Setiba di rumah, aku dan Arga disambut oleh kedatangan tamu tak diundang. Begitu kami membuka pintu mobil, sosok yang berdiri di ambang pintu langsung menarik perhatian. Ibu Arga, yang terakhir kali datang menghinaku dan memberikan kata-kata pedas, berdiri dengan anggun di depan rumah kami.
Arga yang baru saja keluar, tampak terkejut, tetapi tidak menunjukkan ekspresi keheranan yang besar. Justru, ekspresinya terlihat lebih datar dan acuh. Ia hanya menghela napas panjang, seolah sudah terbiasa dengan kedatangan ibunya yang tidak diinginkan.“Kenapa Anda datang lagi?” tanya Arga dengan nada datar, tidak menyembunyikan rasa kesal di suaranya.Ibu Arga tersenyum tipis, tetapi senyum itu terasa seperti pisau. "Aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan baik-baik saja. Kamu tahu, aku mendengar kabar tentang kembalinya Viona. Mungkin kamu bisa jelaskan pada istrimu tentang itu?"Aku menahan napas. Tentu saja, ibu Arga pasti sudah mendengar tentang Viona yang kembali, danSetelah berganti baju, aku mulai membereskan rumah. Suasana rumah yang cukup besar ini terkadang membuatku merasa kewalahan, apalagi karena tak ada asisten rumah tangga yang membantu.Semua pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawabku, mulai dari mencuci piring, menyapu, hingga merapikan setiap sudut rumah yang kadang terasa tak pernah selesai.Namun, di sisi lain, aku juga merasa sedikit frustrasi. Arga, meskipun ada di rumah, sering kali sibuk dengan urusan pribadinya di ruang belajar. Aku tahu dia memiliki banyak pekerjaan dan tanggung jawab yang harus dia selesaikan, terutama terkait dengan bisnis keluarga.Aku mengelap meja makan dengan cepat, berpindah ke ruang tamu, dan mulai menyapu. Beberapa kali mataku melirik ke arah pintu ruang belajar Arga yang tertutup rapat. Aku tahu dia sibuk, dan aku juga tidak mau terlalu mengganggu, tapi kadang aku butuh bantuannya.Setelah selesai mencuci piring, aku mendengar langkah kaki Arga yang mendekat dari belakang. Aku
"Kita cari kontrakan aja, gimana?" kataku dengan mantap, meskipun aku tahu betul betapa tidak masuk akalnya ide itu di mata Arga. "Kontrakan?" Arga terkejut. Wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan yang sangat jelas. Aku bisa merasakan bahwa dia mungkin merasa jijik dengan kata itu. "Kamu serius, Rilla?" Aku hanya menatapnya dengan tenang, mencoba memberikan alasan tanpa terlalu terbawa emosi. "Ya, kenapa tidak? Kita bisa hidup lebih sederhana, nggak perlu ribet sama rumah besar yang nggak habis-habisnya kita bersihkan dan rawat." Arga menggeleng, tampaknya mencoba mengerti apa yang ada di pikiranku, meskipun itu sangat jauh dari harapannya. "Tapi ini rumah kita, Rilla. Aku nggak pernah bayangin bakal tinggal di kontrakan. Kita bisa cari cara lain buat ngatur rumah ini tanpa harus pindah." Aku menatapnya, merasa sedikit kesal tapi juga bingung dengan reaksinya. Bukankah seharusnya dia juga merasakan betapa melelahkannya mengurus rumah besar ini? Bukankah seharusnya dia juga tahu
Setelah perdebatan soal rumah, suasana mulai sedikit mencair. Walau masih ada sisa-sisa emosi di hati, kami berdua tahu bahwa hidup bersama artinya harus belajar kompromi, sekeras apa pun perbedaan. Sambil duduk di ruang tamu dengan minuman kaleng di tangan masing-masing, kami mulai membicarakan hal lain. Topik yang lebih ringan, setidaknya tidak memancing perang dunia ketiga lagi. "Eh, ngomong-ngomong," aku memulai sambil melirik Arga yang sedang memainkan ujung kaleng minumannya, "besok ada rapat untuk pentas seni, kan? Sekalian bahas acara perpisahan kakak-kakak kelas." Arga mengangguk malas. "Iya, aku dengar tadi dari grup OSIS. Kenapa mereka mau pentas kayak gitu sih, padahal ujungnya cuma foto-foto doang," katanya sambil mendengus. Aku memutar bola mata, geli sendiri dengan sikapnya. "Ya ampun, Pak Ketua OSIS kok ngomongnya gitu? Kamu tuh harusnya jadi contoh!" godaku sambil mendorong pundaknya pelan. Arga mendesah. "Jadi Ketua OSIS itu urusan administrasi, bukan pesta-pest
Di akhir rapat, setelah semua agenda selesai, aku melihat Arga merapikan kertas-kertasnya dengan ekspresi lelah. Aku mendekat, setengah menggoda. "Pak Ketua, capek ya? Mau aku beliin es krim buat hiburan?" Arga menatapku, malas-malasan, lalu tersenyum kecil. "Kalau gratis, mau." Aku cekikikan. "Mimpi aja, bayar sendiri!" Arga tertawa kecil, dan untuk beberapa detik, semua ketegangan selama rapat tadi terasa menguap. Namun, semua itu berubah. Semua momen ribut-ribut lucu, semua debat kecil yang terasa akrab, tiba-tiba mulai terasa aneh. Semua berawal saat Viona, ya, Viona, mantan pacar Arga yang cantik dan cerdas itu muncul lagi. Saat itu kami sedang rapat kecil di aula, membahas teknis gladi resik pentas seni. Aku baru saja membagikan daftar tugas kepada anak-anak OSIS lain, saat suara langkah kaki terdengar dari pintu. Semua orang menoleh. Termasuk aku dan Arga. Viona berdiri di sana, dengan seragam sekolah yang tampak baru dan rapi. Rambutnya dikuncir tinggi, dan dia terse
Aku duduk di salah satu bangku panjang di aula, meletakkan map berisi daftar peserta di sampingku. Rasanya kakiku mau copot. Seharian ini aku wara-wiri mengatur banyak hal. Mendata kakak-kakak kelas yang masih mau berpartisipasi di pentas seni meskipun mereka disibukkan ujian akhir, memastikan semua sektor berjalan, belum lagi drama kecil soal Viona tadi. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikiranku. Saat itu, dari sudut mata, aku melihat seseorang mendekat. Sebuah botol minuman dingin muncul di hadapanku. Aku mendongak. Dan jantungku, sedikit berdebar. "Minum dulu," kata Elang, kakak kelasku, sambil tersenyum ramah. Dia mengenakan jaket hitam tipis di atas seragamnya, rambutnya agak berantakan, tapi malah membuatnya terlihat... keren, seperti biasa. Aku menerima botol itu dengan sedikit canggung. "Makasih, Elang," ucapku, berusaha terdengar santai. Elang tertawa kecil. "Santai aja, Rilla." Aku hanya tersenyum kaku. Sulit bagiku untuk benar-benar santai saat berha
Hari berikutnya, aku dan Arga mulai sibuk menyiapkan mading utama di koridor sekolah. Kertas-kertas warna-warni, spidol berbagai ukuran, dan gunting berserakan di lantai. Aku berjongkok sambil menulis besar-besar tema acara di tengah mading. "Pentas Seni & Perpisahan Kelas 12" Di sebelahku, Arga ikut sibuk, walau dari ekspresinya, jelas sekali dia lebih memilih tidur siang daripada menempel kertas-kertas ini. Beberapa kali kami saling menyikut, berdebat soal font tulisan, warna latar, bahkan posisi pengumuman. Layaknya dua anak kecil berebut mainan. "Arga! Itu miring!" seruku, memukul lengannya pelan. "Enggak kok," katanya santai, malah sengaja menekan kertasnya lebih keras ke mading, membuatnya semakin miring. Aku mendesah keras, lalu dengan malas menarik kertas itu dan merapikannya. "Kalau kayak gini, siapa yang mau daftar coba? Mading aja kayak kapal pecah!" Arga terkekeh, lalu mencolek pipiku dengan spidol. Aku langsung menoleh tajam, wajahku memanas. "Jangan ganggu aku! I
Hari-hari berikutnya, Viona seperti orang yang kehilangan akal. Setiap ada kesempatan, dia membujuk Arga supaya mau duet dengannya. "Arga, aku yakin kalau kita berdua yang tampil, acara ini bakal pecah banget!" "Arga, tolonglah, sekali ini aja... demi kenangan masa sekolah kita." "Arga, aku udah latihan lagu duet, tinggal kamu yang belum setuju!" Begitulah, setiap hari. Setiap bertemu. Dan setiap ada kesempatan. Arga? Wajahnya makin hari makin sebal. Dia bukan tipe cowok sabar kalau sudah muak. Apalagi, sejak awal, Arga memang tidak suka keramaian. Bagi dia, menjadi ketua OSIS saja sudah cukup menguras energinya, apalagi harus bernyanyi bareng mantan pacar di depan ratusan siswa? "Enggak. Cari pasangan lain aja," jawab Arga dingin suatu siang, saat Viona lagi-lagi menghampirinya di koridor. Aku yang melihat kejadian itu dari jauh hampir ingin bertepuk tangan. Tetapi aku tahu, Viona bukan orang yang mudah menyerah. Wajahnya tersenyum palsu, tapi matanya, penuh kebencian. Aku m
Malam itu, aku duduk di ruang tamu rumah kami, mengutak-atik ponsel tanpa fokus. Arga keluar dari ruang belajarnya, menguap sambil menyeret langkah mendekat. "Kenapa lemes gitu?" tanyanya curiga, duduk di sampingku. Aku menoleh sebentar, lalu mengembuskan napas. "Arga... ada masalah," gumamku. Arga mengernyit. "Masalah apa? Jangan bilang berantem sama Viona lagi?" Aku menggigit bibir bawahku, ragu-ragu. "Ada rekaman," kataku akhirnya. "Ericka punya rekaman... tentang aku dan Viona." Arga langsung duduk tegak, matanya membulat. "Rekaman apa?" Aku menunduk. "Dia tahu soal... soal kita," bisikku nyaris tak terdengar. Suasana langsung membeku. Arga mengusap wajahnya kasar. "Sialan." "Aku harus cari cara supaya Ericka hapus rekaman itu," lanjutku, mulai panik. "Kalau nggak... semua orang bakal tahu." Arga berpikir keras, ekspresi wajahnya serius. "Kamu mau aku yang urus?" Aku menggeleng cepat. "Kalau kamu ikut campur, malah makin mencurigakan," kataku. "Aku yang harus beres
Aku duduk sendiri di taman belakang sekolah, membiarkan angin sore yang dingin menampar wajahku. Hati ini terasa berat, bahkan napas pun terasa sesak. Sejak perkelahian Arga dan Elang tadi, pikiranku makin kacau. Bukan hanya tentang mereka berdua, tapi juga tentang Viona. "Apakah Arga sudah tahu?" Aku meremas rok seragamku erat-erat. "Tentang aborsi itu. Tentang rahasia besar Viona yang mungkin bisa menghancurkan perasaanya." Aku menggigit bibirku. Seandainya saja aku tidak membuka map dari Ericka... Seandainya saja aku tidak tahu aib itu, mungkin aku bisa hidup sedikit lebih tenang. Tapi sekarang? Aku merasa seperti duduk di atas bom waktu. Kalau Arga tahu, apa yang akan dia lakukan? Marah? Kecewa? Merasa bersalah karena pernah menyayangi Viona? Atau justru membenciku karena merahasiakan fakta ini. Apakah Viona sengaja menutupi semuanya? Dan itu sebabnya dulu dia tiba-tiba menghilang, memutuskan semua hubungan dengan Arga tanpa alasan jelas? Aku menggenggam ponselku, tergoda
Semua konsep sudah ditempel di mading, peserta sudah terdaftar, bahkan pembagian tugas panitia pun rampung. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, aku dan Arga bisa kembali fokus ke pelajaran. Hari ini, suasana sekolah lebih tenang. Hanya derap kaki siswa dan suara lonceng yang sesekali memecah kesunyian. Saat aku baru saja meletakkan bukuku di meja, seseorang menarik kursiku dari belakang dengan heboh. "Heyy... akhirnya aku bisa ngobrol sama kamu juga!" seru Silvia, sahabatku, sambil menjatuhkan dirinya ke kursi di sampingku. Aku tertawa kecil, merasa hangat melihatnya. "Kayaknya kamu sibuk banget ya akhir-akhir ini. Pentas lah, rapat lah... pacaran lah." Silvia menyenggolku dengan sikunya, menggoda. Aku memutar mataku pura-pura malas. "Pacaran apaan, Sil? Capek tau urusan sama bocah itu." Sambil menunjuk Arga yang asyik membaca di pojok kelas, tampak sangat... serius. Atau setidaknya pura-pura serius. Silvia tertawa geli. "Tapi kalian lucu tau, kayak kucing s
Malam itu, aku duduk di ruang tamu rumah kami, mengutak-atik ponsel tanpa fokus. Arga keluar dari ruang belajarnya, menguap sambil menyeret langkah mendekat. "Kenapa lemes gitu?" tanyanya curiga, duduk di sampingku. Aku menoleh sebentar, lalu mengembuskan napas. "Arga... ada masalah," gumamku. Arga mengernyit. "Masalah apa? Jangan bilang berantem sama Viona lagi?" Aku menggigit bibir bawahku, ragu-ragu. "Ada rekaman," kataku akhirnya. "Ericka punya rekaman... tentang aku dan Viona." Arga langsung duduk tegak, matanya membulat. "Rekaman apa?" Aku menunduk. "Dia tahu soal... soal kita," bisikku nyaris tak terdengar. Suasana langsung membeku. Arga mengusap wajahnya kasar. "Sialan." "Aku harus cari cara supaya Ericka hapus rekaman itu," lanjutku, mulai panik. "Kalau nggak... semua orang bakal tahu." Arga berpikir keras, ekspresi wajahnya serius. "Kamu mau aku yang urus?" Aku menggeleng cepat. "Kalau kamu ikut campur, malah makin mencurigakan," kataku. "Aku yang harus beres
Hari-hari berikutnya, Viona seperti orang yang kehilangan akal. Setiap ada kesempatan, dia membujuk Arga supaya mau duet dengannya. "Arga, aku yakin kalau kita berdua yang tampil, acara ini bakal pecah banget!" "Arga, tolonglah, sekali ini aja... demi kenangan masa sekolah kita." "Arga, aku udah latihan lagu duet, tinggal kamu yang belum setuju!" Begitulah, setiap hari. Setiap bertemu. Dan setiap ada kesempatan. Arga? Wajahnya makin hari makin sebal. Dia bukan tipe cowok sabar kalau sudah muak. Apalagi, sejak awal, Arga memang tidak suka keramaian. Bagi dia, menjadi ketua OSIS saja sudah cukup menguras energinya, apalagi harus bernyanyi bareng mantan pacar di depan ratusan siswa? "Enggak. Cari pasangan lain aja," jawab Arga dingin suatu siang, saat Viona lagi-lagi menghampirinya di koridor. Aku yang melihat kejadian itu dari jauh hampir ingin bertepuk tangan. Tetapi aku tahu, Viona bukan orang yang mudah menyerah. Wajahnya tersenyum palsu, tapi matanya, penuh kebencian. Aku m
Hari berikutnya, aku dan Arga mulai sibuk menyiapkan mading utama di koridor sekolah. Kertas-kertas warna-warni, spidol berbagai ukuran, dan gunting berserakan di lantai. Aku berjongkok sambil menulis besar-besar tema acara di tengah mading. "Pentas Seni & Perpisahan Kelas 12" Di sebelahku, Arga ikut sibuk, walau dari ekspresinya, jelas sekali dia lebih memilih tidur siang daripada menempel kertas-kertas ini. Beberapa kali kami saling menyikut, berdebat soal font tulisan, warna latar, bahkan posisi pengumuman. Layaknya dua anak kecil berebut mainan. "Arga! Itu miring!" seruku, memukul lengannya pelan. "Enggak kok," katanya santai, malah sengaja menekan kertasnya lebih keras ke mading, membuatnya semakin miring. Aku mendesah keras, lalu dengan malas menarik kertas itu dan merapikannya. "Kalau kayak gini, siapa yang mau daftar coba? Mading aja kayak kapal pecah!" Arga terkekeh, lalu mencolek pipiku dengan spidol. Aku langsung menoleh tajam, wajahku memanas. "Jangan ganggu aku! I
Aku duduk di salah satu bangku panjang di aula, meletakkan map berisi daftar peserta di sampingku. Rasanya kakiku mau copot. Seharian ini aku wara-wiri mengatur banyak hal. Mendata kakak-kakak kelas yang masih mau berpartisipasi di pentas seni meskipun mereka disibukkan ujian akhir, memastikan semua sektor berjalan, belum lagi drama kecil soal Viona tadi. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikiranku. Saat itu, dari sudut mata, aku melihat seseorang mendekat. Sebuah botol minuman dingin muncul di hadapanku. Aku mendongak. Dan jantungku, sedikit berdebar. "Minum dulu," kata Elang, kakak kelasku, sambil tersenyum ramah. Dia mengenakan jaket hitam tipis di atas seragamnya, rambutnya agak berantakan, tapi malah membuatnya terlihat... keren, seperti biasa. Aku menerima botol itu dengan sedikit canggung. "Makasih, Elang," ucapku, berusaha terdengar santai. Elang tertawa kecil. "Santai aja, Rilla." Aku hanya tersenyum kaku. Sulit bagiku untuk benar-benar santai saat berha
Di akhir rapat, setelah semua agenda selesai, aku melihat Arga merapikan kertas-kertasnya dengan ekspresi lelah. Aku mendekat, setengah menggoda. "Pak Ketua, capek ya? Mau aku beliin es krim buat hiburan?" Arga menatapku, malas-malasan, lalu tersenyum kecil. "Kalau gratis, mau." Aku cekikikan. "Mimpi aja, bayar sendiri!" Arga tertawa kecil, dan untuk beberapa detik, semua ketegangan selama rapat tadi terasa menguap. Namun, semua itu berubah. Semua momen ribut-ribut lucu, semua debat kecil yang terasa akrab, tiba-tiba mulai terasa aneh. Semua berawal saat Viona, ya, Viona, mantan pacar Arga yang cantik dan cerdas itu muncul lagi. Saat itu kami sedang rapat kecil di aula, membahas teknis gladi resik pentas seni. Aku baru saja membagikan daftar tugas kepada anak-anak OSIS lain, saat suara langkah kaki terdengar dari pintu. Semua orang menoleh. Termasuk aku dan Arga. Viona berdiri di sana, dengan seragam sekolah yang tampak baru dan rapi. Rambutnya dikuncir tinggi, dan dia terse
Setelah perdebatan soal rumah, suasana mulai sedikit mencair. Walau masih ada sisa-sisa emosi di hati, kami berdua tahu bahwa hidup bersama artinya harus belajar kompromi, sekeras apa pun perbedaan. Sambil duduk di ruang tamu dengan minuman kaleng di tangan masing-masing, kami mulai membicarakan hal lain. Topik yang lebih ringan, setidaknya tidak memancing perang dunia ketiga lagi. "Eh, ngomong-ngomong," aku memulai sambil melirik Arga yang sedang memainkan ujung kaleng minumannya, "besok ada rapat untuk pentas seni, kan? Sekalian bahas acara perpisahan kakak-kakak kelas." Arga mengangguk malas. "Iya, aku dengar tadi dari grup OSIS. Kenapa mereka mau pentas kayak gitu sih, padahal ujungnya cuma foto-foto doang," katanya sambil mendengus. Aku memutar bola mata, geli sendiri dengan sikapnya. "Ya ampun, Pak Ketua OSIS kok ngomongnya gitu? Kamu tuh harusnya jadi contoh!" godaku sambil mendorong pundaknya pelan. Arga mendesah. "Jadi Ketua OSIS itu urusan administrasi, bukan pesta-pest
"Kita cari kontrakan aja, gimana?" kataku dengan mantap, meskipun aku tahu betul betapa tidak masuk akalnya ide itu di mata Arga. "Kontrakan?" Arga terkejut. Wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan yang sangat jelas. Aku bisa merasakan bahwa dia mungkin merasa jijik dengan kata itu. "Kamu serius, Rilla?" Aku hanya menatapnya dengan tenang, mencoba memberikan alasan tanpa terlalu terbawa emosi. "Ya, kenapa tidak? Kita bisa hidup lebih sederhana, nggak perlu ribet sama rumah besar yang nggak habis-habisnya kita bersihkan dan rawat." Arga menggeleng, tampaknya mencoba mengerti apa yang ada di pikiranku, meskipun itu sangat jauh dari harapannya. "Tapi ini rumah kita, Rilla. Aku nggak pernah bayangin bakal tinggal di kontrakan. Kita bisa cari cara lain buat ngatur rumah ini tanpa harus pindah." Aku menatapnya, merasa sedikit kesal tapi juga bingung dengan reaksinya. Bukankah seharusnya dia juga merasakan betapa melelahkannya mengurus rumah besar ini? Bukankah seharusnya dia juga tahu