Sebuah senyum miring terukir di bibir Zen. Pria yang sedang mengemudi itu menoleh ke sisi kanan, pada wanita yang sedang terlelap di kursi penumpang. Wajahnya tampak pucat dan terlihat lelah sekali. Hingga dia tertidur sangat pulas. Sampai-sampai … Zen merasa seperti sedang membawa sebuah mayat bersamanya.
Ah, tentu itu hanya kiasan! Zen tidak akan membiarkan Lea menjadi mayat selama dia masih bernapas.
“Kau yang sudah menantangku, Sweet Cake. Jangan bilang kalau aku tidak pernah memperingatkanmu,” gumam Zen dengan bibir menyeringai puas karena bisa membuat Lea nyaris pingsan hanya untuk memuaskan hasratnya.
Salah Lea sendiri yang sengaja memancing-mancing gairah suaminya. Alhasil, wanita itu benar-benar memohon ampun agar Zen melepaskannya. Namun tidak semudah itu. Zen terus membawa wanita itu ke puncak hasrat hingga dalam keadaan setengah sadar pun, Lea masih sempat menjeritkan kenikmatan yang dia capai terakhir kali sebelum ak
“Aku membutuhkan bantuan kalian," ucap Zen seraya menyisir wajah-wajah yang dia undang datang ke sana.Sejarah baru dalam hidup Zen, di mana dirinya secara langsung dan terang-terangan meminta bantuan dari orang-orang yang dia kenal. Terlebih … orang-orang ini adalah orang yang menurut pria itu tidak lebih baik dari dirinya.Percayalah, Zen sedang menurunkan egonya serendah mungkin demi rencana yang telah dia susun untuk membebaskan sang istri dari Ordo Messier.Setelah beberapa saat saling pandang, salah satu pria di sana menggeser posisi duduk sambil merapikan jas yang sebenarnya tidak berantakan sama sekali.“Ekhm!” Pria itu berdehem lalu menghela napas pelan. “Bantuan?” tanya pria itu seraya memiringkan kepala dengan mata sedikit menyipit.“Benar, Tuan Waltz.” Zen menatap tegas pada pria bernama Jason Waltz yang baru saja bertanya.“Pfft!” Jason Waltz tampak menah
Menjelang hari eksekusi, Arthur harus memastikan bahwa semua persiapan sudah benar-benar matang. Dia juga harus melaporkan tentang ini kepada Zen. Karena Zen juga harus memprediksi kapan waktu yang tepat untuk keluar dari persembunyian. Meski selama beberapa hari ini masih saja ada orang-orang yang bertingkah mencurigakan di sekitar tempat Zen dan Lea tinggal. Namun untuk hari Sabtu nanti, Zen akan benar-benar keluar agar Jonathan segera turun tangan.“Zen,” panggil Lea di sela percakapan serius antara Zen dan Arthur.Dua pria yang sedang duduk di teras rumah kayu sederhana itu berpaling ke arah pintu. Di mana Lea menampakkan sebagian tubuhnya di balik kusen bercat putih dengan raut sedikit tegang.“Kembalilah ke kamarmu, Sweet Cake. Kau tidak harus mendengar apa yang kami bicarakan,” ucap Zen yang tak ingin melibatkan Lea dalam rencana ini.Lea tak menggubris. Wanita itu justru keluar lantas mengambil sebuah kursi la
Padang rumput yang membentang sejauh mata memandang, menampakkan beberapa bunga ilalang yang terbang terkena embusan angin. Beberapa kuda yang tampak berlari bebas saling berkejaran, seolah tak bertuan. Rumah kayu bercat putih yang terlihat begitu lengang, nyatanya menyembunyikan sepasang suami dan istri yang tengah bersiap untuk menghadapi hari besar.“Kau yakin tetap akan melakukannya?” tanya Zen kepada Lea saat wanita itu mengikat sabuk dengan sebuah revolver kecil pada pahanya.Lea menegakkan punggung seraya menurunkan bawahan gaun sutera panjang berwarna hitam yang memiliki belahan samping hingga setengah paha. Gaun model simple dengan tali spaghetti yang menggantung di bahu itu sungguh terlihat begitu elegan ketika melekat di tubuh proporsional Lea. Lipstik warna merah menyala yang memoles bibir wanita itu pun menambah kesan seksi dan berbahaya yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya merasa terintimidasi oleh Lea.Menarik na
“Pesta dimulai!” gumam Zen seraya menginjak pedal gas secara perlahan, melajukan mobil yang dia kendarai menuju jalan raya.“Mereka mengikuti kita, Zen,” kata Lea seraya menoleh ke arah spion kanan di mana sebuah mobil terlihat berusaha mengejar laju mereka.Zen melirik spion dan dia juga melihat apa yang dilihat Lea, di mana sebuah mobil melaju zig zag seolah tak ingin kehilangan jejak.“Masih ada beberapa mobil lain di belakangnya,” kata Zen seraya mengarahkan pandangan pada jalanan di depan yang lumayan padat.“Kau yakin?” Lea berpaling sekilas ke arah Zen.“Kau akan mengetahuinya lagi nanti setelah kita tiba di St. Robert Avenue. Jalanan di sana sepi. Aku memprediksi mereka akan memblokade jalan kita di sana,” kata Zen.“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Lea terlihat panik, cemas, khawatir, dan … takut.“Kau tenang saja. Aku sudah
Tarikan napas panjang yang dilakukan Jonathan membuat dagu tertutup jambangnya terangkat. Pada saat mengembuskannya kembali, Jonathan terlihat seperti seorang ayah yang lagi-lagi mendapatkan laporan atas ulah nakal yang diperbuat oleh anaknya. Dari kejauhan, Zen dapat melihat pria itu tersenyum. Tampak dari garis wajahnya yang terangkat serta matanya yang sedikit menyipit seolah tertarik ke atas. Kemeja mahal yang membungkus tubuhnya terlihat begitu elegan. Tak berselang lama kemudian, deru mesin beberapa kendaraan terdengar kian mendekat. Sampai pada akhirnya Zen dapat melihat beberapa Range Rover masuk satu persatu ke arena pacuan kuda, berjajar di sisi kanan dan kiri helikopter. Atau lebih tepatnya mengapit pria yang mereka sebut “Superior”, seolah ingin menegaskan betapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Jonathan Graham dari Ordo Messier. Berbeda dengan Zen, kali ini hanya ada dua mobil yang mengawal pria itu. Salah satunya adalah
“Tidak!”Lea menjerit sambil mengerutkan badan. Menyembunyikan wajah di bahu karena dia tidak akan sanggup melihat orang kepercayaan suaminya itu terkena tembakan yang berasal dari senjata di tangannya.Namun, rupanya hingga beberapa saat kemudian, tidak terdengar suara letusan senjata api. Lea juga tak merasakan entakan kuat seperti saat dirinya menembakkan senjata sebelumnya.Sampai beberapa waktu kemudian, Lea merasakan genggaman tangan Jonathan di tangannya mengendur. Disusul suara kekehan dari balik kepalanya.Jonathan terkekeh, kemudian melepaskan tangannya dari Lea. Entah apa yang pria itu lakukan, namun Lea merasa seperti baru saja mendapatkan napasnya kembali.“Aku tidak akan melakukannya untukmu, My Dear,” ucap Jonathan seraya memberi jarak antara tubuhnya dengan Lea. Berjalan mundur dua langkah dengan kedua tangan yang terselip di saku celana.“Tidak! Aku tidak bisa melakukannya.”
“Arthur!”Zen menjatuhkan lututnya di atas tanah, tepat di samping Arthur yang tergeletak dengan tubuh lemas. Ada perasaan tak bisa dimengerti yang bercokol di dalam dada pria tersebut. Kehilangan, kesedihan, kemarahan, semua bercampur menjadi satu hingga terasa begitu sulit untuk mengidentifikasinya sendiri.Matt bahkan menyusul dan berdiri di belakang Zen dengan raut cemas yang sama. Ingin menenangkan sang tuan, namun nyalinya tak cukup besar untuk melakukan hal itu. Dia tidak sama dengan Arthur yang sudah terasa seperti saudara sendiri oleh Zen. Matt hanyalah pengawal pribadi Lea yang selalu setia melindungi nyonyanya tersebut.“Aku tidak mengizinkamu mati hari ini, Art! Bangun, Keparat!” sentak Zen dengan raut panik saat melihat anak buahnya itu tidak berdaya.Sementara itu, beberapa meter darinya, Lea yang tergugu tampak berusaha untuk bangkit. Dengan tubuh gemetar dan wajah yang berlinang air mata berwarna kehit
Selama dalam perjalanan menuju mansion, Lea sama sekali tak melepaskan tangannya dari lengan Zen. Bahkan dia nyaris tidak pernah mengangkat kepalanya dari bahu sang suami.“Aku bersumpah aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, Zen. Aku tidak akan sanggup hidup tanpa dirimu,” ungkap Lea seraya mendusal di dada Zen yang sengaja membuka tangan lalu meminta Lea untuk masuk dalam rengkuhannya.“Tidak akan, Sweet Cake. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi,” balas Zen.Melihat kemesraan Zen dan Lea, Arthur hanya bisa memalingkan wajah. Merutuki pikiran untuk memiliki seorang wanita yang dia cintai dan mencintai dirinya seperti sang tuan. Namun, sejenak kemudian, pria itu lantas menggeleng samar sambil memejamkan mata. Mengusir pemikiran yang dia rasa begitu konyol dan sangat bukan dirinya.Sayangnya … hal tersebut dapat dilihat oleh Zen. Apa yang dilakukan Arthur—menggeleng samar dengan wajah berpaling ke j
Sebuah mobil jeep melaju dengan guncangan yang terasa lumayan keras di jalan yang bagian kanan dan kirinya ditumbuhi rumput liar. Sruktur tanah yang tidak rata menjadi penyebabnya. Sehingga, jalanan yang sebenarnya landai itu menimbulkan efek guncangan yang amat terasa. “Aku heran, kenapa Zen tidak membangun tempat ini dengan lebih baik,” ujar Clint yang tak melepaskan tangan dari pegangan agar tidak terlempar keluar dari jeep saat terjadi guncangan. “Aku rasa … ini adalah ide Nyonya Lea, Dokter,” sahut Arthur sembari mengatur kecepatan agar mobil yang dia kemudikan tetap dapat melaju dengan stabil meski harus berkali-kali merasakan sensasi seperti akan terbalik. “Ah, kau benar!” Clint berpaling ke arah Arthur. “Wanita itu adalah kryptonite bagi Zen.” Pria itu lantas menggeleng lalu mengalihkan pandangan pada tanaman anggur yang sedang berbuah di sepanjang kanan dan kiri jalan. “Dari seorang bajingan yang kejam, sekarang menjadi petani anggur.
Keinginan Lea memang terdengar seperti perintah bagi Zen. Dan ya, Lea menginginkan mereka untuk memiliki keturunan. Setelah berhasil mengungkap apa yang dia inginkan di hadapan sang suami, wanita itu semakin memperjelasnya dengan mengatakan bahwa setidaknya dia ingin memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan.“Itu terdengar menyenangkan, Zen. Kelak kau bisa mengajari anak laki-laki kita berbisnis, untuk meneruskan tampuh kepemimpinan The Great Palace—no no no! Aku tidak akan mengizinkamu mengajarinya bisnis gelap. Cukup kau saja yang tersesat di sana. Aku tidak ingin anak-anakku ikut tersesat bersamamu.” Lea segera membenetengi ucapannya sebelum Zen menyela.Kemudian dia melanjutkan lagi apa yang dia ucapkan, karena memang belum selesai.“Lalu aku bisa mengajari anak perempuan kita untuk memasak, bermain musik, menanam bunga, dan menyulam. Kita bisa tinggal di rumah sederhana yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk masalah, t
Melihat kedekatan Zen dan Zac membuat sudut hati Lea berdenyut. Ada rasa cemburu serta sedikit rasa terabaikan dengan pemandangan yang tersuguh itu.Semenjak kembali ke mansion beberapa waktu lalu, Zen bahkan belum menyentuh sesuatu yang lain selain Zac. Entah karena Zac yang merasakan kerinduan membuncah hingga tak ingin melepaskan Zen sedikit pun. Atau memang Zen yang merasa berat meninggalkan anak itu. Yang jelas, keduanya seperti tidak dapat terpisahkan.Lea memutar mata jengah sembari bernapas panjang dan dalam. Terdengar begitu berat. Sampai akhirnya wanita itu memutar badan, meninggalkan Zen dan Zac yang sedang bermain puzzle."Oh, yang benar saja?! Kenapa aku merasa cemburu pada Zac? Ayolah, Lea ... dia hanya anak kecil!"Dalam perjalanannya menuju kamar, Lea terus bergumam. Memarahi dirinya sendiri yang terlalu mudah cemburu oleh bocah laki-laki itu.Memasuki kamarnya, Lea berniat untuk segera membersihkan diri. Keringat berc
Selama dalam perjalanan menuju mansion, Lea sama sekali tak melepaskan tangannya dari lengan Zen. Bahkan dia nyaris tidak pernah mengangkat kepalanya dari bahu sang suami.“Aku bersumpah aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, Zen. Aku tidak akan sanggup hidup tanpa dirimu,” ungkap Lea seraya mendusal di dada Zen yang sengaja membuka tangan lalu meminta Lea untuk masuk dalam rengkuhannya.“Tidak akan, Sweet Cake. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi,” balas Zen.Melihat kemesraan Zen dan Lea, Arthur hanya bisa memalingkan wajah. Merutuki pikiran untuk memiliki seorang wanita yang dia cintai dan mencintai dirinya seperti sang tuan. Namun, sejenak kemudian, pria itu lantas menggeleng samar sambil memejamkan mata. Mengusir pemikiran yang dia rasa begitu konyol dan sangat bukan dirinya.Sayangnya … hal tersebut dapat dilihat oleh Zen. Apa yang dilakukan Arthur—menggeleng samar dengan wajah berpaling ke j
“Arthur!”Zen menjatuhkan lututnya di atas tanah, tepat di samping Arthur yang tergeletak dengan tubuh lemas. Ada perasaan tak bisa dimengerti yang bercokol di dalam dada pria tersebut. Kehilangan, kesedihan, kemarahan, semua bercampur menjadi satu hingga terasa begitu sulit untuk mengidentifikasinya sendiri.Matt bahkan menyusul dan berdiri di belakang Zen dengan raut cemas yang sama. Ingin menenangkan sang tuan, namun nyalinya tak cukup besar untuk melakukan hal itu. Dia tidak sama dengan Arthur yang sudah terasa seperti saudara sendiri oleh Zen. Matt hanyalah pengawal pribadi Lea yang selalu setia melindungi nyonyanya tersebut.“Aku tidak mengizinkamu mati hari ini, Art! Bangun, Keparat!” sentak Zen dengan raut panik saat melihat anak buahnya itu tidak berdaya.Sementara itu, beberapa meter darinya, Lea yang tergugu tampak berusaha untuk bangkit. Dengan tubuh gemetar dan wajah yang berlinang air mata berwarna kehit
“Tidak!”Lea menjerit sambil mengerutkan badan. Menyembunyikan wajah di bahu karena dia tidak akan sanggup melihat orang kepercayaan suaminya itu terkena tembakan yang berasal dari senjata di tangannya.Namun, rupanya hingga beberapa saat kemudian, tidak terdengar suara letusan senjata api. Lea juga tak merasakan entakan kuat seperti saat dirinya menembakkan senjata sebelumnya.Sampai beberapa waktu kemudian, Lea merasakan genggaman tangan Jonathan di tangannya mengendur. Disusul suara kekehan dari balik kepalanya.Jonathan terkekeh, kemudian melepaskan tangannya dari Lea. Entah apa yang pria itu lakukan, namun Lea merasa seperti baru saja mendapatkan napasnya kembali.“Aku tidak akan melakukannya untukmu, My Dear,” ucap Jonathan seraya memberi jarak antara tubuhnya dengan Lea. Berjalan mundur dua langkah dengan kedua tangan yang terselip di saku celana.“Tidak! Aku tidak bisa melakukannya.”
Tarikan napas panjang yang dilakukan Jonathan membuat dagu tertutup jambangnya terangkat. Pada saat mengembuskannya kembali, Jonathan terlihat seperti seorang ayah yang lagi-lagi mendapatkan laporan atas ulah nakal yang diperbuat oleh anaknya. Dari kejauhan, Zen dapat melihat pria itu tersenyum. Tampak dari garis wajahnya yang terangkat serta matanya yang sedikit menyipit seolah tertarik ke atas. Kemeja mahal yang membungkus tubuhnya terlihat begitu elegan. Tak berselang lama kemudian, deru mesin beberapa kendaraan terdengar kian mendekat. Sampai pada akhirnya Zen dapat melihat beberapa Range Rover masuk satu persatu ke arena pacuan kuda, berjajar di sisi kanan dan kiri helikopter. Atau lebih tepatnya mengapit pria yang mereka sebut “Superior”, seolah ingin menegaskan betapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Jonathan Graham dari Ordo Messier. Berbeda dengan Zen, kali ini hanya ada dua mobil yang mengawal pria itu. Salah satunya adalah
“Pesta dimulai!” gumam Zen seraya menginjak pedal gas secara perlahan, melajukan mobil yang dia kendarai menuju jalan raya.“Mereka mengikuti kita, Zen,” kata Lea seraya menoleh ke arah spion kanan di mana sebuah mobil terlihat berusaha mengejar laju mereka.Zen melirik spion dan dia juga melihat apa yang dilihat Lea, di mana sebuah mobil melaju zig zag seolah tak ingin kehilangan jejak.“Masih ada beberapa mobil lain di belakangnya,” kata Zen seraya mengarahkan pandangan pada jalanan di depan yang lumayan padat.“Kau yakin?” Lea berpaling sekilas ke arah Zen.“Kau akan mengetahuinya lagi nanti setelah kita tiba di St. Robert Avenue. Jalanan di sana sepi. Aku memprediksi mereka akan memblokade jalan kita di sana,” kata Zen.“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Lea terlihat panik, cemas, khawatir, dan … takut.“Kau tenang saja. Aku sudah
Padang rumput yang membentang sejauh mata memandang, menampakkan beberapa bunga ilalang yang terbang terkena embusan angin. Beberapa kuda yang tampak berlari bebas saling berkejaran, seolah tak bertuan. Rumah kayu bercat putih yang terlihat begitu lengang, nyatanya menyembunyikan sepasang suami dan istri yang tengah bersiap untuk menghadapi hari besar.“Kau yakin tetap akan melakukannya?” tanya Zen kepada Lea saat wanita itu mengikat sabuk dengan sebuah revolver kecil pada pahanya.Lea menegakkan punggung seraya menurunkan bawahan gaun sutera panjang berwarna hitam yang memiliki belahan samping hingga setengah paha. Gaun model simple dengan tali spaghetti yang menggantung di bahu itu sungguh terlihat begitu elegan ketika melekat di tubuh proporsional Lea. Lipstik warna merah menyala yang memoles bibir wanita itu pun menambah kesan seksi dan berbahaya yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya merasa terintimidasi oleh Lea.Menarik na