Seusai mencabut tuntutan kepada Bramono dan Miko, kini Regan sudah kembali lagi ke kantor dan tentu saja ditemani sang istri untuk menandatangani surat perjanjian syarat atas kebebasan kedua orang tersebut.
“Silakan tandatangani surat itu Zivanya Alesha,” ujar Regan sambil menyerahkan selembar kertas yang sudah terdapat materai enam ribu di dalamnya.
Ziva yang memang sedang duduk di sofa langsung mengerut bingung. Apalagi melihat ada materai di bawah surat itu. Entah kenapa perasaannya menjadi tidak enak.
“Kenapa pakai materai segala?”
“Biar kuat sayang.”
Ziva berdecih sebal mendengar jawaban dari Regan. Syarat begitu saja ditempelin materai segala kayak mau pinjam uang di bank saja. Tapi, kira-kira isinya apa, ya? Ziva buru-buru membaca surat itu dari atas hingga kalimat terakhir dengan begitu teliti karena tidak mau salah mengambil tindakan atau menyesal dikemudian harinya.
Kurang lebih lima belas menit
Dengan sedikit deg-degan, akhirnya Ziva menggeser tombol hijau ke samping dan menempelkan benda pipih itu ke daun telinganya.“Halo, Miko,” lirih Ziva, pelan.“Miko? Kok Miko, hm?”Ziva merasakan jika detakan jantungnya langsung memompa begitu cepat tidak seperti biasanya. Suara di seberang sana bukanlah Miko, melainkan Regan. Kok bisa nama kontak 'My Love' menjadi Regan?“Kamu masih mengira kalau nama kontak ‘My Love’ itu Miko, hm?”Mendengar tebakan Regan membuat Ziva langsung merasa bingung sendiri saat ini. Pasalnya ia belum sempat mengedit nama kontak di ponselnya sampai saat ini. Jadi siapa yang mengedit nama itu?“Em … a-aku bi-sa je—““Tidak perlu dijelaskan, tapi tunggu saja hukumannya nanti malam.”“Ta—“Nit.Ziva langsung menggeram kesal karena sambungan teleponnya dimatikan secara sepihak oleh Regan.
Pagi ini Ziva sudah rapi dengan setelan dress berwarna pink, dan dandanan yang begitu flawless. Bahkan suaminya sudah bangun dan sedang berenang.Ziva yang memang semalam melayani Regan hingga pukul empat pagi masih merasa ngantuk juga lelah. Apalagi sebelumnya tenaga Ziva sudah terkuras untuk bermain tenis meja dengan ayah mertua. Tapi, mengingat sudah berjanjian dengan papa untuk berkunjung membuat Ziva harus pergi.Di saat sedang menuruni anak tangga, yang dilihat hanya bunda Maya yang sedang bergurau dengan suaminya. Ziva langsung merasa risih sendiri hingga membuatnya terus menunduk.“Ziva, mau ke mana?” tanya Maya.Ziva mendongak dan tersenyum tipis. “Ziva ingin ke kampus, Bun.”“Lho, sabtu begini ke kampus?” kini gantian Narendra yang bertanya. Dan kedua tatapan mertuanya membuat Ziva gugup. Apalagi telinganya mendengar derap langkah kaki seseorang yang mulai mendekat.“Ada apa?” kini gi
Seusai bertemu Miko kini Ziva sudah berada di rumah kedua orangtuanya. Ziva langsung memeluk papanya erat karena merasa senang melihat sang papa bebas. Tapi, ada hal yang membuatnya sedih saat ini. Papanya tidak bekerja, dan itu membuat Ziva kepikiran untuk segera mencari uang. Meski Regan banyak uang, tapi Ziva tidak ingin mengandalkan uang dari pria itu. Apalagi jika Regan tidak ikhlas akan sangat berbahaya untuk Ziva sendiri. Sama saja memberikan uang haram kepada kedua orangtuanya.“Kamu kenapa makin kurus, sih?” komentar sang mama saat melihat Ziva.“Hehe, lagi banyak pikiran, Ma. Maklum kan sebentar lagi skripsi terus lulus.”Lain hal dengan sang papa yang diam saja, namun matanya menyorotkan kesedihan yang mendalam melihat sang putri banyak sekali berkorban saat ini.“Ziva, Papa pengin bicara berdua sama kamu. Mama tolong buatin minum, ya. Kasihan anak kita datang jauh-jauh pasti haus.”Ziva terkekeh pelan
Kini Ziva merasakan sakit luar biasa karena kelakuan Regan barusan. Bahkan untuk berdiri saja rasanya sempoyongan sekali. kakinya terasa lemas seperti jeli—Regan tega melakukannya dari belakang tanpa pemanasan terlebih dulu, dan itu benar-benar terasa nyeri. Pasalnya, Ziva belum pernah melakukan ini sebelumnya.“Gimana? Sakit, hm?” tanya Regan, masih kesal.Ziva diam, namun matanya menatap kesal karena Regan sangat kejam memaksa masuk tanpa pemanasan terlebih dulu.“Sakit banget, Regan,” lirih Ziva yang kembali duduk di sofa. Bahkan Ziva memilih untuk kembali tiduran miring karena efeknya masih terasa sampai sekarang. Perih.“Itu untuk hukuman istri yang suka berbohong kepada suami! Sudah aku katakan sama kamu untuk tidak komunikasi sama Miko dalam kondisi apapun itu! tapi faktanya? Cih! Kamu malahan diam-diam menemui pria itu dengan alasan mencari bahan skripsi.”Mendengar serentetan amukan Regan membuat Z
Akhir-akhir ini Regan merasakan perubahan sikap Ziva yang mendadak jadi sangat lebih manja juga agresif. Apalagi setiap malam perempuan itu selalu meminta melakukan hubungan badan—meski tidak meminta secara terang-terangan, tapi dengan cara dia yang selalu menggoda juga meraba-raba milik Regan berakhir membuat mereka bergulat di atas ranjang seperti malam ini.Efek ucapan perempuan sewaktu kondangan di Solo benar-benar membawa pengaruh besar terhadap hubungan Regan juga Ziva.Selesai melakukan hubungan badan, kini mereka memilih untuk mengobrol sejenak sebelum dilanjut tidur. Terlebih Ziva kini benar-benar mematuhi segala syarat yang diminta oleh Regan—setiap siang Ziva selalu datang ke kantor untuk menemani makan, dan malamnya melayani suami dengan perasaan yang jauh lebih senang dari sebelumnya—biasanya jika dulu merasa tertekan karena untuk melunasi utangnya, kini berbeda saat melakukan dengan perasaan lebih kepada Regan.“Regan, kira-
Merasa mendengarkan teriakan seseorang membuat Ziva segera bangun dari tidurnya. Kepalanya menoleh saat mendapatkan Regan berteriak.“Regan, bangun,” kata Ziva, menepuk pipinya.“Aku enggak tahu, Ziva! Aku enggak tahu!”Ziva sendiri merasa khawatir hingga membuatnya menepuk-nepuk pipi pria itu dari pelan sampai sedikit keras.“Regan, bangun,” kata Ziva.Merasa tubuhnya masih polos membuat Ziva buru-buru bergegas turun ranjang dan mencari pakaiannya yang berserakan di atas lantai. Cepat-cepat Ziva mengenakan pakaian itu dan kembali membangunkan Regan yang tampak sedang bermimpi buruk.“Regan, bangun,” kata Ziva sekali lagi, sambil menepuk keras pipinya.Dan untungnya kini Regan terbangun karena merasa tepukan keras di pipinya yang terasa sakit. Napasnya bahkan kian memburu saat ini. Kepalanya menoleh dan mendapati Ziva yang sedang duduk di pinggiran ranjang dengan wajah khawatir.&
Pagi ini Ziva terbangun dalam keadaan yang lumayan senang karena bisa tidur dengan nyenyak. Ia pun menoleh ke samping yang ternyata tempat tidur suaminya sudah kosong. Ziva pun mengerut bingung—memikirkan apakah Regan semalam tidur di sampingnya atau bekerja hingga waktu pagi seperti ini.Tak ingin ambil pusing membuat Ziva segera buru-buru ke kamar mandi. Seperti biasa ia akan menghabiskan waktu kurang lebih tiga puluh menitan untuk mandi saja.Selesai mandi dan berpakaian rapi, Ziva berdandan sebentar dan turun ke lantai bawah yang ternyata sudah ramai dengan ocehan bunda.“Pagi Bunda,” sapa Ziva, riang.“Eh Ziva, sudah bangun, Nak. Regan mana?”Ziva diam—tampak berpikir saat bunda menanyakan keberadaan Regan. Pasalnya di kamar juga tidak ada, dan Ziva pikir jika pria itu sudah di sini menunggunya sarapan. Ternyata tidak ada juga.“Em … semalam izin kerja, Bun. Mungkin masih berada di ruang
Seharian ini Ziva merasa galau. Yang dilakukannya hanya terbengong saja di perpustakaan hingga akhirnya Ziva merasa terkejut karena bahunya ada yang menepuk dengan kencang.“Idhar,” geram Ziva, kesal.“Haha, lagian gue perhatiin lo ngelamun aja dari tadi. Lagi mikirin apaan, sih?”Ziva melirik sejenak dan kembali menatap ke depan. Melamun kembali dan segera menutup buku yang sedang dibacanya.“Kampret! Ditanya malahan ngelamun lagi,” dumel Idhar, emosi.“Udah sono lo pergi. Gue enggak mau diganggu lalat kayak lo!” jawab Ziva, sekenanya.Disamakan dengan lalat membuat Idhar dongkol. Lalat kan hewan yang suka dengan yang kotor-kotor. Sialan!“Enggak asik lo!” Idhar pergi meninggalkan Ziva yang masih saja diam melamun.Jujur saja seharian ini perasaan Ziva diliputi rasa penasaran soal surat itu. Memangnya apa yang sedang disembunyikan suaminya. Bahkan Regan sampai berani
Setelah lima hari kerja, kini Regan mengajak Ziva dan keluarganya untuk berkunjung ke makam Celine. Regan ingin melakukan ziarah ke makam perempuan yang dulu sempat dekat dengannya. Regan ingin memperbaiki semua agar hidup kedepannya lebih enak.Dan, kini di sinilah Regan bersama sang keluarga saat ini. Mengunjungi makan Celine sambil mendoakan untuk perempuan itu. Regan bahkan mengucapkan permintaan maaf terus karena menuruti keinginan Celine saat itu. Meski semua telat, namun pria itu tetap saja merasa bersalah.“Tidak usah disesali, sayang. Semua itu sudah pilihan Kak Celine.” Kini Ziva mengusap punggung sang suami—mencoba menenangkan dan menguatkan jika apa yang terjadi untuk pembelajaran ke depannya.Regan tersenyum tipis, ia pun menggenggam telapak tangan Ziva erat. “Celine, kini aku sudah hidup bahagia bersama adikmu. Bahkan kita berdua sudah dikaruniai anak yang sangat menggemaskan. Namanya Abbizar, dia anak yang lucu. Andai kamu
Regan dan Ziva kini pergi ke kantor unit agama untuk meluruskan semua data pernikahannya yang sangat berantakan. Semua itu disebabkan oleh Regan, dan pria itu kini sangat begitu gentle untuk menangani dan bertanggung jawab atas semua perbuatannya di masa lalu.Seluruh keluarga Abimana, dan kedua orangtua Ziva pun ikut mengantar anak-anak mereka yang akan meresmikan hubungan pernikahan ini ke tahap yang lebih kuat lagi.Jika selama ini mereka berdua hanya resmi menjadi suami istri yang sah di mata agama, kini mereka akan meresmikan agar sah di mata negara—terlebih Abbizar saat ini membutuhkan akta kelahiran.“Boleh nikah ulang enggak?” tanya Ziva, berbisik.Regan mengerutkan kening bingung. “Maksudnya?”“Kan, selama ini kita nikah siri, jadi biar tambah sah lagi aku pengin kita nikah ulang di sini. Kamu melakukan ijab qobul lagi di sini. Lagian kemarin nikah pakai data yang salah, dan enggak ada persiapan
Ziva kini sudah dipindahkan kembali ke ruang rawat inapnya bersama sang bayi. Bahkan, Ziva merasa takjub melihat tembok kamar rawat inapnya terdapat beberapa balon yang menempel disertai tulisan sambutan untuk sang anak.“Ini siapa yang dekor?” tanya Ziva.“Bunda sama Mama,” jawab Regan.“Mama sudah sampai sini?”“Iya, mereka lagi pada makan di kantin rumah sakit. Katanya laper pas nungguin kamu lama di ruangan bersalin tadi.”Ziva tersenyum meringis mendengar penjelasan dari Regan. “Iya, tadi jahitan dulu. Terus aku IMD, habis itu dicek dan diperiksa ke seluruh tubuh—memastikan tidak terjadi apa-apa.”“Terus sekarang sudah sehat gitu?”“Iya sehat, tapi seluruh badanku pegal semua.”Kini Regan membantu Ziva dari kursi roda menuju ke ranjang rawat inapnya. Perawat yang mendorong box bayi itu langsung pamit pergi setelah tugasnya selesai.
Pilihan untuk menginap di rumah sakit sudah sangat tepat. Hal yang ditakutkan oleh Maya bahkan kini terjadi. Menantunya—Ziva—mengalami kontraksi berulang—hingga akhirnya dia mengalami flek. Hal itu langsung dilaporkan oleh Maya agar diperiksa oleh dokter yang ternyata sudah memasuki pembukaan satu.Maya terus memijit pinggang Ziva yang merasakan pegal luar biasa. Menantunya terus menangis tersendu-sendu karena merasakan sakit sekaligus mulas yang sangat luar biasa hebat. Bahkan Ziva merasakan lima menit sekali perutnya terasa mulas yang amat begitu mulas.“Tarik napas, ya,” kata Regan, pria itu kini bahkan membolos kerja karena dari semalam istrinya sudah merasakan tidak enak—hingga membuat Ziva tidak bisa tidur dan memilih berjalan mondar-mandir seperti setrikaan.Dan, benar saja pas pagi dia mengalami flek saat ingin buang air kecil—hingga akhirnya dinyatakan sudah pembukaan satu. Namun, Ziva menolak saat dokter ingin
Saat ini di rumah Maya sedang ada tukang untuk merenovasi kamar yang tidak digunakan untuk menjadi kamar cucunya nanti. Maya sibuk bertemu arsitek untuk mendekor kamar calon cucunya itu. Tak lupa juga dia sibuk bertemu desain interior agar kamar cucunya menjadi begitu bagus, nyaman, dan sempurna.Maya pun setuju untuk menggabungkan dua ruangan menjadi satu. Semua ini tentu saja atas ide sang arsitek karena memang Maya menginginkan kamar yang luas untuk calon cucunya. Jadi, di dalam ruangan kamar itu akan ada konsep untuk area bermain bayi dan tempat duduk santai sang ibu jika sedang menyusui. Maya ingin memberikan kenyamanan sang cucu dan menantunya.“Bun, apa enggak terlalu besar kamarnya jika dua ruangan itu digabung?” tanya Ziva, tidak enak hati karena anaknya akan disambut begitu berlebihan oleh keluarga Regan.“Tidak sayang, ini sudah cocok untuk kamu dan cucuku nanti. Jadi dia bisa tidur dan bermain nanti di kamar. Soalnya bayi usia enam
Malam ini Ziva tengah merendam kakinya yang bengkak dengan air hangat yang dicampur garam. Entah ini mitos atau fakta yang pasti ia hanya mengikuti saran dari sang mama.“Gimana? Sudah kempes?” tanya Regan, memastikan jika kaki sang istri akan kempes dalam waktu seketika.“Belum.”Regan mengangguk-angguk dengan tangan yang sibuk memegang ponsel. Pria itu tengah mencari tahu semua keluhan yang dialami wanita hamil di internet. Regan membaca-baca soal keluhan itu hingga menemukan kasus yang serupa—yang dialami sang istri.“Kata internet itu hal yang wajar sayang. Di sini dijelaskan karena adanya peningkatan cairan dan darah yang diproduksi.”Ziva hanya tersenyum lembut mendengar semua penuturan dari sang suami. Pasalnya hal itu sudah dijelaskan secara mendetail oleh dokter kandungannya. Dan, Ziva pun sudah mendapatkan solusi dari dokter kandungan agar posisi tidur lebih tinggi kaki dibanding kepala. Namun, na
Hari ini adalah hari yang begitu spesial untuk Ziva. Hari yang sudah sangat dia tunggu-tunggu sejak tiga bulan yang lalu. Ya, karena hari ini adalah jadwal kepulangan suaminya dari dinas luar kota. Ziva bahkan merasa deg-degan sendiri saat mendengar telepon bunda Maya dengan Regan yang mengatakan sudah sampai bandara dan sedang dalam perjalanan ke rumah.Entah kenapa ia merasa seperti anak ABG yang baru merasakan jatuh cinta. Hatinya deg-degan, bahkan kedua telapak tangannya dingin, perasaannya sangat gugup.“Kamu kenapa gugup begitu?” tanya Maya, tersenyum penuh arti.“Deg-degan, Bun,” jawab Ziva jujur.“Gugup mau ketemu misua, hm?” ledek Maya, terkekeh.Ziva langsung mesam-mesem sendiri mendengar ledekan sang bunda. Terlebih ibu mertuanya itu sangatlah paham bahasa anak-anak muda zaman sekarang. Awalnya Ziva terkejut, namun saat melihat interaksi ibu mertuanya dengan para teman-temannya di mall yang mengobrol d
Ziva pikir jika ucapan suaminya waktu itu hanya bercanda semata atau ajang balas dendam karena ulahnya. Namun, ternyata dia benaran ingin bekerja selama tiga bulan ke luar kota.Ada kesedihan yang mendalam di lubuk hatinya saat ini. Terlebih ia saat ini sedang membantu mengemasi beberapa pakaian kerja sang suami untuk dibawa ke kota Malang besok pagi.Melihat suaminya selesai telepon dengan sekertarisnya membuat Ziva tersenyum getir. Regan langsung duduk di pinggiran ranjang sambil sibuk mengotak-atik ponselnya saat ini. Ziva yang melihat itu langsung menghampiri dan segera memeluknya erat.“Aku pasti akan kangen banget sama kamu,” ucapnya lirih.Regan pun langsung menjatuhkan ponselnya di atas ranjang. Ia segera membalas pelukan sang istri. Mengusap punggungnya dengan sangat lembut. “Aku juga pasti akan lebih kangen.”“Jangan selingkuh! Jangan lupain aku! Awas aja kalau ketahuan main sama perempuan lain. Aku enggak ma
Hampir satu mingguan ini sifat Ziva sangatlah manja kepada Regan. Terlebih perempuan itu merengek terus menerus agar keinginannya untuk makan nasi padang akan segera dikabulkan. Namun, pikiran Ziva salah. Pria itu justru tidak mewujudkannya dengan dalih itu hanya mitos saja jika anaknya kelak akan ileran.Masih dengan wajah yang cemberut, Ziva masih memunggungi posisi Regan yang duduk di sampingnya.“Sudahlah Regan turutin saja keinginan istrimu,” dukung Maya.Ziva mengangguk-angguk menyetujui ucapan ibu mertuanya. Lain hal dengan pria itu yang justru menggeleng kuat.“Warung nasi padang banyak, Bun. Ngapain jauh-jauh ke kota Padangnya. Di Jakarta juga banyak.”“Tuh, kan, Bun! Anak Bunda ini kurang peka.” Ziva kembali merajuk dan terus mencari bala dukungan dari Maya yang selalu memihaknya. “Biarin aja nanti anaknya ileran. Kalau pergi kemana-mana anaknya ngiler sampai panjang lima meter. Dia juga nanti yan