Puspa yang baru sampai di dapur bersih, melihat Hakam sedang duduk dimeja makan dengan wajah aneh. “Pak?” Panggil Puspa dengan ekspresi bingung.Hakam berdehem, “Ya? Kenapa?” Tanyanya balik, namun tidak mau melihat ke arah Puspa.“Mau saya buatkan sesuatu? Kopi atau teh hangat, mungkin?” Hakam menggeleng, “Tidak usah, aku cuma mau duduk disini saja. Kamu buatkan susu untuk Hamun, dia menunggu di kamarnya.”“Iya, ini saya memang mau buat susu untuk Hamun.” Puspa berjalan ke depan dan berjinjit untuk mengambil susu formula yang ada di dalam lemari cabinet. Tetapi, karena kotak susu ada dibagian ujung lemari, Puspa tidak bisa menjangkaunya.“Pak Hakam, bisa tolong ambilkan susunya? Ini kayanya Bi Asih yang dorong sampai ujung. Saya tidak sampai.” Pinta Puspa dengan wajah tidak enak.Hakam tidak langsung menjawab, justru sekarang makin berekspresi aneh. Seolah ada sesuatu yang membuatnya tak bisa bergerak leluasa. “Pakai kursi saja. Aku sedang … malas berdiri.” Jawab Hakam, aneh. Namun
Keesokan harinya, Puspa bangun pagi dan menyiapkan sarapan sendirian. Bi Asih izin tidak datang karena ada sesuatu yang harus dilakukan bersama keluarganya.“Ternyata lelah juga mengerjakan semuanya sendirian.” Puspa mengeluh, duduk di kursi dapur setelah menyelesaikan semua pekerjaan paginya. Sarapan kali ini sangat sederhana, hanya roti panggang dengan selai saja. Puspa benar-benar kewalahan mengerjakan semuanya seorang diri.Setelah menyelesaikan pekerjaan dapur, Puspa bergegas membangunkan majikan kecil dan membantunya bersiap berangkat sekolah. Pukul setengah tujuh tepat, pasangan ayah dan anak itu sudah duduk manis di kursinya masing-masing.“Maaf, ya. Sarapan pagi ini cuma roti panggang saja. Saya baru dikabari Bi Asih pagi tadi kalau dia tidak bisa datang. Jadi, semuanya serba mendadak,” Puspa dengan tulus meminta maaf, merasa bahwa dia tidak bisa memenuhi tanggung jawab sepenuhnya sebagai seorang pelayan.Hakam menggeleng, “Tidak apa. Lagipula Bi Asih biasanya memang selalu m
Puspa tidak langsung ke kebun sawit, dia mampir dulu ke warung untuk membeli beberapa cemilan murah. Sengaja cari yang murah, karena semua cemilan mahal sudah dimiliki Hakam di rumahnya. “Pak Hakam!” Puspa melihat lelaki itu sedang menanam sesuatu di bedeng tanah yang beberapa waktu lalu selesai ia cangkul.“Ada apa?” Hakam bertanya sambil mengusap peluh di dahinya. “Ada masalah di rumah?” Tebaknya kemudian.Puspa menggeleng, “Saya tidak ada kerjaan dirumah, jadi mau kesini bantu-bantu Bapak berkebun,” jawabnya jujur. Membuat Hakam terheran-heran dan hanya bisa mengangkat satu alisnya.“Yakin mau bantu?” Tanyanya. “Yakin, lah!” Puspa dengan ekspresi bersemangat langsung datang mendekati Hakam yang barusan selesai menanamkan satu pohon bibit cabai yang berhasil di semai. “Ini tanaman apa, Pak?” Tanya Puspa penasaran.“Cabai rawit. Lahan disekitar sawit cukup lebar, jadi aku manfaatkan untuk berkebun. Kamu kalau mau bantu-bantu, kesana …” tunjuknya kearah kumpulan bibit cabai yang ber
Puspa membeku, begitu juga dengan Hakam yang langsung memalingkan wajah sambil berdehem. “Rasanya seperti tepung di goreng,” ujar Hakam memecah keheningan setelah mengunyah halus dan menelan makanan yang ada di dalam mulutnya.Puspa menggaruk pipinya canggung, “Iya, bahan dasar basreng memang dari tepung. Mungkin ada sedikit ikannya juga.”Setelah itu, mereka kembali mengobrol seperti biasa. Entahlah, aksi suapan tak disengaja itu seolah dilupakan dalam sekejap. Bahkan, Puspa tidak menyadari jika saat ini sudah menunjukkan pukul setengah sebelas siang.“Ya ampun, Pak. Saya lupa, belum masak makan siang!” Puspa langsung berdiri, hendak berlari pulang. Namun, segera dihentikan oleh Hakam.“Pulang bersama saja. Aku juga mau pulang,” ujar Hakam, kemudian berjalan memimpin Puspa menuju mobil sedan andalannya dan melaju santai melewati jalan raya. Sampai di rumah, keduanya keluar dari mobil bersama-sama, juga berjalan bersamaan menuju pintu utama kediaman Hakam. Ketika Hakam membuka pintu
Melihat kepergian Zara, Puspa menghela napas. “Merepotkan!” Keluhnya, kemudian berbalik dan kembali fokus sepenuhnya dengan urusan masak yang sama sekali belum ia selesaikan.Di balik dinding dapur, sebenarnya ada Hakam yang mendengar dialog kedua perempuan itu sedari awal. Zara jelas tidak menyadari kehadiran Hakam karena wanita itu langsung berjalan lurus ke depan dan keluar tanpa berpamitan.Hakam sengaja datang ke dapur karena takut Zara akan melakukan sesuatu yang buruk pada Puspa. Tetapi dia salah, ternyata gadis muda itu tidak mudah digertak dan menghadapi kekejaman Zara dengan sangat bijak.“Mungkin dia pilihan terbaik,” gumam Hakam sambil mengangguk pelan, berbalik lagi ke kamarnya dan merenung tentang rencana yang akan dia lakukan. Darma beberapa kali menghubunginya hari ini. Terus menanyakan mengenai pasangan yang harus dia bawa ke jamuan pesta yang akan diadakan beberapa hari lagi. Jelas, kegiatan ini sebenarnya tidak terlalu penting. Hanya sebuah pesta untuk membangun re
“Pa! Kok kamu diam saja, sih! Kita harus segera menindak tegas kelakuan mereka. Terutama si pelayan kurang ajar itu, suruh Hakam memecatnya sekarang!” Batari masih berapi-api, terutama ketika hatinya belum terbuka soal kesalahan yang dilakukan oleh Zara. Dia hanya menganggap bahwa tidak ada wanita lain yang lebih sesuai daripada mantan menantunya itu.Darma menatap sang istri, kemudian menghela napas panjang. “Kalau memang pelayan itu kurang ajar, kita tidak perlu bertindak, putramu itu pasti sudah lebih dulu membuangnya ke jalanan. Ma, kamu harus tahu bagaimana sikap Hakam. Dia adalah pria yang keras dan punya pendirian. Semua yang jadi pilihannya pasti sudah dipikirkan matang-matang.”“Sejak kapan kamu jadi lembek begini!” Batari mendelik, “Jadi, maksud kamu tidak apa-apa jika Hakam memiliki hubungan dengan orang miskin yang jauh dibawah kita?”Darma mengangkat bahunya, “Selama mereka bahagia, kita bisa apa? Sudah cukup Papa mengatur hidup Hakam. Sejauh ini, dia sudah berusaha keras
Puspa terdiam. Dia yang terlalu berharap, kini justru merasa kecewa tanpa sebab. Seolah tubuhnya diangkat ke awan, namun seketika dijatuhkan begitu saja tanpa kompromi yang jelas. “O-oh …” Puspa menundukkan kepala. “Jadi pasangan bohongan ya, pak.” Ujarnya, kemudian tertawa masam. Hakam tidak memperhatikan ekspresi sedih Puspa, dan malah lanjut bicara. “Ini penting untuk keluargaku. Zara membuat rumor yang bisa menjadi masalah besar untuk keluargaku. Jadi—”“Jadi Pak Hakam butuh kekasih palsu untuk mencegah rumor yang ada,” sela Puspa sambil mengangguk. “Saya paham, Pak. Kalau begitu permisi, saya mau istirahat dulu.”Tidak membiarkan Hakam menanggapi, Puspa bergegas pergi tanpa menoleh ke belakang. Kini, Hakam terdiam dengan raut bingung. Entah mengapa, dia merasa ada yang aneh dengan reaksi Puspa barusan. Gadis itu terlihat seperti kesal? Atau marah?“Mungkin cuma bayanganku saja?” Hakam menggelengkan kepala dan segera menghabiskan kopi di cangkirnya.Sementara itu, Puspa yang sud
Makan malam selesai pukul 7, dan sekarang Puspa sedang bersiap untuk ikut Hakam pergi keluar mencari gaun yang nantinya akan dia kenakan di malam pesta.“Sudah siap?” Hakam yang menunggu di ruang tamu melihat kedatangan Puspa. Gadis itu nampak biasa saja, memakai setelan sederhana layaknya hari-hari biasa.Puspa mengangguk, “Sudah, pak. Memang mau ke toko baju yang mana?” Tanyanya.“Toko langganan saya,” jawab Hakam sambil memimpin jalan menuju mobil yang sudah bertengger di halaman rumah. “Semua seragam sekolah Hamun juga dijahit disana.”“Oh,” Puspa mengangguk dan tidak berbicara apa-apa lagi. Sementara itu, Hakam jadi semakin bingung. Jelas sekali sikap pelayannya ini berubah drastis, seolah ada suatu h
Puspa berdiri di depan bangunan sederhana. Itu adalah rumahnya, rumah yang menjadi saksi pertumbuhannya dari kecil hingga dewasa. Hakam disamping Puspa, tangannya tidak pernah lepas menggenggam telapak halus itu. Hakam berkata dengan lembut, "Selamat datang." Hati Puspa bergetar mendengar ucapan itu. Matanya memerah dan ia berusaha keras menahan tangisannya agar tak pecah. "Hm, aku pulang." Balas Puspa dengan senyuman kecil. Keduanya berjalan bersamaan masuk kedalam rumah yang terasa begitu sunyi. Aroma familiar yang dejavu membuat Puspa berkhayal tentang sosok ibunya yang keluar dari dapur dan menyapanya dengan hangat. Aroma masakan sederhana itu jelas ia rindukan. Senyuman sang ibu yang menghangatkan kalbunya tentu saja membuatnya ingin menangis saat itu juga. "Tidak ada apa-apa disini." Puspa duduk di sofa dengan lemas. Ia menatap kosong ke depan, bingung harus kemana mencari sang ibu yang pergi tak berkabar. "Mungkinkah ibu benar-benar pergi meninggalkanku?" Hakam menghela n
"APA YANG KALIAN LAKUKAN! LEPASKAN AKU! LEPASKAN!"Ketika Puspa datang bersama Hakam dan Fajar, suara teriakan yang familiar langsung menyerbu ketiga orang itu. Puspa berhenti di depan pintu masuk dan mengambil napas panjang. Sementara Fajar sudah masuk lebih dulu, Hakam ikut berhenti di samping Puspa dan memperhatikan ekspresi rumit dari wajahnya.Puspa jelas merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya. Tuhan tahu betapa bencinya ia pada wanita yang ada di dalam sana. Semua kekacauan yang terjadi ada di sana penyebabnya, ia bahkan tidak tahu apakah bisa menahan emosi ketika nanti langsung berhadapan dengan Zara.Tangan Puspa yang terkepal di samping badannya tiba-tiba dilingkupi rasa hangat. Puspa menoleh ke samping dan mendapati senyuman hangat dari Hakam. Tangan besar lelaki itu memberi sebuah kenyamanan yang menenangkan hati. "Jika kamu tidak mau masuk, kita bisa menunggu di mobil saja." Saran Hakam lembut.Namun, Puspa dengan cepat menggeleng. "Aku akan masuk. Ini adalah waktu
"Terima kasih sudah datang. Sampai jumpa lagi!" Puspa melambaikan tangannya dengan senyuman lebar. Hatinya benar-benar berbunga, ia merasa terharu berkat semua penggemar yang datang dan membuat harinya berwarna.Ketika Puspa berbalik dan hendak turun panggung, tiba-tiba ia mendengar sebuah teriakan lantang yang mengalahkan semua kericuhan yang ada. "PUSPA! AKU MENYAYANGIMU!" Hamun berteriak dengan putus asa. Urat-urat lehernya menonjol, matanya memerah dan ia sudah menangis sejak tadi. Anak itu benar-benar merindukan sosok Puspa. Ia juga merasa sedih dengan semua keadaan yang terjadi di antara mereka. Walau masih kecil, perasaannya tidak pernah salah, dan ia tidak bisa menahan perasaan sedih dalam hatinya lebih lama lagi.Mata Puspa bergetar dan ia langsung berbalik untuk mencari arah sumber suara. Semua orang tampak heran, terutama ketika melihat sang idola kembali ke tengah panggung dan mengedarkan pandangannya ke segala arah.Jantung Puspa berdetak sangat kencang, tangannya mengep
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Fajar ketika melihat Puspa melamun sepanjang perjalanan. "Kalau kamu tidak keberatan, cerita saja denganku."Puspa tampak ragu, tetapi akhirnya menghela napas. "Entahlah, aku hanya ... hanya sedang memikirkan ibuku. Sampai sekarang kami tidak berkabar satu sama lain. Aku tidak tau dia dimana dan bagaimana keadaannya." Puspa akui ia merasa marah pada ibunya. Tetapi sekarang sudah reda, justru digantikan dengan rasa khawatir, karena ia tidak tahu bagaimana keadaan ibunya. Ia khawatir sesuatu terjadi padanya, mengingat bagaimana sifat licik dan jahatnya Zara."Kita akan segera bertemu dengannya. Tetapi sekarang, kamu fokuslah untuk acaramu sebentar lagi. Aku dengar dari tim yang berada di lokasi, penggemarmu yang datang tidak main-main. Mereka memenuhi semua kursi, bahkan ada yang rela berada di luar pembatas dan berdiri disana hanya untuk melihatmu.""Maaf," Puspa merasa kecewa pada dirinya sendiri. Ia harus menyadari posisinya saat ini. Ia sudah m
Untunglah, Puspa tidak kehabisan akal. Ia dengan sekuat tenaga mengarahkan tangannya ke selangkangan Anton dan meremas benda itu dengan kekuatan penuh. Anton sontak berteriak kesakitan dan mundur beberapa langkah. Puspa pun memanfaatkan kesempatan yang ada dan berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari Anton yang berusaha mengikutinya dengan pistol hitam di tangannya. Dia berharap bisa menemukan tempat bersembunyi atau bantuan dari orang lain, tetapi jalanan sepi dan redup. Anton semakin mendekat, dan Puspa merasakan nafasnya terengah-engah. Dia tahu dia tidak akan bisa bertahan lama. Dia hanya berharap Fajar dan para polisi segera datang membantunya.Tiba-tiba, Anton menarik pelatuk dan sebuah peluru bersiul di udara. Puspa menjerit dan terjatuh, merasa darah mengucur dari lengannya. Dia melihat Anton tersenyum sinis dan mendekatinya dengan langkah pasti. Pistol hitam itu kini menempel di dahi Puspa, dan dia merasakan keringat dingin membasahi wajahnya. Dia menutup mata, menunggu det
Setelah semua kentang pesanan itu dimasukkan, mobil melaju menuju desa sebelah. Puspa deg-degan setengah mati, terutama ketika mobil mulai memasuki area jalanan sepi yang di kanan dan kirinya hanya ada pohon jati. Ini adalah daerah perbatasan desa, setelah melewati jalanan ini mereka akan sampai di tempat tujuan. Puspa sesekali melirik ke belakang, berharap melihat ada kendaraan lain. Sayangnya, hanya ada mereka di sana, jalanan begitu sepi, tidak ada kendaraan sama sekali kecuali mobil yang mereka tumpangi. Puspa menelan ludah, bersiap-siap memberi perlawanan sekuat tenaga apabila Anton tiba-tiba menyerangnya. Terutama karena dia tidak melihat ada pihak polisi yang memantau sama sekali. Ia bahkan tidak yakin mereka ada di belakang sana untuk menjaganya. "Kenapa Mbak?" Tanya Anton ketika melihat Puspa gelisah. Puspa tersentak dan menyadari kebodohannya. Ia baru menyadari gelagatnya yang terlalu kentara akibat rasa takut berlebihan dalam hatinya. "Enggak ada," Puspa tersenyum kaku,
Puspa dan kedua orangtua Fajar bergegas ke kantor polisi. Mobil hitam itu melesat kencang menuju kantor polisi terdekat. Mereka hanya bisa berharap pihak kepolisian bisa dengan mudah membantu rencana mereka."Ada yang bisa kami bantu?" Tanya salah seorang polisi kepada ketiga orang itu.Puspa mengangguk, "Ini sangat mendesak. Saya harap bapak mau mendengarkan."Pak polisi mengangguk, kemudian mendengarkan dengan seksama laporan dari ketiga orang di depannya. Begitu mereka selesai menjelaskan, ia terkejut. Terutama ketika ia mendengar rekaman yang baru saja di putar."Apa rekaman ini asli?" Tanya polisi itu.Kali ini, ibu fajar mengangguk. Ia langsung menjelaskan secara lebih rinci tentang permasalahan yang mereka hadapi. Sementara itu, Puspa merasa semakin gelisah. Telapak tangannya berkeringat, pikirannya kacau. Berada di kantor polisi tidak membuatnya merasa tenang sama sekali.Ia takut hal ini akan membawa keluarga Fajar berada dalam masalah. Tetapi masalahnya, ia juga tidak yakin
Setelah Anton kembali, Fajar berbasa-basi sejenak, kemudian berpamitan dan langsung pergi ke studio untuk berdiskusi dengan Puspa."Apa? Kenapa?" Puspa kebingungan ketika Fajar tiba-tiba datang dengan ekspresi aneh. Dia langsung menutup pintu rapat-rapat dan membawa Puspa duduk di atas sofa.Fajar terdiam sejenak, terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu. "Itu ...""Apa? Apa yang itu?" Puspa mengerutkan kening."Ada hal penting yang harus aku katakan. Tapi ... ""Jangan buat aku penasaran!" Puspa yang tidak tahan, reflek memukul pundak Fajar.Fajar langsung duduk tegap, kemudian agak takut melihat ekspresi yang dipasang oleh Puspa saat ini. Setelah menarik napas panjang, ia akhirnya berani membuka mulutnya."Aku tidak yakin bisa mengatakannya, sebaiknya kamu mendengarnya secara langsung." Fajar langsung memasangkan earphone ke telinga Puspa dan memutar rekaman yang baru saja ia dapatkan.Puspa awalnya bingung, karena tidak ada suara apapun selama beberapa saat. Itu karena Fajar sedang m
"Aku sudah curiga sejak awal, tapi masih terasa sakit mendengarnya langsung dari orang lain." Puspa mengusap air mata di pipinya. Dia masih tidak menyangka jika sang ibu tega melakukan hal jahat demi uang."Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Apalagi ibumu bukan ibu kandung, kan? Bukan maksudku menjelek-jelekkan ibumu. Tetapi itu mungkin karena kalian berdua tidak memiliki ikatan darah."Puspa tidak setuju, "Seharusnya lebih daripada itu. Jika memang hanya karena alasan hubungan darah, sejak kecil aku tidak mungkin mendapat kasih sayang darinya. Ini pasti ada alasan lain mengapa Ibuk mau bekerja sama dengan Zara. Mungkin Zara mengancamnya.""Mengancam dengan apa?" Tanya Fajar penasaran.Puspa menggeleng, "Aku juga belum tahu, tetapi akan segera aku caritahu kebenarannya.""Tetapi kamu akan sibuk akhir-akhir ini. Bagaimana mungkin kamu punya waktu untuk menyelidiki sesuatu yang jauh disana?""Entahlah," Puspa tertawa, "Aku yakin pasti ada jalan jika memang takdirku mengatakan ha