dia orang yang bagaimana?” tanya F
Freesia terkejut ketika melihat seorang pria yang tak dikenalinya ada di ruang makan saat ia masuk ke sana bersama Allen dan Lily untuk sarapan. Pria itu memakai topeng setengah wajah yang menutupi bagian mata kanan hingga pipinya. Lily yang juga tampaknya terkejut, menarik-narik ujung baju Freesia.Freesia menoleh dan mendapat Lily sudah bersembunyi di belakangnya. Reaksinya nyaris sama dengan saat ia bertemu ayah Allen. Freesia sudah akan menggendong Lily, tapi lagi-lagi Allen bergerak cepat dan menggendong anak itu lebih dulu.“Itu Brand,” Allen menyebutkan.Brand? Brand, kakak Allen? Namun, bukankah dia sudah …?“Bland?” tanya Lily.“Ya,” jawab Allen. “Dia kakakku. Jadi, dia adalah ommu.”“Om?” Lily mengerutkan kening. “Apa dia … kelualgaku?”Allen tersenyum kecil. “Ya. Dia keluargamu.”“Whoaaa …” Lily ternganga takjub. “Kelualgaku beltambah lagi. Setelah nenek, kakek, sekalang aku punya om!” Lily terkekeh.Freesia memperhatikan ekspresi sendu Brand yang tertuju pada Lily. Jadi …