Tidak lama kemudian, seorang tabib langsung mengobati luka Wintari. Wanita paruh baya itu tampak meringis kesakitan ketika tabib mulai menabur serbuk obat ke dalam luka yang ada di punggungnya."Sakit sekali," pekik Wintari menahan sakit sambil meringis-ringis."Tahan, Mbok. Supaya lukamu cepat sembuh!" ujar Rinjani sembari memegangi lengan pelayan mendiang ibunya."Iya, Tuan Putri." Wintari tampak pucat, kemudian menarik napas dalam-dalam."Luka Mbok akan segera sembuh jika diobati dengan serbuk ini. Jika memang terasa pedih, Tahanlah!" ujar sang tabib."Iya, Ki," jawab Wintari mengangguk pelan.Kemudian, Rinjani bangkit dari duduknya. Ia langsung memanggil seorang Dunida agar menemani Wintari."Dunida!" panggil Rinjani kepada seorang gadis cantik yang tengah duduk santai di beranda pondok yang ada area padepokan tersebut."Iya, Tuan Putri." Gadis itu menyahut dan langsung melangkah menghampiri Rinjani."Sebaiknya kau temani Mbok Wintari, kasihan dia sedang sakit!""Baik, Tuan Putri.
Seminggu kemudian ....Adipati Anom Darsasena dan Demang Kurda tewas dibunuh oleh kelompok prajurit yang bertugas di wilayah kadipaten Dembaga Pura. Secara tidak sengaja, para prajurit itu bertemu dengan kedua buronan itu di pusat kota kadipaten.Tanpa banyak bicara lagi, mereka langsung menangkap Adipati Anom Darsasena dan Demang Kurda. Namun, keduanya melakukan perlawanan dan berusaha untuk melarikan diri. Akan tetapi naas menimpa mereka, para prajurit itu langsung menghujami mereka dengan anak panah, hingga keduanya tewas di tempat. Jasad mereka dimakamkan oleh penduduk kota tersebut di sebuah pemakaman yang ada di pinggiran kota.Peristiwa itu membuat Ramandika marah dan langsung mengirim pasukan untuk membakar pos keamanan prajurit kerajaan yang ada di pusat kota kadipaten Dembaga Pura. Pasukan Halimun dipimpin langsung oleh Ramandika. Selain membakar pos keamanan, Ramandika dan pasukannya berhasil membunuh 13 orang prajurit kerajaan, dan melukai sekitar tujuh orang prajurit.Ten
Kemudian, Ramandika memanggil Wintari yang kebetulan sedang berada di depan pondok tempat tinggal Ramandika dan Rinjani."Mbok Wintari!""Iya, Raden." Wintari menyahut panggilan Ramandika, kemudian melangkah ke arah pendapa tempat keberadaan Ramandika dan Rinjani, "ada apa, Raden?" tanya Wintari setelah berada di hadapan Ramandika."Mohon maaf, Mbok. Tolong panggilkan Lasmina, agar segera menghadapku sekarang!" jawab Ramandika."Baik, Raden." Wanita paruh baya itu langsung melaksanakan tugas Ramandika, ia langsung melangkah hendak memanggil Lasmina yang sedang berbincang-bincang dengan istri Mendiang Adipati Anom Darsasena di pondoknya.Setelah berada di hadapan Lasmina dan Wulandari, Wintari merangkapkan kedua telapak tangannya sambil membungkukkan badan."Ada apa, Mbok?" tanya Lasmina meluruskan pandangannya ke arah wanita paruh baya itu."Maaf, Nyimas. Raden Ramandika meminta Nyimas untuk keluar sebentar, beliau menunggu di pendapa bersama Tuan Putri!" kata Wintari bersikap penuh h
Lasmina dan Rinjani saling berpandangan, mereka merasa heran dengan sikap Ramandika yang secara tiba-tiba berkata seperti itu."Mohon maaf, Kakang ini bicara apa?" tanya Lasmina mengerutkan keningnya."Jangan membohongi perasaan dalam dirimu, Lasmina! Rinjani pun pasti paham dengan kalimat-kalimat yang barusan aku ucapkan," jawab Ramandika sambil tersenyum lebar."Tapi, Kakang—"Dengan cepat, Ramandika memotong perkataan Lasmina, "Kalau kau tidak setuju, tidak apa-apa!'"Aku setuju, Kakang!" timpal Rinjani menegaskan.'Kenapa Rinjani yang menjawab? Harusnya aku yang menjawab pertanyaan Kakang Ramandika,' batin Lasmina."Biarkan Lasmina yang menjawabnya, Nyimas!" Ramandika berkata sambil meluruskan pandangannya ke wajah Rinjani.Rinjani mengangguk dan langsung diam memberi kesempatan kepada Lasmina agar segera menjawab pertanyaan Ramandika.Lasmina menarik napas dalam-dalam, seakan-akan berat baginya menjawab pertanyaan tersebut. Meskipun dirinya mendengar sendiri bahwa Rinjani sebagai
Keesokan harinya ....Di halaman bangunan utama Padepokan Halimun, tampak ratusan pemuda sudah berkumpul, mereka sedang antri mendaftar untuk menjadi seorang anggota pejuang kelompok Halimun yang hendak dipersiapkan untuk melakukan serangan secara besar-besaran kepada pihak kerajaan.Karena beberapa bulan ke depan, Ramandika menargetkan akan berusaha menguasai wilayah Kuta Demba yang menjadi basis utama kerajaan Gurusetra di wilayah timur.Rencana serangan tersebut buntut dari kematian Adipati Anom Darsasena dan Demang Kurda yang tiada lain merupakan tokoh penting dalam pergerakan kelompok Halimun yang dipimpin oleh Ramandika."Berapa jumlah mereka yang sudah datang ke sini, Panglima" tanya Ramandika kepada Kardala yang berperan sebagai panglima yang bertanggung jawab atas perekrutan para prajurit baru."Jumlah mereka ada sekitar delapan ratus orang lebih, Ketua," jawab Kardala dengan sikap hormatnya, "mereka berasal dari berbagai daerah dan ada dua orang pendekar yang berasal dari wi
Satu bulan kemudian ....Ramandika sudah menikahi Lasmina, istri barunya itu kini tinggal satu atap dengan Rinjani istri pertama Ramandika. Mereka hidup bersama secara rukun, meskipun mencintai seorang pria yang sama.Pernikahan tersebut, dihadiri oleh Ki Ageng Penggir—guru Ramandika sang pemimpin Padepokan Lembah Naga. Turut hadir pula Bisama dan Ki Warmala—ayah Jayamanik.Mereka sangat senang dan setuju dengan keputusan Ramandika yang sudah menjadikan Rinjani dan Lasmina sebagai pendamping hidupnya."Kini hidupmu sudah lengkap, Ramandika,' ujar Ki Ageng Penggir di sela perbincangannya dengan Ramandika dan para tokoh Padepokan Halimun, "kau sudah menjadi seorang pemimpin kelompok pejuang dan juga sudah memiliki dua pendamping yang cocok, tentu mereka akan mampu menjadi pendamping yang setia menemani perjuanganmu," sambung pria senja itu sambil tersenyum-senyum menatap wajah Ramandika."Terima kasih, Guru. Semua ini berkat doa dan dukungan Guru, semua yang aku impikan kini sudah menja
Sena menarik napas dalam-dalam, lalu berpaling ke arah Rapati yang ada di sampingnya."Kalau pagi-pagi seperti ini sepertinya tidak terlalu ketat, paling ada satu dua prajurit saja yang berjaga-jaga," jawab Sena lirih.Setelah menjawab pertanyaan Rapati, Sena kembali mengajak anak buahnya itu untuk melanjutkan perjalanan menuju pintu masuk Kuta Demba yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tersebut.Dengan demikian, kedua pendekar itu kembali memacu derap langkah kuda mereka menuju ke arah barat, dengan tujuan kuta Demba.Setibanya di depan gerbang perbatasan kota, Sena dan Rapati tidak langsung masuk ke dalam kota tersebut. Mereka memutuskan untuk singgah terlebih dahulu di sebuah desa untuk sekadar beristirahat sambil menikmati sarapan pagi di sebuah warung makan yang ada di desa tersebut.Usai menikmati sarapan pagi, Sena dan Rapati beristirahat sejenak. Kemudian mereka melanjutkan kembali perjalanan mereka menuju Kuta Demba."Ternyata apa yang Panglima katakan memang benar, p
Tanpa banyak bicara, kedua pemuda itu langsung melaksanakan perintah dari Darmala, mereka segera mengejar Sena dan Rapati dengan menunggangi kuda mereka masing-masing.Tanpa diketahui oleh Sena dan Rapati, kedua pemuda utusan Darmala sudah mengintai di belakang. Mereka berdua ditugaskan oleh Darmala untuk menangkap Sena dan Rapati, karena Darmala curiga bahwa dua orang tersebut adalah mata-mata kerajaan Dongkala yang sudah memasuki wilayah Kuta Demba.Sena segera menghentikan laju kudanya, demikian juga dengan Rapati. Samar-samar, mereka mendengar derap langkah kuda dari arah belakang."Kau ikut aku!" seru Sena langsung melompat tinggi dan hinggap di atas dahan pohon yang ada di sekitar tempat tersebut.Tanpa banyak bicara, Rapati pun langsung melompat dari kudanya mengikuti perintah Sena. Mereka hinggap di dahan pohon besar sambil mengintip kedatangan dua orang pemuda yang secara diam-diam sudah mengikuti mereka. Sena dan Rapati membiarkan kuda mereka berkeliaran begitu saja.Kedua p
Beberapa hari kemudian ....Ramandika dan Senapati Sena langsung kembali ke istana bersama lima ratus prajurit yang baru saja selesai melaksanakan tugas mereka—menumpas kelompok pendekar sayap timur.Setibanya di istana, Ratu Rinjani dan Lasmina menyambut hangat kedatangan Ramandika dan pasukannya."Syukurlah, Kakang bersama para prajurit dalam kondisi baik-baik saja," kata Ratu Rinjani sambil tersenyum lebar.Begitu juga dengan Lasmina, meskipun kapasitas dirinya hanya sebagai istri kedua Ramandika. Namun, Lasmina tak kalah mesra dari sang ratu dalam menyambut kedatangan suaminya itu."Ada kabar baik untuk Kakang," kata Lasmina sambil tersenyum-senyum.Ramandika mengerutkan kening sambil memandangi wajah istri keduanya itu. "Kabar baik apa, Nyimas?" tanya Ramandika penasaran.Lasmina masih tersenyum-senyum, kemudian dia menoleh ke arah Ratu Rinjani. "Kanda Ratu saja yang menyampaikan kabar baik ini!" pinta Lasmina.Ratu Rinjani tersenyum lebar, dia mengatur napas sejenak sebelum meny
Mendengar pertanyaan pendekar itu, Panglima Dumaya tampak geram sekali. "Apakah kau ingin mati konyol? Silakan saja jika kau ingin tetap di sini! Aku dan yang lain akan segera meninggalkan tempat ini," pungkas Panglima Dumaya. Demikian juga dengan para pendekar lainnya, mereka sudah merubah haluan. Mereka sudah jera dan tidak mau lagi bertempur melawan pasukan kerajaan Gurusetra Jaya. Para pendekar itu sadar dengan kondisi kekurangan mereka. "Ayo, mundur!" teriak Panglima Dumaya. Dengan demikian, maka para pendekar itu langsung mundur meninggalkan arena pertempuran. Panglima Dumaya tidak ingin anak buahnya berguguran terlalu banyak, karena dia sadar dengan jumlah pasukannya yang semakin berkurang saja. "Kurang ajar!" geram Silaka, "kalian pengecut!" sambungnya berteriak keras. Namun, Panglima Dumaya dan para pendekar lainnya tidak mengindahkan teriakan Silaka. Demikianlah, maka Silaka langsung memerintahkan anak buahnya yang masih bertahan untuk beralih ke arah timur demi menghin
Panglima Birnaka dan para prajuritnya hanya mengangguk sambil menjura hormat kepada sang perdana menteri."Nanti aku dan Senapati Sena akan menyusul kalian," kata Ramandika, "aku sarankan, kalian jangan melakukan serangan hari ini. Lebih baik lakukan serangan besok saja, untuk hari ini kalian cukup memantau pergerakan mereka," sambungnya."Baik, Gusti," jawab Panglima Birnaka menjura kepada sang perdana menteri."Setelah kalian tiba di tengah hutan Jati, kalian harus mencari tempat yang aman untuk mendirikan perkemahan. Pastikan tempat tersebut aman dan jauh dari markas para pendekar dari kelompok sayap timur!" kata Ramandika."Hamba akan menyampaikan saran ini kepada semua prajurit." Panglima Birnaka berkata sambil menjura penuh rasa hormat kepada sang perdana menteri Setelah mendapatkan pencerahan dari Ramandika, Panglima Birnaka dan pasukannya langsung bergerak memasuki hutan Jati yang menjadi sarang para pendekar dari kelompok sayap timur.Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Birn
Pagi harinya, di beberapa desa yang ada di wilayah kepatihan Putra Jaya, tampak geger dengan hilangnya beberapa orang tokoh masyarakat dan para pemuda.Orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarganya langsung mendatangi para prajurit yang bertugas di wilayah kademangan Jati Darma. Mereka melaporkan bahwa anggota keluarga mereka sudah hilang secara misterius.Tentu, kejadian tersebut kembali menghebohkan dan merubah suasana dan kondisi yang semula aman menjadi kembali genting. Para penduduk pun mulai takut keluar rumah pada malam hari, bahkan di siang hari pun aktivitas penduduk mulai surut, mereka tak lagi pergi ke ladang atau ke tempat-tempat lain yang jauh dari pemukiman, karena mereka takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada mereka.Senapati Sena tampak geram sekali dengan peristiwa tersebut, ia sudah menduga bahwa itu murni perbuatan kelompok pendekar sayap timur pimpinan Panglima Dumaya. Namun, semua harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum mengambil ke
Para penduduk itu terus berbincang-bincang sambil menikmati waktu, hingga pada akhirnya perbincangan mereka bergeser ke hal lain yang bersangkutan dengan kelompok pendekar sayap timur."Apakah kalian percaya jika Panglima Amerya dari kelompok pendekar sayap timur itu sudah tewas?" timpal seorang pria paruh baya bertanya kepada semua yang ada di tempat tersebut.Seorang pria yang mengenakan ikat kepala merah segera menjawab pertanyaan pria paruh baya itu, "Menurut kabar yang aku dengar dari ki kuwu, kabar kematian Panglima Amerya itu memang benar. Dia sudah tewas di tangan Panglima Gurma.""Baguslah kalau memang kabar itu benar, itu tandanya kita akan aman. Walau bagaimanapun, Panglima Amerya adalah otak di balik semua kekacauan di wilayah ini."Beberapa tanggapan telah muncul di antara para penduduk kadipaten Dembaga Pura dan juga dari pihak kelompok pendekar sayap timur. Ada yang percaya bahwa Panglima Gurma telah membunuh Panglima Amerya, adapula yang beranggapan bahwa Panglima Amer
Beberapa orang dari kelompok pendekar sayap timur, saat itu sudah berada di dalam hutan yang ada di pinggiran desa Sengkolo di wilayah kadipaten Dembaga Pura—kepatihan Putra Jaya.Para sandera yang beberapa hari terakhir mereka tawan, hari itu sudah mereka lepaskan. Namun, mereka masih menahan belasan orang yang merupakan para pejabat penting dari beberapa kademangan yang ada di wilayah kadipaten Dembaga Pura.Setibanya di kepatihan Putra Jaya, Perdana Menteri Ramandika bersama para prajuritnya langsung bergabung dengan pasukan yang sudah lebih dulu tiba di wilayah tersebut.Kehadiran sang perdana menteri tentu disambut hangat oleh rakyat yang ada di daerah tersebut, bahkan sang patih pun turut menyambut kedatangan Perdana Menteri Ramandika bersama pasukannya."Aku tidak melihat para pejabat kadipaten Dembaga Pura, di mana mereka?" tanya Ramandika kepada Patih Karmala."Mohon maaf, Gusti Perdana Menteri. Hamba belum mengetahui informasi lebih lanjut tentang keberadaan Adipati Tunaraka
Sebulan setelah berdirinya kerajaan Gurusetra Jaya. Tiba-tiba saja, penduduk yang ada di perbatasan wilayah kerajaan Gurusetra Jaya diserang oleh sekelompok orang tak dikenal.Mereka adalah kelompok pendekar sayap timur yang masih bertahan di wilayah tersebut, dan mereka masih loyal terhadap pihak pemerintah kerajaan Gurusetra pimpinan Prabu Mahesa.Meski posisi mereka sudah terhimpit oleh pasukan kerajaan Gurusetra Jaya, namun mereka masih berusaha menganggu dan memberikan teror-teror terhadap pihak kerajaan Gurusetra Jaya dan rakyat kerajaan tersebut.Ada banyak penduduk di wilayah tersebut yang dibantai dan diculik oleh para pendekar jahat dari kelompok sayap timur. Bahkan, mereka disiksa habis-habisan oleh para pendekar itu. Hanya sedikit orang yang berhasil kabur menyelamatkan diri.Radisa dan Janeja merasa kecolongan dengan adanya peristiwa tersebut. Mereka baru mengetahuinya setelah mendapat kabar dari salah seorang penduduk yang berhasil lolos dari cengkraman para pendekar say
Keesokan harinya ....Ramandika sudah memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menjemput kedua istrinya. Lasmina yang berada di desa Singkur dan Rinjani di bukit Sancang."Semua anggota kelompok kita harus semuanya ikut ke sini! Mulai hari ini kita akan membangun wilayah kepatihan ini secara mandiri, karena wilayah ini secara resmi sudah terpisah dari wilayah Gurusetra," kata Ramandika di sela pembicaraannya dengan Radisa dan Janeja yang ia beri tugas untuk menjemput kedua istrinya dan juga semua anggota kelompok Halimun yang masih ada di desa Singkur dan bukit Sancang."Baik, Ketua. Kami akan segera bersiap untuk berangkat ke sana," kata Radisa sambil merangkapkan kedua telapak tangannya. Begitu juga yang dilakukan oleh Janeja, bersikap penuh hormat terhadap Ramandika.Setelah itu, mereka bangkit dan bersiap untuk segera berangkat ke desa Singkur dan bukit Sancang. Radisa dan Janeja langsung berbagi tugas."Aku dan para prajuritku akan menjemput Nyimas Raden Rinjani, dan kau bersa
Dengan penuh rasa percaya diri, Panglima Darsaka dan ratusan prajurit yang masih bertahan, langsung melangkah mendekati pasukan Halimun, mereka kembali melakukan perlawanan. Sudah tidak ada pilihan lain lagi, selain melawan untuk mempertahankan diri.Para prajurit kelompok Halimun telah menggenggam senjata mereka masing-masing, dan bersiap menyambut serangan dari pasukan kerajaan Gurusetra yang jumlahnya sudah semakin berkurang.Pada saat itu, Ramandika terpaksa harus membunuh Patih Amukaraga, karena dia tak mau bertekuk lutut. Sejatinya, Ramandika tak berniat melakukan tindakan seperti itu, namun Patih Amukaraga yang terus melakukan serangan berbahaya terhadap dirinya, sehingga Ramandika memutuskan untuk membinasakan sang patih.Sorak sorai para prajurit Halimun terdengar bergemuruh, mereka merayakan kemenangan. Seiring dengan tewasnya Patih Amukaraga di tangan Ramandika—pemimpin mereka. Selain itu, Panglima Darsaka dan para prajuritnya pun sudah berhasil ditangkap dalam keadaan hidu