POV MutiaSaat pertama kali aku membuka mata, yang pertama kulihat hanyalah dinding yang berwarna putih. Pandanganku masih kabur dan membayang, kulirik keadaan sekitar hanya terlihat gorden berwarna hijau. Ahh, ya. Ternyata aku di rumah sakit. Pasti Mas Putra yang membawaku ke sini. Aku masih ingat saat berada dalam pelukannya aku kehilangan kesadaran.Aku pikir aku akan kuat menahannya, ternyata tubuh ini tidak bisa lagi di ajak kompromi. Aku terlalu lemah, atau mungkin penyakit ini sudah semakin tak terkendali. 'Pergi kamu dari sini, aku tidak sudi istriku di tangani olehmu. Masih banyak dokter yang lain 'kan?' Aku sangat tau itu suara Mas Putra. Kenapa dia berteriak seperti itu, dengan siapa pula dia berbicara.'Mutia pasienku. Dokter yang lain tidak akan mau menanganinya jika bukan aku yang menyuruhnya.' Kini suara itu berganti dengan suara tenang milik Aldiansyah. Arrgh, mereka memang selalu membuat keributan. Tidak bisakah mereka akur walau hanya sebentar, bahkan ini di rum
Kini badannya ambruk dalam dekapanku, Mutia kehilangan kesadarannya saat dalam pelukku.Aku meraung-raung memanggil namanya seperti orang kese tanan. Seumur hidupku, aku tidak pernah melihat istriku begitu terpuruk seperti ini. Apakah aku penyebabnya?*******Menyadari Mutia dalam keadaan tidak sadarkan diri, dengan cepat aku membopongnya, membawa Mutia ke rumah sakit terdekat.Perawat dengan gesit membawa Mutia masuk ke IGD. Salah satu dari mereka menahanku saat aku hendak mengikuti Mutia ke dalam ruangan."Maaf, Pak. Bapak tidak di izinkan masuk, silahkan lengkapi data diri pasien di bagian administrasi." Perawat muda itu menunjuk ke bagian depan."Baik, terimakasih, Sus."Aku pun segera menuju bagian yang di sebutkan perawat tadi. Karena aku tidak membawa kartu identitas Mutia, aku hanya memberikan keterangan secara lisan."Nama pasien Mutiara Andini sudah pernah terdaftar di sini, Pak. Beliau pasien dari Dokter Aldian Syahputra," ucapnya dengan lugas.'Mutia pernah berobat ke sin
Saat ini aku masih berada di parkiran, menimang kemana sebaiknya aku pergi.Bingung, harus menemui Maura yang sedang aku kurung atau pergi ke rumah Mutia terlebih dahulu. Kalau ke rumah Mutia terlebih dahulu, maka aku akan kemalaman sampai di rumah Maura. Kasihan juga dia, tadi aku meninggalkannya dalam keadaan emosi. Aku juga menguncinya di dalam kamar, takutnya dia lapar atau haus.Untuk mencari tau tentang surat tes lab Mutia yang di maksud Aldiansyah bisa besok-besok saja. Yang penting saat ini Mutia sudah di tangani dokter, besok juga pasti sudah sembuh, pikirku.Aku melajukan mobil ke arah rumah baruku dengan Maura dengan kecepatan empat puluh kilometer per jam. Jalanan lumayan sepi, ini sudah lewat tengah malam. Kulirik arloji menunjukan pukul dua belas lewat lima menit.Ada perasaan bersalah juga aku meninggalkannya begitu saja, meski tadi aku sempat kecewa harusnya ini bisa di bicarakan secara baik-baik. Benar kata Mutia, aku sendiri yang telah memilih Maura untuk kujadikan i
Rumah ini terlalu besar jika hanya ditempati oleh Mutia seorang diri. Luasnya mungkin tidak seberapa, tapi karena ada dua lantai, pasti itu menyulitkan Mutia untuk membersihkannya.Arrgh, kenapa baru terpikir sekarang, ya. Mutia melakukan semua pekerjaannya sendiri, melayaniku dengan tangannya sendiri, tidak ada asisten rumah tangga yang meringankan pekerjaannya. Pantas saja dia sering mengeluh capek. Langkahku gontai memasuki rumah yang menjadi saksi keharmonisan rumah tanggaku bersama Mutia, sebelum akhirnya aku sendirilah yang menghancurkannya karena mendua bersama Maura.Rumah ini begitu sunyi tanpa kehadiran Mutia, bahkan saat ini aku merindukan setiap kecerewetan yang dulu selalu Mutia lontarkan. Kini aku kehilangan sosoknya, jika dulu aku jenuh bahkan menjadikannya alasan pembenaran atas perselingkuhan yang kulakukan dengan Maura. Maka saat ini aku sangat merindukannya. Mungkinkah Tuhan sebenarnya sedang menghukumku karena telah mengabaikan istriku Mutia. Hingga kini aku m
Setelah memarkirkan mobil di halaman depan, aku segera masuk ke dalam rumah tempat di mana aku di besarkan. "Assalamu'alaikum. Bu, Pak." Dengan suara tertahan aku memanggil mereka. Ibu sedang duduk di sofa ruang TV."Wa'alaikumsalam. Loh, Putra. Datang sendirian, Nak? Mana istrimu Maura?" tanya ibu heran, kepalanya terus celingukan mencari keberadaan Maura."Putra sendirian, Bu." Bergegas aku menghampirinya, mencium tangannya takdzim. Duduk dilantai menggenggam tangan Ibu. Entah kenapa dadaku terasa begitu sesak, seperti ada sesuatu yang ingin aku tumpahkan dari dalam diri ini.Lama aku terdiam dalam posisiku."Nak? Ada apa? Bolehkah Ibu tau?" tanya ibu sambil memegang pundakku."Ibu ... Mutia ...." Aku tak sanggup lagi meneruskannya. Bibirku bergetar, lidah ini terasa begitu kelu, hingga akhirnya tangisku pecah dalam pangkuan ibuku."Yang sabar, ya, Nak. Mutia wanita yang kuat, dia pasti bisa melewatinya dengan baik," ucap Ibu lirih, suaranya bergetar hampir menangis. Aku mendongak
Tak terasa, sebulan sudah aku menjalani kehidupan pernikahan dengan dua istri. Selama itu pula aku tinggal secara bergantian, seminggu dengan Maura seminggu dengan Mutia. Terus saja seperti itu. Lama-lama aku berasa jadi piala bergilir, tapi aku tetap menikmatinya. Minggu ini adalah jatah bersama Mutia. Yang aku suka darinya, aku selalu dilayani dengan baik. Segala kebutuhanku disiapkannya. Seperti pagi ini, sebelum aku berangkat bekerja sarapan sudah terhidang dengan rapih di atas meja. Hal yang tidak bisa di lakukan oleh Maura selama menjadi istriku. Namun, Maura juga punya kelebihan yang tidak dimiliki Mutia. Dia pandai memu askanku di atas ranjang."Mutia, kamu jangan terlalu banyak beraktifitas. Aku gak mau kamu sampai kelelahan." Aku mendekati Mutia yang sedang sibuk membersihkan peralatan bekas memasak."Hanya ini yang bisa kulakukan Mas, anggap saja ini sebagai baktiku pada seorang suami di sisa-sisa hidupku," ucapnya santai. Aku tidak suka saat Mutia membicarakan tentang kem
Sepulang dari kantor aku mendapati rumah dalam keadaan gelap gulita. Kutinggalkan Maura yang masih berada di dalam mobil. Aku benar-benar khawatir, takut terjadi apa-apa dengan Mutia. Aku pulang terlambat karena harus menemani Maura belanja keperluannya. "Mutia ...." Aku berteriak sambil melangkah memasuki rumah, mendapati pintunya dalam keadaan tidak terkunci, membuatku semakin panik dan tidak karuan. Itu artinya Mutia ada di rumah, tapi kenapa semua lampu rumah ini belum ada yang menyala.Kaki ini melangkah dengan setengah berlari menuju saklar lampu ruang tamu, saat ini ruangan sudah terang, tapi belum terlihat juga tanda-tanda keberadaan Mutia."Mutia ...." Aku kembali memanggilnya, tetap tak ada jawaban.Semakin kupercepat langkah kaki untuk memasuki kamar kami berdua. Ternyata Mutia juga tak ada di sana. "Arrgh ...." Aku berteriak, mengacak rambutku frustasi. "Mutia, kamu di mana." Aku meracau sendiri."Mas, kenapa panik banget, sih. Mungkin Kak Mutia sedang ke rumah saudaran
POV MutiaTak ada hal lain yang paling kutunggu selain kedatangan Mas Putra setelah selama seminggu dia bersama Maura.Aku selalu melakukan yang terbaik setiap kali Mas Putra bersamaku. Menyiapkan makanan terbaik, segala kebutuhannya selalu kupenuhi. Berusaha melayaninya semampuku, aku melakukan itu semata-mata untuk menutupi kekuranganku sebagai seorang istri yang tidak bisa memenuhi kebutuhan biologisnya.Ya, aku sudah tidak sanggup lagi melakukannya. Rasanya begitu menyakitkan. Itu juga alasanku memintanya untuk tidak menyentuhku selama dua bulan sejak pernikahannya dengan Maura. Aku yakin, hidupku tidak akan selama itu. Penyakit kanker ovarium yang aku derita menggerogoti organ tubuhku dengan liar. Terakhir aku cek up, Aldiansyah bilang kangkerku sudah memasuki stadium empat, bukankah mustahil untuk aku bisa sembuh kembali. Aku memilih bertahan, demi bakti terakhirku pada sang suami, demi menjaga marwahku sebagai seorang wanita. Karena aku sudah tidak punya siapa pun lagi. Aku ju
POV 3 (AUTHOR)Setelah tragedi panas yang terjadi pada malam itu, Putra sibuk mengurus perceraiannya dengan Maura.Siapa sangka seorang Putra yang jumawa dan mengaku bangga karena memiliki dua istri, kini harus menjadi duda dua kali dari dua perempuan yang berbeda, dan hal itu terjadi dalam waktu berdekatan. Apalagi yang bisa dia banggakan sekarang? Istri pertamanya yang memiliki hati seluas samudera serta kebaikan dan ketulusan yang tiada batas, telah di sia-siakannya. Hingga takdir harus membawanya untuk pergi dan tidak akan pernah kembali. Hanya penyeselan lah yang dia dapat.Lalu Maura, wanita cantik yang selalu dia puja akan kemolekan wajah dan tubuhnya, nyatanya tidaklah sebaik yang dia kira, tidaklah setulus sangkaannya. Kisah masa lalunya yang kelam dan belum usai, membuat kehidupan pernikahan mereka berakhir pula dengan perceraian.Setelah semua kehancuran yang terjadi pada kehidupannya, Putra memutuskan untuk kembali tinggal bersama orang tuanya. Rumah yang sempat dia belik
Aku pulang kerumah saat hari sudah hampir larut. Sepertinya Ayah dan Ibu menemani Maura selama aku sibuk dengan urusan Mutia. Tidak mungkin mereka meninggalkan Maura sendiri.Aku hendak membuka pintu, sebelum akhirnya kudengar Ayah berteriak dengan lantangnya."Maura, apa benar yang dikatakan laki-laki itu? Bagaimana mungkin dia mengaku sebagai Ayah dari anak yang jelas-jelas terlahir dari pernikahan kamu dan Putra." Dapat kutangkap kali ini Ayah benar-benar sedang emosi.Bahkan, aku yang baru saja mendengarnya pun ikut merasa panas. Apakah benar anak itu bukan darah dagingku? Hatiku terus bertanya-tanya. Kuurungkan niatku untuk masuk, aku ingin mendengar jawaban pasti dari Maura."Ayah, maafkan aku. Aku juga tidak tahu siapa ayah dari bayiku. Karena ... karena aku ...." Maura tak melanjutkan ucapannya."Karena apa Maura? Apa kau sudah berzina dengan lelaki itu sebelum kamu menikah dengan Putra?" Kini Ibu pun ikut berteriak pada putrinya."Ibu ... maafkan Maura. Maura salah." Kali in
Di sinilah aku berada, duduk termenung di samping gundukan tanah merah yang masih basah. Bunga segar bertaburan di atasnya.Kupeluk nisan yang bertuliskan nama Mutiara. Tak ada lagi air mata yang keluar, namun rasa sakit ini masih saja terbenam dalam hatiku. Ini lebih perih dari saat aku mendengar tiga kali ketukan palu hakim yang secara sah memutus hubunganku dengan Mutiara. Aku telah kehilangan Mutiara untuk selamanya. Yang lebih membuatku terluka, adalah kenangannya yang masih saja membekas dalam ingatan."Putra, ayo kita pulang, Nak." Dapat kurasakan jemari ibu menyentuh lembut bahuku."Tidak, Bu. Biarkan aku di sini, Mutia harus tahu bahwa aku belum benar-benar siap untuk kehilangannya. Masih banyak kesalahan dan dosa yang belum aku tebus pada Mutia." Tanganku tak hentinya mengusap nisan Mutia."Terlambat Putra, ini benar-benar sudah terlambat. Biarkan saja semuanya seperti ini. Ibu yakin, dia telah memaafkanmu. Hatinya yang seluas samudra, tidak akan mampu menyimpan dendam unt
Tanpa berpikir panjang, aku segera pergi dari ruang persalinan Maura. Tak kuhiraukan lagi teriakannya yang memanggil namaku. Karena saat ini, pikiranku hanya tertuju pada Mutia.Semoga Mutia dalam keadaan baik-baik saja.*********Hatiku sedikit lega, karena Maura sudah melahirkan dengan selamat. Beban pikiranku sedikit berkurang. Namun, belum juga sepenuhnya tenang, karena aku belum tahu apa yang terjadi pada Mutia saat ini.Terakhir, saat melihat kondisi Mutia yang memburuk pagi tadi, mau tak mau prasangka buruk menguasai hati dan pikiranku. Aku mengemudi dengan kecepatan sedang, ini sudah hampir sore, jalanan pun lumayan macet.Setelah perjalanan yang cukup panjang, aku akhirnya sampai di Panti Asuhan Pelita Bunda. Baru saja tiba, bahkan aku belum turun dari mobil, jantungku tiba-tiba berpacu dengan cepat. Hatiku benar-benar dipenuhi perasaan takut, takut kehilangan Mutiara sepenuhnya. Takut tak lagi bisa memandang teduh wajahnya yang mampu mengobati rasa rinduku akan hadirnya.Ak
"Putra, bagaimana Maura?" Ayah langsung bertanya begitu aku keluar dari ruangan. Ibu pun langsung berdiri dan menatap ke arahku menanti jawaban."Belum, Yah. Masih pembukaan empat. Putra mau memberitahu Ayah dan Ibu dulu, karena tadi belum sempat." ********Aku menghubungi nomor telepon Bapak. Tak berselang lama , panggilan pun terhubung."Assalamu'akaikum, Pak."[Wa'alaikumsalam warohmatulloh.] Terdengar Bapak menjawab salam dengan suara sendu."Pak, maaf Putra baru sempat menghubungi. Sekarang Putra sedang di rumah sakit, Maura mau melahirkan. Baru pembukaan empat, kalau bisa Ibu dan Bapak datang kesini. Putra ingin kalian menyaksikan kelahiran cucu kalian." Dengan sedikit gugup aku menjelaskannya pada Bapak. Selain karena khawatir pada keadaan Maura yang sedang berjuang di ruang persalinan, juga pikiranku melayang pada kondisi Mutia, mantan istriku yang saat ini sedang di bawa ke rumah sakit oleh Aldiansyah. Mungkin saat ini mereka sudah sampai. Sungguh aku ingin tahu bagaimana ke
Sudah hampir dua bulan aku terjebak dalam situasi seperti ini. Setiap seminggu sekali aku selalu menyempatkan waktu untuk melihat kondisi Mutia. Walau hanya mampu dari jauh, tapi itu sudah cukup mengobati kerinduanku. Meskipun terkadang aku tidak beruntung karena Mutia sedang tidak berada di luar.Sesekali aku akan membelikan sebuah hadiah kecil untuknya yang biasa aku titip kepada anak panti yang sedang bermain di dekat pagar. Tentu saja Mutia tidak akan tahu bahwa itu dariku.Seperti hari ini, aku datang membawa sebuah coklat untuk Mutia. Aku berharap bisa melihat wajahnya lagi hari ini. Sudah hampir setengah jam, tapi aku belum melihat dimana keberadaan Mutia. Namun, aku melihat beberapa orang anak yang terlihat begitu panik. Tidak lama kemudian terlihat Aldiansyah datang dengan tergesa-gesa memasuki panti, ada beberapa anak yang menangis juga. Entah apa yang sedang terjadi di dalam sana, tapi hal itu membuatku sangat khawatir terhadap kondisi Mutia.Atau jangan-jangan? Mutia? A
"Thanks, udah mau datang," ucapku pada Aldiansyah yang saat ini tengah duduk di hadapanku. Kami bertemu di sebuah Cafe dekat rumah sakit tempat Aldiansyah praktek. Menyempatkan untuk bertemu di jam makan siang."Hmm, it's okay. Ada apa?" Tanpa basa basi Aldiansyah langsung bertanya."Emmh, ini ... perihal Mutia.""Aku sudah menduganya. Kenapa? Jangan lagi mengganggunya. Saat ini kehidupannya sudah lebih membaik." Nada bicaranya terkesan ketus. Aku tahu dia tidak menyukaiku, karena aku pun sempat merasakan hal itu pada dirinya. Akan tetapi saat ini, tak ada lagi alasanku membencinya, dia telah berjasa besar dalam kehidupan Mutia, mantan istriku yang posisinya sama sekali belum tergantikan di hatiku."Syukurlah, aku lega mendengarnya. Emmh, sebenarnya aku ingin bertemu Mutia. Bisakah kamu memberi tahu dimana dia berada saat ini. Aku sudah mencoba mencarinya, tapi nihil. Usahaku tidak membuahkan hasil." Aku berharap Aldiansyah mengabulkan keinginanku."Hhhh, untuk apa? Kedatanganmu hanya
Rasanya permasalahan dalam hidupku tidak pernah selesai. Belum lama ini perceraianku dengan Mutia yang sangat berpengaruh dengan keadaanku sekarang, Maura yang tidak ingin melakukan pekerjaan apapun termasuk mengurusi semua kebutuhanku. Lalu pagi ini, aku di tegur oleh atasan, SP (Surat Peringatan) satu pun keluar. Pasalnya ini bukan pertama kalinya aku melakukan kesalahan di kantor. Aku memang sering datang terlambat karena bangun kesiangan, penampilanku yang lebih sering terlihat berantakan karena barang-barang keperluan untuk aku bekerja harus kusiapkan sendiri. Belum lagi pekerjaanku yang sering terbengkalai, karena lebih sering melamun memikirkan nasibku setelah perginya Mutia dari kehidupanku.Aku tidak pernah membayang nasib pernikahanku akan menjadi seperti ini. Jujur saja, aku sangat merindukan Mutia. Hingga aku memutuskan untuk mampir sebentar ke rumahnya.Tidak, aku tidak akan benar-benar singgah. Hanya lewat saja, lalu memandangi rumah yang penuh dengan kenangan manis itu
POV MAURAAktifitasku setiap pagi, ya hanya duduk-duduk saja. Karena Mas Rakha selalu menyuruh Bi Jumi untuk datang ke rumah kami setiap dua hari sekali untuk beres-beres rumah. Aku sangat enggan melakukan kegiatan itu, karena hanya akan membuat jari dan kuku yang aku rawat jadi rusak. Biarkan saja, toh kalau Mas Putra risih dengan keadaan rumah yang berantakan dia akan mencari pembantu untukku. Dan perkiraanku terbukti benar, Bi Jumi lah yang selalu datang untuk membereskan rumah kami. Apalagi setelah dinyatakan hamil oleh dokter, rasanya aku hanya ingin bermalas-malasan saja. Tidur seharian di rumah tanpa melakukan apapun.Pagi ini setelah Mas Putra berangkat bekerja, seperti biasa aku duduk sambil menonton TV dan makan cemilan. Mas Putra selalu sarapan di kantor. Kalau aku gampang, tinggal pesen makanan delivery saja. Seperti hari ini, sambil menunggu bubur ayam yang sudah aku pesan datang, aku makan cemilan terlebih dahulu.Lalu sesaat kemudian terdengar suara ketukan pintu dari