Minuman yang sejak tadi dia konsumsi berhasil membuat tubuhnya terasa panas dan kepala sedikit berputar. Belum lagi melihat kedekatan Naka dan Dinda, semakin membuatnya terbakar cemburu."Sayang, udah cukup minumnya. Ingat apa kata dokter, kamu harus bisa mengontrol pola makan dan minum mu. Jangan minum alkohol, kita mau punya anak, kan?" Helen sudah berada di dekat Dewa. Sementara mata pria itu masih menatap marah tangan Naka yang menyentuh punggung telanjang Dinda saat keduanya berdansa.Saat ini mereka ada dalam ruangan danda. Hanya ada beberapa tamu undangan khusus di sana, termasuk kedua orang tua Dewa dan juga kedua mertuanya.Dewa terpaksa mau diseret ke sana karena diminta untuk berdansa dengan Reni. Tetap saja, saat berdansa pun, ibunya mengingatkan dirinya untuk bersikap lembut dan perhatian pada Helen karena Soraya sudah mengeluhkan sikap Dewa yang terlihat menyia-nyiakan putrinya."Iya, Ma. Aku tahu." Hanya itu jawaban Reni. Setelah satu putaran lagu selesai, Dewa tidak ber
Helen tidak percaya apa yang dihadapkan padanya. Setelah beberapa lama mereka tidak bercinta, kenyataan pahit menamparnya. Dewa tidak sanggup bercinta lagi dengannya. Helen hampir tidak percaya atas apa yang terjadi.Helen hanya kini duduk di sudut kamar menangis terisak-isak, sementara Dewa hanya bisa duduk di tepi ranjang dengan perasaan bersalah. Ini bukan dibuat-buat, miliknya memang tidak bisa hidup untuk Helen.Dewa yang dihinggapi rasa malu mendekati istrinya. Dia pun bingung harus bilang apa. "Aku minta maaf, Helen," ucap Dewa lirih. Dia juga tidak menyangka akan begini. Jelas Minggu lalu dia baru bercinta dengan Dinda dengan begitu dahsyatnya di apartemennya. Lantas, kenapa dengan Helen dia tidak berselera?"Apa yang salah, Dewa? Kenapa bisa begini?" Helen menoleh pada Dewa, ingin meminta penjelasan pada suaminya. Hal yang paling menyakitkan bagi seorang istri adalah saat suami tidak lagi bergairah pada istrinya."Aku juga gak tahu, Len. Aku minta maaf," ucap Dewa menjatuhka
"Jadi, gimana keadaan suami saya, Dok?" tanya Helen penuh antusias. Setelah memaksa dengan tangisnya bahkan mengancam pada Reni, akhirnya Dewa setuju untuk melakukan pemeriksaan.Dia pasrah mengikuti apapun perkataan istrinya itu. Dia juga penasaran kenapa miliknya tidak bisa bangun lagi saat berhubungan dengan Helen kemarin. Mendapati keadaan malam itu, Dewa juga sempat down, rasa percaya dirinya hilang. Dia takut kalian nanti akan berhubungan dengan Dinda, miliknya juga tidak berfungsi. Kan, dia bisa malu.Selama ini tidak ada yang meragukan keperkasaan Dewa. Meski sepanjang hidupnya hanya ada Helen, tapi wanita itu selalu merasa puas bahkan ketagihan pada permainan pria itu."Hasilnya akan keluar Minggu depan. Tapi, dari pemeriksaan, semua tampak bagus. Warna dan kekentalan cairan sp*rma yang dikeluarkan juga tidak ada masalah. Tapi, lebih bagus lagi, kita tunggu hasil lab Minggu depan."Mendengar keterangan dokter itu, perasaan Dewa sedikit lega. Hanya sedikit. Sebelum membuktika
"Maaf, ya kalau aku terus aja nyusahin kamu." Senyum Helen melengkung di bibirnya. Dind yang melihat hanya bisa membalas tersenyum dengan kaku. Kali ini apa lagi yang akan disampaikan wanita itu?"Ada apa, Bu? Kalau soal Pak Dewa, bukankah beliau sudah pulang ke rumah tiap hari?" tanya Dinda, gadis itu ingat kalau dulu yang dia curhat soal Dewa yang tidak mau pulang ke rumah.Helen menarik napas panjang sebelum buka suara. Masing menimbang apa benar tindakannya ini? Membuka aib suaminya di depan orang lain? Tapi dia perlu teman untuk mendengar kegelisahan di hatinya. Dia sudah menganggap Dinda sahabat, jadi rasanya sah saja kalau cerita, lagi pula dia yakin kalau gadis itu bisa menyimpan rahasia, ketimbang teman sosialitanya."Iya, sih, Din. Tapi, ada masalah lain dan aku perlu pendapat kamu.""Saya, Bu? Apa yang bisa saya bantu?" Perasaan Dinda mulai gak tenang. Setiap Helen mencarinya saja dia sudah gelisah, apalagi kalau sudah berhadapan begini. Dinda merasa jadi manusia paling mun
Melihat wajah panik Dinda, Naka tidak mengajukan pertanyaan, meski hatinya begitu penasaran atas maksud kalimat Dinda.Sesekali, Naka menoleh ke arah gadis itu. Satu pemikiran berkelebat dalam benaknya. Anak? Anak siapa maksud Dinda? Apa gadis itu sudah punya anak? Kenapa dia tidak pernah bertanya soal status Dinda? Yang dia tahu, tidak mungkin Dewa menerima wanita yang sudah berkeluarga menjadi sekretarisnya. Atau mungkin Dinda pengecualian? Semua pertanyaan itu silih berganti muncul dalam benak Naka hingga mereka tiba di rumah sakit.Tanpa mengatakan apapun, Dinda segera keluar dari mobil, berlari kecil dari parkiran menuju lobi rumah sakit."P-ermisi, pasien anak, atas nama Leon Mahendra," tanya Dinda terbata-bata."Lantai dua, ruang Dahlia ya, Bu." Setelah mengucapkan terimakasih, Dinda bergerak cepat menuju lift. Naka setia mengikuti langkah Dinda tanpa buka suara. Hingga keduanya tiba di ruangan kelas tiga."Bu, kenapa lagi dengan Leon?" lirih Dinda menatap ke arah anaknya yan
Dinda ikut tersenyum melihat Naka dan Leon. Keduanya bisa langsung akrab padahal baru bertemu. Selama Leon dirawat, Naka senantiasa datang ke rumah sakit menjenguk Leon sekaligus mengontrol kesehatan anak itu.Naka selaku dokter pasti sudah lebih mengerti perkembangan keadaan Leon, terlebih di rumah sakit ini Naka mengenal dokter yang mengurus Leon."Kamu tidak ikut gabung?" Suara Diana membawa kepala Dinda menoleh ke belakang. Ternyata Diana juga memperhatikan dirinya sejak tadi."Ah, Ibu....""Naka baik. Ibu bisa melihat kalau dia tulus padamu."Dinda diam, tidak menjawab perkataan ibunya. Biasanya insting ibunya sangat akurat. Dia juga yakin kalau Naka pria yang baik, Dinda tidak ragu sedikitpun. Tapi, dia belum siap menerima cinta pria itu. Memikirkan perkataan ibu tadi, jangan sampai Naka bicara pada Diana dan mengatakan niatnya untuk melamar Dinda. Wanita paruh baya itu akan melonjak kegirangan."Hey, kamu dengar gak ibu ngomong?""Iya, Ibu. Tapi dia bukan tercipta untukku. Nak
Senyum kepuasan serta lega yang tidak terkira mengembang di bibir Dewa. Dia tidak pernah sebahagia ini mengetahui kebenaran tentang sesuatu hal.Dia melirik Dinda yang tertidur setelah kelelahan yang disebabkannya. Napas gadis itu halus, tatapan Dewa jatuh ke dada gadis itu yang sejak tadi menjadi mainnya, naik turun mengikuti tarikan dan hembusan napas Dinda.Dia memiringkan tubuhnya. Keduanya berada di bawah satu selimut yang sama setelah bermain peluh. Tanpa sungkan, Dewa melingkarkan tangan di perut rata Dinda, lalu mencium puncak kepala gadis itu."Terima kasih, Dinda. Kamu sudah membuktikan kalau aku bukan pria impoten!" bisiknya kembali mengulang ciuman di pucuk kepala gadis itu yang masih terlelap.Fix! Dewa tidak impoten seperti yang disangkakan Helen padanya. Terbukti, dia sudah dua kali mencetak gol ke gawang Dinda. Begitu lidah gadis itu bermain liar di dalam mulutnya, milik Dewa langsung menegang, membuktikan dia masih bisa produktif.Sebuah pemikiran kini membuat kedua u
Dewa memang cerdas, sekejap dia bisa mencari alasan atas pertanyaan Helen hingga tidak perlu khawatir lagi."Mungkin digigit serangga, gatal jadi aku Garut. Udah, gak penting."Keempatnya memutuskan untuk makan malam sebelum pulang. Dinda sempat mengusulkan agar dia dan Naka pulang saja, tapi Helen melarang."Kita makan dulu, lagian jarang kita bisa double date kayak gini. Please, Din."Seperti kerbau dicucuk hidungnya, Dinda akhirnya mengangguk. Mereka duduk melingkar, mengitari meja bulat di satu cafe yang ada di mall itu. Sialnya, Dinda berada di tengah Dewa dan Naka. Dinda mengutuk kebodohannya, kenapa memilih tempat itu.Naka dan Helen jadi perwakilan mereka dalam memesan makanan. Keduanya lebih atraktif, sementara Dewa dan Dinda hanya menjadi penonton, duduk diam mendengarkan.Kata orang tua, jangan bengong, nanti kemasukan setan. Dinda terpekik kaget dari lamunan panjangnya kala sebuah tangan 'nemplok' di pahanya, meraba dan meremas dari luar Jeansnya."Kamu kenapa, Din?" Hele
Dewa hampir saja melompat, tapi yang bisa dilakukan hanya mengusap wajahnya. Dia menatap Dinda yang masih berbaring atas ranjang."Sayang, kita akan punya anak lagi?" Mata Dewa bahkan hampir berkaca-kaca. Masih seperti mimpi.Dinda tidak kalau terharunya dengan Dewa. dia bahkan memeluk suaminya dengan sangat erat membiarkan kemeja Dewa bahasa oleh air matanya.Baik dokter dan juga perawat yang ada di ruangan itu ikut tersenyum bisa merasakan kebahagiaan mereka.Setelah pulang dari rumah sakit, Dia memutuskan untuk tidak pergi ke kantor hari itu. Dia ingin menjaga cinta menghabiskan waktu bersama istrinya."Kamu ke kantor aja. Masa iya, jadi gak kerja," ucap Dinda yang masih geli melihat sikap overprotektif suaminya."Besok. kerjaan gampang ada John yang mengurusnya." Dinda tak lagi berani mendebat, mengikuti apa yang dikatakan Dewa.Sesampainya di rumah, Dewa tidak ingin segera memberikan kabar itu kepada Reni. Jangan karena histeria dan rasa gembira mereka membuat Dinda kelelahan. C
Laura masih merasakan debar jantungnya yang berdegup semakin cepat. Tubuhnya masih bersandar di balik pintu kamarnya.Setelah mendengar perbincangan para asisten rumah tangga itu, dia merasa tidak kuat untuk berdiri lebih lama di sana. Laura memutuskan untuk meninggalkan pintu dapur berjalan menuju kamarnya."Jadi, Mas Naka dan Mbak Dinda dulu pernah bertunangan dan Mas Naka sangat mencintainya?" batin Laura menghapus air matanya yang mulai deras menetes di pipi. Tubuhnya perlahan merosot dan terduduk di pintu.Laura begitu minder jadinya. Dibandingkan Dinda, dia hanya bocah yang sedang dimabuk cinta. Tidak punya pengalaman, dan terlihat seperti gadis kampung yang tidak bisa berdandan. Naka pasti malu jika membawanya nanti ke pertemuan."Oh, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa begitu sakit mengetahui kenyataan ini?" cicitnya menunduk dan meletakkan kepala di dengkulnya yang dilipat menyatu ke dada.Sampai Naka pulang, Laura hanya diam. Naka sudah bertanya, ada apa, tapi Laura ha
Dinda mengabaikan keberadaan Dewa yang menunggunya keluar dari kamar mandi. Tidak hanya pengantin baru, semua keluarga ikut menginap di hotel tempat Naka dan Laura beristirahat sekaligus malam pertama."Sayang," panggil Dewa lembut. Dinda melirik, di tangan suaminya sudah ada sisir dan juga hair dryer. Dia menebak Dinda pasti keramas, jadi demi mendapatkan perhatian wanita itu, Dewa segera mengambil alat-alat itu."Apa?""Sini aku keringkan rambutmu," ucapnya sembari mengangkat kedua tangan. Dinda mendekat ke arah Dewa tapi bukan untuk menerima tawaran pria itu, melainkan mengambil alat itu dan mengerjakannya sendiri.Tidak akan mudah untuk mendapatkan maaf dari Dinda, terlebih Dewa sudah sengaja mendiamkan masalah itu hingga pesta selesai. Kalau memang tidak ada apa-apa antara dirinya dan Helen kenapa tidak langsung dijelaskan saja pada saat itu.Dia tentu tahu bahwa diamnya Dinda adalah karena kesal dengan sikap Dewa yang merangkul Helen."Sayang, udah, dong. Jangan diamin aku terus
Syukurlah, acara pernikahan Laura dan Naka berjalan dengan lancar. Baik acara akad ataupun saat ini resepsi berjalan.Semakin banyak para tamu undangan yang menghadiri pernikahan keduanya, hingga Dewa memasang pengamanan berlapis. Dia tidak mau ambil resiko ada penyusup yang mengacak-acak pesta adiknya.Jhon sudah memberi kabar kalau Rey tidak tertangkap, berhasil kabur dari kejaran polisi lagi meski keadaan fisiknya sudah parah."Kamu cantik sekali," bisik Naka di telinga Laura. Keduanya duduk di pelaminan, jadi raja dan ratu sehari."Kamu juga tampan, Mas" jawab Laura malu-malu. Membuat Naka jadi gemas."Hari ini kita sudah jadi satu. Husband and wife selamanya," bisik Naka membawa tangan Laura ke bibirnya, mencium penuh cinta."Kenapa masih cemberut, sih? Sayang banget wajah cantiknya. Udah dari subuh dandan, masak manyun, sih?" rayu Dewa kesekian kali.Dinda masih diam, masih marah. Kalau bukan karena Reni memaksa Dinda untuk berdansa dengan Dewa, saat ini pasti wanita itu memilih
"Kamu cantik sekali," ucap Dinda ikut menatap wajah Laura di cermin. Perias pengantin sudah selesai merias Laura hingga gadis cantik itu semakin tambah cantik.Hari ini adalah hari besar bagi Laura dan Naka. Mereka akan menikah. Setelah melewatkan beberapa Minggu masa pemulihan Naka, kini pria itu siap mempersunting wanita idamannya."Terima kasih, Kak," jawab Laura menggenggam tangan Dinda yang bertengger di atas pundaknya. Beruntung bisa memiliki ipar seperti Dinda, yang baik hatinya serta selalu bisa menjadi tempatnya bertanya.Laura masih belum percaya, seakan mimpi kalau pada akhirnya dia jadi menikah dengan pria yang dulu tanpa sengaja dia kenal karena bersembunyi di kamarnya.Takdir memang tidak ada yang tahu, dan dia bersyukur dengan takdir yang dilalui sekarang ini.Belum waktunya Laura keluar, jadi Dinda menemani di dalam kamar Naka yang nantinya akan menjadi kamar mereka berdua. Sementara Reni dan Dewa menyambut para tamu yang sudah mulai berdatangan.Acara digelar di rumah
"Papa pulang," teriak Leon berlari kecil menyongsong langkah Dewa masuk ke dalam rumah. Dari balkon kamarnya dia mendengar suara mobil Dewa memasuki halaman rumah.Dari tadi Leon menunggu kedatangan Dewa, ayahnya berjanji untuk menemaninya bermain game online yang sedang viral karena besok Leon tidak sekolah karena murid kelas enam ujian, maka anak-anak kelas satu hingga kelas lima diliburkan selama tiga hari.Harusnya Dewa memang sudah sampai di rumah tiga jam lalu, tapi karena menjalankan misinya memberi pelajaran pada Rey, pria itu jadi terlambat sampai di rumah.Kabar terakhir dari Jhon, mereka sudah melemparkan Rey tidak jauh dari kantor polisi. Bisa dipastikan pihak berwajib akan dengan mudah menemukannya.Kaki sebelah kanan Rey sudah dipatahkan oleh Dewa. Lengkingan kesakitan keluar dari mulut Rey. Beruntung, lokasi penyekapan itu jauh dari pemukiman warga.Tangan kanan Rey juga dibuat cacat dengan mematahkan dua tulang jari Rey. Sebenarnya, Dewa ingin menyayat perut Rey guna m
"Kenapa jadi cemberut? Katanya tadi rindu." Naka menggoyangkan tangan Laura yang sejak pintu ditutup Dinda hanya diam.Padahal hanya ada mereka berdua, tapi gadis itu masih menjaga lidah."Hey, Cantik, kok, aku dicuekin?" Naka masih mencoba membujuk Laura dengan menggoyang tangannya, terus menerus sampai gadis itu pun mau buka suara."Aku gak suka kamu dirawat gadis itu," ucap Laura buka suara. Tapi sedetik kemudian, dia menyesali perkataannya. Kata-kata itu hanya ada dalam benaknya tadi tanpa berniat mengatakan segera langsung. Tapi tanpa sadar justru kata-kata itu terucap begitu saja."Siapa? Mira? Dia 'kan memang pelayan di sini, dan ditugaskan Mama untuk membantu ku," jawab Naka dengan kening berkerut, bingung kenapa Laura mempermasalahkan pelayan di rumahnya."Tapi kenapa firasat ku bilang dia suka sama kamu."Naka lantas tersenyum. Dia paham, ternyata Laura cemburu pada Mira. Naka padahal bersikap biasa saja pada pelayannya itu, tapi dia tidak mungkin mengatakan hal itu pada Lau
"Bagaimana, apa kau sudah menemukan bedebah itu?" Dewa menyingkirkan berkas dari pandangannya kala Jhon masuk menghadap. Sampai ke lobang semut pun Dewa harus menemukan Rey."Belum, Bos. Tampaknya Nona Sisil menyembunyikan Rey. Kami sempat mengikutinya ke sebuah kontrakan dan sangat yakin kalau Rey ada di sana, tapi begitu tiba, Rey sudah pergi, bahkan tidak memberitahukan pada Sisil. Terlihat wanita itu juga menanyakan pada tetangga sekitar," terang Jhon menyiapkan mentalnya untuk kena semprot Dewa. Sangat mengenal baik karakter pria itu.Dewa mengepal tinjunya, menahan amarah hingga gigi gemeretak. Dia tidak bisa berdiam diri saja, sementara pria yang sudah menyakiti istrinya masih berkeliaran di luar sana."Bagaimana dengan istrinya?""Nihil, Bos. Istrinya juga membencinya, jadi tidak mungkin bersembunyi di sana.""Lantas, apa rencanamu?""Kami masih terus mengikuti Sisil. Saya yakin, cepat atau lambat Rey akan menghubungi Sisil sebagai penyuplai dana."Dewa tidak berkata apapun la
"Gimana keadaan kamu?" Laura sedikit malu-malu bertanya. Sejak tadi dia hanya duduk di sofa, mendengar pembicaraan Naka, Dewa dan Hansa. Sesekali dia melirik ke arah Naka. Hatinya harap-harap cemas dengan keadaan pria itu.Setelah mendapat kabar dari Dewa, Laura dan Hansa memutuskan untuk melihat Naka di rumah sakit. Gelisah dalam hati Laura bisa dibaca oleh sang ayah hingga memutuskan mengajak putrinya ikut bersamanya.Bukan mudah, di tengah mereka akan keluar rumah, keduanya berpapasan dengan Sisil yang entah baru pulang dari mana. Ini Sabtu, tidak ada agenda ke kantor."Kalian mau kemana?" Tatapan menyelidik dilayangkan pada Laura, lalu berpindah pada Hansa. Dalam hati bertanya cemas, apa mereka berniat ke kantor polisi. Sisil belum bisa menyimpulkan apakah Hansa sudah tahu sepak terjangnya, atau belum. Beberapa hari terakhir ini, mereka jarang bertemu. Setelah jatuh sakit waktu itu, Hansa memang tidur di kamar yang berbeda dengan Sisil. Meninggalkan wanita itu di kamar pribadi me