Pagi datang. Cahaya menguning matahari menyelinap masuk ke dalam gudang melalui celah-celah dinding kayu. Aku terjaga dan mendapati Rinda di depanku meringkuk sambil memegangi perut.
"Rinda? Kamu sakit?" Rinda menoleh dengan tatapan kuyu. Gudang yang tak lagi gelap membuatku bisa mengenali wajah Rinda dengan jelas. Perempuan itu sangat cantik. Lebam di wajahnya tidak bisa menyembunyikan paras ayunya. "A-aku, lapar." Lirih suara Rinda terdengar. Bola matanya melirik ke arah nasi sepiring semalam yang tak sempat kusentuh. "Lapar? Makanlah," tawarku tulus. Jauh di dalam hati, aku teramat kasian pada Rinda. Walau kenyataannya, aku pun akan menjadi seperti Rinda sebentar lagi. "Itu jatahmu," cicit Rinda menolak."Makan saja. Aku tidak lapar." Setelah kuizinkan, benar saja, Rinda menyantap nasih putih yang dingin itu dengan rakus. Dia seperti tidak makan selama seminggu."Kapan terakhir kali kamu makan, Rin?" Suapan Rinda terhenti. Dia menatapku lagi dengan sorot mata kosong, kemudian menggeleng cepat dan melanjutkan menyantap nasi dengan tergesa-gesa.Pintu gudang terbuka, Ardan berdiri di sana. Rinda yang tengah makan lansung berhenti. Dia beringsut ketakutan. Malahan bersembunyi di balik tubuhku.Laki-laki bejat itu terlihat berantakan. Pakaiannya masih seperti pakaian semalam. Bagian celananya kotor dengan tanah. Tampangnya masam dan kacau, tidak seperti wajah Ardan yang biasa aku lihat. "Akhirnya kau mendapat teman juga, Rinda." Ardan meraih kursi kayu dan duduk bersilang kaki. "Aku peringatkan kau, Jana. Jangan percaya dengan apa yang dia katakan. Dia itu sudah gila." Ardan terkekeh mencemooh pada Rinda. Sorot matanya penuh dengan kebencian pada perempuan itu. Aku pun menoleh pada Rinda yang menundukkan kepala di belakang tubuhku, mulutnya masih mengunyah nasi. "Jana, bisa tidak kau tenangkan Ibumu itu? Dia menelpon terus. Aku jadi muak dengan ponselmu," kata Ardan dengan nada kesal. "Ibuku akan berhenti menelpon jika aku sudah pulang," balasku ketus. "Pulang? Istri macam apa kamu ini, Jana? Kamu tidak akan kemana-mana tanpa izin dariku, suamimu!" Senyum licik Ardan terkembang. Dia seperti sangat menikmati permainan ini. "Kamu terlalu berhalusinasi, Ardan! Kamu itu penipu! Pernikahan kita tidak sah dan aku bukan istrimu!" Nyaliku tak pernah surut padanya meski dalam keadaan terikat seperti ini. Aku tidak takut menantang Ardan. Walau nanti akan berujung pada penyiksaan. Iya, lambat laun, bentukku akan persis seperti Rinda. Berantakan dan babak belur.Tawa Ardan semakin besar melihatku menumpahkan amarah. Dia bangkit kemudian mendekat. Laki-laki itu menyodorkan lagi ponsel itu padaku. Kali ini, dia yang menghubungi nomor Ibu."Ingat! Buat alasan agar ibumu tidak menelepon lagi. Aku butuh ponsel ini sebelum baterainya habis.” Nada sambung terdengar di speaker telepon. Ardan mendekatkan ponsel itu ke telingaku. Dengan hardikan kasar, dia menyuruh Rinda menjauh dari kami. “Kau pergi ke sudut sana. Sedikit saja kau bersuara, akan kupotong lidahmu!” ancamnya pada Rinda. Rinda makin ketakutan dan menyeret tubuhnya menjauh ke sudut yang lain.Teleponku tersambung. Ibu menjawab panggilan dengan nada suara santai, tiada terdengar cemas sama sekali. Seperti kemarin, aku patuh pada perintah Ardan. Aku mengobrol dengan Ibu di telepon setenang mungkin. Aku meminta Ibu untuk tidak menelepon dulu beberapa waktu dengan membuat alasan baterai ponselku tinggal sedikit dan kami berada di tempat yang sulit listrik. Ibu percaya saja dan mengulang pesannya agar aku berhati-hati. Kulihat, Ardan sangat puas melihat sandiwaraku pada Ibu."Sekarang, aku butuh mengakses Mobile Bankingmu. Saatnya kita berbisnis, istriku. Duit istri, duit suami juga, bukan?" Akhirnya, Ardan sampai pada inti tujuannya menculikku, yaitu mengeruk isi tabunganku dengan cara halus, rapi dan tidak menimbulkan kecurigaan apa pun. Dia sengaja melakukan transaksi pengiriman uang lansung dari ponselku seolah akulah yang mengirimkan uang itu secara sadar."Aku tidak mau!" tolakku tegas. "Apa, serius kamu tidak mau?" tanya Ardan mencemooh."Percuma kukasih tahu. Setelah kau kuras uangku, kau juga tidak akan melepaskanku." Suaraku bergetar, berhadapan dengan ketegangan ini membuat air mataku Kembali menganak sungai. "Kalau kamu tidak mau kasih, baiklah, tidak apa-apa. Berarti aku minta bantuan Kirana saja. Aku akan mengajaknya jalan-jalan hari ini. Aku ‘kan papanya, pihak sekolahnya tidak akan melarangku membawanya pergi kemana saja." Aku tahu, itu hanya ancaman. Tapi tiada jaminan kalau Ardan tidak akan nekat melakukan hal itu. Ardan yang licik menggunakan Kirana sebagai senjata. Dia tahu sekali kelemahanku. "Baiklah. Aku akan beri tahu, tapi ... tolong, jangan libatkan Kirana. Kau jangan sekali-kali menyentuh anakku." Aku memohon. Ardan terlihat sangat senang melihatku pasrah seperti ini."Nah, gitu dong, Jana sayang. Ayo sebutkan." Sebelum aku sempat menyebutkan pin, Ardan mengumpat. Ponselku tiba-tiba mati karena kehabisan baterai. "Sial!" Ardan bangkit dan bergerak gusar. Kemudian dengan wajah sangar menunjuk-nunjuk kami berdua seraya mengancam. "Kau jangan senang dulu, Jana. Aku akan kembali lagi ke sini setelah me-recharge ponselmu. Jika ponsel ini tidak berhasil hidup, terpaksa aku akan memakai cara lain yang lebih rumit. Awas saja kalau kau tidak mau bekerja sama. Akan kubuat kau menyesal!" Ardan pergi dari gudang. Aku tidak tahu dia akan pergi kemana untuk merecharge ponselku. Setahuku, pulau kecil ini tidak ada listrik. Kepergian Ardan membuat Rinda keluar dari persembunyiannya dari balik tumpukan barang. Dia menyeret tubuh ke arah dinding dan mengintip keluar melalui celah dinding yang berlubang. Aku juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Rinda. Dari celah ini, kami dapat melihat keadaan di luar. Gudang yang mengurung kami tepat sekali berada di tepian danau. Ada sedikit halaman di depannya kemudian di ujung sana ada dermaga kayu kecil tempat menyandarkan kapal. Di dermaga, kamu melihat Ardan menaiki speedboat kecil. Dia pergi sendiri ke seberang danau. "Biasanya, dia akan pergi dalam waktu lama," jelas Rinda. "Kalau begitu, seharusnya itu menjadi kesempatan kita untuk kabur," balasku. Tapi lagi-lagi Rinda menggeleng. Dia bersikap pesimis untuk berjuang kabur dari sini. "Ada Jarwo. Jarwo menjagai kita. Dia di rumah belakang. Selalu patroli," terang Rinda yang sangat paham kondisi di pulau kecil ini."Apa Jarwo juga sedang sendiri, sekarang?” tanyaku. Rinda mengangguk. Jika pria brewok itu hanya sendiri, seharusnya dengan fisikku yang belum lemah ini, aku bisa melumpuhkan Jarwo, asalkan aku memiliki benda untuk dijadikan senjata.“Itu Jarwo,” tunjuk Rinda pada pria yang berjalan-jalan di luar gudang. Posisinya tidak jauh dari dinding kami mengintip. Tangan laki-laki itu memegang linggis. Tubuh pria itu berlumuran tanah dan kotor. Rinda yang melihatnya, lansung menangis entah kenapa."Rin, kenapa?" tanyaku berbisik. "Diana. Jarwo pasti baru saja selesai mengubur Diana," ucap Rinda lirih. Matanya nanar melihat Jarwo di luar sana mondar-mandir dengan linggisnya. Diana, malang sekali dia. Entah apa kisah Diana hingga dia sampai terjebak di sini dan nekad mengakhiri hidupnya sendiri? Apa hanya kematian yang menjadi satu-satunya jalan keluar dari penyekapan ini? Mengerikan sekali. Aku tidak akan membiarkan hidupku seperti Diana. Aku harus berjuang."Rin, bagaimana kalau kamu buka ikatan taliku." Tiba-tiba saja, sebuah ide gila melintas di benakku."Jangan, Jana. Aku takut." "Rin, lihat ruangan ini. Aku yakin mereka menyimpan perkakas di sini. Kita bisa menggunakannya untuk kabur,” bujukku bersemangat pada Rinda."Tapi kita terkunci dari luar, Jana. Tetap saja kita ngga bisa keluar. Kalau aku ketahuan membuka ikatanmu, habislah aku." Rinda benar-benar ketakutan. Dia tidak bernyali sama sekali untuk mengikuti ide gilaku."Rin, lihat dinding gudang ini. Sangat rapuh. Sebenarnya kita mudah membukanya. Tapi dengan keadaan terikat begini, aku ngga bisa apa-apa." "Tapi, Jana ….”"Katamu, Ardan perginya lama. Dan coba kamu lihat Jarwo di sana. Dia seperti kelelahan. Dia pasti tertidur pulas sebentar lagi. Ini bisa menjadi kesempatan kita." Aku terus membujuk. Berulang-ulang aku meyakinkan, akhirnya Rinda mengangguk. Dia setuju untuk melepaskan simpul tali ikatan yang menjerat tangan dan kakiku. Rasanya sangat ngilu saat ikatan itu dilepas. Telapak tanganku bengkak dan mati rasa. Bahkan lenganku lemah untukku digerakkan. Dengan sedikit paksaan, aku bangkit dan mulai mengisai seisi gudang. Mencari sesuatu yang bisa dijadikan sebagai senjata untuk melumpuhkan Jarwo.Namun, samar terdengar dari kejauhan. Suara deru mesin speedboat mendekat ke sini. Rinda panik. Dia mengintip ke celah dinding untuk melihat siapa yang datang. "Jana, Jodi kembali," lapor Rinda ketakutan."Mengapa dia sudah kembali saja?" Aku pun diserang panik. Gawat jika Ardan melihatku dalam keadaan bebas seperti ini. Rinda bisa dihajar dan aku pun juga akan mendapat siksaan. Aku gelagapan. Cepat-cepat, aku memungut tali dan meminta Rinda untuk mengikat tangan dan kakiku kembali. "Cepat ikat lagi, Rin. Dia datang." Dari celah dinding, aku dapat melihat Ardan berjalan menuju ke tempat kami.Tangan Rinda gemetaran menyimpulkan tali. Panik yang mendera membuat ikatan itu berantakan dan jauh dari kata rapi. "Cepat, ikat kakiku!" bisikku pada Rinda setelah berhasil mengikat tangan. Tapi, saking ketakutan dan tergesa-gesa, Rinda pun diserang panik yang luar biasa. Tubuhnya bergeming, tangannya kaku dan tidak mampu bergerak lagi. Perempuan itu menegang dengan tubuh yang gemetaran."Rinda, ayo Rinda! Jangan diam saja, cepat Ikat!" Jantungku bertalu, sementara di luar, langkah Ardan terdengar makin mendekat. Namun Rinda masih saja diam dalam kebekuannya. Dia belum juga berhasil menguasai diri untuk menyimpulkan ikatan tali di pergelangan kakiku.Pintu dibuka. Ardan masuk. Tangannya menggenggam ponsel milikku yang tercatut pada bank daya portable. Aku dan Rinda, pura-pura tidur. Kami duduk berjauhan, mengambil posisi di sudut gudang. Bertingkah, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.Aku menyembunyikan pergelangan kakiku di balik tumpukan barang. Aku tidak ingin Ardan melihat lilitan ikatanku yang tersimpul berantakan dan asal. Tadi, Rinda berhasil melilitnya dan kemudian beringsut menjauhi tubuhku."Sedang apa kalian?" Laki-laki itu bertanya, sambil meletakkan ponsel ke atas meja. Dia kembali duduk di kursi, bersilang kaki, dengan wajah yang tampak tenang. Kemeja kotornya telah berganti dengan baju kaus putih bersih yang mencetak bidang dada. Jika saja dia bukan penjahat, sebenarnya Ardan lebih pantas menjadi model fashion pria dewasa. "Jana, kita lanjutkan bisnis kita. Kemarilah! Duduklah di hadapanku."Aku tidak bergerak. Alih-alih mendekatinya, aku memilih makin menyudut dan menundukkan wajah. Mengabaikan panggilan Ardan
"Rinda, dengarkan aku. Kalau kita ngga berjuang, kita akan benar-benar berakhir di sini seperti Diana. Apa kamu ngga mau balik ke kehidupanmu yang sebenarnya?” Aku membujuk, malah kali ini lebih memaksa. Rinda tetap menggeleng. Dia menunduk lagi dengan wajah yang teramat frustasi. “Di sini atau di mana pun, hidupku akan sama saja.” Rinda gemetaran, kali ini tangisnya pecah. “Aku udah ngga punya apa-apa lagi. Aku tak punya tempat untuk pulang.”Rinda menelan ludah, wajahnya menengadah, terlihat berjuang untuk menegarkan diri. Dari gelagatnya, ada hal yang ingin ia tumpahkan padaku. Aku diam untuk menyimak. “Kamu tau mengapa tanteku ngga nelpon aku lagi?” tanya Rinda padaku. Tentu saja aku menggeleng. Rinda melanjutkan.“Karna Jodi pernah bilang sama tante kalau kami bangkrut, kami miskin dan kami punya banyak hutang. Parahnya, Jodi menelepon semua keluargaku untuk meminjam uang. Padahal itu tidak benar. Yang Jodi mau adalah keluarga men
“Siapa lagi laki-laki yang datang ke rumah Ibu. Kamu pasti tahu?” tanyaku penuh selidik. Ardan tidak menjawab. Dia duduk kembali di kursi, memainkan ponsel dan menelepon Ibu lagi. Sebelum panggilan telepon tersambung, dia memberi isyarat agar aku diam dan tidak ikut campur.“Hello, Ibu. Aku Ardan. Maaf, aku telepon pakai ponsel Jana,” kata Ardan sangat sopan pada Ibuku. Aku tidak tahu Ibu menjawab apa di sana, yang jelas, Ardan sedang berusaha menjungkirbalikkan realita.“Ada apa tadi, Buk. Kok Jana marah-marah sama aku? Ngga enak juga dilihat orang di sini. Dia ngamuk-ngamuk dan sekarang ngambek.” Ardan beracting pada Ibu. Dasar pembohong besar, manipulative, psikopat! Rutukku melihatnya memainkan drama.“Buk, aku itu punya bisnis, saingan banyak. Cara seperti ini sering terjadi, buk. Zaman sekarang ‘kan susah cari uang. Kadang, para pesaingku suka memakai cara yang licik.”Diam lagi, tak terdengar olehku apa yang dikatakan ibu.
Satu langkah ... dua langkah ... kuhitung, sekitar 5 langkah lagi, aku akan semakin dekat dengan linggis itu. Namun, harapanku pupus. Tak ada cara untuk lepas dari bekapan Jarwo. Lengan kekarnya melingkar kuat di leherku. Linggis yang tersandar di pohon terlewati begitu saja. Akhirnya, Jarwo membawaku masuk ke dalam rumah. Menyeretku ke sebuah ruang. Pendaran lampu minyak remang-remang menyambutku di sana. Mataku terfokus pada lampu yang diletakkan di meja tengah.Jarwo menutup pintu kamar. Memutar pasak dari kayu balok kecil untuk mengunci pintu. "Kalau kau patuh dan tidak melawan, aku akan bermain lembut. Temani aku sebentar," ucap Jarwo dengan suara pelan dan terdengar menjijikan. Wajah Jarwo makin beringas, matanya bulat sempurna menatap tubuhku yang menegang di tengah ruang. Sorot matanya terlihat lapar dan penuh pikiran kotor. "Lepaskan dulu ikatanku. Setelah itu, aku akan memberikan apa yang kau mau." Entah kekuatan dari mana,
Langkahku besar-besar meninggalkan area pekuburan. Menyeret Rinda yang ada dalam papahan tangan. Dia kepayahan mengiringi langkahku. Tapi tak berani memintaku untuk berjalan sedikit pelan.Akhirnya kami tiba di sisi pulau lain setelah melewati perdu-perdu hutan. Ada tepian berpasir, riak danau nan lembut menyambut kaki kami. "Kita kemana lagi?" tanya Rinda dengan napasnya yang satu-satu. Aku tak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Mataku mengendar ke sekeliling. Gelap! Hanya ada tumbuhan bakau berlumpur mengelilingi kami. "Kita coba ke sana," tunjukku ke sisi kiri. Sebuah batu besar menjorok ke danau. Batu-batu lain juga bersusun di sekitarnya. Tinggi batu itu menjulang, jika naik ke atas sana, tentu aku bisa memantau keadaan sekitar lebih jelas."Kamu tunggu di sini, yah." Kupapah tubuh Rinda dan mendudukkannya di sebuah batu. Aku memanjat batu besar. Setiba di puncak, aku melihat ke sepanjang tepian danau. Ja
“Jana … Jana! Jangan Tidur. Bertahanlah.” Samar kudengar suara Rinda memanggil. Ingin menggubris tapi energiku benar-benar habis. 3 hari tak pernah makan ditambah tidur berselimut hawa dingin, membuat tubuhku layu tanpa asupan energi. “Aku tidak tidur.” Suaraku lirih menanggapi Rinda. “Apa yang bisa aku lakukan padamu, Jana?” Kurasakan Rinda menggengam lenganku. Mengguncangnya, berharap aku kembali menegakkan kepala yang kini sedang tersandar lemah ke ban pelampung. Beberapa kali memanggil, Rinda pasrah. Membiarkanku terkulai seperti itu. Senyap di antara kami. Aku masih diam untuk menjemput energi. Memanfaatkan waktu beristirahat semaksimal mungkin sebelum bergerak untuk melanjutkan perjuangan. Rinda terdiam dengan gelisah, dia tidak beristirahat. Matanya awas menatap ke sekeliling. Sampai akhirnya, samar kami mendengar suara deru mesin speedboat. “Apakah itu Jodi? Astaga, dia datang.” Rinda membangunkanku. Aku yang tadi s
“Masuk!” Laki-laki bernama Anton menyuruhku dan Rinda masuk ke dalam gudang. Perlakukannya teramat canggung dan sama sekali tidak seram seperti anak buah Ardan yang lainnya. Malahan, dia terlihat sangat gugup. Mungkin dia adalah pemain baru yang baru saja direkrut.Sementara, pria lain yang bertampang mirip Ardan sedang sibuk menelpon di halaman depan gudang. Dia gusar. Dari obrolannya terdengar, dia sedang membicarakan tentang kami yang kabur dan Jarwo yang mati. Di dalam gudang, ada darah tergenang. Itu darah milik Jarwo. Tubuhnya tak lagi ada di sana. Mungkin sudah dipindahkan. Tanpa diikat, Anton menutup pintu gudang dan meninggalkan kami begitu saja. Dia memanggil pria yang sedang menelepon dengan sapaan Bang Ryan. Iya, nama laki-laki itu adalah Ryan. Aku dan Rinda memilih menyudut di sudut ruang. Kami berpelukan untuk menghalau dingin yang menghujam. Baju kami basah. Malah, gaun kuning gading yang dikenakan Rinda sudah terkoyak di bagian
Pagi menjelang siang, matahari sudah tinggi menjulang. Hawa panas di luar meringsek masuk ke dalam gudang. Dingin subuh yang tadi merontokkan tulang, kini berganti gerah dan rasa lapar. Semalaman hingga sekarang, Anton tak kunjung menyambangi kami ke dalam gudang. Tak ada memberi jatah makan, atau juga memberi kami minum. Kami dibiarkan kering begitu saja. Jika benar ancaman Ryan adalah nyata, itu artinya, pembiaran pada kami adalah aksi yang disengaja. Sebentar lagi, Aku dan Rinda akan bernasib sama dengan penghuni kuburan di dalam hutan sana. Kami berdua, sedang menunggu detik demi detik masa eksekusi mati. Aku terkulai lemah bersandar. Tak banyak bersuara untuk mengajak Rinda mengobrol. Kami tak punya energi untuk itu. Rinda banyak diam, sering tertidur. Lelah menderanya, dingin yang menghujam semalam merenggut semua energinya. Baju yang basah, kini telah kering di badan. Rinda layu dan kuyu, begitu juga denganku. Sampai siang menjelang, sp
“Nggak apa-apa Jana, aku memang berantakan. Wajar Kirana takut.” Rinda tersenyum memaklumi sikap Kirana yang tidak bersahabat menyambutnya. Bahkan, Kirana pergi begitu saja mengabaikan uluran tangan Rinda yang ingin bersalaman.“Mungkin setelah ini kita perlu ke salon, potong rambut, perawatan, pakai baju bagus. Yuk, kita nikmati hari baru,” balasku pada Rinda bersemangat. Rinda tersenyum mendengarnya. Pertemuan Rinda dan Kirana tidak berkesan baik, namun tidak perlu aku pusingkan. Masalah pelik yang telah dilalui sangat perlu untuk dirayakan. Aku akan membayar semua waktu yang telah hilang pada Kirana. Lebih banyak bersamanya untuk mendengar cerita gadis kecil itu.Untuk masalah perkembangan kasus, semua sudah diserahkan pada polisi. Investigasi terus berlanjut dan kami cukup menunggu progres demi progres. Akun Bank penerima dana transferan dari akun rekeningku juga sudah dibekukan. Dana transaksi tersebut telah kembali. Aku dan Rinda hanya butuh waktu u
Tiba-tiba, tirai kembali tersingkap.“Siapa yang sedang dalam bahaya?” Suara berat dari balik tirai menginterupsi tangisku. Tirai dibuka lebih lebar. 3 polisi dan dokter datang, mereka berdiri mengelilingi ranjangku sambil menatapku serius. Aku makin terisak putus asa, tidak tahu harus menjawab apa. Salah satu dari petugas kembali mengulang tanya. “Ibu, ada yang mengancam, Ibu?” Aku tidak dapat mengelak lagi. Pertanyaan mereka datang bertubi, setelah mendengar obrolanku dengan Dirga. Keterlibatan polisi tidak bisa dihalangi lagi. Semua cerita sudah mereka kantongi karena Pak Firman sudah membocorkan informasi sebelumnya. Tiada cerita baru yang bisa kami karang-karang lagi. “Ibu, tim kami sudah ke lokasi, kasus ini sudah dalam penyidikan. Kami mohon, Ibu bisa bekerja sama.” Polisi yang lain ikut mendesak bertanya.“Ibu dan anak saya dalam bahaya,” ucapku pada akhirnya. Aku kembali menangis. “Ibu tenang. Kami akan mengirimkan p
Aku tak sempat bergerak. Ryan mendekat secepat kilat. Dia membekap mulutku kuat. Tangannya merogoh saku, mengeluarkan ponsel dan menyodorkan layar tepat di depan kedua bola mataku. "Kunci mulutmu dan jangan pernah bocorkan cerita di pulau itu!" ucapnya pelan dengan nada mengancam. Mataku melebar melihat layar di ponsel. Video Ibu dan Kirana di teras depan. Ibu sedang mengepang rambut Kirana yang bersiap berangkat ke sekolah. Kartu As-ku kembali mereka pegang. Ryan sangat tahu cara membungkam. Mungkin ini memang taktik sindikat mereka. Jika soal keselamatan Ibu dan Kirana, aku tak lagi bisa berbuat apa-apa selain mengikuti laju permainannya."Jangan sampai polisi ikut campur jika tidak ingin nyawa mereka melayang seperti Andi." Suara Ryan bergetar. Di tengah ancamannya, dapat kurasakan laki-laki ini sedang berduka. "Kau membunuhnya!" ucap Ryan getir. Tangannya yang membekap terasa semakin mencengkram. Dalam jarak pandang sedekat ini, aku dapat m
"Rinda, bukan kamu, aku atau Jana yang memutuskan siapa yang paling bersalah di sini, biarkan penegak hukum yang bekerja. Jika berhenti di kita, aku yakin, perang ngga akan pernah berhenti dan kita tidak akan mendapatkan perlindungan." Dirga angkat suara. Ucapannya menjernihkan pikiranku yang tadi sempat terpengaruh oleh Rinda. Wajar Rinda cemas, dia pasti teringat bagaimana punggung Jarwo dihujam linggis oleh tangannya sendiri. Begitu juga aku yang ikut merubuhkan Jarwo. Itu baru korban pertama kami. Selanjutnya Ardan, dia lebih nahas lagi. Kepalanya pecah dan berlubang dengan linggis yang sama dan masih Rinda sebagai algojonya. Untuk Dirga, dia malaikat maut untuk Anton. Masing-masing kami telah berkontribusi besar dalam merampas nyawa mereka. Tapi semua, hanyalah reaksi naluriah untuk bertahan hidup semata.Rinda meneguk ludah, menatap wajah Dirga begitu dalam. Dia masih ingin lebih diyakinkan. "Benar apa yang dikatakan Dirga. Kita ngga usah taku
Tidak ada kejahatan yang sempurna. Sepandai-pandainya sindikat ini beraksi, akan ada masanya mereka kacau balau. Semoga aku yang terakhir menjadi korban Ardan. Ardan, Jody, Tommy atau Andi, telah dilumpuhkan. Laki-laki manipulative itu telah berakhir tragis di ujung linggis oleh korbannya sendiri, yaitu Rinda, perempuan yang kini duduk sambil tersenyum di ujung anjungan speedboat. Aku membalas senyum Rinda, tipis. Sepanjang perjalanan kembali ke dermaga, perasaanku rasanya kebas dan mati rasa. Kejadian yang menyiksa, pergelutan yang berujung maut, membuat mentalku tidak mampu mencernanya. Semua diluar nalar. Aku malah tak yakin, hidupku akan masih sama setelah ini. Lamunanku buyar, kala ujung anjungan menubruk dermaga. Kapal kami berhenti. Dirga memanggil-manggil namaku berulang kali.“Kamu ngga apa-apa, Jana?” tanya Dirga cemas, “Aku ngga apa-apa.”Gedung usang dan dermaga kayu menyambut kami. Tempat di mana aku dirubuhkan d
Mungkin sudah saatnya aku tidak meragukan Dirga dalam berduel. Postur tubuhnya yang besar dan tegap membuat pria itu sulit dilumpuhkan. Meski berduel 1 lawan 2, dia tidak terlalu kepayahan. Pria-pria yang memburu itu tidak berbadan besar, cenderung kecil dan pendek, hanya saja mereka memiliki nyali yang besar dan nekad. Pergulatan Dirga melawan mereka semakin sengit, sementara aku dan Rinda makin tersudut di dinding tebing di sisi kanan batu besar. Di atas batu besar itu, 1 lagi laki-laki datang. Dia tidak membantu temannya, melainkan membidik kami sebagai sasaran. Tubuhnya meluncur ke bawah dengan cepat dari puncak batu besar, bergerak geram untuk menyerang kami. Rinda menjadi amukannya. Tubuh Rinda ditarik, dihempas ke batu. Aku yang kehabisan akal hanya bisa meracau dan merarau panik, mencari-cari sesuatu untuk melindungi diri. Namun yang terjadi, aku kalah telak, tangan laki-laki itu teramat cepat meraih rambutku, menariknya kuat hingga aku pun bernasib sama
“Ssssttt!” Dirga menempelkan telunjuk ke mulut. “Ayo pergi, tak ada waktu buat cerita!” lanjut Dirga berbisik. Melangkah pelan-pelan, kami beringsut dari tempat persembunyian. Melangkah sedikit demi sedikit dengan sangat hati-hati agar tidak terdengar. Mata Dirga awas melihat pada warga yang berada di pekuburan. Gelagat Dirga sangat membuatku penasaran dengan apa yang telah terjadi pada laki-laki ini sebelumnya. Setelah keberadaan kami menjauh, aku menunjuk salah satu sisi pulau yang pernah aku tempuh sewaktu kabur semalam. “Kita ke sana!”. Dirga mengangguk, setuju pada instruksiku.Kaki dikayuh, napas memburu, berlari secepat mungkin mencari tempat persembunyian dari para warga tadi. Rinda kepayahan mengiringi pelarian kami. Membuat Dirga harus membopong tubuhnya naik ke pundak. Tubuh Dirga yang besar cukup kuat untuk membawa Rinda ke atas gendongan. Setiba di tepian danau, aku menunjuk lagi batu besar. “Kita sembunyi di sana!” ajakk
Pria di atas sana mengengenakan kaos berlengan panjang yang mengepas di badan. Bukan karena kaos itu kekecilan, melainkan karna dalam keadaan basah kuyup. Postur tubuhnya terlihat tegap dan besar. Dia asing bagiku, aku tak pernah bertemu dengannya sebelumnya dan dia bukanlah Anton. “Tolong … tolong aku!” rintihku meminta tolong. Namun, si Pria Asing itu malah pergi, kemudian samar terdengar suara pergelutan. Ada suara pukulan, tendangan, dan pekikan kesakitan. Seperti suara Anton. Aku mencoba keluar dari himpitan Ardan. Laki-laki itu setengah sadar. Setelah berhasil terlepas dari himpitannya, Aku memutar badan. Ardan mulai menggeliat. Tak ingin dia bangkit, aku menghantam-hantam kepala Ardan dengan kaki. Seranganku sebenarnya tak terlalu kuat, tapi setidaknya, serangan itu bisa mengulur waktu sampai si Pria Asing tadi datang menolongku. Sekeras menghantam, suaraku juga keras berteriak meminta tolong. Berharap si Pria Asing tadi segera datang ke sini.
Pagi menjelang siang, matahari sudah tinggi menjulang. Hawa panas di luar meringsek masuk ke dalam gudang. Dingin subuh yang tadi merontokkan tulang, kini berganti gerah dan rasa lapar. Semalaman hingga sekarang, Anton tak kunjung menyambangi kami ke dalam gudang. Tak ada memberi jatah makan, atau juga memberi kami minum. Kami dibiarkan kering begitu saja. Jika benar ancaman Ryan adalah nyata, itu artinya, pembiaran pada kami adalah aksi yang disengaja. Sebentar lagi, Aku dan Rinda akan bernasib sama dengan penghuni kuburan di dalam hutan sana. Kami berdua, sedang menunggu detik demi detik masa eksekusi mati. Aku terkulai lemah bersandar. Tak banyak bersuara untuk mengajak Rinda mengobrol. Kami tak punya energi untuk itu. Rinda banyak diam, sering tertidur. Lelah menderanya, dingin yang menghujam semalam merenggut semua energinya. Baju yang basah, kini telah kering di badan. Rinda layu dan kuyu, begitu juga denganku. Sampai siang menjelang, sp