Rio menunggu Vela yang sedang mematut diri. Ia begitu sabar menunggu istrinya dari mulai mandi hingga saat ini.“Kenapa masih menungguku? Kamu boleh keluar dulu kok,” ucap Vela dengan wajah yang tetap ditekuk.“Buat apa sejak tadi aku menunggumu kalau akhirnya keluar kamar sendirian? Selesaikan. Kita keluar bersama,” jawab Rio bernada tegas.Vela mendengus kesal. Rio yang dulu sangat penurut dan lembut, kini berubah seratus persen. Semua terjadi karena ada rasa kecewa dan rasa sakit akan sikap yang Vela berikan kepadanya.“Bawa barangmu yang penting-penting dulu, Sayang. Kita bawa secara bertahap dari rumah ini,” perintah Rio lagi. Vela makin geram, tetapi tak bisa melakukan apa-apa.Di pantulan cermin, tampak jelas wajah Vela yang sedang diliputi amarah. Perasaannya tentu bergemuruh hebat.Apakah Mas Rio akan bersikap seperti ini terus? Aku makin nggak cinta sama dia kalau gitu caranya. Kapan aku bisa lepas dari pernikahan busuk ini? Aku nggak mau tersiksa sepanjang hari. Mas Rio har
Mobil menepi di halaman rumah Bian. Hal itu tentu membuat Elsa membelalakkan mata.“Hanya ke rumahmu? Buat apa dirahasiakan segala sih? Tinggal ngomong apa susahnya sih!” protes Elsa lagi.Bian melihatnya sekilas tanpa menjawab apa-apa. Kemudian, ia membunyikan klakson mobilnya.“Bi, apa yang kamu lakukan sih? Kenapa nggak turun saja? Ini tujuanmu kan?” tanya Elsa makin penasaran.Tak menjawab lagi, Bian menunjuk dengan dagu ke arah pintu rumah. Benar saja, Laras dan Zeta keluar dari sana.“Maksudnya apa sih, Bi?” Rasa penasaran makin terasa di ubun-ubun.“Aku bilang kan, ini rahasia. Nanti kamu pasti tahu kok. Mereka mau ikut. Nggak masalah kan? Kamu nggak terganggu kan, karena kita bukan hanya berdua.” Bian tak hentinya mengusili Elsa yang wajahnya makin cemberut.“Nggak tuh! Biasa aja! Aku hanya kesal karena main rahasia-rahasiaan segala. Aku penasaran banget tahu, Bi.”“Sabar ya, Sayang. Nanti pasti tahu kok.”Laras dan Zeta makin mendekat. Mereka membuka pintu mobil dan memasukin
“Baiklah, Bu. Aku akan memanggilnya Mbak Vela. Selamat datang, Mbak Vela,” ulangnya sambil tersenyum.“Sayang, setidaknya tersenyumlah, adik dan ibuku telah menyambutmu dengan sangat baik,” perintah Rio pada Vela yang hanya diam tak merespons apa pun.“Sudah, nggak masalah, Ri. Ayo, ayo. Masuk dulu. Ibu sudah masak enak loh.” Tika tampak sangat senang saat rumahnya akan dihuni oleh menantu yang banyak uang.“Sebelum ke sini, kami sudah sarapan, Bu. Vela juga, kayaknya sudah kenyang. Kami mau istirahat saja, Bu. Besok juga kan, aku sudah berangkat kerja lagi.”“Oh, begitu? Ya sudah, buat nanti saja kalau sudah lapar lagi. O ya, apa Vela masih tetap kerja? Menurut Ibu sih, mumpung masih muda, gunakan waktu untuk mencari uang sebanyak-banyaknya. Namanya hidup, pasti butuh uang kan? Kalau bisa, ajak Raya juga biar nggak Cuma mengandalkan pendapatan dari konten-kontennya. Kalian kan, berteman dekatnya sudah lumayan lama kan?”“Ibu, jangan bahas itu dulu dong. Kasihan Vela kan? Biarkan dia
“Bian, tumben kamu datang ke sini? Sudah mau bergabung ke perusahaan Kakek?”Abimana seketika melontarkan pertanyaan yang sejak dulu mengharapkan jawaban iya dari Bian.“Oh, siapa yang ada di sampingmu? Apa dia calon istrimu?” lanjutnya.Sebelum menjawab, Bian menyalami Abimana dengan takdim. Begitu pula dengan Elsa. Ia mengikuti Bian yang telah mencontohkannya.“Pertanyaan terakhir yang benar, Kek. Perkenalkan, ini Elsa, calon istriku, Kek. Mungkin Kakek sudah pernah mendengar berita tentang kami.”“Oh, Kakek pikir, semua hanya gosip. Ternyata benar, Bi? Dia cucu dari keluarga Wicaksono, tapi hanya sebagai anak angkat kan, Bi? Kamu sudah tahu semua itu bukan?”Tentu saja, hal sensitif itu yang akan terus didengar oleh Elsa. Meski semua itu sudah tak layak lagi disematkan pada Elsa yang memang bukanlah seorang anak angkat.“Meski begitu, Elsa bisa mandiri, Kek. Buktinya, Hotel Tulip yang dikelola olehnya sudah terkenal sampai ke mancanegara. Sekarang saja, dia sudah mengambil alih hot
“Pernikahanku sama Elsa kurang tiga hari lagi. Harusnya, saat pernikahan kami terjadi, Papah sudah merestui dan ikut bahagia biar enak dilihat orang. Biar wajahnya bisa tersenyum lega, nggak terpaksa. Apa aku harus bertindak secepatnya selama waktu tiga hari ini? Aku akan mengungkap kebusukan Leo agar Papah tahu kebenaran seutuhnya?”Di dalam kamar sambil merebahkan diri di atas kasur, Bian memikirkan rencana yang ingin dilakukan. Di dalam dadanya masih ada yang mengganjal selama kebusukan Leo belum terkuak di hadapan Erwin.“Malam ini tidur dengan nyenyak dulu. Aku pikirkan besok lagi saja.”***Ketika rumah sudah sepi, karena penghuninya mulai melakukan aktivitasnya masing-masing, Bian menghampiri Wati untuk diinterogasi.“Bi Wati, yuk, ikut aku sebentar. Kita akan mulai wawancaranya di atas,” ujar Bian pada Wati yang sedang menyapu.“Oh sekarang, Mas? Bukankah, sebentar lagi Mas Bian mau menikah, kenapa masih bekerja dan mau mewawancarai saya sekarang?” Karena rasa penasaran, tanpa
“Elsa Sayang, apa kabarmu? Jangan marah lagi ya? Maaf tentang tadi malam.”Bian mengirim kalimat itu ke ponsel Elsa. Ia tak mau langsung menelepon karena merasa bersalah telah memaksakan rasa suka yang belum bisa Elsa terima.Peralatan yang digunakan untuk menginterogasi Wati telah dibereskan. Bian masih duduk di tempat itu sambil mengharapkan jawaban pesan yang dikirim kepada Elsa.“Elsa, kapan hatimu terbuka untukku? Padahal, di dalam sana mungkin sudah ada namaku yang terukir. Kamu saja yang masih takut mencintai laki-laki dengan tulus. Semua gara-gara bajingan itu sih!”Sorot mata yang sendu menatap foto Elsa yang didapat saat ia melamar di restoran waktu itu.“Perjumpaan kita seperti sudah di setting, Elsa. Kamu juga kan, yang awalnya mencium pipiku. Bagaimana aku bisa lupa? Apalagi, kita main game bersama cukup lama. Sejak itu, aku merasa nyaman berdekatan denganmu. Sayangnya, kamu masih menganggapku bagian dari rencanamu. Iya sih, sejak awal kan, Elsa memang sangat mencintai Ri
“Pah! Kalau aku di luar negeri, asmaku sering kambuh. Aku nggak bisa jauh dari kalian, Pah!” rengek Leo.“Kenapa waktu melakukan rencanamu di masa lalu, kamu tidak merasa takut, Leo? Sedangkan sekarang, kamu merengek seperti anak kecil. Dewasalah, Leo. Papah sudah menganggapmu sebagai laki-laki dewasa yang patut dijadikan contoh oleh orang lain, apalagi untuk adik-adikmu. Bersikaplah layaknya pria dewasa seperti apa yang Papah harapkan. Persiapkan dirimu untuk mengurus dirimu sendiri di luar negeri. Introspeksi, baru kamu boleh pulang. Papah sangat kecewa sama kamu, Leo. Jangan membantah lagi!”Selesai mengatakannya dengan tegas dan raut wajah yang datar, Erwin pun meninggalkan ruang makan.“Puas kamu, Bi? Kamu ingin aku mati perlahan di luar negeri? Kamu tahu, aku ini penderita asma kan? Nggak bisa kedinginan atau merasa stres berlebihan, Bi! Kamu sengaja mau membunuhku pelan-pelan, ha?” Leo tak kuasa menahan emosinya.“Iya, aku puas. Mungkin setimpal dengan perbuatanmu di masa lalu.
Acara yang harusnya sakral itu akhirnya telah terlaksana. Saksi sudah mengatakan sah, padahal mereka tidak tahu intrik di balik pernikahan yang terjadi.“Untuk mempelai wanita dipersilakan mencium tangan suaminya sebagai bentuk ke takziman seorang istri,” ucap pembawa acara yang membimbing jalannya acara itu.Elsa menuruti perintah dari pembawa acara itu. Ia meraih tangan Bian dan perlahan mencium punggung tangan laki-laki yang sekarang sah menjadi suaminya di mata orang-orang yang hadir.Kami sedang mempermainkan pernikahan yang harusnya sakral. Apakah untuk ke depannya tidak akan ada masalah?Pikiran Elsa mendadak cemas. Ia sadar betul dengan perbuatan yang sedang dilakukannya. Namun, Elsa hanya membuang napasnya pelan agar pikiran buruknya tak semakin menenggelamkannya.Aku sudah menikahi Elsa. Tapi, aku nggak senang karena kami bukan menikah sungguhan. Aku berharap, suatu hari nanti ada keajaiban yang bisa mengubah status pernikahan ini menjadi benar-benar sah dari sisi agama.Bia
“Bebaskan aku! Aku nggak bersalah! Mas Aryo yang menyuruhku selama ini! Dia yang awalnya punya rencana busuk itu. Aku nggak bersalah!”Nani histeris kala hakim telah memvonis hukuman penjara selama beberapa tahun kepadanya.“Mas Aryo yang jahat! Dia yang bersalah! Bukan aku!” ulang Nani dengan suara yang masih lantang.“Kita sama-sama berbuat kejahatan. Kita yang merencanakan semuanya! Bukan hanya aku!” balas Aryo tak mau disalahkan.“Diam kamu! Aku nggak mau di penjara!” hardik Nani.“Kita sama-sama salah! Jangan limpahkan semua kesalahan kepadaku! Brengsek!” Aryo kesal karena Nani selalu menyalahkannya.“Tolong diam semuanya! Keputusan sudah ditentukan! Tidak ada gunanya kalian bertengkar seperti sekarang! Silakan bawa tersangka ke dalam sel yang telah disediakan.”Kemarahan Nani tak bisa dilampiaskan lagi karena memang telah mendapatkan keputusan dari pihak berwenang. Percuma saja meski dia marah hingga berteriak-teriak. Vonis itu akan tetap menimpa dirinya sebab perbuatan jahat ya
Kasus kejahatan yang dilakukan oleh Nani dan Aryo sudah ditangani pihak berwenang. Nani diringkus oleh pihak kepolisian. Namun, Handi memohon untuk menunda kepergian mereka sampai Vela datang.“Yah! Sebenarnya ada apa? Kenapa Ayah datang bersama polisi yang akan menangkapku? Aku nggak melakukan apa-apa, Yah!” bela Nani wajahnya memucat. Ia duduk dengan tangan yang telah diborgol.“Kau selingkuh dengan Aryo kan? Kalau mengelak, hukumanmu akan tambah berat,” ancam Handi.Kata-kata Handi yang Nani dengar itu bagai dentuman bom yang meluluh-lantahkan perasaan di dalam hatinya. Ada ketakutan yang dirasakan di detik yang sama. Tak menyangka, semua yang telah ditutup rapat-rapat akan terkuak begitu saja.“A—apa maksudmu, Yah?” Ya, tentu Nani tak akan mengakuinya dengan mudah meski nasibnya sudah di ujung tanduk.“Kau mendorong Pak Umar dari atas tangga gara-gara dia melihatmu sedang bermesraan dengan Aryo kan? Akui saja Nani.”Nani hanya menggelengkan kepalanya. Ia ingin menyangkal lagi, tet
Sehari setelah Wulan menyampaikan alasannya kepada orang-orang dari masa lalunya, menjadikan hubungan itu kembali membaik. Penyesalan dari masing-masing orang bisa saling diterima dengan lapang dada. Mereka saling memaafkan dan memulai dengan hubungan yang lebih baik dari sebelumnya.Handi dan Wulan belum membicarakan lagi tentang hubungan pernikahan keduanya. Mereka ingin fokus pada kesembuhan Elsa terlebih dulu.Ketika sedang bercengkerama, ponsel Handi berbunyi. Ia mengambil benda itu. Di layar itu tertulis istriku. Ya, Nani orang yang menelepon Handi.Aku harus mengganti nama kontak ini. Dia wanita jahat dan licik. Aku akan menyudahi hubungan pernikahan kami. Tapi, sampai Elsa belum bisa dibawa pulang, aku harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Ini demi kelancaran rencanaku untuk menjebloskannya ke penjara.Handi menyingkir dari orang-orang. Kemudian, mengangkat telepon yang berasal dari istrinya.“Halo, Yah. Ayah mau pulang kapan? Jangan lama-lama. Aku sendirian di rumah.”Nan
Septi dan Wulan memasuki ruangan tempat Elsa terbaring tak berdaya. Orang-orang yang ada di ruangan itu, tentu menyambutnya dengan senyum yang lebar. Namun, kala menyadari kalau Wulan adalah orangnya, Wicaksono dan Elsa tercengang. Keduanya tak percaya kalau Wulan masih hidup dan sekarang berdiri di hadapan mereka.“Apa benar kamu Wulan?” tanya Wicaksono menghampiri wanita yang berdiri di sebelah Septi.Wulan mengangguk sambil menahan rasa khawatir. Lisannya bagai terkunci. Meski senang bisa berjumpa lagi dengan mertuanya, tetap ada rasa tidak nyaman yang menyeruak dari lubuk hati terdalam.“Kakek mengenalnya?” Laras tentu tak tahu apa-apa. Juga, suasana ruangan itu berubah canggung karena pertemuan mereka. Hingga Laras makin penasaran.Wicaksono malah terdiam. Pelan-pelan sorot matanya tertuju ke arah Elsa. Hatinya yang mendesir pun mengundang perasaan haru.“El, ternyata bundamu masih hidup. Apa yang kamu lihat, mungkin memang dia. Ini benar-benar keajaiban,” kata Wicaksono pada Els
“Pak, saya mau mengabarkan berita bahagia tentang Ayah saya. Beliau sudah mulai bisa berbicara. Ayah saya ingin mengatakan tentang kejadian saat beliau jatuh di tangga. Kalau berkenan, saya akan mengeraskan suara panggilan ini agar Anda bisa mendengarnya juga. Saya akan merekamnya sekalian sebagai bukti kalau seandainya nanti dibutuhkan.”Rendi menjelaskan tujuannya sebelum Umar mengatakan apa yang ia alami di masa lalu.“Oh, syukurlah kalau memang begitu. Loadspeaker saja, biar kami ikut mendengar,” jawab Handi, kini lebih menghargai Rendi.“Ayah saya masih terbata-bata saat berbicara, mohon pengertiannya kalau ucapannya sulit dipahami.” Rendi menjelaskan lagi secara spesifik tentang kondisi ayahnya.“Tidak masalah, Ren.”“Baik, Pak. Terima kasih.”Apa nantinya, kebusukan Mama Nani akan terbongkar? Menurut Elsa dari ceritanya dulu kan, Mama Nani orang yang sudah mendorong ayahnya Rendi. Kira-kira, apa sebabnya ya?Bian hanya diam saat Rendi mengatakan tujuannya. Ia masih menutupi rah
“Di mana bajingan itu, ha! Sudah diberi kepercayaan, tapi malah berniat membunuh Elsa? Apa alasan bajingan itu, ha! Pengkhianat!”Ketika Handi dan yang lain sudah sampai di rumah sakit tempat Aryo dirawat, ia tak bisa membendung emosinya lagi. Ia tak sabar ingin bertemu dengan Aryo yang mungkin sedang terkulai tak berdaya di ranjang pesakitan.“Mari, Pak. Saya antar.” Salah satu bodyguard mempersilakan mereka untuk mengikutinya ke ruangan tempat Aryo dirawat.“Iya! Cepat antar aku ke sana!” jawab Handi makin geram sambil melangkahkan kakinya.Kemurkaan terlukis di wajahnya. Orang yang begitu dipercaya, ternyata menusuknya dari belakang. Apalagi Handi telah tahu siapa Elsa sebenarnya, kemarahan makin tak terbendung.Sampai di ruangan tempat Aryo dirawat, Handi menautkan alisnya seraya menatap tajam ke arah Aryo yang terbaring lemah. Orang itu telah sadar setelah tadi sempat pingsan.“Yo! Apa maksudmu! Kamu sengaja mencelakai Elsa? Kamu berniat membunuhnya, ha! Apa yang ada di pikiranmu
“Baiklah, aku akan mengikuti solusimu. Aku ingin melihatnya dalam kondisi baik-baik saja, Sep. Jangan sampai aku menyesali seumur hidup.”Wulan menghapus air matanya. Ia telah menentukan pilihan yang paling baik menurutnya.“Itu pilihan yang paling tepat, Lan. Aku akan langsung mencari tiket pesawat untuk pergi ke tempat mereka setelah mendapat jawaban dari Bu Laras. Kamu persiapkan segalanya. Bawa hasil tes DNA-nya siapa tahu dibutuhkan.”“Baiklah, aku pulang dulu.”“Hati-hati. Jangan terlalu mencemaskan kondisi Elsa. Dia pasti ditangani sebaik mungkin.”Wulan menganggukkan kepala. Kemudian, bangkit dari kursi dan perlahan pergi dari toko bunga itu.Kamu harus baik-baik saja. Kita belum bertemu, Sayang. Bertahanlah.Air mata kembali luruh kala Wulan mengingat kondisi Elsa yang membuatnya merasa ketakutan sendiri.***“Ayo, Sayang. Minum jus jeruknya ya? Kamu harus cepat sembuh,” ucap Handi. Di tangannya sudah ada segelas jus jeruk.Sikap Handi kini berubah 180 derajat dari sebelumnya
“Bi, kenapa kamu duduk di situ?” tanya Elsa meski suaranya lemah. Ia juga mendengar kalimat terakhir yang Bian katakan sambil mengecup tangannya.“Elsa! Kamu sudah sadar, Sayang?” Bian seketika bangkit kala mendengar suara lirih itu.Kedua mata lelaki itu makin berbinar. Ia senang bercampur haru. Tatapannya lekat melihat gadis yang dicintainya itu telah pulih dari masa kritisnya.Elsa hanya tersenyum. Bian begitu mengkhawatirkannya terlihat dari raut wajahnya saat ini. Elsa tak mengingat sama sekali apa saja yang terjadi setelah mobilnya mengalami kecelakaan.“Aku takut banget, Sayang. Aku takut kamu nggak sadar lagi. Aku nggak tahu lagi kalau seandainya kamu meninggalkanku untuk selamanya. Aku nggak bisa, Sayang.”Bian memeluk Elsa meski hati-hati. Air matanya pun tumpah lagi. Di hadapan Elsa, lelaki itu begitu lemah. Rasa cintanya memang tulus. Bukan sekadar omong kosong belaka.“Bi, aku kan masih bisa ngobrol sama kamu. Jangan ngomong begitu.”“Darahmu banyak yang hilang, Sayang. W
“Oh, salam kenal. Saya Zeta, adiknya Mas Bian. Sesuai penjelasan yang Mbak Elsa katakan, saya hanya ingin berterima kasih kepadamu karena sudah mau membantu Mas Bian. Walau melalui Mbak Elsa, tetap saja saya harus berterima kasih padamu,” ucap Zeta sambil mengulurkan tangan.“Salam kenal, saya Rendi. Tentang masalah itu, memang sudah tugas saya. Tidak perlu berterima kasih, tidak masalah.” Rendi menyambut uluran tangan itu.“Baiklah.” Zeta bingung harus berbicara apa lagi.“Ya sudah, saya harus kembali bekerja. Permisi.”“Iya, Ren. Terima kasih sudah mau datang sebentar ke sini,” kata Elsa.Rendi mengangguk seraya pergi.“Dia nggak pernah tersenyum ya, Mbak?” bisik Zeta.“Iya, dia sangat serius orangnya.”“Oh, pantas, pasti nggak asik.”“Tapi, dia baik banget, Ze.”Zeta hanya mangut-mangut. Sorot matanya masih tertuju ke arah perginya Rendi.“Ayo, Sayang. Kita harus berangkat sekarang,” ajak Bian.“Ya udah, ayo!”Bian dan Elsa berpamitan pada semua orang yang telah mengantarnya. Merek