Seharusnya, ucapan Tari dan Tika hanyalah angin lalu. Akan tetapi, perihal hamil adalah sesuatu yang sensitif bagi perempuan yang sudah menikah. Nauna tidak bisa menipu dirinya sendiri, dia merasa sedih dan sakit hati karenanya. Dia sudah mencoba melupakannya, tapi saat tiba di rumah sakit, dia memikirkannya lagi. Terlebih saat melewati ruangan dokter spesialis kandungan. Dia melirik ragu ke arah Dean yang berjalan di sampingnya. “Mas—” Nauna memanggil, tapi kalimat yang ingin dia ucapkan tertahan di tenggorokan. Dean menoleh dan segera menyadari ekspresi suram di wajah Nauna. Dia mengerutkan kening dan bertanya dengan hati-hati, “Ada apa, Nau?”Nauna merasa tidak bisa menyampaikan apa yang ingin dia katakan sekarang, jadi dia memutuskan untuk menyimpannya dan menggantinya dengan kata-kata yang lain, “Itu ruangannya.”Dia menunjuk sebuah ruangan yang berjarak beberapa meter di depan sana. Itu adalah ruang rawat Alina. Dinara sudah menginformasikan padanya sebelum dia dan Dean berang
Alih-alih menjawab pertanyaan Dean, Jeremy justru menanyakan hal yang sama padanya, "Apa yang kamu lakukan di sini?"Dean tersenyum canggung dan segera menjawab, "Keponakan istri saya dirawat di sini, kami datang untuk menjenguk.""Kamu datang bersama istrimu?" Jeremy bertanya. Tatapan matanya menjadi lebih tajam dari sebelumnya. Dean pikir, Jeremy tidak senang karena dia pergi dari kantor saat jam makan siang. Jadi, dia segera berkata dengan sopan, "Maaf, Pak. Saya akan segera kembali ke kantor sebelum jam makan siang berakhir."Jeremy melirik jam tangannya sekilas, lalu berkata dengan tegas, "Ya, kembalilah sebelum jam makan siang berakhir atau kamu akan mendapatkan masalah!" Tatapan Jeremy begitu mengintimidasi. Dean merasa sangat tidak nyaman. Dia segera menunduk dan berkata, "Baik, Pak."Dering panggilan tiba-tiba terdengar di antara mereka. Jeremy menarik ponselnya keluar dari saku dan menatap layar yang menyala. Dia melirik Dean sekilas, lalu berbalik dan pergi tanpa mengatak
Beberapa saat setelah Nauna dan Dean pergi, Alina terbangun. Dinara lekas menghampiri dan duduk di kursi sebelah ranjang. Dia menyambut puteri kecilnya dengan senyum dan usapan lembut di kepala. Sepasang mata Alina mencari-cari ke segala arah, lalu berhenti pada bingkisan buah di atas nakas. Dia melirik Dinara dan bertanya dengan suara serak, "Apa itu dari Papa?"Dinara menggeleng pelan dan berkata dengan jujur, "Itu dari Tante Nauna dan Om Dean. Mereka datang menjengukmu, tapi sekarang sudah pulang."Alina tidak begitu mengingat nama-nama yang disebutkan Dinara. Dia hanya bergumam pelan dengan raut wajah yang begitu kecewa. Dinara tahu apa yang gadis kecilnya pikirkan. Dia mengenggam tangan kecil itu dan berkata dengan lembut, "Papa akan segera datang.""Kapan?" Alina menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Sebentar lagi."Sejak Alina demam tinggi dan dibawa ke rumah sakit semalam, dia terus menanyakan keberadaan Papanya. Jawaban Dinara selalu sama; Papa akan segera datang. Walaupun
Dinara ingin bertanya lebih jauh, tapi segera menyadari posisinya. Dia bukan lagi bagian dari hidup Jeremy, jadi tidak semestinya ingin tahu urusannya. Apapun yang dilakukan laki-laki ini, dia tidak harus tahu. Pada akhirnya, Dinara tidak berkomentar apa-apa lagi. Dia memilih diam, sambil memandangi Alina yang tertidur. Keheningan yang kembali melanda membuat Jeremy menghembuskan napas perlahan. Dia ikut memandangi Alina, lalu berkata dengan lirih, "Ibu ingin bertemu dengan kalian."Dinara sedikit tersentak. Dia tidak menyangka akan mendengar kata-kata ini setelah sekian lama berpisah. Tiga tahun berlalu, Ibu Jeremy tidak pernah menanyakan kabarnya dan juga Alina. Dia pikir, perempuan itu sudah lupa pada mereka. Dia sendiri juga tidak ingin menanyakan tentang mantan mertua yang telah banyak melukai hati. Setiap kali dia dan Jeremy bertemu, mereka tidak pernah membahasnya. Sekarang, ketika mendengar bahwa Ibu Jeremy ingin bertemu dengan dirinya dan juga Alina, Dinara merasa sedikit
Apapun bisa saja terjadi dalam waktu tiga hari. Jeremy telah memegang semua surat-surat penting dan juga sertifikat rumah ini. Entah dengan cara apa dia akan mendapatkan tanda tangan Dean. Nauna merasa pusing memikirkannya. Dia ingin membicarakan hal ini dengan Dinara, tapi segera mengurungkan niat. Sepupunya itu pasti masih di rumah sakit, dia tidak tega jika harus mengganggunya selarut ini. Lagipula, Dinara juga tidak bisa langsung membantunya. Kecuali dia tahu identitas Jeremy, tapi dia tidak punya petunjuk apa-apa. Rudy telah menutup rapat dan tidak mau membocorkan sedikitpun tentang siapa laki-laki itu sebenarnya. Pada akhirnya, Nauna tidak bisa tidur sepanjang malam. Ketika hendak beranjak setelah menunaikan sholat subuh, dia merasa dunia berputar dan kakinya melayang. Dia terhuyung dan jatuh terduduk di atas lantai. “Nau, kamu kenapa?” Dean bertanya dengan cemas. Dia baru saja melipat sajadah saat melihat Nauna tehuyung dan terjatuh. “Kamu sakit?”Dean segera menghampirinya
Setelah mendengar apa yang dikatakan Rudy, Nauna merasa ini adalah kesempatan baginya untuk mengetahui siapa Jeremy. Tidak butuh waktu lama untuk memutuskan, dia akan membuntuti iparnya itu nanti. Pada saat ini, Dean masuk ke kamar dengan membawa dua mangkuk bubur. Nauna segera melepas handsfree dan menyambutnya dengan senyuman. “Mbak Lusi dan yang lainnya belum masak. Jadi, aku beli bubur. Nggak apa-apa, ya?” Dean berkata sambil duduk di tepi ranjang dan menyerahkan satu mangkuk bubur pada Nauna. Ketika pergi ke dapur beberapa saat lalu, Dean tidak mendapati seorangpun di sana. Tidak ada yang memasak, meja makan juga masih kosong. Sepertinya, para iparnya belum keluar dari kamar. Dean tidak bisa menunggu. Jadi, dia mengambil motor dan pergi ke luar. Ada yang menjual bubur di persimpangan, tak jauh dari rumah. Dia membeli dua porsi untuk sarapan bersama Nauna. “Tumben mereka belum masak, biasanya sudah ada makanan di meja makan jam segini.” Dean kembali berkata. Dia terlihat sedi
Nauna benar-benar tak habis pikir. Dia hanya diberi waktu sepuluh menit untuk pergi membeli sarapan. Jika terlambat, dia akan mendapat hukuman dari para iparnya. Entah hukuman seperti apa yang telah mereka siapkan untuknya. Apapun itu, dia pasti akan sangat dirugikan. Jadi, dia tidak bisa membantah dan terpaksa menurut. Ada penjual bubur di persimpangan yang tidak jauh dari rumah. Itu adalah tempat di mana Dean membeli bubur ayam untuknya tadi. Nauna pernah datang ke sana. Jadi, dia tahu, ada bubur sumsum juga di sana. Akan tetapi, dia tidak tahu di mana tempat terdekat untuk membeli lontong sayur. Seingatnya, tidak ada yang menjual makanan itu di dekat sini. Mungkin, dia harus pergi lebih jauh untuk mendapatkannya. Nauna menahan kepalanya yang masih agak berat. Jika berjalan perlahan, sepuluh menit tidak akan cukup, jadi dia memaksakan kakinya untuk melangkah lebar-lebar. Tidak lama setelah melewati pintu gerbang, seseorang menghentikan motor di depannya. Nauna mengerutkan alis
Nauna menautkan alis. Dia tidak menyangka, Tika akan melarangnya pergi secara spontan. Padahal, dia sudah memberikan alasan yang masuk akal. Apakah mereka masih mencurigainya? “Aku nggak boleh pergi?” Dia mencoba bertanya dengan sopan. Tika mendelik ke arahnya dan berkata dengan ketus, “Cuci pakaian dulu, baru pergi belanja!” Nauna merasa gerah melihat tingkah perempuan ini, tapi tidak boleh memperlihatkan ekspresi kesal di wajahnya. Jadi, dia menarik napas panjang dan memaksakan seulas senyum. “Hampir nggak ada apa-apa di kulkas. Bagaimana kalau anak-anak ingin makan camilan atau minum jus buah sepulang sekolah? Mereka pasti akan kecewa melihat kulkas kosong.” Dia berkata dengan tenang. Tika terdiam. Dia tampaknya sedang berpikir. Sementara Tari berdecak dan berkata dengan acuh tak acuh, “Ya, ya! Pergilah untuk belanja!” Mendengar ini, Tika tidak setuju. “Dia bisa pergi belanja setelah mencuci pakaian. Nggak harus pergi sekarang, kan?” Tari bersedekap dan menjawab dengan santai
Andaikan bisa menolak, Jihan tentu tidak akan mengatakan iya. Masalahnya adalah, apa yang diminta oleh Jeremy juga merupakan tuntutan dari pengadilan. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak punya pilihan, selain menerima dengan berat hati. Pada akhirnya, rumah itu benar-benar dikembalikan kepada pemiliknya. Betapa bersyukurnya Dean dan Nauna ketika menerima kembali sertifikat rumah yang selama ini mereka perjuangkan. Air mata bahagia tumpah ruah, pasangan suami istri itu saling memeluk, sambil tak henti mengucap syukur. Hari berganti. Jihan dan Viola mulai mengemasi barang-barang milik mereka dan juga milik Jeremy untuk di bawa pergi. Alvaro dan beberapa orang suruhan membantu mereka membawakan barang-barang tersebut ke dalam mobil pickup. Setelah memastikan semuanya sudah terbawa, Jihan melangkah keluar dengan langkah yang begitu berat. Raut wajahnya benar-benar suram. Kesedihan masih tampak jelas dari kedua matanya yang sembab. Viola dan Alvaro yang mendampingi sang ibu, hanya bi
“Apa yang dilakukan perempuan itu di sini tadi? Dia menemuimu?” Alvaro bertanya dengan tajam. Tatapannya mengarah lurus pada Jeremy yang duduk diam di hadapannya. Tidak ada jawaban. Jeremy tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengangkat pandangan yang semula terpaku pada permukaan meja, lalu menatap Alvaro dengan tatapan dingin. Aura suram menguar dari keseluruhan dia pada saat ini. Sangat jauh berbeda dibandingkan dengan pada saat dia berhadapan dengan Dinara. Alvaro berdecak kesal, tidak suka dengan reaksi Jeremy yang seperti ini. Dia menginginkan jawaban atas pertanyaannya, bukan sorot mata dingin dan mengintimidasi. “Nggak salah lagi, dia pasti datang untuk menemuimu dan kamu pasti bersedia bertemu dengannya.” Alvaro menyimpulkan sendiri, sebab tak kunjung mendapat jawaban. Jeremy masih belum menanggapi, alih-alih membiarkan Alvaro kembali berkata-kata, “Seharusnya, kamu menolak bertemu dengannya, Kak. Dia pasti datang untuk menertawakanmu, kan? Dia pasti senang melihatmu seperti
Hampir tiga puluh menit berlalu sejak tiba di kantor polisi, Dinara masih saja berdiam diri di dalam mobil. Bukan tanpa alasan, perempuan itu hanya perlu waktu sedikit lebih lama, untuk menyiapkan hati dan meyakinkan diri, sebelum benar-benar pergi menemui Jeremy. Sebab, bukan hal mudah untuk berhadapan dengan Jeremy di ketika ini. Jika kemarin siang saja laki-laki itu bisa menunjukkan kemarahan yang begitu menggebu-gebu terhadap dirinya, lantas bagaimana dengan hari ini? Biar bagaimanapun, ditahannya Jeremy, tidak terlepas dari upaya Dinara yang diam-diam merekam pembicaraan mereka kemarin lalu. Jadi, bukan tidak mungkin dia akan meluapkan kemarahan, jika mereka bertemu nanti. Pemikiran itulah yang membuat Dinara merasa was-was. Namun demikian, dia tidak bisa mundur begitu saja. Apapun yang terjadi, dia harus tetap bertemu dan bicara dengan Jeremy. Bukan sekedar untuk memenuhi permintaan Viola, melainkan juga untuk menuruti kata hatinya sendiri. Pada akhirnya, setelah memeriksa w
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dinara, rekaman suara itu benar-benar bisa menjadi barang bukti yang kuat. Beberapa jam setelah Dean menyerahkannya pada polisi, Jeremy akhirnya resmi di tahan. Rasa kaget dan tak percaya tentu saja menyeruak dalam diri Jeremy, saat polisi menunjukkan surat perintah penahanan terhadap dirinya. Mereka mengatakan, sudah ada bukti yang menguatkan dugaan, bahwa dirinya terlibat dalam kasus penipuan yang dilakukan oleh Rudy. Hal yang membuat Jeremy merasa semakin kalut adalah, polisi menahannya ketika dia sedang memimpin rapat di kantor. Akibatnya, bukan hanya orang-orang yang berada di ruang rapat, tapi hampir semua orang yang ada di kantor melihat dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana dia dibawa pergi oleh polisi. Desas-desus tentang sang CEO yang ditangkap oleh polisi seketika menyebar dengan cepat. Berbagai spekulasi bermunculan. Dalam sekejap, Jeremy telah menjadi perbincangan hangat semua orang di perusahaannya, dan reputasinya benar-benar te
Jeremy menyorot Dinara dengan bias kemarahan di kedua matanya. Aura suram dan mengintimidasi yang menyeruak dari kesuluruhan dia, berhasil membuat mantan istrinya itu menahan napas selama sepersekian detik. “Apa yang sudah kamu katakan pada ibuku?” Sekali lagi, Jeremy mengulang pertanyaan yang sama, namun dengan nada yang lebih ditekan-tekankan dari sebelumnya. Dinara tidak segera menjawab, alih-alih menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Dalam diam, dia tengah mengatur debar jantung yang sempat berpacu dengan kencang, begitu pula dengan ritme pernapasan yang sempat tertahan hingga akhirnya menjadi berantakan. Dinara sepenuhnya mengerti, cara terbaik menghadapi seseorang yang sedang diselimuti emosi seperti Jeremy di ketika ini, adalah dengan bersikap tenang dan hati-hati. Karena itu, Dinara sebisa mungkin menciptakan aura tenang di keseluruhan dirinya, alih-alih menunjukkan ketakutan dan rasa terintimidasi yang kentara. “Kamu bilang padanya tentang kasus pen
"Mas?" Nauna menahan langkah saat dia dan Dean baru saja keluar dari ruangan tempat bertemu dengan Lusi. Ketika laki-laki itu menoleh dan mengunci tatap padanya, dia segera bertanya dengan hati-hati, "Kamu sungguh-sungguh sudah memaafkan Mbak Lusi?"Dean tidak langsung menjawab. Sesaat, dia menatap Nauna dalam-dalam. Sekian detik kemudian, barulah dia buka suara, tapi bukan untuk memberikan jawaban, alih-alih balik bertanya, "Apa aku terlihat nggak bersungguh-sungguh, Nau?""Bukan begitu, Mas." Nauna segera menyangkal. "Aku hanya ingin memastikan. Maksudku... Mbak Lusi sudah melakukan hal yang sangat merugikanmu. Apakah semudah itu dia mendapatkan maaf darimu?"Dean lagi-lagi tidak segera menjawab, alih-alih mengajak Nauna duduk di kursi yang berada tak jauh dari mereka. Setelah duduk, Dean mulai berkata-kata, "Sebenarnya, nggak semudah itu, Nau. Jujur, aku juga merasa berat, tapi..." Dean menggantung sebentar kalimatnya. Setelah menghela napas berat, barulah dia genapkan, "Bagaimanap
"Nau, cepat ganti baju, kita ke kantor polisi sekarang!"Nauna baru saja keluar dari kamar mandi, ketika Dean tiba-tiba berkata dengan nada terburu-buru. "Ada apa, Mas?" Menanyakan itu, Nauna sambil beranjak menuju lemari, kemudian mengambil sehelai baju ganti dari dalamnya. "Mas Rudy dan Mbak Lusi sudah tiba di kantor pusat. Citra juga ada di sana, kita jemput dia sekarang," sahut Dean sebagaimana adanya. Mendengar ucapannya, sepasang mata Nauna terbuka lebar-lebar. Dia sudah menunggu kabar ini sejak tiga hari yang lalu, tepatnya sejak dia dan Dean pertama kali mendapatkan kabar tentang Rudy dan Lusi yang sudah ditangkap oleh polisi. Tanpa bertanya apa-apa lagi, Nauna bergegas berganti pakaian, kemudian mengambil kerudung dan mengenakannya dengan cepat. "Ayo, Mas!" ajak Nauna sembari menyambar tas dan memasukkan ponsel ke dalamnya. Dean mengangguk. Setelah meraih kunci mobil di atas nakas, dia dan Nauna segera keluar dari kamar dengan langkah tergesa-gesa. "Sudah sejak kapan me
"Ibu, tenanglah!" Viola berkata sembari menyentuh bahu sang ibu sebagai upaya menenangkannya. Meski Viola juga terkejut dengan semua yang dikatakan Dinara, dia masih bisa berpikir dengan jernih. Alih-alih mengusir mantan iparnya itu seperti apa yang dilakukan Jihan, dia justru ingin mendengar penjelasannya lebih banyak lagi. Akan tetapi, Jihan yang begitu emosional, tampaknya tidak mau mendengar apapun lagi. Sepasang matanya menyorot Dinara dengan tajam, kemudian berkata, "Pergilah, Dinara! Jangan katakan omong kosong apapun lagi tentang Jeremy!"Dinara tahu Jihan sedang kalut, karena itu dia sama sekali tidak ambil hati atas sikap dan ucapan wanita itu. Alih-alih angkat kaki seperti apa yang diminta, dia justru tetap duduk di tempatnya. "Bu," katanya dengan nada rendah dan terukur. "Ini nggak ada hubungannya dengan urusan pribadiku dan Mas Jeremy. Semua yang aku katakan ini, semata-mata untuk memberitahu Ibu yang sebenarnya, tentang apa yang sudah dilakukan Mas Jeremy demi mendapat
Setelah meninggalkan kediaman Jihan, Dinara segera mengajak Dean dan Nauna bertemu. Kebetulan, pasangan suami istri itu sedang berada di luar rumah, jadi mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe, sekalian makan siang bersama. Dinara tiba lebih dulu, sementara Dean dan Nauna datang sekitar sepuluh menit kemudian. Setelah memesan makanan dan minuman masing-masing, mereka tidak berbasa-basi lagi. Dinara segera menceritakan secara detail semua yang dia dengar dari Jihan, tentang persaingan bisnis antara orang tua Dean dan orang tua Jeremy. Mendengar apa yang diceritakan oleh Dinara, Dean dan Nauna tampak terkejut. "Aku sama sekali nggak tahu tentang ini." Dean berkomentar setelah Dinara benar-benar menyelesaikan ceritanya. "Aku nggak pernah mendengar kalau perusahaan Ayah sampai menyebabkan kebangkrutan untuk perusahaan lain. Mungkin karena saat itu aku masih terlalu muda untuk mengetahuinya."Dinara menghela napas. "Sudah kuduga," ucapnya dengan nada rendah nyaris tenggelam. "Ka