Minggu pagi ....Hendy dan Elvira tiba agak terlambat menghadiri acara lamaran Ranty dan Yogi. Mereka sampai setelah acara inti selesai. Karena Hendy masih harus bertemu dengan dokter Zany. Ketika mereka masuk, semua perhatian langsung tertuju pada Elvira yang tampil anggun dengan dress hamil berwarna pastel. Hendy mengenakan batik warna senada.Ranty mengajak tunangannya menghampiri mereka dengan senyum cerah. "Makasih banget sudah datang. Mas dokter, bisa menyempatkan waktu ke sini," katanya sambil memeluk Elvira lantas menyalami Hendy."Maaf, kami terlambat," ujar Elvira."Nggak apa-apa. Aku tahu Mas Dokter sangat sibuk. Aku juga maklum kalau misalnya kalian nggak bisa datang." "Ini hari bahagiamu, Ran. Aku nggak mungkin melewatkannya," jawab Elvira dengan tulus. Dia memperhatikan tamu undangan yang terbatas. Tidak ada Rizal di sana. Apa Ranty tidak mengundangnya, karena dia dan Hendy bakalan datang.Kemudian Angel menghampiri seraya menggendong bayi perempuannya. Mereka ngobrol
"Mbak, kubeliin bubur ayam favoritmu. Aku beli di tempat yang dulu sering kita datangi." Agnes menaruh kantong plastik di meja.Herlina hanya melirik sekilas sebelum kembali memalingkan wajah ke jendela. "Aku nggak lapar.""Makanlah, Mbak. Katanya Mbak demam dua hari ini." Agnes duduk di kursi dekat tempat tidur, menatap kakaknya dengan serius."Apa yang mau kita bicarakan? Tentang salon yang kamu jual tanpa pikir panjang? Atau tentang bagaimana aku sekarang harus menghadapi semuanya sendirian?""Mbak, aku nggak punya pilihan. Hutang mama terlalu besar. Kalau salon nggak dijual, kita semua bisa kehilangan rumah."Herlina menghela nafas panjang.Suasana di kamar itu hening untuk beberapa saat. Agnes mengedarkan pandangannya ke sekitar, melihat kamar kakaknya yang dulu selalu rapi kini seperti ladang perang. "Kamu nggak bisa terus-terusan seperti ini. Kamu harus ke psikiater, Mbak," kata Agnes akhirnya, dengan suara yang lebih lembut. "Kamu harus bangkit. Kamu dokter yang hebat, orang-
SEBELUM BERPISAH- Best Moment"Hai, Cantik."Elvira tidak peduli dan terus melangkah pelan. Hawa sejuk terasa segar di tubuhnya yang mulai berkeringat. Di ufuk timur, gradasi warna kebiruan dihiasi cahaya kemerahan dari sinar matahari menimbulkan fenomena aram temaram. Terang samar-samar."Sendirian, ya?"Spontan Elvira langsung berhenti dan berbalik arah. Menunjukkan wajah judesnya. "Mas, seneng banget bikin orang kaget."Hendy yang berpakaian olahraga lengkap tersenyum lebar melihat ekspresi sang istri yang menatapnya jengkel. Kemudian ia meraih lengan Elvira untuk digandeng dan kembali melangkah.Awalnya Elvira memang kaget, tapi ia sangat mengenali suara suaminya meski agak diubah nada bicaranya. Dan aroma parfum yang melekat di baju olahraga itu tidak bisa menipunya. Aroma mint yang segar. Khas banget dengan sosok Hendy."Mas, nyenyak banget waktu aku keluar kamar tadi. Nggak tega mau ngebangunin. Kelihatan capek gitu. Padahal aku pengen ditemani jalan-jalan.""Waktu kamu nutup
"Mbak Herlina mana, Mbak?" tanya Agnes saat pintu rumah dibuka oleh ART."Sudah berangkat ke rumah sakit, Mbak."Agnes melangkah duduk di sofa. Sangat mengkhawatirkan kalau kakaknya bekerja dalam kondisi mental yang tidak baik-baik saja. Ia cemas, jika terjadi sesuatu yang menambah fatal keadaan. Merugikan pasien.Kakaknya memang seorang dokter, tapi dia juga manusia biasa yang sekarang sedang mengalami tekanan berlebihan. Bagaimana caranya bisa membuat sang kakak mau konsultasi dengan seorang psikiater.Meski hubungan mereka tidak baik-baik saja, tapi Herlina yang sekarang masih ia punya. Kerabat mereka nyaris semuanya sudah tidak mau tahu. Bahkan sejak mama mereka masih berjaya di atas angin. Semua membenci kelakuan buruk Bu Karlina.Agnes sendiri mulai menjauhi keluarga papanya. Walaupun mama tirinya, juga kakak-kakaknya bersikap baik padanya. Namun Agnes yang malu sendiri. Bahkan sekarang menghubungi papanya pun sangat jarang."Mak, biasanya Mbak Herlina pulang dari rumah sakit ja
Meski tahu kalau Elvira tidak akan melahirkan dalam waktu lima belas menit ke depan, tapi Hendy gelisah juga. Dia sudah hafal jadwal pembukaan satu ke pembukaan selanjutnya. Untuk kelahiran anak pertama, butuh waktu yang agak lama.***L***Di ruangan lain, Herlina menghampiri bidan Susi. "Bu, istrinya dokter Hendy sudah bukaan berapa?""Baru bukaan satu, Dok," jawab Bidan Susi seraya memandang sekilas pada Herlina."Kondisinya bagaimana?""Baik-baik saja, Dok," jawab bidan itu lantas beranjak pergi. Takut ditanyai lebih jauh lagi. Lebih parahnya takut diajak berkompromi. Dia tahu betul permasalahan mereka.Herlina mematung sejenak. Meski dia dokter yang standby hari itu, tapi Hendy tidak mungkin membiarkannya menangani persalinan Elvira. Pada saat bersamaan seorang perawat datang menghampiri. Memberitahu kalau ada pasien hamil yang mengalami pendarahan. Apakah itu Elvira?Herlina tergesa ke ruang pemeriksaan. Oh, ternyata bukan. Wanita itu pasiennya sendiri. Dan dia harus mengambil t
SEBELUM BERPISAH- Menemuimu"Siapa?""Mbak Agnes, Dok.""Saya tidak ingin bertemu siapapun," jawab Herlina acuh, kembali memandang ke luar jendela kaca."Aku hanya sebentar saja, Mbak." Agnes muncul di pintu. Perawat tadi mundur lantas pergi.Agnes duduk di kursi tidak jauh dari Herlina."Ada apa?" tanya Herlina ketus.Setelah diam beberapa saat, Agnes memberanikan diri membuka topik yang sebenarnya sangat sensitif. "Mbak, aku pikir Mbak perlu bicara sama orang yang ngerti. Mungkin psikiater atau terapis."Herlina menatap Agnes tajam. "Kamu pikir aku gila?""Bukan aku nuduh Mbak gitu," balas Agnes cepat. "Kamu dokter. Mbak, tahu kalau kesehatan mental sama pentingnya dengan fisik. Mbak, juga tahu kalau orang yang ke psikiater itu belum tentu orang gila. Aku cuma nggak mau Mbak terus-terusan seperti ini.""Seperti ini gimana? Aku masih kerja, aku masih hidup. Itu cukup," jawab Herlina, nada suaranya mulai meninggi.Agnes menahan diri untuk tidak terpancing. Ia tahu kakaknya bukan oran
Pernah waktu Herlina duduk di bangku SMP, papa kandungnya datang untuk bertemu, tapi dimaki habis-habisan oleh sang mama. Dan sejak saat itu dia menghilang tanpa kabar. Entah di mana sekarang tinggal. Hampir dua puluh tahun lalu. Pasti sudah tua sekarang. Tapi apakah papanya masih hidup?Papanya berasal dari Semarang. Jadi dia tidak tahu keluarganya di sana sekarang bagaimana. Yang jelas, papanya sudah tidak tinggal di Semarang lagi.Air mata mengalir di pipi tanpa ia sadari. Tambah remuk rasa hatinya. Herlina kehilangan jati diri.Agnes. Meski ia sering bertengkar dengan sang adik, ada bagian dari dirinya yang merindukan hubungan kakak-adik yang dulu mereka miliki.Ia memejamkan mata, membiarkan kenangan-kenangan itu menguasai pikirannya. Tapi tidak banyak kenangan dengan ayah kandungnya yang masih bisa diingat. Dia masih kecil saat itu. Dan sang mama seolah membunuh semua cerita bersama papanya.***L***Dua minggu kemudian ....Cahaya matahari pagi menyelinap ke dalam kamar lewat ce
Keluar dari ruang bedah, Hendy melangkah cepat ke ruangannya. Ada yang tengah menunggu di sana. Tadi asisten anestesinya memberitahu.Agnes tersenyum lantas berdiri untuk menyalami saat Hendy masuk. "Apa kabar, Dok? Maaf kalau saya mengganggu waktunya.""Nggak apa-apa, Nes. Silakan duduk." Agnes yang sudah menunggu Hendy selama satu jam setengah kembali duduk. Dia sengaja menemui Hendy disaat sang kakak tidak ada jadwal di rumah sakit.Gadis dengan potongan rambut wolf cut itu sebenarnya sangat memaksakan diri untuk bertemu Hendy. Malu juga. Tapi ia nekat. Ia hanya beberapa kali bertemu Hendy selama dokter itu dekat dengan kakaknya.Agnes menyibakkan poninya yang tidak mengganggu ke samping telinga. Hanya untuk mengurangi kecanggungannya."Ada yang bisa saya bantu, Nes?" Hendy membuka suara."Maaf, kalau saya lancang karena apa yang ingin saya tanyakan ini terlalu pribadi, Dok.""Tidak apa-apa. Utarakan saja." Hendy bisa menduga, pasti ini berkaitan dengan Herlina.Gadis itu menarik n
Ingat bagaimana dulu mereka berjuang untuk sampai ke tahap sekarang. Tentang bagaimana mereka melawan konflik dalam batin, Hendy yang memperjuangkan pernikahan supaya bisa tetap bertahan, dan bagaimana Elvira berusaha melupakan kisah lama yang baginya sangat sempurna. Rizal yang masih sanggup mempertaruhkan keselamatannya demi Elvira. Sungguh kisah cinta yang rumit. Memang benar, kunci sebuah hubungan ada pada suami. Sekuat apapun Elvira berontak, jika Hendy berpendirian teguh, perceraian tidak akan pernah terjadi. "I love you," bisik Hendy menatap lembut sang istri. "I love you too," balas Elvira sambil tersenyum. Disaat mereka berpandangan mesra, Keenan dan Kirana tiba-tiba berebutan untuk memeluk. Kirana langsung naik ke pangkuan sang papa, sedangkan Keenan memeluk mamanya. ***L*** Angin siang bertiup pelan, menggerakkan tirai jendela rumah Herlina. Suasana di dalam rumah terasa tenang. Musik instrumental mengalun lembut dari ruang dalam. Herlina duduk di meja makan, men
Bu Karlina tampak canggung. Ada rasa malu yang membelenggu perasaannya. Namun diam-diam, ia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Di depan mata sendiri, ia ditunjukkan betapa orang-orang yang ia sakiti hidup bahagia berkecukupan. Bahkan putrinya sendiri yang selama ini ia sia-siakan, mendapatkan pasangan yang sempurna.Pak Kuswoyo duduk di sofa seberang, memperhatikan mantan istrinya yang tampak canggung. Kemudian memandang ke arah Herlina. "Bagaimana acara pernikahannya Agnes? Semua berjalan lancar?" tanyanya, memecah keheningan."Alhamdulillah, lancar, Pa," jawab Herlina.Setelah beberapa jam berbincang, Herlina dan Bu Karlina berpamitan. "Kamu juga harus memikirkan tentang pernikahan, Her. Papa menunggumu untuk datang mengenalkan calon suami." Sambil melangkah ke depan, Pak Kuswoyo bicara pelan pada putrinya. Herlina mengangguk.Sopir keluarga mengantar mereka ke bandara. Dalam perjalanan, Bu Karlina terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Se
SEBELUM BERPISAH- Ekstra PartJogjakarta ...."Mbak, jadi pulang ke Surabaya pagi ini?" tanya Agnes setelah masuk ke kamar yang ditempati mama dan kakaknya.Malam itu mereka menginap di rumah Pak Beny, papanya Aryo. Dan rumah itu yang selama ini ditinggali oleh Aryo. Karena Banyuaji sudah punya tempat tinggal sendiri. Nanti setelah usai acara pernikahan, papa dan mamanya Aryo kembali ke Jakarta.Mereka yang memegang kantor di Jakarta, juga sudah menetap di sana."Kami mau mampir dulu ke rumah Papa Kuswoyo, Nes." Sambil berkemas, Herlina memandang sang adik yang tampak lelah. Lelah karena seminggu ini mempersiapkan acara pernikahan yang padat, juga mungkin karena semalam adalah malam pertama bagi Agnes dan suaminya. Hmm ... rambut adiknya terlihat masih belum seberapa kering.Kemarin memang acara resepsi ngunduh mantu yang diselenggarakan secara megah di hotel berbintang. Dilanjutkan dengan acara keluarga di rumah orang tuanya Aryo yang ada di Jogja. Agnes sungguh beruntung. Keluarga
Dua bulan kemudian ....Langit Surabaya begitu cerah pagi itu, seolah turut merayakan momen bahagia yang tengah berlangsung di salah satu hotel berbintang di pusat kota. Dekorasi berwarna emas dan putih mendominasi ruangan, menciptakan suasana elegan nan hangat. Hari ini adalah hari pernikahan Agnes dan Aryo.Setelah melangsungkan acara lamaran satu bulan yang lalu di rumah Pak Danu, hari ini menjadi momen kebahagiaan mereka dalam ikatan yang sah.Jam delapan pagi tadi, acara ijab qobul berjalan sangat khidmat.Sekarang Agnes dan Aryo bak raja sehari, duduk di pelaminan yang megah. Mengenakan busana pengantin Paes Ageng. Aryo tampak gagah dengan busana dada terbuka dan kepala yang dihiasi oleh Kuluk Kanigaran. Sedangkan Agnes menggunakan kemben dan kalung sungsun.Aryo di dampingi papa dan mamanya, sementara Agnes di dampingi Bu Karlina yang berdiri tepat di sebelahnya, lalu Herlina, Bu Danu, dan Pak Danu. Pria itu tetap memberikan kesempatan pada mantan istri untuk mendampingi putri
Mendengar itu, dada Agnes berdebar hebat. Merasa malu sekaligus terharu. Ia tahu Aryo serius, tapi mendengar langsung pernyataan cintanya di hadapan sang papa dan mama tirinya, membuat wajah Agnes serasa menghangat karena malu."Saya serius, Pak. Saya sudah menunggu empat tahun untuk bisa datang ke Surabaya bertemu dengan Bapak." Jawaban Aryo yang membuat Agnes kian terharu sekaligus tersanjung.Pak Danu tersenyum bahagia, tampak puas dengan jawaban Aryo. Lelaki yang mencintai putrinya bukan pria sembarangan. Sosok keturunan ningrat yang jelas masa depannya. Dalam hati sangat bersyukur, anak yang menderita batin sejak kecil, kini mendapatkan calon suami yang benar-benar mencintainya."Baiklah. Saya tunggu keluargamu datang untuk melamar." Pak Danu pun tidak terlalu banyak berbasa-basi. Gestur Aryo sangat terbaca jelas, bagaimana dia sangat serius dengan putrinya.Aryo mengangguk. "Ya, Pak. Saya akan mengabari secepatnya."Selesai mereka bicara dengan Pak Danu dan istrinya, Agnes tida
SEBELUM BERPISAH- Satu Momen di Surabaya "Aku hampir nggak pernah bertemu dengan ketiga kakakku dari papa," gumam Agnes."Terakhir aku bertemu mereka sudah lama sekali. Waktu aku datang ke rumah ini untuk menjenguk papa yang tengah sakit. Lama banget itu. Enam atau tujuh tahun yang lalu. Aku masih kuliah.""Mungkin kali ini juga menjadi kesempatanmu untuk bertemu dengan mereka," ujar Aryo.Agnes menghela nafas panjang. Menata hatinya yang kalang kabut. Tidak pernah datang, tiba-tiba ke sana dengan mengajak seorang laki-laki."Kita turun sekarang?""Ya," jawab Agnes sambil menata blouse yang ia pakai. Menyelipkan rambut di belakang telinga. Lantas membuka pintu mobil bersamaan dengan Aryo.Mereka mendekati pagar, Agnes menelpon sang papa. "Aku sudah di depan, Pa," ucapnya setelah panggilan dijawab. "Masuk saja. Papa tunggu di dalam," jawab Pak Danu.Agnes kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Kita masuk, Mas!"Aryo mengikuti Agnes yang membuka pintu pagar. Mereka melangkah di h
"Sudah empat tahun. Sejak aku mulai bekerja di sini. Dia juga baru tinggal di Jogja tujuh tahunan. Sebelumnya tinggal di Jakarta.""Kamu sudah menceritakan tentangmu padanya?""Sudah.""Dia nggak menjauhimu. Berarti dia bisa menerimamu. Aryo sudah cukup jelas menunjukkan keseriusannya. Minta ke dia untuk memberitahu orang tuanya tentang kamu, Nes."Hening kembali. Mungkin sebenarnya orang tua Aryo sudah tahu. Yang dipikirkan Agnes sekarang memang kakaknya. Dia berharap Herlina menikah lebih dulu.Herlina memandang sang adik. Apa yang membuat adiknya minder, bukankah papanya orang berada. Kakak-kakak yang seayah dengan Agnes juga sukses semua. "Jangan tunggu mbak. Usiamu sudah dua puluh delapan tahun, Nes."Agnes memandang kakaknya sekilas. Kembali mereka terdiam hingga denting ponsel membuat Agnes meraih benda pipih di nakas sebelahnya.[Jam berapa besok kalian mau berangkat ke Surabaya?][Pagi, Mas. Jam 6 berangkat dari sini.][Oke. Setengah enam aku sampai di kosanmu. Pakai mobilk
"Aku sudah lama sekali memaafkan semuanya. Kamu nggak perlu merasa bersalah lagi. Hidup ini terlalu singkat untuk menyimpan dendam. Herlina dan aku serta adik-adiknya juga sudah bisa bertemu dan berkomunikasi dengan baik. "Semua permasalahan sudah berlalu. Kita punya jalan hidup masing-masing. Aku bersyukur kita bisa bertemu seperti ini dalam keadaan masih sehat."Kita hanya manusia. Nggak ada yang sempurna. Semoga kita bisa menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi di sisa usia kita."Mendengar itu, Bu Karlina tersentuh, terharu, dan malu. Sebisa mungkin menahan air matanya supaya tidak jatuh.Herlina yang duduk di samping ibunya ikut terharu melihat momen itu. Sebenarnya sang papa adalah pria penyabar sejak dulu. Namun Herlina menutup mata disaat doktrin sang ibu sangat mendominasi dikala masa pertumbuhannya.Sekarang setelah berpuluh tahun, lelaki itu begitu legowo memberikan maafnya.Sedangkan Bu Fatimah hanya menjadi pendengar. Dia tidak boleh ikut campur urusan masa lalu suami
SEBELUM BERPISAH- Serius "Kamu saja yang nemui papamu, Her. Mama nggak usah." Bu Karlina tidak percaya diri bertemu dengan mantan suaminya. "Ma, bukannya ini kesempatan yang bagus. Mama bisa bertemu Papa dan meminta maaf atas apa yang pernah terjadi." Herlina berucap persis seperti apa yang dikatakan Bu Karlina ketika sang anak ragu untuk mencari papanya beberapa bulan yang lalu.Wajah Bu Karlina menegang, sorot matanya penuh kecemasan. "Kamu tahu sendiri apa yang pernah Mama lakukan ke papamu. Mama nggak tahu harus bicara apa kalau bertemu. Mama belum siap, Her.""Papa sudah lama memaafkan kita. Beliau bahkan nggak pernah membahas masa lalu setiap kali kami ngobrol di telepon. Papa sudah bahagia dengan hidupnya sekarang. Lagipula, kalau Mama terus menghindar, kapan lagi Mama bisa meminta maaf."Bu Karlina diam. Herlina benar. Bukankah ini kesempatan untuk bertemu dengan orang yang pernah disakitinya. Namun ia malu. Karena kondisinya yang sekarang terpuruk sedangkan sang mantan san