“Kayla.”Sebuah nama yang cukup memorak-porandakan hidup Bagus. Bagaimana tidak, setelah sekuat hati melupakan, nama itu kembali hadir dipikirannya. Bukan datang dengan kabar baik, melainkan kabar yang begitu mengejutkan. Meski terkesan mengada-ngada, tapi perkataan Danu cukup menampar hatinya. Remaja itu seolah tengah mencolokkan semua perbuatan yang ia lakukan pada Kayla. [Kayla sempat mengedrop dan dirawat beberapa hari di rumah sakit. Kata bibik yang kerja di rumah Kayla, memang dia sering manggil nama kamu]Tubuh Bagus seketika bergetar setelah membaca pesan dari sahabatnya Dio. Entah mengapa tidak ada yang memberinya kabar selama ini, padahal ia rutin berhubungan dengan teman atau keluarganya di kampung.[Sekarang yang aku tahu dia udah sembuh, tapi dia enggak pernah kelihatan keluar rumah, paling kalo ke kampus, itu pun lempeng aja, enggak pernah nyapa siapa-siapa]Bagus mengembuskan nafas kasar. Dari cerita Dio, ia tahu jika Kayla memang telah berubah , setahunya Kayla adal
“Om Rafif nakal, kembalikan mainan Shera!” “Pinjem bentar, pelit banget, sih!” Rafif menyembunyikan boneka barbie milik Shera dibalik bajunya.“Itu punya Shera!” Suara bocah perempuan itu meninggi.“Kalo pelit temennya monyet, whle ...” Rafif menjulurkan lidahnya.“Om Bagus, tolongin Shera dong! Om Rafif nakal!” pekik Shera dengan suara nyaringnya yang lebih mirip peluit.“Sini sama Om aja, mainan ponsel,” panggil Bagus menunjukkan ponselnya.“Mainannya buat, Om. Shera enggak punya. Om bawa ke kamar, ya.” Lagi-lagi Bagus menggoda Shera.“Jangaaan! Itu punya Sheraa!”Bagus hanya tertawa sembari menggelengkan kepalanya. Bukannya sebal ia malah merasa lucu dengan tingkah adik serta keponakannya.Seperti biasa, di akhir pekan, Shera memang sering kali dititipkan di rumah kakek neneknya. Jangan tanya kemana orang tuanya, karena mereka tentu saja sedang menikmati kencan berdua tanpa takut diganggu oleh tangis anaknya.Sudah menjadi kebiasaan, setiap sebulan sekali atau setiap ada kesempata
Sebulan berlalu, kini hidup Bagus kembali ke mode dasar. Tak ada hal yang ia lakukan selain bekerja, main futsal dan menghabiskan waktu bersama keluarga.Jangan tanya bagaimana hubungan Bagus dengan Andin, karena semua pasti takkan baik-baik saja. Bagaimana tidak, selama sebulan berpisah, mereka baru beberapa kali saling berkirim pesan atau menelepon. Meski tak ada kata putus di antara mereka, namun keduanya seolah sama-sama menciptakan jarak yang membuat keduanya tak bisa menjalani hubungan seperti biasa. “Kalo kangen temuin, enggak usah uring-uringan gitu,” celetuk salah satu teman Bagus setelah mereka bermain futsal.“Jauh,” jawab Bagus singkat.“Zaman sekarang jarak bukan halangan, transportasi lengkap, google map ada, tinggal kemauan kamu yang belum ada.”“Apa harus seperti itu?”“Ya iyalah, cewek itu paling suka kalo didatangi.”Tak berpikir banyak, Bagus segera menjalankan saran teman-temannya. Hari ini tepat di akhir pekan ia sengaja mengambil cuti untuk menyusul Andin ke t
“Aku pulang sore ini.”“Kok cepet?” Andin meletakkan shower ditangannya lalu meletakkan handuk dirambut Bagus.“Aku harus kerja, Sayang. Emangnya kamu mau nikah di KUA aja?” “Enggaklah, aku maunya nikah dan resepsi di gedung, ngundang banyak teman, terus bulan madu ke luar negeri,” ujar Andin yang mulai menyisir dan mengeringkan rambut kekasihnya.“Duh, kalo gitu nikahnya dua tahun lagi aja. Aku mau nabung dulu.”“Ih, katanya tahun ini! Kok gonta-ganti terus, sih!“Lagian permintaanmu banyak banget!”Hari ini Andin sengaja mengajak Bagus untuk perawatan di salonnya. Setelah hampir satu hari satu malam menghabiskan waktu berdua, kecuali saat Bagus menginap di hotel malam tadi. Kali ini Andin benar-benar memanfaatkan waktu pertemuan mereka yang cukup singkat dengan mengajak Bagus melakukan serangkaian perawatan rambut dan wajah di salonnya. Dengan memanfaatkan fasilitas yang ada, Bagus menjadi kelinci percobaan Andin yang hanya berstatus pemilik salon namun tak pernah ikut mengerjaka
“Tanto, terima kasih.”Tanto membalikkan badan ketika mendengar seseorang menyebut namanya. Matanya tertuju pada sesosok lelaki berdiri tepat dibelakangnya dan memandangnya dengan tatapan tajam. Seulas kenangan terlintas saat mereka sering duduk bersama sembari menikmati secangkir kopi sembari menyulut sebatang rokok. Saat itu mereka masih berstatus menjadi saudara, saudara ipar lebih tepatnya.“Aku minta maaf karena sudah membuat keributan, tapi sungguh itu hanya gurauan. Aku tahu kamu takut keluarga Andin tak menerima Bagus karena masalah yang terjadi di antara kita,” ucap Doni sembari berjalan mendekat.“Aku juga minta maaf, Mas. Maaf untuk semua kesalahanku di masa lalu.” Tanto menunduk.Bagaimana pun juga Doni adalah kakaknya, Ayah dari keponakannya. Meski saat ini status mereka sudah berbeda tapi bukan berarti mereka putus hubungan begitu saja. Ternyata kebencian itu hanya ketakutannya saja, karena sesungguhnya lelaki itu sudah berdamai dengan masa lalu. “Terima kasih sudah men
“Sah!”Suara itu lirih terdengar bersamaan dengan suara isak tangis orang-orang di sekitarnya. Air mata Bagus yang sedari tadi ia tahan akhirnya luruh bersamaan dengan diangkatnya jenazah sang kakek ke dalam keranda. “Selamat, Nak. Kakek sudah tenang sekarang, ikhlas ya, Nak.” Beberapa saudara terutama Riyati langsung merengkuh Bagus dan Andin ke dalam pelukannya.Sedih dan bahagia tercipta bersamaan dengan dimulainya prosesi pemberangkatan jenazah oleh sang pemuka agama. Tak kurang dari sepuluh menit akhirnya jenazah kakek dibawa ke pembaringan terakhirnya diiringi semua anak, cucu dan saudara yang menyayanginya.Bagus masih tetap bersimpuh di depan gundukan tanah basah bertabur bunga dihadapannya. Sebelah tangannya menggenggam erat tangan seorang wanita yang baru saja dinikahinya. Meski hanya pernikahan di bawah tangan, tapi secara agama mereka telah sah menjadi suami istri.“Selamat jalan, Kek. Maaf Bagus datang terlambat. Kenalkan ini Andin, istri Bagus. Maaf Bagus terlambat men
“Wow!”Andin memandang takjub hamparan ladang yang terbentang dihadapannya. Kebun yang bersebelahan dengan sungai dan tepat berada di tepi jalan desa itu sedang ditumbuhi tanaman pepaya yang sudah berbuah. Jumlah pohon yang diperkirakan lebih dari seratus batang itu berjajar rapi serta buahnya yang lebat menjadi pemandangan menarik bagi Andin yang baru pertama kali melihatnya.Bagus menggandeng tangan istrinya menyusuri ladang sembari melihat secara langsung perkembangan tanaman yang biasanya hanya bisa ia lihat lewat gambar atau video yang dikirimkan oleh sang penggarap. Sedangkan Andin malah sibuk memvideo langkah demi langkah kebersamaannya dengan Bagus yang baginya terasa romantis.“Ini punya kamu?” tanya Andin disela langkahnya.“Punya Ayah tepatnya,” jawab Bagus sembari memetik buah yang sudah mulai menguning.“Siapa yang menggarap?”“Ada, nanti kita temui dia.”“Terus hasilnya?” “Aku enggak tahu, itu semua urusan Ayah, lagian ini Cuma hiburan buat Ayah dari pada tanahnya jadi
“Sah.”Kata itu menggema diruang aula yang telah disulap menjadi tempat ijab kabul sekaligus resepsi pernikahan Andin dan Bagus. Semua orang menengadahkan tangan bersamaan dengan lantunan doa oleh salah penghulu yang bertugas menikahkan Andin dan Bagus.Suasana haru sekaligus bahagia tercipta saat semua orang yang datang menjadi saksi bersatunya dua manusia berbeda jenis itu dalam ikatan pernikahan yang sah menurut agama juga negara.“Cuit, cuit!”Suara riuh seketika terdengar saat kedua mempelai saling berhadapan dan Andin mencium tangan Bagus yang dibalas dengan kecupan lembut yang cukup lama di dahi Andin.“Kopi susu!”“Black and white.”Warna kulit keduanya yang kontras memang menjadi hal yang paling diperhatikan oleh semua yang datang terutama teman-teman Andin dan Bagus. Kulit Andin yang seputih susu benar-benar tak bisa menyatu jika disandingkan dengan warna kulit Bagus yang dominan sawo matang. Namun itulah indahnya takdir Tuhan yang menciptakan rasa bernama cinta yang bahkan
“Maaf Sayang, bukannya ingin berkhianat, tapi aku—“Bagus tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia terus menatap nisan dihadapannya dengan penuh rasa bersalah. Seminggu terhitung sejak hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Kayla, wanita yang telah ia pilih menjadi ibu sambung bagi Adiba.“Cintaku tetap sama dan namamu akan kutempatkan pada bagian yang paling spesial dihatiku selamanya. Semoga kamu mengerti.”Terkadang kata hati tak sejalan dengan pikiran. Dua minggu yang lalu, ia nekat meminang Kayla dan memintanya menjadi bagian dari hidupnya.“Terima kasih sudah mau menerima undangan kami Kay,” ucap Bagus pada sosok wanita yang kini memakai topi lebar yang digunakan untuk melindungi wajahnya dari terik matahari.“Sama-sama, Mas. Aku senang kalian mau ngajak aku.”Atas permintaan Adiba, Bagus sengaja mengajak Kayla liburan ke pantai untuk merayakan hari ulang tahun Adiba yang ke enam. Meski hanya liburan sederhana namun kali ini terasa spesial karena ada seorang wanita bera
Bagus menyentuh gundukan tanah merah yang rutin ia kunjungi setiap minggu sejak lima tahun yang lalu. Sebuah bunga lili putih ia letakkan di sana sebelum ia duduk dan berdoa untuk wanita yang telah lama meninggalkannya. “Hai Mama, Diba datang lagi.” Bocah berbaju kuning itu berbicara pada batu nisan yang ia anggap sebagai rumah Mamanya. “Maaf Sayang, mungkin setelah ini kami akan jarang datang, semoga kamu mengerti. Kami akan pindah ke kampung seperti harapanmu dulu. Bukannya kami ingin meninggalkanmu, tapi kami ingin menjalani hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu di sana,” ucap Bagus mengelus lembut nisan mendiang istrinya. Lima tahun telah berlalu, Bagus merasa sudah saatnya ia membenahi hidupnya. Ia yakin Andin tak akan suka jika dirinya terus-terusan terbelenggu dengan masa lalu. Setelah berpikir ribuan kali, Bagus memutuskan untuk mencari tempat yang lebih tenang untuk menata hidupnya kembali, tentu saja dengan Adiba—putri kesayangannya, buah cintanya bersama Andin, bocah m
“Bagus, kamu langsung ke rumah sakit, Andin pendarahan.”Bagaikan tersambar petir disiang bolong, kabar yang baru saja diberikan Papa mertuanya berhasil membuat hatinya hancur berkeping-keping. Bagaimana mungkin istrinya tiba-tiba mengalami pendarahan, padahal beberapa jam yang lalu saat ia akan pergi ke kantor wanita itu terlihat biasa saja. Tak menunggu lama, Bagus segera memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit yang mertuanya sebutkan. Ia tak peduli lagi dengan meeting penting yang beberapa menit lagi akan diadakan atau tender yang mungkin akan hilang karena saat ini yang terpenting adalah menemui Andin secepatnya.Tulang-tulang ditubuh Bagus serasa rontok saat pertama kali ia memandang wanita yang kini terbaring lemah di atas bangkar dengan beberapa alat yang memenuhi tubuh dan wajahnya.“Jangan lupa bahagia, Sayang.” Kata-kata itu terus terngiang saat wanita itu pagi tadi mengantarkannya berangkat kerja. Tak seperti biasanya, Andin memeluknya cukup lama dan m
“Capek?” Bagus mengelus lembut perut Andin yang mulai membuncit.“Heem.” Andin menyeruput jus mangganya hingga tandas lalu beralih memandang Bagus.Saat ini mereka baru saja pulang dari rumah Rini dan Tanto untuk menghadiri selamatan yang diadakan karena kedua anaknya hamil bersamaan. Tak hanya selamatan, Andin dan Fira juga harus bertukar baju seperti kata orang tua zaman dahulu yang masih dipercaya oleh Rini. Meski hanya naluri, namun Rini hanya ingin memohon keselamatan untuk kedua menantunya.“Masih mual?”Andin mengangguk.Sejak awal kehamilan, Andin memang mengalami mual dan muntah yang cukup parah. Ia bahkan hampir tak bisa meminum air putih jika lidahnya merasakan air tanpa perasa. Sebagai gantinya setiap saat ia akan meminum jus buah atau teh manis agar asupan cairan ditubuhnya tetap terjaga.“Mau makan? Mama bawakan rendang tadi.”Andin mengangguk semangat.Tak hanya kesulitan minum, untuk urusan makan pun Andin terbilang cukup susah. Wanita itu bahkan bisa memuntahkan semu
“Kapan kamu akan resign? Papa nanyain terus tuh!” Andin mengantarkan Bagus yang akan berangkat kerja sampai halaman rumah.“Aku belum bicara sama atasan,” lirih Bagus.“Kok gitu? Kamu enggak mau terima tawaran Papa?” “Mau sih, tapi—““Tapi apa?”“Enggak apa-apa. Aku berangkat kerja dulu, baik-baik di rumah, nanti sore kita ke rumah Mama.” Bagus mencium kening, pipi kanan, pipi kiri dan yang terakhir mengecup bibir istrinya sekilas.Andin hanya tersenyum melihat tingkah suaminya yang mulai berani menunjukkan kemesraannya berbeda dengan awal-awal menikah yang terlihat begitu pemalu dan tak berkutik jika berada di luar kamar.Andin memutuskan kembali masuk ke dalam rumah setelah mobil hitam yang dikendarai Bagus meninggalkan halaman. Ia melangkah menuju ruangan kamar yang berada tepat di sebelah kamarnya yang telah disulap menjadi ruang kerjanya. Dari kamar bernuansa krem inilah Andin setiap hari berkutat dengan laptop untuk berkoordinasi dengan beberapa teman yang menjalankan usahanya.
I⁹Andin menyunggingkan senyum melihat tangan kekar yang kini memeluknya erat. Embusan nafas hangat terasa menyapu kepalanya membuatnya enggan beranjak dari posisinya. Ia memejamkan mata mengingat aktivitasnya semalam yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata saat lelaki yang kini mendekapnya berhasil mendapatkan mahkota yang paling ia jaga selama hidupnya.“Udah bangun?” bisik Bagus tepat ditelinga Andin.“Heem.” Bukannya melepaskan tangannya, Bagus malah mengeratkan pelukannya. Aroma sampo yang sejak semalam menguar dihidungnya membuatnya enggan untuk beralih posisi. Bahkan jika bisa ia ingin berada dalam posisi seperti ini setiap saat. Entah kebaikan apa yang telah ia lakukan semasa hidup, hingga ia bisa mendapatkan istri secantik Andin. Seorang wanita yang seharusnya hanya ada dalam angannya namun kini nyata menjadi miliknya. “Terima kasih.” Bagus menghujani kepala istrinya dengan kecupan bertubi-tubi.Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan kebahagiaannya saat ini. Bagus merasa
“Sah.”Kata itu menggema diruang aula yang telah disulap menjadi tempat ijab kabul sekaligus resepsi pernikahan Andin dan Bagus. Semua orang menengadahkan tangan bersamaan dengan lantunan doa oleh salah penghulu yang bertugas menikahkan Andin dan Bagus.Suasana haru sekaligus bahagia tercipta saat semua orang yang datang menjadi saksi bersatunya dua manusia berbeda jenis itu dalam ikatan pernikahan yang sah menurut agama juga negara.“Cuit, cuit!”Suara riuh seketika terdengar saat kedua mempelai saling berhadapan dan Andin mencium tangan Bagus yang dibalas dengan kecupan lembut yang cukup lama di dahi Andin.“Kopi susu!”“Black and white.”Warna kulit keduanya yang kontras memang menjadi hal yang paling diperhatikan oleh semua yang datang terutama teman-teman Andin dan Bagus. Kulit Andin yang seputih susu benar-benar tak bisa menyatu jika disandingkan dengan warna kulit Bagus yang dominan sawo matang. Namun itulah indahnya takdir Tuhan yang menciptakan rasa bernama cinta yang bahkan
“Wow!”Andin memandang takjub hamparan ladang yang terbentang dihadapannya. Kebun yang bersebelahan dengan sungai dan tepat berada di tepi jalan desa itu sedang ditumbuhi tanaman pepaya yang sudah berbuah. Jumlah pohon yang diperkirakan lebih dari seratus batang itu berjajar rapi serta buahnya yang lebat menjadi pemandangan menarik bagi Andin yang baru pertama kali melihatnya.Bagus menggandeng tangan istrinya menyusuri ladang sembari melihat secara langsung perkembangan tanaman yang biasanya hanya bisa ia lihat lewat gambar atau video yang dikirimkan oleh sang penggarap. Sedangkan Andin malah sibuk memvideo langkah demi langkah kebersamaannya dengan Bagus yang baginya terasa romantis.“Ini punya kamu?” tanya Andin disela langkahnya.“Punya Ayah tepatnya,” jawab Bagus sembari memetik buah yang sudah mulai menguning.“Siapa yang menggarap?”“Ada, nanti kita temui dia.”“Terus hasilnya?” “Aku enggak tahu, itu semua urusan Ayah, lagian ini Cuma hiburan buat Ayah dari pada tanahnya jadi
“Sah!”Suara itu lirih terdengar bersamaan dengan suara isak tangis orang-orang di sekitarnya. Air mata Bagus yang sedari tadi ia tahan akhirnya luruh bersamaan dengan diangkatnya jenazah sang kakek ke dalam keranda. “Selamat, Nak. Kakek sudah tenang sekarang, ikhlas ya, Nak.” Beberapa saudara terutama Riyati langsung merengkuh Bagus dan Andin ke dalam pelukannya.Sedih dan bahagia tercipta bersamaan dengan dimulainya prosesi pemberangkatan jenazah oleh sang pemuka agama. Tak kurang dari sepuluh menit akhirnya jenazah kakek dibawa ke pembaringan terakhirnya diiringi semua anak, cucu dan saudara yang menyayanginya.Bagus masih tetap bersimpuh di depan gundukan tanah basah bertabur bunga dihadapannya. Sebelah tangannya menggenggam erat tangan seorang wanita yang baru saja dinikahinya. Meski hanya pernikahan di bawah tangan, tapi secara agama mereka telah sah menjadi suami istri.“Selamat jalan, Kek. Maaf Bagus datang terlambat. Kenalkan ini Andin, istri Bagus. Maaf Bagus terlambat men