"Sudah-sudah cepat telepon Kalila. Aku takut Qinara sudah bergerak."
"Ya, Bu!"
Miranti pun akhirnya melakuan panggilan ulang pada Kalila. Qinara tak bisa dibiarkan. Kalau perempuan itu nekad, bisa-bisa mengancam nyawa papanya juga.
"Tapi hati-hatilah bicara. Jangan katakan padanya sekarang, kalau kamu hanyalah ibu tirinya. Itu akan sangat menyakitinya sekarang. Katakan nanti ketika kalian sudah baikan dan suasana hati di antara kalian berdua sudah bagus." Nenek mewanti-wanti menantunya.
Jangan sampai upaya mereka memperingatkan Kalila, bukan menyelamatkannya, malah mengganggu bulan madunya dengan Dareen.
"Baik, Bu. Miranti mengerti." Wanita paruh baya itu menyahut pasrah.
Padahal tadinya ia ingin mengakui kesalahan dan minta maaf pada Kalila. Namun, mertua memintanya bungkam. Menjelaskan segala hal, termasuk hubungan kekerabatan mereka yang tidak terhubung darah.
'Mau bagaimana lagi?'
Karena niat memperbaiki semuanya, Miranti h
"Kita akan ke mana sekarang?" tanya Qinara yang duduk di samping kursi kemudi, di mana Dewa tengah menyetir."Hem. Pertama kita cairkan dulu dong cek ini.""Oke. Mas fokus saja jalan ke Bank. Aku akan membuka situs penerbangan ke luar negeri.""Hem. Lakukan itu," sahut Dewa santai. Menatap lurus ke depan. Membayangkan banyak rencana ketika ia ketemu dengan Kalila di Perancis nanti.'Aku yakin pria kaya seperti Dareen tak mungkin jika tidak pernah berhubungan atau tidur dengan wanita. Aku harus mencari tahu itu. Karena itu satu-satunya Kalila bisa memaklumiku jika dia sudah terlanjur tidur dengannya. Ah ... tidak! Kalila tak boleh tidur dengan Dareen. Dia mencintaiku, dia milikku, bahkan sehari sebelum pergi dia masih menangis untukku. Dia bukan wanita yang mudah jatuh cinta hanya karena Dareen tampan dan banyak uang. Dia bukan Qinara, itu kenapa aku akan memperjuangkannya sampai tetes darah terkahirku.' Dewa terus bicara dalam hati."Mas!" seruan Q
"Selamat siang, Dareen." Suara lembut seorang wanita membuat Dareen tercengang, wajah yang tak asing baginya. Tampilannya masih sama saat terakhir kali bertemu. Meski yang dikenakan adalah kemeja dan rok, tetap saja seksi."Kamu?" tanyanya heran. 'Sial! Kenapa Papi tak bilang bahwa dia harus bertemu wanita itu?'Kalau tahu begini, dia akan memilih mengganti rugi perusahaan karena menggagalkan kontrak.Wanita itu tersenyum. Manis. "Kamu tidak berubah. Masih tampan seperti dulu."Dareen menghela napas. Ekspresinya dingin. Ia juga tahu bahwa perempuan itu juga belum berubah. Tatapannya masih sama. Menyimpan harapan untuknya.Ia lalu menarik kursi. Tanpa mau memberi reaksi yang membuat wanita cantik itu, besar kepala dan kejadian dulu terulang lagi. Mungkin kalau hari itu ia belum jatuh cinta pada Kalila, Dareen akan jatuh ke pelukan Clara. Wanita yang banyak dikejar para pria.Setelah mendapat penjelasan dari Nenek, lalu bertemu intens dengan K
"Kenapa Mas memikirkan itu? Jaman sekarang semua bisa dibeli dengan uang!" Qinara berseru girang ketika menemukan satu cara untuk mendapatkan paspor dadakan.Dewa yang menyeruput kopi di cangkir di tangan, terkejut dan tersedak.Qinara benar-benar tak sopan. Kenapa tak sejak awal dulu dia perlihatkan kelakuannya seperti ini, agar ia tak sampai tergoda dan berselingkuh dari Kalila.Pria itu mendesah. Meraih tisu dan membersihkan kemejanya sendiri. Kalau saja di depannya adalah Kalila, wanita itu pasti bergegas membersihkannya."Pelankan suaramu. Kita sedang di tempat umum," ucap Dewa yang menahan kesal."Oh oke. Sorry!" Qinara segera meraih ponselnya, untuk menghubungi seseorang."Inilah gunanya koneksi, Mas." Perempuan yang memiliki wajah manis itu tersenyum senang."Koneksi. Cih ...." Dewa geleng-geleng. Tentu saja teman-teman brengseknya adalah koneksi Qinara yang bisa memuluskan rencana neyelenehnya juga."Halo, Flen!" sapan
Qinara terus tersenyum sepanjang jalan menuju Bandara. Betapa tidak, ini kali pertama ia bisa terban"Ahhh. Senengnya ....." Qinara sampai menggeliat mengangkat kedua tangannya.Dewa mencebik melihat itu."Ck. Mana ada paspor sehari jadi, pasti paspor abal-abal.""Ya, namanya juga kepepet," sahut wanita yang mengenakan setelan celana jeans ketat dipadu kaos yang dilapis jaket dengan warna senada."Terus terang kalo ga mendesak gini, aku ogah lho bawa kamu! Bawa resiko saja. Pokoknya nanti kalau ada petugas yang masalahin itu paspor ilegal, kamu kudu jauh-jauh dan pura-pura gak kenal aku." Dewa mengomel.Meski senang akhirnya bisa berangkat juga ke Paris, tapi ada kekhawatiran Qinara akan membawa masalah. Dia pikir, perempuan itu akan punya orang dalam yang bisa membantunya membuat paspor asli dalam waktu sekejap. Ah, tak tahunya, cuma paspor abal-abal di percetakan.Untuk sekilas mungkin tak ada yang menyadari kalau itu palsu. Akan te
Mata Qinara mengitari sekitar. Ada yang agak berbeda. Dari banyak penumpang yang dilihatnya, hanya beberapa berkulit putih Eropa dan Asia."Lebih banyak orang negro," gumamnya."Hah?" Dewa yang mendengar gumaman tersebut, tapi tidak terdengar begitu jelas, bertanya pada wanita yang kini sudah memakai kerudung.Walau kerudung itu terlihat asal, sebenarnya Qinara sudah berusaha keras merapikan. Namun, karena tak terbiasa seperti Kalila, alhasil terlihat asal-asalan."Di sini mayoritas orang berkulit hitam. Apa mereka orang Afrika yang tinggal di Paris?" tanyanya berbisik.Dewa manggut-manggut meski ia sendiri ragu. Bisa jadi mereka hanya pengunjung yang sedang mengadakan tour antar negara. Entahlah, ia malas meladeni pertanyaan Qinara yang terkesan receh tersebut."Oh ...." Qinara membulatkan mulutnya. Ia percaya pada Dewa. Karena pria itu pasti sering mengadakan perjalanan ke luar negeri."Ra, cepat duduk!" panggil Dewa yang tak nyaman
Qinara deg-degan. Ia merasa telah tersesat. Dari kejauhan, wanita cantik itu menatap Dewa yang tengah bicara dengan salah seorang petugas Bandara."Apa iya ini Paris? Aneh sekali. Apa trend telah berubah? Semua yang kulit putih, membuat kulit mereka terlihat eksotis? Ah, nggak mungkin, hidung mereka juga beda bentuknya," gumamnya.Di sisi lain, Dewa tampak serius menyimak ucapan pria berkulit hitam di depannya."Oh, God!" serunya tak percaya. Tak menyangka jika ia akan terdampar ke Benua yang sama sekali tak ada di benaknya untuk dikunjungi.Diacak rambut kasar karena merasa frustasi. Usai bicara, ia pun bergerak menjauhi petugas itu, dan kembali menemui sang istri.Qinara menyalakan ponselnya dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mencocokkan Bandar Udara Paris-Charles de Gaulle, dengan pemandangan sekitar.Matanya melebar, sambil menutup mulut tak percaya. "Ini Dar es Salam. Af- Af - rika ...."Saat Dewa mendekat, wajah pria
Dewa menjauh dari tempat duduk petugas bandara dengan gontai. Jawaban mereka, bahwa pesawat yang mereka tumpangi sudah benar. Tujuan juga benar. Jadi mereka tak bisa berbuat apa-apa, dan menyarankan agar Dewa dan istrinya untuk memesan tiket lagi, jika ingin meneruskan perjalanan pulang atau lanjut ke Paris.Tak ada pilihan, pria itu pun ke ATM untuk mentransfer sejumlah uang yang pihak bandara untuk menebus tiket ke kota Paris.Namun, seketika, pria itu kehilangan harapan saat ATMnya kena blokir."Sial! Padahal aku sendiri tak melakukan transaksi apa pun sebelum ini. Kenapa keblokir?!" Dewa sangat kesal. "Di mana lagi aku bisa komplen dan mengurusnya?!"Dengan perasaan dipenuhi kemarahan, Dewa berjalan meninggalkan mesin ATM untuk menemui Qinara dan menceritakan semuanya.Sampai di kursi tunggu Bandara, Dewa sedikit heran melihat kelakuan Qinara. Yang ngomel dan marah sendiri memegangi ponsel. Yah, walaupun sebenarnya kelakuannya memang begitu. La
"Bagaimana kondisi di sana?" tanya Biantara pada orang di ujung telepon. Pria itu kini tengah beristirahat di sofa setelah pekerjaan panjang yang melelahkan di kantor."Aman, Tuan. Mereka sedang frustasi karena ATMnya tak bisa digunakan," sahut orang suruhan Biantara. Mata mereka terus mawas. Secara bergantian, bahkan bersamaan mengawasi dua orang yang tampak cemas di seberang sana.Setelah memutuskan mengganti tiket Dewa dan Qinara, bos itu meminta empat orang anak buahnya mengikuti di pesawat yang sama. Mereka bergerak, tanpa sepengetahuan pasangan pengantin baru itu."Hem. Bagus." Biantara tersenyum. Sebuah senyuman sinis. Mereka pantas mendapatkan kesulitan atas kejahatan yang mereka perbuat dan rencanakan.Seperti halnya setan jahat, yang paling sakti dan jahat di antara mereka adalah yang memisahkan pasangan suami istri saling mencintai."Oya, Tuan. Perempuan muda itu sepertinya pingsan. Apa perlu kami membawanya ke dokter?" ucap salah satu a
“Nenek … Nenek … Nenek …” tak hanya Kalila, satu pasukan dikerahkan mencari keberadaan sang nenek.Satu perumahan ditelusuri. Dari rumah ke rumah yang kebanyakan sepi karena menjelang siang hari. Langkah kaki yang berlari kecil seiring keringat yang mengalir di sekujur tubuh. Semakin lama kaki terasa berat melangkah.Kecuali Kalila yang pasca melahirkan, dia hanya berjalan santai menyusuri gang rumahnya saja, sementara yang lain berjalan ke arah gang sebelah. Gang demi gang ditelusuri Qinara, dewa dan Dareen. Pastinya capek dan sangat melelahkan.Entah terlintas begitu saja di kepala Kalila, pikiran tentang seseorang yang tinggal di depan perumahannya. Kontan wanita berhijab ceruty itu mendekati suaminya yang hanya tiga meter darinya.“Mas, bisa bawa mobil? Antarin aku ke depan sekarang,’ titah wanita itu.“Buat apa?” tanya
Rasa kantuk menghadang membuat Kalila tak kuat membuka lebar kelopak matanya. Kedua matanya terasa berat sekali, dua lengannya terasa lemas seolah hawa dingin menyerang tubuhnya hingga rasanya ingin sekali rebahan. Malam yang melelahkan hingga akhirnya wanita itu memejamkan mata sesaat.“Kalila! Kalila!” Seorang wanita yang tak asing memanggilnya.“Eh …” Kalila membuka mata dengan lilir melihat siapa wanita yang menepuknya sedari tadi.“Bayimu! Zubair” Mama menepuk lengannya berkali-kali dengan menautkan dua alisnya.Mendengar nama bayinya langsung melebarkan mata sempurna. Ingat kalau dirinya tengah menyusui putranya hingga tidur tertunduk. Tak menyadari Zubair di pangkuannya.“Zubair!” Kontan Kalila menegakkan tubuhnya sembari kepalanya menunduk untuk melihat putranya.Ternyata Zubair ketindihan tubuh b
“Duh, kenapa gak diangkat lagi. Astaghfirullah … sabarkan yaa Allah.” Kalila melipat dua bibirnya sembari memainkan dua jempol tangannya. Terlihat kecemasan di raut wajahnya.Jam dinding menunjukkan jam 5 lebih di sore hari menjelang maghrib. Angin sepoi-sepoi menembus jendela kamar wanita itu.Bayi Zubair yang sedari tadi terlelap, tiba-tiba saja menangis begitu saja. Kalila spontan terhenyak dari lamunannya. Tak tega mengdengar bayinya yang bersuara lebih kencang. Dia akhirnya mendekati box bayi, menggendongnya perlahan. Wanita itu merebahkan bokongnya sembari memangku lembut sang bayi yang akhirnya terdia. Mengeluarkan jusur jitu asi favorit putranya.“Kemana kabar abamu sayang,” gumam Kalila sembari mengecup kening putranya.Sejak tadi malam hingga sekarang Dareen susah dihubungi. Lebih tepatnya jarang menghubungi Kalila hingga sekarang. Terakhir kabar dari Dareen h
Dareen berbalik arah dan meraih handuk yang menggantung di samping kamar mandi. Digulung-gulungnya ke telapak tangan kanannya. Kemudian pria itu berbalik arah. Dan dengan cepat mendorong kuat lengan kiri wanita itu hingga menabrak dinding.Ini satu-satu cara agar menyentuhnya tanpa tersentuh. Dareen sangat memahami bahwa haramnya menyentuh yang bukan mahramnya. Bahkan Hadost riwayat Thobroruni menjelaskan kalau ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.“Argh!” Wanita blesteran merintih kesakitan kala lengannya mendapat tekanan kuat dari sang pria di depannya.Mata elang pria itu menyorot tajam seolah kemarahan berkobar di sepasang netranya. Sementara Clara menelan saliva sembari membalas tatapan Dareen dengan berani meski masih terlihat aura ketakutan di matanya.Pandangan Dareen beralih pada tangan kanan wanita di hadapannya itu tengah merogoh sesuatu. Pria i
“Mari kita mulai. Mana kontrak baru kalian. Aku mau baca. Hem.” Mr. Richard menaikkan dua alisnya.Dareen melirik Dewa, mengkodenya untuk menaruh berkas map yang sedari tadi dibawanya.Meja makan yang awalnya penuh dengan piring dan gelas, kini kosong melompong. Pelayan wanita itu sebelumnya telah sepenuhnya membereskannya. Wajar, Dewa segera menunjukkan berkas itu tanpa sungkan.Dareen menyandarkan punggungnya sambil menyilangkan dua tangannya ke dada. “Silahkan. Nyambi ngopi juga bisa. Saya panggilkan, Hahaha …” Pria itu mencoba berkelakar mencairkan suasana. Dia tersenyum percaya diri.Begitulah Dareen cara meyakinkan lawan mainnya. Kata-katanya yang seolah membuatnya tebar pesona, sikap percaya dirinya juga turut jadi daya tarik yang tentu menjadi poin penting dalam berbisnis. Karakter pria yang satu ini memang kharismatik.“Hihihi … Mas Dareen itu yang kusuka darimu.” Clara terkekeh sembari men
“Mana anaknya daddy?” Wajah Dareen terlihat jelas di layar ponsel Kalila.“Lama-lama jadi sugar daddy? Udah ah! Aba aja oke, lebih alim. ” Kalila membujuk dengan mengedipkan mata genit.“Oppa gimana?” Pria itu mengedikkan dua alisnya. “Oppa Dareen Sarange … hahaha …” Dia bertingkah cute dengan suara dimiripin emak-emak yang kesemsem sama actor korea.“ Hahahaha … Mas ihh.” Kalila terpingkal-pingkal dengan tingkah konyol suaminya.Video call yang dari beberapa menit lalu, pagi ini hanya membahas panggilan nama orangtua untuk Kalila dan Dareen.“Appa Amma gimana?” Kalila mengedikkan alisnya sembari melayangkan senyuman manis.“Aa … Aa …” Suara bayi terdengar bangun dari arah belakang wanita itu. kontan Kalila terhenyak dan menoleh ke belakang.“Masya Allah, anaknya jawab tuh.” Mata Dareen berbinar kala Kalil
Dareen kembali ke kamar pasien, mendekati istrinya dengan wajah lesu.“Sayang.” Pria itu duduk di sisi ranjang. Dia menatap lekat istrinya seolah mimikirkan rangkaian kata yang akan diucap. Pria itu merengkuh tubuh Kalila yang ada di sampingnya. Bibirnya mendekat ke telinga wanita itu, “Maaf sayang, aku harus pergi sore ini ke Prancis.”“A-apa?” Kalila segera menarik kepalanya menjauh. Melepas pelukan suaminya.“Perusahaan sedang genting. Mr. Richard menuntut royalty yang tak masuk akal. Aku dan Dewa harus ke sana, membujuknya dan menyutujui kontrak baru.” Dareen kembali melingkarkan lengan ke leher Kalila, memeluk erat, membuat istrinya bersandar di bahunya. Membujuk istrinya untuk meridhoi kepergiannya.“Mr. Richard? Papanya Angela?” Kalila menarik kepalanya. Namun kembali pasrah, tak kuat melepasnya.Dareen perlahan melonggarkan lengannya lalu mengusap kedua lengan istrinya. Di tatapnya
“Masalah perusahaan, apa sudah ada perkembangan? Ku dengar proyek sebelumnya banyak kerugian.” Dewa memulai membuka topik. Pria itu mengaduk gelas cappuchino di depannya sembari menunduk. Pembahasan ini juga terasa berat baginya.Sadar kalau yang ia bahas ini termasuk proyek yang pernah dirusaknya karena suruhan Angela. Sebenanya bisa saja Dewa tak mengikuti Angela. Namun ambisi yang menginginkan posisi yang sama seperti Dareen membuatnya pasrah dan mengikuti kemauan Angela kala itu.Tentunya jelas membawa trouble bagi perusahaan Biantara Group. Berawal Property Hyatt memakai kualitas rendah yang dipesannya dari perusahaan itu. Hingga akhirnya hotel yang di bangun atas kerjasama itu mengalami keretakan hebat.Kini Property Hyatt menuntut mendekor ulang. Padahal jelas tidak bisa karena sudah ada beberapa tamu yang masih check in di sana. Pihak Biantara ingin segera mengosongkan wilayah itu karena berbahaya. Namun Mr. Richard tak bergeming dan tetap ke
“Jatahku mana, sayang?” tanya Dewa sembari langkahnya kian mendekat.Seketika itu tangan Qinara berhenti menata kue-kue yang sedari tadi berserakan di atas meja. Rencana kue-kue itu mau di taruh di toples dan dimasukkan dalam kantung kresek. Wanita itu tertohok, matanya membulat sempurna.‘Kenapa Mas Dewa minta, di saat situasi begini?’Melihat Qinara yang masih terbebani dengan kakaknya yang akan melahirkan. Entah hingga sekarang belum tahu apa yang terjadi dengan Kalila dan bayinya. Tersadar, ponsel wanita itu masih tertancap erat di usb dalam mobil. Belum lagi, tujuan mereka ke sini untuk membawa bekal untuk Kalila dan Dareen yang pastinya akan meningap di rumah sakit beberapa hari di tempat kedua bumil itu sering kontrol kehamilan. Wajar, penasaran Qinara semakin di ubun-ubun karena tak tahu apa sebenarnya yang terjadi pada kakaknya di sana.“Maksudnya?” Qinara menerka maksud Dewa. Perasaan gugup kala menatap dua ma