🌹Wajah kamu emang seperti orang susah. Susah untuk dilupakan.**Rani tersenyum dan mengangguk. "Nama saya Rani, Mas.""Mbak Rani, terimakasih sudah menolong anak saya.""Sama-sama. Saya seperti pernah melihat Masnya."Toni terdiam dan mengerutkan keningnya. "Iya sih. Saya sepertinya juga pernah melihat Mbak Rani. Tapi di mana ya?""Mas Toni dulu bekerja dimana?""Di PT Fishdenia Frozen food."Mata Rani terbelalak saat dia mendengar nama pabrik tempat Rudi bekerja. "Mas Toni kerja di Fishdenia?"Toni mengangguk mantap. "Kenapa?""Itu tempat kerja mantan suami saya, Mas.""Mantan kerja suami Mbak Rani? Namanya siapa?""Mas Rudi," tukas Rani lirih. Selalu ada sakit yang terasa di dalam hatinya saat mendengar atau menyebutkan nama itu. Sakit yang tidak berdarah. Mata Rudi membulat mendengar nama temannya disebut. "Rudi? Rudi Hartono?"Kini giliran Rani yang tercengang. "Mas Toni kenal?""Kenal banget, Mbak. Dia salah seorang teman saya di divisi produksi. Bahkan meja kami berdampinga
🌹 Kadang orang jahat itu berawal dari orang baik yang tersakiti. **Flash back on."Ada apa lagi, Ran? Bukankah kamu sudah bertekad untuk tidak mau menerima lamaranku?""Ya Mas. Sekali lagi aku minta maaf.""Katakan saja apa yang ada di hatimu dan jangan buang-buang waktu!""Baik. Aku cuma ingin bertanya pada Mas Agus, apa mas tidak merasa sakit hati pada perbuatan mbak Leni yang dengan semena-mena mempermalukan orang tua mas Agus saat acara perayaan ulang tahun pernikahan?""Memang ada apa? Apa ada urusannya denganmu?""Mas Agus, kumohon. Jangan dendam seperti ini. Aku tahu mungkin mas Agus masih sakit hati karena aku tidak bisa menerima perasaanmu, tapi tak bisakah mas juga memperlakukanku sebagai adik seperti Mas memperlakukan Widuri?" tanya Rani dengan tatapan memohon. "Aku yakin dengan apa yang mas miliki sekarang, mas pasti akan mendapatkan pengganti yang lebih baik dariku. Aku mohon, Mas. Maafkan aku. Aku ingin kita bekerja sama."Mau tak mau Agus menjadi iba. "Sebenarnya a
Flash back on. Rani merenggangkan otot tubuhnya saat baru saja menyiapkan peralatan massagesnya di spa khusus perempuan. Dia memang mengambil mata kuliah khusus tata rias dan massages spa serta bekerja part time dalam bidang yang sama pula. Klinting. Suara denting lonceng berbunyi dan masuklah seorang perempuan setengah baya. "Silakan masuk. Ingin treatment apa?" tanya Rani ramah. Lalu beberapa saat kemudian, baik Rani maupun calon pelanggannya saling berpandangan. "Bu Dewi kan?""Lha kamu Rani kan?""Apa kabar, Ran? Kamu tambah cantik sekarang. Ya Tuhan, glowing!"Rani tersenyum. "Apa kabar, Bu? Kok di Malang? Sedang ada acara di kota ini?" tanya Rani pada tetangganya Rudi itu. "Iya. Aku sedang mengunjungi anak. Eh, sama anakku dibawa ke salon dan spa. Katanya di sini pelayanan bagus dan harga miring," tukas Dewi sambil mengulurkan nota pemilihan treatment. "Iya Bu. Bisa dicoba." Rani tersenyum dan membaca pilihan layanan treatmen lalu mulai menyiapkan peralatan. "Silakan k
Rudi mendelik saat merasakan mamanya tidak lagi bernafas. "May, mama May!" seru Rudi panik."Kita bawa ke rumah sakit sekarang!""Tapi duitnya?""Duit kamu gadai sertifikat rumah kan masih ada?""Itu untuk usaha karena saat ini aku kan di PHK, May!""Jangan gila, Mas. Kamu mau mementingkan duit daripada Mama?""Ck, oke!""Bawa mobil mbak Leni saja!"Mendadak Rudi tersenyum saat teringat bahwa Leni masih mempunyai mobil. "Oke. Aku gendong mama dan kamu ambilkan kunci mobil ya?!"**"Ada masalah pada jantungnya. Pasien sempat mengalami apneu*. Untung cepat dibawa ke sini. Apa pasien jarang olahraga dan makannya selalu tinggi kolesterol?"Maya dan Rudi berpandangan. "I-iya, Dok. Mama suka santan dan jerohan ayam."Dokter di hadapan Maya dan Rudi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pasien harus dirawat di ruang ICU dan melihat perkembangannya.""Ba-baik, Dok."Rudi dan Maya berjalan dengan gontai di koridor rumah sakit. "Mas, apa yang harus kita lakukan? Mama nggak pernah ikut
🌹Aku mencintaimu seperti salat tarawih. Bukan siapa yang datang di awal, tapi siapa yang bertahan di akhir.**Rani melihat layar ponsel dengan puas. "Apa kamu sudah puas?" tanya Rudi saat melihat ekspresi wajah mantan istrinya. Rani hanya terdiam dan melihat wajah Rudi serta Maya dalam diam. "Jangan lupa, Mbak. Kamu harus menepati janji untuk mencabut laporan ke polisi."Rani tersenyum. "Tentu saja. Jangan khawatir. Aku bukan tipe orang yang suka mengingkari janji," sindir Rani. Rudi hanya mendengus kesal. "May, ayo kita pulang saja. Urusan kita sama dia sudah selesai.""Iya, Mas."Rudi dan Maya berdiri lalu tanpa berpamitan, mereka berlalu dari hadapan Rani. Rani menekan nomor telepon Nilam, dan tak lama kemudian langsung tersambung dengan sang empunya. "Halo, Nilam.""Ada apa, Ran?""Aku minta nomor rekening kamu dong.""Untuk apa?" Nada suara Nilam terdengar bingung. "Mas Rudi baru saja kesini dengan Maya. Tapi sekarang mereka sudah pulang.""Hah? Ke kos kamu? Ngapain? Apa
🌹 Aku memang manusia biasa. Tapi percayalah, cintaku untukmu itu luar biasa. **Pov Rani. Dering telepon membangunkanku dari tidur. Tanpa melihat nama penelepon, aku menekan layar hijau. "Halo.""Hei, pembunuh! Kamu sudah puas dengan apa yang terjadi?" Bukannya menjawab dengan baik, suara diseberang telepon terdengar nyolot. "Ini siapa sih?" tanyaku masih dengan rasa mengantuk. "Semudah itu kamu melupakan aku? Bagus ya? Lagipula aku juga tidak butuh untuk kamu inget lagi. Karena kamu lah yang membuat kondisi keluarga ku bangkrut dan mama harus kehilangan nyawa."Seketika rasa kantukku menghilang. Ini jelas suara Maya. "Mama mu meningga?" tanyaku. Tak munafik aku merasakan dua macam rasa. Senang dan prihatin dalam waktu yang bersamaan. "Sudah puas kamu membuat apes aku dan keluargaku?"Aku mengerutkan dahi. "Kamu," sahutku dingin. "Sudah puas kamu kalau anakku meninggal karena perbuatan ayah kandungnya sendiri?" "Apa maksud kamu?" tanya Maya. "Kamu jangan play victim."Aku t
🌹 Salah beli baju, bisa menyesal sehari. Salah potong rambut bisa menyesal seminggu. Salah memilih suami, bisa menyesal seumur hidup. **Flash back on. PV Rani"Ini bayaran kamu. Kerja bagus telah membuat Maya dipecat." Aku tersenyum puas pada sepasang suami istri yang terlihat glamor itu. Tak lupa kuulurkan amplop berisi sisa uang pembayaran. Suami istri di depanku melihat isi amplop coklat yang diberikan padaku dengan mata berbinar. "Terimakasih banyak, mbak Rani." Sang istri menerima amplop itu. "Jaga rahasia kita, Bu. Saya tidak mau ada keributan setelah ini.""Jangan khawatir, mbak. Kami profesional kok. Kami memang benar-benar membutuhkan uang ini untuk pengobatan anak kami."Suaminya lalu mengulurkan paper bag yang sedari tadi ada di pangkuannya. "Ini mbak, baju yang mbak belikan untuk kami. Kostum saat makan di restoran kemarin. Saya kembalikan pada Mbak. Saya kira, harganya pasti mahal."Lelaki itu lalu memberikan paper bag yang dipegangnya padaku. Aku mendesah. Kala
🌹Kamu tahu enggak apa bedanya kamu dan hantu?Kalau hantu datang dan perginya nakutin, kalau kamu datang dan perginya nyakitin. *Pov Rudi Hari Sabtu pagi, dengan berbekal SIM C yang kebetulan kutinggal karena aku hanya membawa SIM B, aku bergegas ke polsek terdekat dan melaporkan tentang kehilanganku. Aku sedikit lega karena sudah mengantongi surat kehilangan dan polisi juga berjanji akan melacaknya. Hanya aku tidak bisa mengurus ke bank langsung, karena menunggu hari Senin dua hari lagi. Lagipula aku lupa nomor rekeningku kalau mau telepon CS. Selama dua hari itu, rasanya hidup segan mati tak mau. Aku benar-benar merasa tercekik dan seolah-olah akan ma ti esok hari. Ponselku yang ikutan hilang tidak bisa digunakan untuk mentransfer saldo ke rekening Maya ataupun mbak Leni.Ibarat kanker, sungguh aku sudah mengidap kanker stadium empat. Serba salah dan serba repot. "Mas, besok sudah hari Senin. Kamu seharusnya mulai mengurus kartu ATM dan buku tabungan kamu." Terdengar suara