Keesokan harinya, Hakam terkejut ketika mendapati Zara ada dirumah. Terlebih, sikapnya berubah sangat manis. Membuat sarapan untuknya dan Hamun, juga senyum di wajahnya tak pernah sekalipun hilang.“Kenapa?” Tanya Zara pada Hakam yang sejak tadi terus memandangnya.“Tolong hentikan,” ujar Hakam singkat.Zara berpura-pura bingung, “Apa yang berhenti?”“Apapun rencanamu kali ini, tolong berhenti. Dengar Zara, kita sudah sepakat untuk bercerai. Kantor agama sudah menetapkan tanggal untuk sidang.”Zara mengoreksi, “Belum sidang, mediasi dulu, kan?”“Apa gunanya mediasi? Bukannya kamu yang bersikeras cerai?” Hakam
“Kamu tidak tau apa-apa! Tidak usah sok tahu tentang hubunganku!” Salsa mendelik dan membanting karangan bunga yang sedang ia rangkai. Kemudian tanpa menatap ke belakang, gadis itu pergi meninggalkan Puspa dengan banyak tanda tanya di kepalanya. Siang hari, ketika jam makan siang sudah tiba. Puspa mencoba mendekati Salsa yang duduk di sebuah meja sambil memakan bekal siangnya. Salsa tidak bereaksi sama sekali, hanya terus memakan bekalnya sendok demi sendok. “Maaf, ya. Mungkin kalimatku tadi buat kamu tersinggung.” Ucap Puspa membuka obrolan. Namun anehnya, Salsa sama sekali tidak menanggapi dan hanya diam. Setelah menyelesaikan bekal makan siangnya, gadis itu juga tak pamit atau apa. Hanya berdiri dan dengan santai pergi meninggalkan Puspa. Puspa jadi bingung
“Kamu pasti penyebabnya!” Puspa menggebrak meja sesaat setelah masuk kedalam ruangan Bu Sinta. “Apa yang kamu rencanakan! Kamu mengancam Salsa, kan!”Bu Sinta pura-pura terkejut, “Apa sih yang kamu maksud. Saya bahkan tidak tahu apa-apa!”“Jangan bohong!” Puspa benar-benar marah. Salsa adalah teman baiknya. Sejak awal mereka bersama dalam satu tim, tidak pernah ada masalah semacam ini terjadi. Kecuali setelah kedatangan Bu Sinta yang membuatnya tidak nyaman ini, siapa lagi pelaku yang patut di curigai?“Kamu menuduh saya?” Bu Sinta berdiri dan mendekat ke arah Puspa. “Beraninya kamu menuduh atasan!”Puspa yang didekati tidak menjauh sama sekali, justru dia balas mendekat dan mendorong bahu Bu Sinta.
Puspa yang sedang duduk dan merenung, terkejut ketika di datangi Hakam dan ditanya soal air. “Air minum?” Tanyanya, memastikan.Hakam mengangguk pelan, “Ada tidak?”“A-ada, Pak. Sebentar.” Puspa buru-buru mengambil botol tupperware merah muda dari dalam tas selempangnya, kemudian disodorkan pada Hakam, “Ini, Pak.”Hakam menerima botol itu dan meneguk habis semua air didalamnya. Sementara itu, Puspa tidak bisa mengalihkan matanya dari pemandangan seksi di hadapannya. Kapan lagi bisa melihat lelaki setampan Hakam meneguk air dengan jakun naik turun seperti itu. Manalagi keringat yang membasahi tulang selangkanya, kemudian sisa-sisa butiran air dari bibirnya bocor ke dagu dan mengalir sampai dada.Puspa meneguk ludah, kemudian
Hari berikutnya, Puspa melakukan rutinitas seperti biasanya. Bangun pagi, sarapan, kemudian berangkat kerja ditemani mas-mas ojek online yang selalu menyambutnya di pinggir jalan raya.“Terimakasih,” Puspa membayar ojek kemudian berjalan santai memasuki area Rumah Duka. Sambil jalan, Puspa menatap gedung di depannya yang entah kenapa membuatnya tidak nyaman. Tidak seperti biasa, Puspa merasa bahwa akan ada hal besar yang terjadi hari ini.“Selamat pagi,” Sapa Puspa ke resepsionis. Namun, bukannya balas menyapa seperti yang biasa dilakukan, dia justru mengalihkan pandangan ke arah lain seolah enggan melihat Puspa.Awalnya Puspa biasa saja, dia berpikir mungkin sedang datang bulan, jadi lebih sensitif seperti yang semua perempuan rasakan. Namun, nyatanya dia salah. Semua orang terlihat an
“Permisi,” Puspa mengetuk pintu, kemudian dipersilahkan masuk dan tidak terkejut ketika melihat ada Bu Sinta di dalam sana. Namun, anehnya juga ada Salsa, yang membuat Puspa bertanya-tanya apa tujuannya dipanggil kemari.“Silakan duduk,” wanita setengah baya yang menjabat sebagai manajer personalia itu tidak menampilkan ekspresi apapun di wajahnya. Bahkan, ketika di depannya ada Bu Sinta yang sedang menangis tersedu-sedu, dia juga tidak bergeming.Puspa mengambil tempat duduk di sebelah Salsa. Ketiganya pun duduk berjajar menghadap manajer personalia yang saat ini hendak membuka percakapan. “Puspa Paramita, kamu tahu alasan kenapa dipanggil ke ruangan ini?”Puspa dengan santai mengangguk, “Karena saya difitnah Bu Sinta.”Me
Manajer personalia terdiam karena masih merasa syok. Namun begitu melihat Bu Sinta di tarik sampai terjatuh dilantai, dia kembali sadar. “Puspa, cukup!”“Bu, pelakunya dia! Bu Sinta yang sudah membuat Salsa jadi seperti itu! Tolong percaya dengan saya!” Pekik Puspa, kali ini dia sampai menangis karena merasa sedih atas nama Salsa. Teman baiknya diperlakukan seperti itu, siapa yang tidak marah?!Bu Sinta yang sejak tadi diam, akhirnya bicara. Dia berdiri dan menarik pundak Puspa. “Beraninya kamu melempar kesalahan kepada orang lain! Salsa bahkan sudah mengaku kalau kamu pelakunya!”“SUDAH, HENTIKAN!” Wanita setengah baya itu mengatur emosinya, kemudian menatap tajam ke arah Puspa. “Semuanya keluar dari ruangan saya. Sore ini, Puspa Paramita harus hadir di ruangan
“Kamu kesini cuma untuk menangis?” Hakam memutar matanya, kemudian duduk di samping Puspa yang agaknya sedikit terkejut dengan kemunculan Hakam yang tiba-tiba.Puspa mengusap kedua pipinya, kemudian menarik nafas panjang dan mendadak ingin bercerita. “Saya baru saja dipecat, wajar lah kalau saya sedih.”“Dipecat? Dari gedung orang-orang mati itu?”Puspa mengangguk, “Saya difitnah melakukan penganiayaan. Padahal itu bohong.”“Dan kamu malah diam saja,” tebak Hakam sambil menggelengkan kepala.“Memang saya bisa apa? Orang itu memalsukan bukti yang cukup kuat. Jadi, ya sudah. Saya terima saja.”Hakam diam, kemudi
Puspa berdiri di depan bangunan sederhana. Itu adalah rumahnya, rumah yang menjadi saksi pertumbuhannya dari kecil hingga dewasa. Hakam disamping Puspa, tangannya tidak pernah lepas menggenggam telapak halus itu. Hakam berkata dengan lembut, "Selamat datang." Hati Puspa bergetar mendengar ucapan itu. Matanya memerah dan ia berusaha keras menahan tangisannya agar tak pecah. "Hm, aku pulang." Balas Puspa dengan senyuman kecil. Keduanya berjalan bersamaan masuk kedalam rumah yang terasa begitu sunyi. Aroma familiar yang dejavu membuat Puspa berkhayal tentang sosok ibunya yang keluar dari dapur dan menyapanya dengan hangat. Aroma masakan sederhana itu jelas ia rindukan. Senyuman sang ibu yang menghangatkan kalbunya tentu saja membuatnya ingin menangis saat itu juga. "Tidak ada apa-apa disini." Puspa duduk di sofa dengan lemas. Ia menatap kosong ke depan, bingung harus kemana mencari sang ibu yang pergi tak berkabar. "Mungkinkah ibu benar-benar pergi meninggalkanku?" Hakam menghela n
"APA YANG KALIAN LAKUKAN! LEPASKAN AKU! LEPASKAN!"Ketika Puspa datang bersama Hakam dan Fajar, suara teriakan yang familiar langsung menyerbu ketiga orang itu. Puspa berhenti di depan pintu masuk dan mengambil napas panjang. Sementara Fajar sudah masuk lebih dulu, Hakam ikut berhenti di samping Puspa dan memperhatikan ekspresi rumit dari wajahnya.Puspa jelas merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya. Tuhan tahu betapa bencinya ia pada wanita yang ada di dalam sana. Semua kekacauan yang terjadi ada di sana penyebabnya, ia bahkan tidak tahu apakah bisa menahan emosi ketika nanti langsung berhadapan dengan Zara.Tangan Puspa yang terkepal di samping badannya tiba-tiba dilingkupi rasa hangat. Puspa menoleh ke samping dan mendapati senyuman hangat dari Hakam. Tangan besar lelaki itu memberi sebuah kenyamanan yang menenangkan hati. "Jika kamu tidak mau masuk, kita bisa menunggu di mobil saja." Saran Hakam lembut.Namun, Puspa dengan cepat menggeleng. "Aku akan masuk. Ini adalah waktu
"Terima kasih sudah datang. Sampai jumpa lagi!" Puspa melambaikan tangannya dengan senyuman lebar. Hatinya benar-benar berbunga, ia merasa terharu berkat semua penggemar yang datang dan membuat harinya berwarna.Ketika Puspa berbalik dan hendak turun panggung, tiba-tiba ia mendengar sebuah teriakan lantang yang mengalahkan semua kericuhan yang ada. "PUSPA! AKU MENYAYANGIMU!" Hamun berteriak dengan putus asa. Urat-urat lehernya menonjol, matanya memerah dan ia sudah menangis sejak tadi. Anak itu benar-benar merindukan sosok Puspa. Ia juga merasa sedih dengan semua keadaan yang terjadi di antara mereka. Walau masih kecil, perasaannya tidak pernah salah, dan ia tidak bisa menahan perasaan sedih dalam hatinya lebih lama lagi.Mata Puspa bergetar dan ia langsung berbalik untuk mencari arah sumber suara. Semua orang tampak heran, terutama ketika melihat sang idola kembali ke tengah panggung dan mengedarkan pandangannya ke segala arah.Jantung Puspa berdetak sangat kencang, tangannya mengep
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Fajar ketika melihat Puspa melamun sepanjang perjalanan. "Kalau kamu tidak keberatan, cerita saja denganku."Puspa tampak ragu, tetapi akhirnya menghela napas. "Entahlah, aku hanya ... hanya sedang memikirkan ibuku. Sampai sekarang kami tidak berkabar satu sama lain. Aku tidak tau dia dimana dan bagaimana keadaannya." Puspa akui ia merasa marah pada ibunya. Tetapi sekarang sudah reda, justru digantikan dengan rasa khawatir, karena ia tidak tahu bagaimana keadaan ibunya. Ia khawatir sesuatu terjadi padanya, mengingat bagaimana sifat licik dan jahatnya Zara."Kita akan segera bertemu dengannya. Tetapi sekarang, kamu fokuslah untuk acaramu sebentar lagi. Aku dengar dari tim yang berada di lokasi, penggemarmu yang datang tidak main-main. Mereka memenuhi semua kursi, bahkan ada yang rela berada di luar pembatas dan berdiri disana hanya untuk melihatmu.""Maaf," Puspa merasa kecewa pada dirinya sendiri. Ia harus menyadari posisinya saat ini. Ia sudah m
Untunglah, Puspa tidak kehabisan akal. Ia dengan sekuat tenaga mengarahkan tangannya ke selangkangan Anton dan meremas benda itu dengan kekuatan penuh. Anton sontak berteriak kesakitan dan mundur beberapa langkah. Puspa pun memanfaatkan kesempatan yang ada dan berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari Anton yang berusaha mengikutinya dengan pistol hitam di tangannya. Dia berharap bisa menemukan tempat bersembunyi atau bantuan dari orang lain, tetapi jalanan sepi dan redup. Anton semakin mendekat, dan Puspa merasakan nafasnya terengah-engah. Dia tahu dia tidak akan bisa bertahan lama. Dia hanya berharap Fajar dan para polisi segera datang membantunya.Tiba-tiba, Anton menarik pelatuk dan sebuah peluru bersiul di udara. Puspa menjerit dan terjatuh, merasa darah mengucur dari lengannya. Dia melihat Anton tersenyum sinis dan mendekatinya dengan langkah pasti. Pistol hitam itu kini menempel di dahi Puspa, dan dia merasakan keringat dingin membasahi wajahnya. Dia menutup mata, menunggu det
Setelah semua kentang pesanan itu dimasukkan, mobil melaju menuju desa sebelah. Puspa deg-degan setengah mati, terutama ketika mobil mulai memasuki area jalanan sepi yang di kanan dan kirinya hanya ada pohon jati. Ini adalah daerah perbatasan desa, setelah melewati jalanan ini mereka akan sampai di tempat tujuan. Puspa sesekali melirik ke belakang, berharap melihat ada kendaraan lain. Sayangnya, hanya ada mereka di sana, jalanan begitu sepi, tidak ada kendaraan sama sekali kecuali mobil yang mereka tumpangi. Puspa menelan ludah, bersiap-siap memberi perlawanan sekuat tenaga apabila Anton tiba-tiba menyerangnya. Terutama karena dia tidak melihat ada pihak polisi yang memantau sama sekali. Ia bahkan tidak yakin mereka ada di belakang sana untuk menjaganya. "Kenapa Mbak?" Tanya Anton ketika melihat Puspa gelisah. Puspa tersentak dan menyadari kebodohannya. Ia baru menyadari gelagatnya yang terlalu kentara akibat rasa takut berlebihan dalam hatinya. "Enggak ada," Puspa tersenyum kaku,
Puspa dan kedua orangtua Fajar bergegas ke kantor polisi. Mobil hitam itu melesat kencang menuju kantor polisi terdekat. Mereka hanya bisa berharap pihak kepolisian bisa dengan mudah membantu rencana mereka."Ada yang bisa kami bantu?" Tanya salah seorang polisi kepada ketiga orang itu.Puspa mengangguk, "Ini sangat mendesak. Saya harap bapak mau mendengarkan."Pak polisi mengangguk, kemudian mendengarkan dengan seksama laporan dari ketiga orang di depannya. Begitu mereka selesai menjelaskan, ia terkejut. Terutama ketika ia mendengar rekaman yang baru saja di putar."Apa rekaman ini asli?" Tanya polisi itu.Kali ini, ibu fajar mengangguk. Ia langsung menjelaskan secara lebih rinci tentang permasalahan yang mereka hadapi. Sementara itu, Puspa merasa semakin gelisah. Telapak tangannya berkeringat, pikirannya kacau. Berada di kantor polisi tidak membuatnya merasa tenang sama sekali.Ia takut hal ini akan membawa keluarga Fajar berada dalam masalah. Tetapi masalahnya, ia juga tidak yakin
Setelah Anton kembali, Fajar berbasa-basi sejenak, kemudian berpamitan dan langsung pergi ke studio untuk berdiskusi dengan Puspa."Apa? Kenapa?" Puspa kebingungan ketika Fajar tiba-tiba datang dengan ekspresi aneh. Dia langsung menutup pintu rapat-rapat dan membawa Puspa duduk di atas sofa.Fajar terdiam sejenak, terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu. "Itu ...""Apa? Apa yang itu?" Puspa mengerutkan kening."Ada hal penting yang harus aku katakan. Tapi ... ""Jangan buat aku penasaran!" Puspa yang tidak tahan, reflek memukul pundak Fajar.Fajar langsung duduk tegap, kemudian agak takut melihat ekspresi yang dipasang oleh Puspa saat ini. Setelah menarik napas panjang, ia akhirnya berani membuka mulutnya."Aku tidak yakin bisa mengatakannya, sebaiknya kamu mendengarnya secara langsung." Fajar langsung memasangkan earphone ke telinga Puspa dan memutar rekaman yang baru saja ia dapatkan.Puspa awalnya bingung, karena tidak ada suara apapun selama beberapa saat. Itu karena Fajar sedang m
"Aku sudah curiga sejak awal, tapi masih terasa sakit mendengarnya langsung dari orang lain." Puspa mengusap air mata di pipinya. Dia masih tidak menyangka jika sang ibu tega melakukan hal jahat demi uang."Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Apalagi ibumu bukan ibu kandung, kan? Bukan maksudku menjelek-jelekkan ibumu. Tetapi itu mungkin karena kalian berdua tidak memiliki ikatan darah."Puspa tidak setuju, "Seharusnya lebih daripada itu. Jika memang hanya karena alasan hubungan darah, sejak kecil aku tidak mungkin mendapat kasih sayang darinya. Ini pasti ada alasan lain mengapa Ibuk mau bekerja sama dengan Zara. Mungkin Zara mengancamnya.""Mengancam dengan apa?" Tanya Fajar penasaran.Puspa menggeleng, "Aku juga belum tahu, tetapi akan segera aku caritahu kebenarannya.""Tetapi kamu akan sibuk akhir-akhir ini. Bagaimana mungkin kamu punya waktu untuk menyelidiki sesuatu yang jauh disana?""Entahlah," Puspa tertawa, "Aku yakin pasti ada jalan jika memang takdirku mengatakan ha