Tangis Ghazi semakin kencang. Ini benar -benar tak normal dan membuat mereka semakin panik saja. Reynand akhirnya tak sabar, ia melangkah tanpa menunggu persetujuan dari Bibi agar boleh masuk rumah yang ditinggali Haris dan keluarganya.Abyaz tadinya ingin ikut, tapi ... ia menduga tidak seburuk apa yang Reynand pikirkan. Hingga ia pun memutuskan tinggal dan menjaga rumah saja. Anak tunggal Reynand dan Marissa itu, merasa Reynand memiliki kecemasan berlebihan. Padahal, yang mereka dengar hanya tangis bayi. Bukan teriakan permintaan tolong dari orang dewasa yang sudah bisa berpikir. "Papa yang berlebihan, atau aku yang keterlaluan tak punya empati?" gumam Abyaz kala Papa dan Nenek Hania berlari tergopoh-gopoh ke rumah sebelah untuk melihat apa yang terjadi.Helaan napas berat terdengar ke luar dari mulut Abyaz kala langkah kakinya bergerak meninggalkan pintu. Papanya mungkin lama ada di rumah Hania, hingga ia memutuskan untuk mengunci pintu tersebut."Bukannya tadi Papa bilang ada ke
"Pria brengsek! Bagaimana bisa kamu memperlakukan Salma seperti ini! Mau berapa kali lagi kamu akan melanggar janjimu sendiri? Hah?" Ucapan-ucapan itu terlontar berbarengan dengan pukulan keras yang mendarat di pipi Haris.Reynand tak mengerti telah mendapatkan kekuatan dari mana sampai masuk terlalu dalam pada kehidupan rumah tangga orang lain seperti ini. Yang jelas, dia tak rela melihat Salma tersakiti dan menangis ketakutan seperti sekarang. Dia merasa perlu bergerak untuk menghancurkan seseorang yang menjadi sebab seseorang yang dicintainya terluka. Tak peduli, apa pun anggapan Haris, atau pun Salma mengenai perbuatan konyolnya.Sementara itu, Salma tergugu. Ia memang terkejut melihat Reynand datang. Tak menyangka. Pikirnya karena Haris adalah suaminya, dan mereka melakukan ini di kamar, tidak akan ada orang yang peduli, apalagi menerobos masuk begini.'Mereka pasti datang karena tangis Ghazi. Terimakasih, Nak. Kamu menyelematkan Umi.'Meski, perbuatan Reynand tak sepenuhnya ben
"Jadi ... kamu meminta Agni tinggal di rumah untuk menggantikan Lily?" Dirga mulai penasaran dengan keberadaan Agni.Dia pikir, awalnya Agni di sana karena ingin menemani Lily. Namun, kini Lily bahkan sudah tidak ada. Itu artinya, Agni di sana atas tujuan lain. Apalagi pas ditanya tadi, sejak kapan Agni di rumah Neneknya. Dia jawab lebih sebulan."Ya." Nanda menyahut singkat sambil bersiap. Dirga tak mau menunda sampai besok, dan ingin segera ke makam Lily malam ini juga. Kalau tidak, sedetik pun ia tak akan bisa tenang sebelum memastikan. "Dia mau begitu saja? Maksudku ini agak aneh. Anak seusia dia, dan belum dewasa sama sekali, tapi ... memikirkan hidup tertekang di rumah orang lain. Dia juga bukan anak orang susah." Dirga bicara panjang lebar sambil mengerutkan dahi."Dia bukan orang lain, Mas. Dia keponakanku. Di sini juga rumah Neneknya. Setelah Lily tidak ada, Mama jadi kesulitan ini itu. Wajar jika dia menggantikan posisinya. Lagi pula, Salma baru saja melahirkan lagi, dia s
"Surat cerai?" Mata Haris melebar. Dia tidak tahu jika surat itu sudah diproses dan bahkan hanya tinggal tanda tangan. "Sayang sekali, klien saya menghubungi saya semalam dan saya harus memprint ini. Bapak beruntung saya dekat dengan orang dalam, jadi dengan mudahnya meminta bantuan surat ini disahkan.""Apa? Kamu gila!" Haris mengangkat surat itu dan merobeknya karena kesal."Aku tidak akan pernah menceraikan Salma! Itu yang harus kamu ingat, Ran! Lagian, tidak ada alasan untuk Salma bisa gugat cerai. Memangnya apa salahku??! Selingkuh? Mana buktinya? Lagian aku juga gak selingkuh, aku hanya nikah lagi dan itu halal!" Haris merepet panjang lebar karena tidak terima. "Heh." Rania mengangkat satu sudut bibirnya. "Aku tahu kamu akan melakukan ini, itu kenapa aku memprint -nya lebih banyak." Rania mengeluarkan dokumen lain dari dalam tas. Bukan hanya satu map, tapi lebih dari tiga map sembari tersenyum penuh kemenangan. Dia belum pernah sesenang ini selama menangani kasus Salma.Haris
"Terimakasih untuk semuanya, Mas. Sejak ini aku membulatkan keputusan untuk bercerai. Aku akan membawa anak-anak sampai kondisi Mas stabil dan bisa membicarakan hal asuh mereka." Satu air matanya lolos. Setelah pergulatan panjang batinnya, maju mundur seperti wanita plin-plan tak punya pendirian, akhirnya Haris dan perbuatannya lah yang mendorong Salma untuk berhenti berjuang. "Salma kumohon!" Haris memegangi tangan Salma, dengan cepat Salma menepisnya kasar."Jangan memaksanya lagi!" Suara bariton terdengar dari arah pintu. Saat semua orang menoleh, dan melihat Reynand sudah berdiri di sana.Makin geram saja, Haris melihat pria yang terus mengganggu dan menjauhkannya dari Salma itu. Mungkin, kalau tidak ada Reynand, hubungannya dan Salma bisa diperbaiki, karena dia tidak perlu keberadaan orang lain dan hanya menggantungkan diri pada Haris saja.Dengan begitu, kedekatan lantaran saling membutuhkan akan terbentuk dengan sendirinya. 'Sial, dasar pengacau!'"Kamu lagi. Heh." Haris terse
"Halo, Nggit? Kamu perlu sesuatu? Nggit, halo?!" teriak Amel. "His ngeselin banget sih. Nggak lucu iseng begini tahu!" Dimatikannya panggilan dari sahabatnya tersebut. Dia tak punya waktu untuk terus bermain-main sementara sore ini, sugar Daddy -nya akan datang berkunjung. Amel harus tampil maksimal dengan perawatan di salon."Ada apa, Kak Amel?" tanya petugas salon yang sudah akrab dengan pelanggannya itu. Salah satu marketing bisnis seseorang untuk mendapatkan pelanggan tetap adalah sikap hangat dan mengakrabkan diri dengan mereka.Setidaknya itulah yang membuat Amel betah kembali datang ke salon tersebut. Meski harganya selangit dan jauh lebih mahal dari salon-salon lain, dia mendapatkan kepuasan bisa mengobrol dan mencurahkan isi hatinya."Biasalah, Kak Ayu. Temenku iseng.""Hem, iseng? Biasanya Kakak nggak pernah diisengin kan. Baru ini. Apa temen baru?" tanya Ayu heran."Hem?" Amel seketika mengerutkan kening. "iya, bener. Sebentar, apa dia juga tidak iseng. Maksudku bisa saja
"Wah, ide bagus Om! Jadi kami bisa makan es krim tiap hari!" Farhan menyahut dengan berseru. Karena sejak tadi dia sedih, yang dia pikirkan kalau pindah rumah, mereka juga akan jauh dari Om Reynand, dan tidak bisa bebas ke rumahnya minta es krim."Kalau begitu Om harus menghubungi pemilik rumah!" seru Reynand tidak kalah heboh."Hem, kamu tidak boleh terus menuruti kemauan anak-anak ini, Rey. Walau rumahnya nggak bersebelahan, tapi jarak dari rumah mereka yang baru dan rumahmu kan tidak terlalu jauh. Masih satu kota." Aminah menyela ucapan Reynand dan anak-anak Salma."Yang Ibu katakan benar. Lagi pula kita harus menjaga jarak kan, Mas. Tidak enak pada omongan orang lain." Salma urun bicara. Lagipula dia tidak enak jika terus menerima kebaikan dari Reynand dalam kondisi seperti ini. "Lebih baik, uangnya kamu simpan untuk keperluan lain." Aminah menyambung. "Lagi pula, bukankah tidak enak jika Abyaz melihat apa yang kamu lakukan. Dia akan bingung."Ehm, jika masalahnya adalah uang, te
Inggit terbangun. Menoleh ke segala arah, tak ada yang dikenal dari beberapa orang yang tampak sibuk merawatnya."Ap -apa yang terjadi?" tanya Inggit. "Di mana aku? Di mana Ibuku?" Perempuan itu terbiasa dirawat oleh sang Ibu kala mengalami sakit yang mendera tubuh. Dan sekarang, tampaknya bukan kondisi sakit biasa yang tengah dialami. "Sabar ya, Mbak. Ini sebentar lagi, dokter akan kembali dan memeriksa kondisi Ibu setelah sadar." Salah seorang suster menjawab pertanyaan -pertanyaan Inggit."Ibu sendirian dalam kamar apartemen. Tidak ada suami, Ibu atau siapa pun di sana. Tapi ... kami sudah menghubungi suami Mbak Inggit." Suster lainnya menimpali, karena merasa jawaban rekannya belum melengkapi pertanyaan pasien yang terlihat masih sangat muda itu."Suami?" Matanya menyipit, memikirkan maksud suster. 'Om Raga, atau Mas Haris yang mereka hubungi?'Detik kemudian, Inggit memekik menahan sakit. Ia tak tahu obat apa yang disuntikan ke dalam tubuh, hingga rasanya perih saat berjalan me
Rus masih fokus melihat petugas. Ia kemudian terhentak begitu mendengar suara notif pesan masuk ke ponselnya. Wanita tua itu kemudian merogoh ponsel dalam tasnya lagi. Lalu menggeser layar ponselnya untuk melihat pesan apa yang dikirim padanya.“Dari Wawan,” gumamnya sembari mengklik isi pesan itu.Matanya nyaris saja terlepas dari tempatnya begitu membaca isi pesan itu.[ Innalillahi waa inna ilahi rojiun, bayi Inggit sudah tidak tertolong Mbak. Sebaiknya Mbak cepat ke mari, kita harus mengurusnya. ]“Ini tidak mungkin! Wawan pasti salah lihat. Dia pasti tidak mendengar dari Dokter secara langsung!” sangkalnya selagi bangkit dari duduk dan merapikan tas untuk kemudian dibawa dengan tergesa, menuju tempat di mana bayi Inggit selama ini dirawat, dan Wawan sudah menunggu di sana.Langkahnya bergerak begitu cepat, karena ia tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Seolah ia bisa datang tak terlambat dan mencegah kematian cucunya itu.“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana kami bisa mendapatk
“Jadi benar, kalian tidak bisa rujuk lagi?” Suara di seberang terdengar sedih.Sementara Haris, tak ada yang bisa ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa menyimpan kesedihan dan penyesalannya untuk diri sendiri. Sejak awal ia sudah tahu, bahwa segalanya tidak akan bisa diperbaiki seperti dulu lagi.“Ris!” panggil sang ibu karena tak ada jawaban dari putra sulungnya di ujung telepon.“Ah, ya, Ma.” Haris terhenyak dari lamunan. “Bagaimana?”“Hem, kamu pasti sedang memikirkan hal berat sekarang.”“Hem.” Haris tersenyum miris. Jelas saja pikirannya berat. Tapi justru perceraian yang terjadi, membuatnya sebagian beban di kepalanya terangkat. Entah kenapa? Mungkin karena dia harus terus melihat bagaimana keluhan Salma saat bersamanya. Dia mana bisa terus melihat wanita yang dicintainya tidak bahagia.Ternyata begini rasanya, mencintai tanpa bisa memiliki, sesuatu yang dulu tak pernah ia pikirkan karena kehidupannya dengan Salma benar –benar bahagia.“Jadi sudah tidak bisa rujuk lagi kan?” sang Ma
“Kenapa aku harus terus mengurus sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabku? Apa mereka tidak lelah memeras dan memanfaatkanku sejak dulu?” gumam Haris yang belakangan semakin menyadari bahwa segala hal yang dilakukan di masa lalu adalah kesalahan.Pria itu sedang berada di sebuah pondok pesantren. Dan terpaksa mengatakan bisnis agar tidak dipaksa datang oleh Wawan dan Ibu Inggit. Ia merasa sudah cukup dengan mengirimkan uang kepada mereka. Di padepokan ini, Haris sudah menjalani ruqyah rutin atas rekomendasi ustaz Fawwas. Ada hal –hal yang tadinya tak terpikirkan tiba –tiba saja terlintas dalam pikiran mengenai keluarga Inggit.Baru saja menaruh ponsel di nakas dan bersiap untuk bersuci, tiba –tiba sebuah panggilan terdengar. Ia pun mengurungkan sejenak niatnya ke luar kamar dan mengambil ponsel itu untuk melihat siapa yang menelepon.“Mama?” gumamnya sembari mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.“Assalamualaikum. Ya Ma?”“Waalaikum salam. Ris, gimana kabar kamu?”“Alh
“Mas, apa Mas tidak ingin melihat anak Mas Haris?” tanya Wawan di sambungan seluler yang terhubung ke pada Haris. “Inggit masih koma.”Ia merasa sangat miris. Sampai sekarang Inggit masih belum sadar, sejak ia melahirkan prematur minggu lalu. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuknya hidup. Sementara ibu Inggit terus saja menangis tanpa tahu apa yang harus diperbuat selain menunggu dengan sabar anaknya akan sadar.Hati Wawan teriris melihat kondisi kakak perempuan dan keponakannya, hingga ia berinisiatif untuk menghubungi Haris. Barang kali pria itu terketuk untuk datang dan membantunya memberi support.“Apa uang yang saya kirim kurang, Pak?” tanya Haris yang mulai kesal terus dihubungi. Padahal, dia sudah mengirim uang. Pekerjaannya terus tertunda karena mengurus Inggit dan anak mereka. “Saya sedang berada di luar kota mengurus pekerjaan. Tidak mudah kalau memutuskan pulang dalam waktu dekat. Saya pikir uang yang saya kirimkan sudah lebih dari cukup. Sebelum pergi saya juga sudah m
[ Jadi kali Unie duluan yang menggugat cerai ke Pengadilan Agama? ] tanya Ameena yang mendengar kabar perceraian Salma dan Haris.[ benar, Umm. Kali ini pengacara memasukkan berkas dan sudah diproses. ][ sudah masa iddah ya? ] tanya Ameena lagi. Seolah ia tak memahami jarak waktu yang terjadi. [ cepat sekali waktu berlalu. ][ benar. Saya memutuskan menerima pinangan kakak sepupu saya. ][ hem, tak masalah, Un. Berarti khuluk. Jadi memang tidak perlu lagi menunggu dirujuk. ] tulis Ameena lagi.Mata Salma melebar karena itu. Bagaimana bisa dia tidak memahami hal sepenting ini? Padahal dia lebih dulu berhijrah.“Apa Mas Haris mengetahui ini, tapi dia diam saja karena ingin memanfaatkan situasi?” gumam perempuan beranak enam itu.“Ada apa?” Ibu Salma datang membawakan makanan dan minuman di atas nampan untuk putrinya. Lalu meletakkan di nakas samping ranjang, agar Salma lebih mudah menjangkaunya.Melihat kedatangan sang Ibu, Salma buru –buru menyimpan ponsel. Ia tak mau membuat wanita t
"Di mana kalian menyembunyikan Inggit?" tanya Salma. Ia mungkin membenci perilaku wanita perebut suami orang itu. Namun, tidak untuk menyakiti fisiknya. Apalagi sekarang Inggit sedang hamil.Abyaz merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Umi Hania, hingga ia menoleh ke arah Hania yang ternyata juga menatap Abyaz takut –takut. Ya, pemuda itu tahu dengan jelas bahwa gadis itu tidak sedang baik –baik saja. Ia kemudian mendongakkan kepala sekali, memberi isyarat pada Hania, dan bertanya apa yang harus dilakukannya di situasi seperti ini? Ia tak mau jawabannya nanti akan menyudutkan gadis itu.Hania tak menjawab dan hanya menunjuk tas yang dibawanya dengan tatapan mata. Saat itulah mata Abyaz membeliak. Sadar bahwa itu adalah tas Inggit yang tertinggal. Pasti karena keberadaan tas tersebut yang membuat mereka ketahuan.Pemuda itu menghela napas lelah. Kenapa dia bisa lupa mengamankannya? Dan Hania yang sedari tadi berada di rumahnya, apa tidak menyimpannya di tempat yang aman? Di gudang misa
"Itu punya tamu Abi." Hania mengucap lemah. Melihat bagaimana cara Salma menatapnya, gadis itu kesulitan untuk berbohong."Tamu? Siapa?" Dahi Salma mengerut. Siapa tamu Haris dengan pakaian seperti itu. "Ehm, dia .... sedang pergi.""Umi tanya siapa dia? Bukan sedang di mana dia?"Hania menatap pada Agni, bingung. Begitu juga dengan Agni. "Han, katakan. Jangan mencoba mengalihkan topik! Apalagi cari pembelaan."“Kamu seharusnya tidak melakukan itu, Kak.” Agni mengkritik sikap sang kakak yang sudah sangat keterlalulan. Sebenci apa pun bukankah merka dilarang berbuat dzolim dan menyakiti orang lain.“Apa yang aku lakukan?” Hania melirik tajam ke arah sang adik.“Ya?” Agni menatap sang kakak tak percaya. Padahal, niatnya baik. Dia ingin menegaskan bahwa itu salah.“Bagaimana dengan kamu? Aku tidak membunuhnya Agni!” tandas Hania ang tidak mau disalahkan. Dia masih berbaik hati mau merawat Inggit, bahkan dalam kondisinya yang sememprihatinkan sekarang.“Ap –apa?” Mata Agni berkaca –kaca
Hania terlalu tenang untuk ukuran seorang anak yang kabur dari rumah. Dia tahu, bahwa Uminya tidak akan semarah ibu-ibu lain ketika menghadapi anaknya yang nakal. Meski kabur, dia berusaha keras untuk tidak pergi ke tempat-tempat yang membawanya pada keburukan. Dia tidak melakukan maksiat, dan hanya berniat menemui ayah kandungnya sendiri. Bukan yang lain. Jika pun ada setitik kebencian di hari gadis remaja itu pada Harus, tetap saja yang namanya seorang ayah, tetaplah seorang ayah. Ia tak bisa bebas membencinya. Suara deru mesin mobil terdengar di depan. Hania sengaja tidak langsung membuka pintu rumah, melainkan membuka gorden lebih dulu untuk melihat siapa yang datang. Gadis ayu itu menghela napas berat begitu melihat sosok umi pertama kali, lalu Agnia yang turun dari dalam mobil. Menyusul kemudian Papa Abyaz.Uminya dan Om itu terlihat seperti pasangan suami istri saja. Apa mereka pasangan yang sudah menikah? Atau mereka akan menikah? Mengingat ke duanya sekarang adalah pria da
“Yaz, kamu sudah melakukannya?” tanya Hania.Abyaz mengangguk. Walau anggukan itu tidak terlihat oleh Hania yang berada di ujung telepon. “He’em.”“Apa dia menolak?” tanya Hania kemudian.“Hem, ya. Tentu saja. Justru aneh kalau dia pasrah begitu saja.” Abyaz menyahut. Tersenyum miring. Membayangkan bagaimana tadi istri muda Om Haris terus memakinya, dan berusaha berontak untuk pergi. Untungnya, tenaga Abyaz jauh lebih kuat.“Ehm, sekarang aku sedang berada di Masjid.”“Ya?” Hania tidak mengerti maksud Abyaz. Apa pria itu sedang berbicara tentang dirinya sendiri sekarang? Sesuatu yang tidak akan Abyaz jelaskan kalau mereka tidak terlibat dalam sebuah misi seperti sekarang.“A ... maksudku, aku sekarang masih berada di Masjid. Jadi ... aku meninggalkannya bersama orang lain.”“Oh.” Hania manggut-manggut memahaminya. “Kamu perlu bantuan? Apa aku harus ke sana?” tanya khawatir, kalau –kalau Inggit nekad kabur, dan orang yang menjaganya kualahan menghadapi perempuan bar –bar itu.“Ah, aku