"Ya, Ronald. Ada apa?"tanya William begitu angkat telepon."Keadaan Patricia begitu mengenaskan. Baru saja, dia habis muntah-muntah lalu meracau macam orang nge-fly, William.""Panggil perawat saja! Kami baru keluar dari dokter kandungan, mau konsultasi dengan dokter umum.""Emang ada apa dengan Patricia? Sampe konsultasi dengan dua dokter. Tadi apa kata dokter kandungan?" Pertanyaan Ronald tidak segera dijawab oleh William. Pria ini memandang ke arah Septa dan sang istri dengan segera mengambil alih ponsel dari tangan William."Ronald, kamu harus siapin mental dulu, sebelum aku kasih tahu penjelasan dari dokter kandungan,"ucap Septa memberi warming kepada saudara iparnya tersebut."Kayak apaan! Emang apa kata dokter kandungan?""Patricia hamil 12 minggu.""It's so crazy! Patricia hamil dengan siapa? Dua belas minggu itu tiga bulan, kan? Bisa selama itu, dia sembunyikan itu. Siapa laki-laki yang telah menghamilinya?" Ronald bertanya seperti orang kalap. Pria ini mengendus kasar hingga
"Kita lanjut ke ruangan,"bisik Willie sambil mengiringi langkah kaki Patricia.Mereka berjalan menuju ruangan Willie yang terletak paling belakang dan itu membuat keduanya leluasa. "Gue belum siapkan senjata," ucap Patricia khawatir."Kita lakukan seaman mungkin, Sayang,"balas Willie sambil meraih pinggang Patricia sesaat masuk ruangan. Setelah mengunci pintu, Willie membalikkan tubuh Patricia lalu memeluknya erat-erat. Pelukan Willie membuat hidung Patricia menempel di bagian dada yang terbuka beberapa kancing. Mau tak mau, Patricia bernapas di kulit Willie sehingga tercium bau tubuh si pria.Endusan dan hawa hangat dari napas Patricia dari lubang hidung bangirnya membuat tubuh Willie bergidik. Aliran darah menghangat bagai tersengat aliran listrik. Lama-lama sugu tubuh Willie semakin memanas hingga tegang di beberapa bagian.Willie segera mengangkat tubuh Patricia dan menggendongnya ala bridal style menuju sofa. Selama berjalan, mata mereka saling memandang. Tanpa sadar Patricia mem
"Nona Patricia, setelah menebus resep obat bisa langsung pulang. Setelah obat habis, diharap ke sini untuk kontrol.""Terima kasih atas informasinya, Sus."Kedua perawat baru saja keluar, tiba-tiba Willie masuk ruangan lalu dengan gerak cepat membungkam Patricia dengan kain. Tubuh wanita ini seketika lemas lalu tidak sadarkan diri. Willie langsung membopong tubuh Patricia keluar ruangan lalu menuju lift.Saat sampai di lobby, para perawat dan nakes yang lain mengangguk karena mereka tahu bahwa pria ini adalah saudara William, pemilik rumah sakit. Willie dengan senyum lebar membopong tubuh Patricia menuju tempat parkir. Tidak ada yang mengetahui kepergian Willie dengan membawa Patricia. Baik itu Ronald, William maupun Septa. Ketiga orang ini sedang berada di ruang dokter umum. Mereka sedang berdiskusi dengan para penyidik.William tidak sampai hati untuk memenjarakan Patricia yang dalam keadaan hamil dan sekarang dinyatakan positif narkoba. Pria ini memberikan jaminan khusus untuk sepu
[William, lo jagain Septa saja. Kaga usah ikut ribet memantau kasus. Semua aman terkendali. Kesehatan Septa dan baby lebih penting.]Ronald meninggalkan bilik pemeriksaan dengan tersenyum lega. Lo, benar-benar cerdas pilih sniper. Siapkan mentalmu untuk hadapi hasil perbuatan saudara sekandung lo, batin Ronald sambil berlari menyongsong ambulans yang baru datang.Ada tiga ambulans yang datang. Ronald memandangi para nakes yang mendorong ketiga pasien di brankar dengan mata berkaca-kaca. Ronald mau beranjak ke dalam mengikuti gerak terburu-buru para nakes. Namun, langkahnya tertahan oleh sebuah panggilan dari belakang."Tuan Ronald! Kami mohon waktu."Ronald pun segera menoleh lalu membalikkan badan. Tampak dua orang polisi telah berdiri dengan salah satu membawa map di tangan."Selamat sore! Ada apa?"tanya Ronald sedikit jengkel karena kecemasannya akan nasib Patricia harus tersita waktu."Selamat sore, Tuan. Maaf, kami ada pertanyaan sedikit. Silakan ikut kami!"Kedua pria berpakaian
"Whaatt? Emang dia kenapa tadi?"tanya Septa kaget hingga kedua mata terbelalak. Dia tidak menyangka bahwa Davina bisa pergi secepat itu."Menurut keterangan polisi tadi, Davina nekad terjun dari balkon lantai dua rumah Willie. Pertama dia ancam Willie, jika tidak mau mengakui anak yang dikandungnya, dia akan loncat. Sementara Patricia yang mendengar itu langsung lari cari cairan pembersih lantai dan meminumnya," Ronald menjeda omongan. Pria ini tampak kacau sekaligus sedih.Dengan kedua mata berkaca-kaca Ronald melanjutkan ucapannya. "Willie lebih mendahulukan menolong Patricia. Akhirnya, Davina nekad loncat dari balkon. Willie yang mengetahui keadaan Patricia jadi tak terkendali. Dia ngamuk gak karu-karuan. Polisi datang mau menyergap dan Willie yang sudah kalap jadi melawan. Sniper pun menembakkan jarum berisi obat bius."Baik Septa maupun William mendengarkan penjelasan Ronald dengan hati tidak karu-karuan. Dalam satu hari tiga nyawa sedang dipertaruhkan."Kaga habis pikir gue. Ken
Dokter dan Ronald berjalan mendekati William. Dokter berucap,"Kita bicara di ruang saya saja, Tuan William.""Baik," balas William sambil mengikuti langkah kaki dokter."Moga dapat solusi terbaik Will. Gue kaga tega liat Patricia kayak gini. Ada unsur kesengajaan ini," ucap Ronald dengan wajah kacau sambil menepuk pundak William."Gue mau cari psikiater terbaik," balas William sambil berlalu. Pria berparas bangsawan Eropa ini berjalan beriringan dengan dokter. Otaknya seakan-akan mendadak full memori jadi nge-blank. Dia merasa sedikit lagi bisa gila dengan semua masalah yang datang bertubi-tubi seperti ini. Semua karena bersumber dari satu orang toxic, Willie 'anak haram' yang dinaikkan kelasnya oleh papa dia."Silakan masuk, Tuan William,"ucap dokter setelah membuka pintu ruangan."Terima kasih, Dok," balas William sambil melangkah masuk.Kini, kedua pria duduk berhadapan yang hanya dipisahkan oleh meja. Dokter mengambil sebuah dari tumpukan beberapa map. Kemudian, pria berjas putih
"Bapak dan anak, sama-sama playing victim," ujar Septa jengkel."Biar Abang laporkan polisi sekalian. Udah dikasih biaya pemakaman lebih dari cukup sebagai ungkapan empati. Ini malah manipulatif," ucap William yang tiba-tiba telah berdiri di dekat mereka. Saling serius membahas kasus Davina, hingga mereka tidak menyadari kehadiran William.Ketiga orang terkejut dan langsung menoleh ke arah William. Mereka segera berdiri dan William buru-buru mencium punggung tangan Bu Rita serta menyalami Dion. "Gimana kabar kalian?""Kabar kami baik, Nak William. Maafkan kami, gak kasih kabar dulu. Habisnya, para warga memojokkan kita semua gara-gara omongan bapaknya Davina," balas Bu Rita."Mama kaga bisa cuek. Daripada tensi dia naik, bisa berabe. Auto cabut kemari,"timpal Dion sambil memeluk bahu Bu Rita. Septa seketika memegang kedua tangan Bu Rita lalu menciumnya. "Ma, maafin Septa. Bikin Mama sedih mulu.""Enggak, Sayang. Kamu udah bikin Mama bahagia. Apalagi sekarang ada cucu Mama dalam perut
Sebenarnya bukan Bu Rita saja yang bersemangat. Justru William lebih bersemangat daripada mertuanya tersebut. Dia tidak mau Cecilia jadi istri Dion. Wanita itu akan tetap jadi miliknya sampai kapan pun, apalagi anak buah cinta mereka. William tidak sadar telah memiliki Septa dan sekarang sedang hamil.Cecilia, kita akan segera bertemu. Anak kita sangat tampan aku lihat barusan, batin William dengan senyum manis tersemat di bibir. Itu senyum manis yang buat Septa salah paham. Wanita itu menyangka bahwa suaminya sangat mendukung pernikahan Dion dengan kekasihnya.~•••~•••~Rumah Bu RitaSedari siang, Septa telah diajak William ke rumah mertuanya. Septa begitu gembira karena merasa suaminya sangat pengertian. Wanita yang kini berpenampilan semakin modis ini tidak tahu bahwa William telah memerintahkan beberapa bodyguard di setiap persimpangan jalan menuju rumah Bu Rita.Pria ini bahkan telah menyewa sniper khusus dengan senjata obat bius untuk mengamankan Cecilia dan putranya. Pesta tela
Ting! Terdengar notif pesan diterima.[Oke. Aku siapkan semua. Kamu siap-siap di depan. Hitungan menit saja, kita bisa pergi dari sana.][Terima kasih, Bang.]Pesan terkirim dan Septa buru-buru menghapus semua percakapan. Clear. Sebuah senyum manis menghias bibir Septa. Hatinya bisa sedikit tentram sekarang. Dia tidak tahu rencana apa yang telah disusun oleh Ardan.Namun, dia butuh segera keluar dari kantor polisi ini. Perilaku bar-bar wartawan membuatnya semakin tertekan. Yang dia butuhkan sekarang adalah segera bisa keluar dari sini. Otak dan hatinya ingin segera disegarkan dan hanya dia yang tahu caranya.Satu jam kemudian Ardan mengajak Septa untuk keluar menuju lobby kantor. Tentu saja, wanita ini menolaknya mentah-mentah karena belum ada kabar dari Ronald. Ardan yang melihat Septa dalam keadaan ragu-ragu, akhirnya memegang kedua bahu wanita tercinta."Kamu akan lihat gimana caranya agar para wartawan bisa pergi dari sini,"ucap Ardan dengan menatap Septa."Maksudnya apa?"tanya S
Ardan berusaha untuk menahan diri. Bagaimanapun, dirinya harus bersikap bijak dalam menghadapi wartawan. Dia paham taktik para pencari berita dengan cara menyulut emosi narasumber. Pada saat narasinya semakin emosi dalam meladeni pertanyaan wartawan dan biasanya dia tanpa sadar akan mengeluarkan kata-kata yang tidak perlu dipublikasikan. Di saat itulah para pencari berita mereka semua ucapan yang terlontar dari mulut narasumber. Ucapan dalam keadaan marah tersebut akhirnya tertuang pada ketikan mereka. Begitu berita jadi viral dibicarakan dalam masyarakat, otomatis kelanjutan beritanya akan terus dicari-cari. Hal ini mendongkrak penjualan bagi lapak atau platform penyedia layanan informasi online maupun offline. Para wartawan dapat keuntungan bonus dan juga promosi jabatan. Narasumber yang baru sadar akan kekhilafannya akan segera memberikan ultimatum terhadap para wartawan bahkan sibuk membuat siaran pers untuk klarifikasi. Tindakan itu bahkan menjadikan berita semakin dicari dan
Septa lalu melirik pada sebuah nakas di sebelah ranjang. Hmm, siapa yang taruh meja minimalis ini?Kamar Septa dan isinya selalu berwarna putih dan tidak pernah ada warna-warna monokrom seperti ini. Apalagi keberadaan sebuah meja kecil berbahan rotan. Tiba-tiba perhatiannya teralihkan ke arah ke pinggang.Ada beban berat yang membebani area tersebut sejak dirinya bangun. Itu ternyata berasal dari lengan cokelat yang membelitnya. Kepala wanita berparas ayu ini langsung menoleh ke sebelahnya. Ada seorang lelaki sedang tidur lelap.Whaatt? Apa-apaan ini?!Lengan kuat eksotis. Lelaki asing dengan bagian atas tanpa penutup. Tarikan napas teratur. Septa seketika tercekat. Dia pun jadi berpikir yang tidak-tidak. Wanita ini sibuk memutar memori otak. Akhirnya satu kesimpulan diambil ....Septa tundukkan kepala lalu mengintip tubuhnya di balik selimut. Dia langsung syok antara kenyataan atau halusinasi.Kepalaku pengar. Apa yang aku minum tadi? Jadi setengah mimpi begini, keluhnya dalam hati.
"Syukurlah. Kasian Manda gak tau apa-apa soal mafia, jadi korban.""Tyson sampai hari ini belum bisa dipantau," ungkap Ardan. "Dia ini terkenal kejam dan licik dibandingkan Tuan Edzard dan William. Diduga dia ada di balik pengambilan organ dalam para pasien rumah sakit.""Padahal kurang sebulan lagi, Manda dan Tyson menikah. Kenyataannya kini, mereka jadi terlibat urusan mafia tiada berujung," ucap Septa penuh sesal. "Aku punya ide biar bisa tangkap Tyson.""Apa itu?"tanya Ardan penasaran."Kita suruh orang lain untuk jaga Manda. Tyson itu sebenarnya cinta banget sama Manda. Dia lakuin ini pasti karena sakit hati, Manda akan dinikahi Tuan Edzard."Ardan menaikkan kedua alis. Pria ini sedang berpikir sejenak lalu bertanya,"Maksudnya gimana?""Amanda dijaga orang lain, biar Tyson merasa aman untuk mendekatinya. Kita pantau mereka dari kejauhan dan tentu saja ada dokter serta perawat yang bisa kita ajak bekerja sama.""Bagus ide kamu, Sayang. Kita realisasikan," balas Ardan dan langsung
"Ah, akhirnya, semua aman. Saatnya kita pulang," ucap Ardan sambil meluruskan badan. Septa memijat pelan punggung kekasihnya. "Nanti di rumah aku pijatin sekujur badan.""Septa, perutku sakit sekali. Ada yang kosong di bagian perut kiri. Di situ timbul rasa sakit,"keluh Amanda dengan mendesis kesakitan."Jangan-jangan, ...." Ucapan Ardan tidak dilanjutkan karena keburu ada panggilan telepon."Halo, ada apa?"tanya Ardan kepada seseorang di ujung telepon."Pak, ada info, dokter yang menangani Nona Amanda adalah bagian dari komplotan pasar gelap.""Kamu kata siapa?""Ada seorang pria tua bikin laporan. Anaknya setelah operasi besar. Ginjalnya hilang satu.""Oke, terima kasih. Terjunkan tim untuk pantau target.""Baik, Pak."Hubungan telepon berakhir dan tentu saja dalam tatapan tajam kedua mata Septa. Ardan paham bahwa wanita tersebut ingin penjelasan. Pria ini segera merangkul bahu Septa. "Kita harus ke rumah sakit terpercaya untuk memeriksa organ dalam Nona Amanda.""Hei, apa yang ter
Tuan Edzard berusaha mengusir sengatan aneh yang hendak menggerakkan tangannya. Namun gagal, tangannya bahkan dengan lancang meraba puncak dada Amanda sembari bibir kasarnya mengecup ceruk leher si wanita lembut.Pria ini memainkan lidahnya sejenak dan kian intens meremas buah dada yang terasa penuh pada tangan besarnya. Detik berikutnya, pria ini melumat bagian itu lalu mengisap puncak kecoklatannya dan memberikan beberapa gigitan manja di sana."Tuan, jangan!"Permainan pelan itu kian memabukkan begitu pun Amanda tanpa sadar mendesah pelan saat Tuan Edzard menyibak baju Amanda pelan dan menenggelamkan wajahnya lebih dalam lagi.Door!Pyaarr!Tuan Edzard langsung merangkul Amanda lalu mengajak bersembunyi di balik sofa. Pria usia senja ini berbisik kepada Amanda. "Kamu masuk kamar dengan hati-hati. Saya akan lindungi kamu.""Baik, Tuan,"balas Amanda yang langsung mengikuti saran Tuan Edzard. Wanita ini masuk kamar yang berada di balik rumah tamu. Saat masuk kamar, telinga Amanda mas
"Selamat pagi juga, Tuan. Ya, kami memang dengar suara tembakan dari sebuah drone. Namun, tiba-tiba barang itu jatuh dan seketika terbakar,"jelas seorang sekuriti. Penjelasan sekuriti ini membuat Tuan Edzard terkejut, hingga semakin membuatnya penasaran. "Bolehkah saya melihat luar gerbang sebentar?"tanya Tuan Edzard merasa tidak enak hati karena sebelum menuju mansion, dia telah dipesan oleh Septa untuk tidak keluar lagi."Lebih baik Tuan pantau area luar gerbang dari tangkapan layar CCTV saja. Mohon maaf karena ini telah diinstruksikan oleh Nona Septa." "Baik. Saya mau lihat tangkapan rekaman CCTV."Sekuriti mendampingi Tuan Edzard untuk mengamati situasi di luar gerbang. Mereka melihat kedatangan sebuah drone yang diduga milik mafia, pesaing bisnis keluarga Edzard. Pada saat alat canggih tersebut hampir melewati atas gerbang secara mengejutkan ada sinar laser merah.Sinar tersebut menembaknya jatuh. Mata Tuan Edzard dan sekuriti dibuat terbelalak, saat melihat kejadian luar bias
Sejak hidupnya sering diteror mafia saingan bisnis William, Septa lebih nyaman tinggal di mansion bersama Mama dan abangnya. Ardan membuka kaca mobil lalu menghentikan mobil depan pos jaga. Kedua sekuriti tersenyum. Ardan segera menyapa mereka."Selamat pagi. Nanti ada tamu khusus, tolong dibantu kelancarannya.""Selamat pagi, Tuan Ardan. Baik, akan kami bantu."Ardan tersenyum lalu mengulurkan dua lembar uang merah kepada sekuriti. "Buat beli kopi.""Terima kasih, Tuan.""Sama-sama."Seorang sekuriti membuka pintu gerbang lalu mobil pun beranjak masuk halaman. Gerbang pun ditutup kembali. Ardan menoleh ke arah Septa lalu berucap,"Serius ini, aku benar-benar nginap di sini.""Iya, Sayang! Udah aku bilang tadi," balas Septa lalu tertawa manja sambil bersandar ke bahu pria sebelahnya.Mobil baru saja berhenti di carport, tiba-tiba ponsel Septa berdering. Wanita ini menegakkan tubuh lalu mengambil ponsel dari dalam tas. Dia sedikit memicingkan mata karena pandangannya nanar efek dari alko
Ponsel Septa berdering. Ardan segera bangkit lalu mengambilkan untuk Septa. Tertera nama Tuan Edzard. Septa gegas menjawab panggilan."Selamat malam, Tuan.""Selamat malam. Maaf, mengganggu, Nona Septa," ucap pria tersebut dengan suara dalam.Ada apa, Tuan?"tanya Septa dengan rasa penasaran."Saya ingin titip Amanda di rumah Nona Septa demi keselamatannya. Silakan ajukan pembayaran per jam atau harian. Saya akan transfer sekarang. Sekitar seminggu agar kondisi tubuhnya cepat pulih. Boleh?"Septa yang mendapatkan tawaran dari Tuan Edzard langsung tersenyum lega. Ini namanya pria bertanggung jawab, kata hatinya."Boleh, dong, Tuan. Gak usah pake bayar. Amanda itu teman saya. Dengan keputusan bijak yang Tuan Edzard ambil, saya banyak terima kasih. Kalian sama-sama korban. Ronald sudah cerita banyak soal kejadian malam itu. Saya akan jaga Amanda. Sekarang dia di mana, Tuan?""Wah, sungguh luar biasa! Saya gak tahu kalo kalian berteman. Amanda sekarang ada di mansion, habis keluar dari rum