Melihat pergerakan pendekar itu, Ramandika tetap bersikap tenang. Namun dengan cepat ia bergerak menghindari serangan tersebut. Jika hanya diam saja, sudah barang tentu dia akan celaka oleh serangan pendekar itu.Meskipun gagal dalam melakukan serangan pertamanya, pendekar tersebut kembali menghentakkan kakinya dan langsung bergerak dengan niat hendak menendang tubuh Ramandika yang sudah berpindah tempat. Melihat situasi seperti itu, akhirnya Dewi Larasati pun berubah pikiran. Ia segera memerintahkan anak buahnya untuk menghadang serangan pendekar yang hendak mencelakai Ramandika. Karena dia khawatir jika itu dibiarkan, maka kitab kuno Ajerwa akan jatuh ke tangan pendekar lain.Dengan demikian, salah seorang pendekar dari kelompok Dewi Larasati segera menghadang serangan pendekar tersebut."Hadapi aku!" teriak anak buah Dewi Larasati sambil bergerak cepat.Dengan demikian, dua pendekar sakti langsung mengadu kekuatan tangan di atas udara, mereka bertarung sambil melayang-layang bak s
Dunida yang menyaksikan pemandangan seperti itu tampak khawatir akan keselamatan Ramandika. Entah kenapa? Ia begitu cemas terhadap keselamatan Ramandika, dan ingin sekali ikut melibatkan diri dalam pertarungan itu. Akan tetapi, Ki Youma masih belum mengizinkannya untuk ikut terlibat."Kau tenang saja! Ramandika pasti akan baik-baik saja, Kakek sangat percaya dengan kepandaian yang dimilikinya," ujar Ki Youma menanggapi kecemasan cucunya terhadap Ramandika.Dunida hanya mengangguk pelan mendengar perkataan sang kakek, walaupun dalam dirinya masih ada rasa cemas terhadap keselamatan Ramandika.Apa yang dikatakan oleh Ki Youma memang terbukti, Ramandika memang mampu mengatasi situasi mencekam pada saat itu. Meskipun dirinya hanya seorang diri dalam menghadapi belasan pendekar sakti, tetapi dirinya masih unggul dalam segala hal.Para pendekar dari kelompok lain yang semenjak kedatangannya di tempat tersebut hanya diam dan tidak bereaksi apa-apa. Namun, tiba-tiba saja salah seorang dari me
Tiba di kediamannya, Ramandika hanya duduk termenung sambil menantikan tibanya waktu pagi. Ia merasa bersalah, karena sudah membuat gaduh dan mengumpulkan banyak pendekar hanya untuk sayembara palsu yang dibuatnya."Beruntung sekali kejadian tadi tidak banyak memakan korban. Jika saja itu terjadi, maka akulah orang yang berdosa," desis Ramandika.Tidak terasa, pagi pun telah tiba. Ramandika yang masih belum tidur sedikit pun langsung mandi, kemudian langsung pergi dengan menunggangi kuda kesayangannya.Ramandika hanya berkeliling desa sekadar jalan-jalan mencari kesegaran di pagi hari. Di dalam perjalanan tersebut, Ramandika bertemu dengan Bargowi dan para pendekar yang dulu pernah bertarung dengannya. Namun, Ramandika tidak mengindahkan kehadiran para pendekar itu, ia berusaha untuk menghindari dan tetap melanjutkan perjalanan.Sebenarnya, Bargowi dan kawan-kawannya tidak terlalu mengenal Ramandika. Namun, ada salah seorang warga yang kebetulan tengah berbincang-bincang dengan Bargow
Ramandika meluruskan pandangannya ke wajah sang pemilik warung itu, lalu bertanya lagi, "Sebenarnya Aki ini siapa? Kenapa Aki bisa tahu semua tentang kelompok Bargowi?"Pria paruh baya itu hanya tersenyum dan tidak menjawab pertanyaan dari Ramandika, karena pada saat itu para pengunjung warung mulai berdatangan. Dia bangkit dan langsung berlalu dari hadapan Ramandika untuk melayani para pengunjung lainnya."Aku harus segera membereskan persoalanlu dengan para pendekar anak buah Kuwu Sangkan. Setelah itu, baru aku akan melakukan teror terhadap pihak kerajaan," desis Ramandika.Seketika itu, terbayangkan wajah kedua orang tuanya, wajah Ramudya dan juga Rawinta. Mereka semua sudah tiada, mereka tewas karena korban kekejian orang-orang yang yang saat ini membayangi kehidupan Ramandika.Ketika Ramandika sedang hanyut dalam alam pikirannya. Tiba-tiba saja, terdengar suara halus merdu menyapanya."Permisi, bolehkah aku duduk di sini?" tanya seorang wanita cantik tersenyum lebar memandang ke
Kemudian, wanita cantik itu langsung duduk di samping Ramandika sambil tersenyum-senyum memperhatikan wajah pemuda tampan itu.Lasmina bangkit dan langsung melangkah keluar hendak mencari dedaunan yang biasa dijadikan ramuan obat. Setelah mendapatkan daun-daun herbal tersebut, wanita cantik itu langsung mencucinya dengan bersih, lalu merebusnya.Setelah selesai merebus dedaunan obat itu, Lasmina berangkat ke warung untuk membeli makanan dan buah-buahan.****Menjelang tengah hari, Ramandika sudah bangun dari tidurnya. Ia tampak kaget dan terkejut ketika melihat di sampingnya sudah tersedia banyak buah-buahan dan makanan.Dia belum mengetahui jika Lasmina sudah pergi dari kediamannya."Ya, Sanghyang Widhi! Apakah ini semua sengaja disediakan oleh Lasmina?" desis Ramandika mengamati makanan dan buah-buahan yang ada di atas bebalean itu.Kemudian, ia bangkit dan langsung keluar. "Lasmina!" teriak Ramandika.Namun, tak ada sahutan meskipun dirinya berteriak keras. Seakan-akan, di rumah te
Ramandika merasa bingung dengan pertanyaan wanita tersebut, bagaimana mungkin dirinya harus mengakui semuanya jika itu bukan dia yang melakukan. Bahkan, dirinya tidak tahu menahu siapa pelaku pembantaian tersebut."Aku memang memiliki persoalan dengan Bargowi, tapi bukan berarti aku yang membunuhnya. Tadi pagi kami telah sepakat untuk mengadu kekuatan di bukit ini, namun karena ada halangan aku datang terlambat. Ketika tiba di bukit ini, Bargowi dan anak buahnya sudah tak bernyawa lagi, mereka ditemukan oleh warga," terang Ramandika berkata dengan sebenar-benarnya.Meskipun sudah dijelaskan oleh Ramandika, wanita tersebut tetap saja tidak mempercayai penjelasan Ramandika. Dia tetap menuduh bahwa Ramandika adalah pelakunya."Aku tidak percaya dengan perkataanmu, Pendekar," bentak wanita itu sambil tersenyum-senyum sinis, "Seharusnya, jika kau memiliki persoalan dengan Bargowi, bicarakan baik-baik!" sambungnya.Ramandika menjadi geram, karena sikap wanita tersebut. Sehingga Ramandika su
Namun, wanita tersebut terus melanjutkan serangannya. "Sudah kepalang tanggung, aku harus melumpuhkanmu sekarang!" bentak Delima Wulan kembali melakukan serangan.Ramandika semakin tersulut amarahnya, dengan suara keras ia membentak wanita tersebut, "Kalau serangan ini tidak kau hentikan. Maka, aku akan melakukan hal yang sama, dan tidak segan-segan untuk bertindak tegas terhadapmu!""Aku tidak peduli!" balas Delima Wulan terus menyabetkan pedangnya ke arah Ramandika.Serangan Delima Wulan sungguh cepat dan sangat membahayakan diri Ramandika. Sehingga, Ramandika pun langsung menghunus pedangnya. Mendadak sinar kuning keemasan berkilauan keluar dari ujung pedang yang baru saja dikeluarkan oleh Ramandika.Dengan gerakan yang sangat lincah, Ramandika langsung memainkan jurus pedang andalannya hendak melakukan serangan balasan terhadap Delima Wulan."Luar biasa sekali pedang pendekar itu," desis Delima Wulan merasa takjub melihat keistimewaan pedang pusaka Naga Geni.Seketika alur seranga
Setibanya di depan rumah sederhana yang kini menjadi tempat tinggalnya, Ramandika sudah disambut senyuman manis gadis cantik berkulit putih. Dia Lasmina yang wajahnya mirip sekali dengan Mendiang Sintani—adik kandung Ramandika."Ternyata kau sudah lebih dulu ada di rumahku," desis Ramandika sambil tersenyum-senyum."Aku datang beberapa jam lalu, kau ke mana saja?" sahut Lasmina tampak semringah dengan kedatangan Ramandika.Ramandika turun dari kudanya dan langsung melangkah menghampiri gadis cantik itu. "Kita duduk di sana saja! Nanti aku ceritakan semuanya," ajak Ramandika mengarahkan pandangannya ke saung kecil yang ada di samping rumah tersebut."Baiklah," jawab gadis itu lembut.Lasmina pun langsung berjalan mengikuti langkah Ramandika menuju ke saung kecil yang ada di samping kanan rumah tersebut. Mereka langsung duduk di atas bebalean yang ada di dalam saung tersebut.Setelah duduk, Ramandika langsung menceritakan apa yang sudah terjadi pada dirinya.Lasmina hanya mengangguk-ang
Beberapa hari kemudian ....Ramandika dan Senapati Sena langsung kembali ke istana bersama lima ratus prajurit yang baru saja selesai melaksanakan tugas mereka—menumpas kelompok pendekar sayap timur.Setibanya di istana, Ratu Rinjani dan Lasmina menyambut hangat kedatangan Ramandika dan pasukannya."Syukurlah, Kakang bersama para prajurit dalam kondisi baik-baik saja," kata Ratu Rinjani sambil tersenyum lebar.Begitu juga dengan Lasmina, meskipun kapasitas dirinya hanya sebagai istri kedua Ramandika. Namun, Lasmina tak kalah mesra dari sang ratu dalam menyambut kedatangan suaminya itu."Ada kabar baik untuk Kakang," kata Lasmina sambil tersenyum-senyum.Ramandika mengerutkan kening sambil memandangi wajah istri keduanya itu. "Kabar baik apa, Nyimas?" tanya Ramandika penasaran.Lasmina masih tersenyum-senyum, kemudian dia menoleh ke arah Ratu Rinjani. "Kanda Ratu saja yang menyampaikan kabar baik ini!" pinta Lasmina.Ratu Rinjani tersenyum lebar, dia mengatur napas sejenak sebelum meny
Mendengar pertanyaan pendekar itu, Panglima Dumaya tampak geram sekali. "Apakah kau ingin mati konyol? Silakan saja jika kau ingin tetap di sini! Aku dan yang lain akan segera meninggalkan tempat ini," pungkas Panglima Dumaya. Demikian juga dengan para pendekar lainnya, mereka sudah merubah haluan. Mereka sudah jera dan tidak mau lagi bertempur melawan pasukan kerajaan Gurusetra Jaya. Para pendekar itu sadar dengan kondisi kekurangan mereka. "Ayo, mundur!" teriak Panglima Dumaya. Dengan demikian, maka para pendekar itu langsung mundur meninggalkan arena pertempuran. Panglima Dumaya tidak ingin anak buahnya berguguran terlalu banyak, karena dia sadar dengan jumlah pasukannya yang semakin berkurang saja. "Kurang ajar!" geram Silaka, "kalian pengecut!" sambungnya berteriak keras. Namun, Panglima Dumaya dan para pendekar lainnya tidak mengindahkan teriakan Silaka. Demikianlah, maka Silaka langsung memerintahkan anak buahnya yang masih bertahan untuk beralih ke arah timur demi menghin
Panglima Birnaka dan para prajuritnya hanya mengangguk sambil menjura hormat kepada sang perdana menteri."Nanti aku dan Senapati Sena akan menyusul kalian," kata Ramandika, "aku sarankan, kalian jangan melakukan serangan hari ini. Lebih baik lakukan serangan besok saja, untuk hari ini kalian cukup memantau pergerakan mereka," sambungnya."Baik, Gusti," jawab Panglima Birnaka menjura kepada sang perdana menteri."Setelah kalian tiba di tengah hutan Jati, kalian harus mencari tempat yang aman untuk mendirikan perkemahan. Pastikan tempat tersebut aman dan jauh dari markas para pendekar dari kelompok sayap timur!" kata Ramandika."Hamba akan menyampaikan saran ini kepada semua prajurit." Panglima Birnaka berkata sambil menjura penuh rasa hormat kepada sang perdana menteri Setelah mendapatkan pencerahan dari Ramandika, Panglima Birnaka dan pasukannya langsung bergerak memasuki hutan Jati yang menjadi sarang para pendekar dari kelompok sayap timur.Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Birn
Pagi harinya, di beberapa desa yang ada di wilayah kepatihan Putra Jaya, tampak geger dengan hilangnya beberapa orang tokoh masyarakat dan para pemuda.Orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarganya langsung mendatangi para prajurit yang bertugas di wilayah kademangan Jati Darma. Mereka melaporkan bahwa anggota keluarga mereka sudah hilang secara misterius.Tentu, kejadian tersebut kembali menghebohkan dan merubah suasana dan kondisi yang semula aman menjadi kembali genting. Para penduduk pun mulai takut keluar rumah pada malam hari, bahkan di siang hari pun aktivitas penduduk mulai surut, mereka tak lagi pergi ke ladang atau ke tempat-tempat lain yang jauh dari pemukiman, karena mereka takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada mereka.Senapati Sena tampak geram sekali dengan peristiwa tersebut, ia sudah menduga bahwa itu murni perbuatan kelompok pendekar sayap timur pimpinan Panglima Dumaya. Namun, semua harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum mengambil ke
Para penduduk itu terus berbincang-bincang sambil menikmati waktu, hingga pada akhirnya perbincangan mereka bergeser ke hal lain yang bersangkutan dengan kelompok pendekar sayap timur."Apakah kalian percaya jika Panglima Amerya dari kelompok pendekar sayap timur itu sudah tewas?" timpal seorang pria paruh baya bertanya kepada semua yang ada di tempat tersebut.Seorang pria yang mengenakan ikat kepala merah segera menjawab pertanyaan pria paruh baya itu, "Menurut kabar yang aku dengar dari ki kuwu, kabar kematian Panglima Amerya itu memang benar. Dia sudah tewas di tangan Panglima Gurma.""Baguslah kalau memang kabar itu benar, itu tandanya kita akan aman. Walau bagaimanapun, Panglima Amerya adalah otak di balik semua kekacauan di wilayah ini."Beberapa tanggapan telah muncul di antara para penduduk kadipaten Dembaga Pura dan juga dari pihak kelompok pendekar sayap timur. Ada yang percaya bahwa Panglima Gurma telah membunuh Panglima Amerya, adapula yang beranggapan bahwa Panglima Amer
Beberapa orang dari kelompok pendekar sayap timur, saat itu sudah berada di dalam hutan yang ada di pinggiran desa Sengkolo di wilayah kadipaten Dembaga Pura—kepatihan Putra Jaya.Para sandera yang beberapa hari terakhir mereka tawan, hari itu sudah mereka lepaskan. Namun, mereka masih menahan belasan orang yang merupakan para pejabat penting dari beberapa kademangan yang ada di wilayah kadipaten Dembaga Pura.Setibanya di kepatihan Putra Jaya, Perdana Menteri Ramandika bersama para prajuritnya langsung bergabung dengan pasukan yang sudah lebih dulu tiba di wilayah tersebut.Kehadiran sang perdana menteri tentu disambut hangat oleh rakyat yang ada di daerah tersebut, bahkan sang patih pun turut menyambut kedatangan Perdana Menteri Ramandika bersama pasukannya."Aku tidak melihat para pejabat kadipaten Dembaga Pura, di mana mereka?" tanya Ramandika kepada Patih Karmala."Mohon maaf, Gusti Perdana Menteri. Hamba belum mengetahui informasi lebih lanjut tentang keberadaan Adipati Tunaraka
Sebulan setelah berdirinya kerajaan Gurusetra Jaya. Tiba-tiba saja, penduduk yang ada di perbatasan wilayah kerajaan Gurusetra Jaya diserang oleh sekelompok orang tak dikenal.Mereka adalah kelompok pendekar sayap timur yang masih bertahan di wilayah tersebut, dan mereka masih loyal terhadap pihak pemerintah kerajaan Gurusetra pimpinan Prabu Mahesa.Meski posisi mereka sudah terhimpit oleh pasukan kerajaan Gurusetra Jaya, namun mereka masih berusaha menganggu dan memberikan teror-teror terhadap pihak kerajaan Gurusetra Jaya dan rakyat kerajaan tersebut.Ada banyak penduduk di wilayah tersebut yang dibantai dan diculik oleh para pendekar jahat dari kelompok sayap timur. Bahkan, mereka disiksa habis-habisan oleh para pendekar itu. Hanya sedikit orang yang berhasil kabur menyelamatkan diri.Radisa dan Janeja merasa kecolongan dengan adanya peristiwa tersebut. Mereka baru mengetahuinya setelah mendapat kabar dari salah seorang penduduk yang berhasil lolos dari cengkraman para pendekar say
Keesokan harinya ....Ramandika sudah memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menjemput kedua istrinya. Lasmina yang berada di desa Singkur dan Rinjani di bukit Sancang."Semua anggota kelompok kita harus semuanya ikut ke sini! Mulai hari ini kita akan membangun wilayah kepatihan ini secara mandiri, karena wilayah ini secara resmi sudah terpisah dari wilayah Gurusetra," kata Ramandika di sela pembicaraannya dengan Radisa dan Janeja yang ia beri tugas untuk menjemput kedua istrinya dan juga semua anggota kelompok Halimun yang masih ada di desa Singkur dan bukit Sancang."Baik, Ketua. Kami akan segera bersiap untuk berangkat ke sana," kata Radisa sambil merangkapkan kedua telapak tangannya. Begitu juga yang dilakukan oleh Janeja, bersikap penuh hormat terhadap Ramandika.Setelah itu, mereka bangkit dan bersiap untuk segera berangkat ke desa Singkur dan bukit Sancang. Radisa dan Janeja langsung berbagi tugas."Aku dan para prajuritku akan menjemput Nyimas Raden Rinjani, dan kau bersa
Dengan penuh rasa percaya diri, Panglima Darsaka dan ratusan prajurit yang masih bertahan, langsung melangkah mendekati pasukan Halimun, mereka kembali melakukan perlawanan. Sudah tidak ada pilihan lain lagi, selain melawan untuk mempertahankan diri.Para prajurit kelompok Halimun telah menggenggam senjata mereka masing-masing, dan bersiap menyambut serangan dari pasukan kerajaan Gurusetra yang jumlahnya sudah semakin berkurang.Pada saat itu, Ramandika terpaksa harus membunuh Patih Amukaraga, karena dia tak mau bertekuk lutut. Sejatinya, Ramandika tak berniat melakukan tindakan seperti itu, namun Patih Amukaraga yang terus melakukan serangan berbahaya terhadap dirinya, sehingga Ramandika memutuskan untuk membinasakan sang patih.Sorak sorai para prajurit Halimun terdengar bergemuruh, mereka merayakan kemenangan. Seiring dengan tewasnya Patih Amukaraga di tangan Ramandika—pemimpin mereka. Selain itu, Panglima Darsaka dan para prajuritnya pun sudah berhasil ditangkap dalam keadaan hidu