"Ko, enak ya kamu sekarang punya 2 boss di kantor.” Aku sengaja memancingnya, dia orang kepercayaan Mas Andri. Kurasa dia pasti mengetahui banyak perihal hubungan Mas Andri dan Rini. Eko meliatku sebentar melalui spion. Nanda sudah terlelap di pangkuanku, ikat rambut bonekanya bahkan sudah terlepas dari rambut tipisnya.“Iya, Bu. Kerjaan saya jadi sedikit lebih ringan. Bu Rini sangat cerdas, Bu. Dia bisa menghandle semua divisi dengan baik, bukan cuma divisi marketing. Bahkan beberapa kali mewakili Pak Andri mempresentasikan proyek-proyek baru perusahaan dan hasilnya sangat memuaskan,” ucap Eko.Aku melirik Aldy sekilas, dia hanya menatap lurus kedepan, kurasa dia tidak mendengar percakapanku dengan Eko sebab headset nya masih terpasang di kedua telinganya. Aku ingin memancing informasi lebih jauh pada Eko, namun aku khawatir Aldy mendengarnya.“Kita mampir rest area enggak, Bu?” tanya Eko.Aku menepuk bahu Aldy, dia melepas headphone-nya. “Mau mampir ke toilet, Nak? Di depan ada res
Eko menarik napas panjang. "Baik, Bu, saya cuma akan menjawab satu pertanyaan Ibu, Pak Andri mengucapkan ijab qobul pada Bu Rini pada pertengahan bulan April lalu Bu, saya lupa tanggal persisnya. Hanya ini yang bisa saya sampaikan, Bu. Maaf, saya pamit pulang dulu. Jika Ibu perlu dijemput silahkan hubungi saya kembali, Insya Allah saya selalu siap." "Oke, terima kasih Ko. Berpamitanlah pada ibu dan hati-hati di jalan. Jika merasa capek istirahatlah dulu di rest area. Ini sedikit ucapan terima kasihku, belikanlah ole-ole buat anak dan istrimu dan sampaikan salamku pada mereka." Aku menyodorkan amplop pada Eko."Tidak usah, Bu. Pak Andri tadi pagi sudah memberi bonus padaku, sewaktu mewanti-wanti aku hati-hati mengendarai mobil karena penumpangnya adalah orang-orang yang dicintainya. Amplopnya bahkan masih utuh," sahutnya sambil merogoh kantongnya. Aku terdiam, selain menyuruh Eko memakai mobilnya agar kami merasa nyaman, rupanya Mas Andri juga tetap dengan kebiasaannya mewanti-wanti
"Kok melamun aja, Nak? Ibu panggil-panggil dari tadi enggak nyahut. Apa ada yang sedang mengganggu fikiranmu, Nak?" Ibu tiba-tiba muncul saat aku sedang duduk di teras. Aldy dan Nanda sedang berkeliling kampung bersama Om Candra, adik bungsu ibu."Astaghfirullah maaf, Bu. Nuri enggak dengar.""Lagi mikirin apa to, Nak. Sepertinya Nuri lagi ada masalah. Jika berkenan Nuri boleh cerita pada ibu, jangan dipendam sendiri tidak baik untuk jiwamu, Nak."Aku menarik napas panjang beberapa kali kemudian menoleh pada ibu. Sepertinya aku harus menceritakan semua pada ibu, aku khawatir ibu akan lebih kaget jika mendengar berita Mas Andri menikahi Rini dari orang lain. Bagaimanapun juga ibunya Rini adalah tetangga dekat ibu, aku yakin suatu saat berita ini akan menyebar di kampung ini."Nahh kan melamun lagi. Yuk ke dalam, Nak,. Tidak enak dilihat orang lalu lalang di sini." Sekali lagi ibu membuyarkan lamunanku."Bu, ada yang Nuri mau ceritakan pada Ibu. Kita bicara di kamar Nuri ya, Bu.""Ayo,
POV Nuri. "Apakah kamu sudah mendengar penjelasan dari suamimu, Nak?" "Tidak, Bu. Hati Nuri terlalu sakit dengan pengakuan Mas Andri," isakku. "Jelaskanlah padaku apa yang terjadi, Bu." "Suamimu sudah berjanji pada Ibu akan menceritakan semua detailnya padamu di waktu yang tepat, Nak. Luangkanlah waktumu dan lapangkanlah dadamu mendengarkan ceritanya. Setelah itu Nuri boleh memutuskan langkah apa yang akan Nuri ambil setelah itu. Berilah kesempatan pada suamimu untuk mejelaskannya, Nak. Apapun yang terjadi dia masih suamimu, jalanmu menuju surga-Nya." "Sekarang Mas Andri bukan cuma suamiku, Bu. Dia juga suami dari wanita lain," ucapku lirih menahan perih. Ibu menatapku penuh iba. "Nak, Ibu pernah mengalami hal seperti ini di masa lalu. Ibu harap Nuri jangan salah melangkah. Ada Aldy dan Nanda yang harus kalian prioritaskan." Aku tau arah pembicaraan ibu. "Nuri tau, Bu. Nuri bahkan sudah bertemu dengan Kakak Rizal, kakak kandung Nuri, anak-anak Ayah," ucapku pada ibu. Ibu t
“Anak-anak masih pada di kamar mas. Masuklah dulu, mas terlihat kelelahan.” Aku beranjak dari tempatku berdiri. Kulihat sekilas dia tersenyum, entah tersenyum untuk apa.“Papaaaa!!!” lengkingan suara Nanda memenuhi rumah ibu membuat Aldy, Ibu dan Lina berdatangan ke ruang tamu. Mas Andri segera menggendong dan mencium Nanda, Nanda terkekeh geli saat papanya menggelitik pinggangnya.“Loh ada Nak Andri, kapan tiba nya, Nak? Lina, tolong buatkan teh hangat, ya." Ibu bertanya sekaligus menyuruh Lina menyiapkan suguhan.“Biar aku aja, Bu," sahutku sambil berjalan menuju dapur. Memang untuk urusan membuat teh untuk Mas Andri selama ini selalu aku yang membuatnya. Hanya sesekali aku menyuruh Bi Ina jika memang terpaksa, hanya aku yang tau takaran pemanis dan kekentalan teh yang disukai Mas Andri.Mas Andri masih berbincang dengan ibu sambil sesekali menggelitik Nanda ketika aku mengantarkan minuman untuknya. Ia menatapku saat aku meletakkan gelas berisi teh di hadapannya, sekilas kulihat bin
Suasana perjalanan pulang kembali ke kota kami berjalan seperti biasa, Mas Andri menyetir sambil mengajak Nanda bernyanyi seperti yang biasa mereka lakukan di perjalanan. Aldy dan Nanda duduk di belakang sementara aku duduk di depan.Tak terhitung sudah berapa lagu yang dinyanyikan Nanda berduet dengan papanya, dari lagu “Naik Delman” ketika di jalan kami berpapasan dengan delman, lagu “Pelangi-Pelangi” ketika di jalan melihat ada pelangi hingga lagu “Kereta Api” ketika mobil kami berhenti di pintu perlintasan kereta. Aku hanya sesekali tersenyum sambil menoleh ke kursi belakang. Aldy terlihat sesekali menggoda adiknya jika lagunya salah, kemudian sesekali melepas pasang headphonenya.Di pertengahan perjalanan kulihat Aldy dan Nanda sudah terlelap di kursi belakang. Keheningan pun menyeruak di antara kami. Hanya terdengar deru mesin mobil serta suara kendaraan lain yang melaju di jalan tol ini. Mas Andri begitu tenang, kantung matanya sudah tidak nampak mencolok seperti tadi ketika di
Ingatanku melayang saat Mas Andri menjemputku di bandara bulan April lalu. Saat itu aku dan kedua rekanku keluar dari pintu kedatangan di bandara. Di luar kulihat sudah berdiri Mas Andri di balik pagar pembatas penjemput. Kedua rekanku bahkan menggodaku bahwa aku sungguh beruntung begitu tiba sudah ditunggu sang pangeran. Aku sedikit heran melihat penampilannya, tidak biasanya dia memakai kaca mata hitam. Saat kutanyakan padanya, dia berkilah matanya merah karena kelilipan dan membuatnya harus memakai kaca mata hitam. Penampilannya juga terlihat tidak fresh seperti biasanya, tapi aku hanya menduga Mas Andri mungkin lagi banyak pekerjaan. “Itu adalah hari ketiga di mana aku menikahi Rini. Aku menikahinya tanggal 13 April lalu.” Suara mas Andri membuyarkan lamunanku.Ia terisak, menangis di depanku.Heyyy ... kenapa dia menangis? Harusnya aku yang menangis lagi mendengar pengakuan yang kedua kali darinya.***Pov AndriAku gelisah mondar-mandir di ruanganku seorang diri. Sampai jam se
[KAU DATANGLAH KE ALAMAT YANG AKAN KUKIRIM SETELAH INI. INGAT JANGAN LAPOR POLISI JIKA KAU INGIN ORANG-ORANGMU INI SELAMAT!!] Suara berat dan nyaring dari seberang sana langsung terdengar saat aku mengangkat telpon. Belum sempat kujawab panggilan telpon sudah diakhiri.Tring…Tring…Tring…Beberapa pesan beruntun masuk pada aplikasi whatsapp di ponselku. Aku terkejut ketika kubuka foto-foto yang dikirim dari nomor ponsel Eko. Terlihat Eko dan Rini masing-masing diikat pada sebuah kursi. Mulut mereka dilakband. Tanpa pikir panjang aku segera keluar dan turun keparkiran. Aku memakai mobil operasional perusahaan karena mobilku dipakai Eko dan Rini tadi saat mewakiliku ke PT. AB. Aku menyetir dengan tergesa-gesa menuju alamat yang dikirimkan tadi.Aku memasuki sebuah gudang tua sambil mengikuti instruksi dari seseorang lewat ponselku. Tak butuh waktu lama aku sudah sampai di tempat di mana Eko dan Rini berada. Aku melihat pemandangan yang persis dengan foto yang dikirim padaku tadi. Eko d
“Bang, pulang yuk! Kita nggak dianggap di sini. Dunia serasa milik mereka berdua tuh.” Andin menyebikkan bibirnya sambil menoleh pada Rizal.“Jangan pulang dulu dong, Ndin. Aku boleh minta sesuatu nggak?” tanya Nuri.“Apaan? Asal jangan meminta bayi dalam kandunganku. Kamu kan udah dapat bonus bayi dari Mas Andri.”“Sayang!” Rizal menegur lembut istrinya sambil menggelengkan kepalanya. Dia takut Andri tersinggung dengan ucapan istrinya.“Nggak apa-apa. Aku sangat terhibur dengan kalian berdua,” ucap Andri yang mengerti maksud Rizal.“Jadi minta apa, Ri?” tanya Andin.“Untuk beberapa hari kedepan bisa nggak kalian menginap di sini dulu menemani Ibu dan anak – anak.”“Maksud kamu, Ri?”“Aku dan Mas Andri berencana untuk berlibur keluar kota beberapa hari.”“Jadi kamu setuju, Dik?” tanya Andri dengan tatapan berbinar –binar.“Iya, Mas. Semoga anak-anak juga mengizinkan, ya.”“Wuihhh, aku cemburu pada kalian berdua. Yang pengantin baru siapa yang bulan madu siapa!” Andin kembali mengerucu
“Tapi kita bukan pasangan pengantin baru, Mas.” Protes Nuri. Wajahnya sedikit bersemu merah menerima tatapan menggoda dari suaminya.“Bagiku kita adalah pengantin baru, Sayang. Dan akan selalu begitu. Kita akan menjalani hari-hari kedepan seperti pengantin baru setiap harinya. Kamu mau kan?” Andri menarik mengencangkan pelukannya di bahu Nuri yang membuat tubuh wanita itu masuk kedalam dekapannya. Andri mencium pucuk kepala Nuri. “Boleh minta lagi nggak?” tanyanya mengedipkan mata.“Aku ke sini buat manggil sarapan, Mas. Ayo, sepertinya yang lain sudah menunggu kita.” Nuri menjauhkan tubuhnya. Dia pun sebenarnya susah payah menahan hasratnya untuk tetap berada dalam dekapan hangat suaminya.“Ah, padahal aku ingin sarapan yang lain.” Andri masih menggodanya.“Udah ah, Mas!”“Makanya kamu ambil cuti ya, Dik. Kita liburan berdua.”“Kita bicarakan nanti ya, Mas. Yuk, sarapan dulu.” “Morning kiss dulu, dong,” pinta Andri memajukan bibirnya.Cup! Nuri mengecupnya sekilas. Mata Andri berbin
Kembali Andri dan Nuri tak sanggup menahan keharuan ketika mereka bersujud dalam salat, sajadah keduanya basah dengan air mata penuh rasa syukur atas semua yang sudah mereka lalui.“Aku mencintaimu, Nuri-ku. Perasaanku tidak pernah berkurang meski takdir memisahkanku darimu,” ucap Andri lembut dan memberi kecupan pada kening Nuri setelah mereka melewati malam panjang berdua.“Aku juga mencintaimu, Mas,” jawab Nuri manja sambil menyandarkan kepalanya di dada lelaki yang tak pernah pergi dari hatinya itu.“Sarapan apa pagi ini, Bi?” tanya Nuri pada Bi Ina yang sedang sibuk di dapur.“Ini lagi bikin nasi goreng, pancake dan roti bakar, Bu.”“Ooh, ada yang pesan nasi goreng, Bi? Nggak biasanya sarapan nasi goreng.”“Nggak ada yang pesan, Bu. Bibi hanya membuat nasi goreng kesukaan Pak Andri.”Nuri tersenyum. Beruntung sekali dia dulu menerima Bi Ina ketika seorang keluarga jauhnya merekomendasikan Bi Ina saat Nuri sedang mencari tenaga ART. Bi Ina orang yang jujur, baik dan sangat menyaya
Andri mengetuk pintu kamar Nuri kemudian membukanya perlahan. Nuri yang sedang merapikan beberapa barang diatas meja riasnya menoleh ke arah pintu dan tersenyum melihat kehadiran Andri di sana.“Silakan masuk, Mas. Maaf aku masih merapikan beberapa barang yang tadi berantakan di sini,” ucapnya.“Mau kubantu, Dik?” tanya Andri.“Nggak usah, Mas. Sebentar lagi beres kok. Oiya, ibu masih nginap di sini?”“Ibu sudah pulang ke rumah, Dik. Katanya nggak bawa baju ganti jadi tadi minta antar pulang. Maaf nggak sempatin pamit, tadi ibu nyari kamu untuk berpamitan tapi sepertinya kamu sedang mandi tadi.”“Oh, nggak apa-apa, Mas. Insya Allah besok kita jemput ibu lagi ke sana. Kasian beliau sendirian di sana.”“Iya, Dik. Besok aku ada janji dengan perawat Bilqis juga dan ibu juga ingin ikut menengok Bilqis.”Nuri mengangguk tersenyum. “Besok kita ke sana bersama-sama ya, Mas.”“Teririma kasih, Sayang,” ucap Andri dengan suara serak. Nuri tersipu malu mendengar kata ‘sayang’ bibir lelaki itu. P
Rizal tersenyum bahagia melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah Nuri. 'Aku akan menebus kesalahanku padamu dengan menjaga Nuri, Ayah. Aku melihat senyummu di balik senyumannya,' batin Rizal. Setelah tamu satu persatau mulai meninggalkan rumah Nuri, Andri dan Nuri yang sedang duduk bersantai di ruang tengah terkejut dengan kemunculan Bi Ina dengan deraian air mata di sana.Bi Ina sedari tadi tidak kelihatan diantara para tamu karena sibuk di belakang. Dengan deraian air matanya, Bi Ina memberi selamat pada kedua majikan yang begitu dihormatinya itu.“Bi Ina kok nangis gitu? Nggak suka saya balik ke rumah ini lagi?” tanya Andri sengaja bercanda. Dia tau Bi Ina dari dulu sangat berharap dia kembali ke rumah ini. Bi Ina bahkan beberapa kali menangis memohon padanya agar majikannya itu kembali bersama seperti dulu lagi.“Tidak, Pak. Justru sebaliknya saya sangat bahagia. Saya bahagia melihat keluarga Pak Andri dan Bu Nuri kembali bersatu. Ini adalah impian saya selama ini. Saya hanya
Andri dan Nuri serta Aldy dan Nanda masih berkeliling menyapa semua keluarga mereka yang hadir di rumah Nuri. Bu Susi yang dari tadi hanya diam menyaksikan semua yang terjadi di sana memeluk Nuri dengan erat ketika Nuri dan Andri serta kedua anak mereka menghampirinya.Tak ada kata yang keluar dari bibir wanita tua itu, hanya terdengar tangisan lirih membungkus keharuan yang dirasakannya. Nuri pun kembali menitikkan air mata harunya dalam dekapan ibu mertuanya itu.“Ibu tak bisa berkata apa-apa, Nak. Kebahagiaan yang ibu rasakan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Pemandangan ini membuat perasaan ibu sesak dengan rasa bahagia. Sayang sekali Bapak dan adikmu Nindya tak bisa menyaksikan ini,” ucap Bu Susi sambil menyeka air matanya.“Iya, Bu. Kita akan mengabari Bapak dan Nindya nanti,” sahut Nuri lembut.“Terima kasih, Bu. Andri yakin ini semua juga tak lepas dari doa – doa ibu selama ini. Terima kasih untuk selalu meminta kebahagiaan anakmu ini dalam setiap doamu Ibu,” ucap Andri d
Andri terpaku mendengar ucapan Nuri, ucapan Nuri membuatnya merasa terbang ke awan – awan. Hatinya yang tadinya sesak dengan kepedihan kini berganti sesak dengan kebahagiaan.Begitu mudahnya Allah membolak – balikkan keadaan dan hati seseorang, maka sesungguhnya kita hanya perlu berpasrah pada ketentuan-Nya. Kun Fayakun, tidak ada satu hal pun yang mustahil bagi Allah jika Dia menghendakinya.Setelah semuanya setuju, Andri duduk dengan gagahnya menggantikan posisi yang tadinya diisi Adit. Kemeja kuning pucat hadiah dari Nuri yang dikenakannya tampak serasi dengan kebaya putih kombinasi kuning gading yang digunakan Nuri.Jika dilihat sekilas, tidak akan ada yang menyangka jika posisi Andri ada di sana untuk menggantikan Adit. Semua tampak serasi, seperti telah direncanakan dengan sempurna. Ya, semua rencana Allah. Itulah yang membuat semua terlihat sempurna.“Andri Firmansyah, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan adik kandung saya yang bernama Nuri Wulandari binti Muhammad Rasyid d
Ayah Andin, yang merupakan pemuka agama khusus datang dari Kalimantan memenuhi undangan anak dan menantunya untuk memberi khutbah dan wejangan pada calon pengantin. Jantung Adit berdegup kencang ketika tiba saatnya Rizal menatap tajam padanya dan menggenggam erat tangannya, sedangkan Nuri hanya duduk tertunduk di sampingnya sambil sesekali menghela napas pelan.“Danis Raditya, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan adik kandung saya yang bernama Nuri Wulandari binti Muhammad Rasyid dengan maskawinnya berupa uang sebesar Lima Ratus Ribu Rupiah dan seperangkat alat sholat dibayar TUNAI!”Hening. Tidak ada jawaban dari Adit. Ujung mata pria itu melirik pada sesosok pria di sudut ruangan yang tertunduk dengan bahu terguncang naik turun sambil memangku gadis kecil yang terlihat heran melihat pria itu menangis. Bola mata Adit menatap tajam pada Rizal kemudian kembali melirik ke sudut ruangan lalu melirik Nuri yang hanya menunduk dan menunggunya mengucapkan ijab kabul.Rizal menyipitkan m
Andri membuka lemari pakaiannya dan memilih kemeja berwarna kuning pucat yang merupakan kemeja favoritnya. Kemeja itu menjadi hadiah ulang tahun terakhir yang dihadiahkan Nuri padanya sebelum akhirnya takdir memisahkan mereka. Bu Aisyah, Aldy dan beberapa kerabat Nuri menyambut kehadiran Bu Susi dan Andri ketika mereka ibu dan anak itu tiba di sana. Bu Aisyah tampak ramah seperti biasanya mengajak Bu Susi mengobrol membicarakan beberapa hal. Sementara perhatian beberapa orang yang ada disana terpusat pada Andri ketika pria itu datang. Nuri hanya mengundang beberapa keluarga dekatnya, dan mereka semua yang ada disana mengetahui siapa Andri. Aldy yang menyambut kedatangan papanya mengajak Andri masuk kedalam rumah dan memilih menemani papanya itu duduk di pojok ruangan. Beberapa orang terlihat hilir mudik mempersiapkan keperluan acara. Rizal menghampiri Andri ketika melihat lelaki itu duduk di pojok ruangan ditemani Aldy. Rizal dan Andri terlibat perbincangan ringan beberapa saat sebe