Rembulan tampak bulat utuh, membagikan sinar redum kepada mahluk bumi yang sama sekali tak mempedulikannya. Menggantikan awan hujan yang sedari siang kekeh mengguyur bumi dengan rintikan yang berasal dari tubuhnya.Sebuah kendaraan melaju di jalanan sepi yang berhiaskan kabut tipis. Dari sebelah kursi kemudi, seorang wanita berusia 43 tahun menyisir jalanan yang tampak lapang, tak ada satupun aktivitas di jalanan yang mereka lalui. Pukul satu dini hari, memangnya siapa yang sudi keluar malam-malam begini? Ditambah udara malam ini sangat dingin. Kalau saja rasa lapar tidak menyerang perut di tengah malam, sudah pasti keduanya memilih untuk berdiam diri di rumah, atau mungkin sudah terlarut dalam mimpi tidur masing-masing.Sebenarnya, bisa saja membuat mie instan sekedar perut. Namun, kwetiaw lebih menggoda, terlebih di hawa dingin seperti saat ini. Visualisasi tentang kwetiaw lah yang memaksa keduanya nekat menyusuri pekatnya malam. Melajukan kendaraan ke pusat kota untuk makan di ked
Di hamparan hijau nan luas seorang gadis tengah berjalan sendirian tanpa arah. Menoleh ke segala arah dengan perasaan takjub, pemandangan yang sngguh indah, belum pernah nampak oleh indra penglihatannya seumur hidup. Batinya berbicara.Matahari bersinar, tapi tidak menyilaukan. Gadis itu berlarian kesana kemari, hingga kakinya menghantam sebongkah batu. Ia terjatuh. Sebuah tangan mengulur tepat di wajahnya, memaksanya mendongak untuk menatap wajah sang pemilik tangan itu. Ia terperanjat, sosok yang telah lama dirindukanya berdiri tepat di hadapanya. Seorang perempuan tua dengan rambut yang sudah dipenuhi uban, menatap gadis itu sembari tersenyum tulus."Nenek!" seru sang gadis dengan tatapan berbinar. Namun perempuan tua itu tidak menjawab, masih diam mematung dengan segaris senyum yang masih awet bertengger diwajahnya. Gegas Dewi berdiri dan memeluk tubuh perempuan tua di hadapanya. Namun perasaan kecewa menghujam kalbu, perempuan itu menghilang secara misterius. "Nek" lirih suara
Perbincangan hangat masih berlangsung di dalam ruangan Anggrek 07. Atmosfer kebahagiaan memenuhi ruangan itu, kecanggungan saat pertama kali kedatangan Martinah ke ruangan itu seakan melebur ditiup angin."Dimakan ya, Neng, Ibu suapin," ucap Martinah dengan tangan menyendok sepenuh bubur dan lauk yang disediakan oleh rumah sakit."Enggak, Bu. Masakan di rumah sakit hambar." gadis itu menolak. Memalingkan muka seperti anak kecil yang sedang merajuk."Neng mau makan apa? Biar Ibu belikan," seperti biasanya, perempuan itu bertutur lembut. "Bala-bala, Bu," jawaban Dewi, yang berhasil membuat Dimas menahan tawa."Iya, tunggu biar Ibu belikan," Dimas mengisyaratkan agar Martinah tetap duduk."Biar saya saja yang belikan, Bu," ucap Dimas sembari berjalan keluar. "Pacar ya, Neng?" "Oh, bukan, Bu. Kami hanya berteman," "Tapi Ibu lihat, Nak Dimas sepertinya tulus sama kamu. Ibu bisa bedain atuh, Neng, mana tatapan suka dan mana yang bukan ..." Martinah tersenyum menggoda.Bibir Dewi mengkeru
Sinar matahari begitu terik, serasa menyayat indera peraba setiap insan yang dijumpainya. Kondisi jalan yang sangat ramai, suara klakson terdengar nyaring memekikkan pendengaran, ditambah kepulan asap kendaraan yang bewarna abu-abu, kian memaksa para pengguna jalan untuk hilang kesabaran. Sebuah motor trail menggilas jalanan Ibu Kota dengan kecepatan tinggi. Membuat penumpang di belakang bergidik nyeri, takut kalau-kalau menabrak pengguna jalan lain."Dio, pelan-pelan!" ucap Anne dengan suara bergetar. Dari kaca sepion, pria itu mengamati wajah gadis di belakanganya. Nampak panik. Cengkraman kuat dari jemari gadis itu seolah menegaskan, cara mengemudi Dio yang ugal-ugalan membuatnya ketakutan. Pria itu hanya tersenyum. Lantas menepikan kendaraan beroda dua tersebut ke sebuah kedai bakso pinggir jalan. 'Bakso Khas Wonogiri', begitulah kalimat yang tertulis di spanduk kedai itu. Tanpa berbicara sepatah katapun, keduanya turun dan memasuki kedai. Anne mengikuti derap langkah pria ters
[Dia sempat koma, Mbak. Tapi sekarang sudah sadar. Mas Dimas ada disana sewaktu saya besuk.] Sebuah pesan masuk dari Erin, membuat rasa bersalah Ramona seketika runtuh. Kebencian kembali menyelinap. Dengan bersungut-sungut ia mengucap sumpah serapah terhadap gadis yang ia sangka merebut pria beharga miliknya."Kenapa nggak mati aja, sih, nyebelin." Ramona berdecah sembari melepas pengait high heels bewarna merah muda yang seharian menemani aktifitas bekerjanya. Gadis itu mendaratkan pantat di atas bantalan sofa ruang televisi. Fokusnya masih bertahan pada layar benda pipih di tanganya. Duduk menyilang sembari bersandar pada sofa. Ia tak menyadari paha mulusnya terekspos nyata, merampas perhatian pria tua yang sedari tadi asyik menyimak tayangan sepak bola. Seperti itulah kebiasaan Pak Risman setiap hari. Hanya bermalas-malasan di dalam rumah tanpa menjalankan kewajibanya sebagai kepala rumah keluarga (mencari nafkah). Bila dirasa bosan melanda, pria tua tersebut akan menyewa peremp
Siang yang terik, sang surya bertengger angkuh dibawah naungan cakrawala. Panas menumbuhkan peluh yang tak berkesudahan menetes di dahi para pekerja yang berada di luar ruangan. Bising kendaraan yang dengan sadis menyemburkan asap pekat membuat penampakan kota itu sedemikian menjemukan.Di sebuah ruangan rumah sakit yang terletak di sisi jalan besar, seorang pria berpakaian serba putih tengah berbincang dengan dua orang yang menghuni ruangan tersebut selama dua minggu ini. Pria itu berwajah ramah, bertubuh pendek dan bertutur lembut nan bersahaja. Setiap ucapan yang keluar dari mulutnya terasa seperti sentuhan, lembut dan menenangkan. "Yang benar, Dok, saya boleh pulang hari ini?" mata gadis itu berbinar mendengar ucapan pria berpakaian putih tersebut.Terlalu lama berada di dalam ruangan itu sungguh menjemukan. Kabar itulah yang selama ini ia tunggu-tunggu.Pria itu tersenyum sembari mengangguk menanggapi pertanyaan Dewi. "Kalau begitu, saya permisi," ucapnya lalu kemudian melenggan
Sebuah ruang keluarga yang didominasi warna putih dipenuhi atmosfer ketegangan yang begitu ketara. Terasa panas bagi seorang perempuan tua yang terduduk di atas sofa ruangan itu, hingga dinginnya suhu Ac tidak berhasil menaklukan panas yang menjalari sekujur tubuhnya.Di balik kacamata yang di kenakan, Mayang baru saja melihat foto putra kesayangannya sedang bergandengan tangan dengan seorang gadis cantik yang sedemikian anggun. Sebuah foto yang berhasil Ramona dapatkan dari Shasa, teman sekolahnya yang tinggal satu kosan dengan Dewi. Otaknya terasa mendidih saat dikatakan Ramona bahwa Dimas berpacaran dengan seorang pelac*ur. Langkah ini Ramona ambil agar Mayang membujuk Dimas untuk meninggalkan Dewi, si wanita tuna susila. Dengan begitu, peluangnya untuk mendapatkan Dimas kembali akan lebih besar. Mengetahui Mayang yang mulai tersulut emosi, Ramona diam-diam tersenyum licik."Mudah sekali Dimas tergoda," gumam Mayang setengah berbisik, namun telonga Ramona bisa menanggap dengan jela
Degup jantung Dimas semakin tak karuan setelah mendengar kabar dari ayahnya bahwa ibunya ditemukan pingsan saat dirumah sendirian. Diin, dinn!!!Entah sudah kali keberapa pria maskulin itu membunyikan klakson mobil dengan rasa emosi, dan menyalip setiap kendaraan yang berada di depanya. Padatnya jalanan membuatnya sedikit frustasi. Berulang kali ia memukul kemudi mobil yang dikendarainya sembari berdecah kesal. Pria itu memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi setiap kali jalanan cukup ruang untuk dilaluinya. 20 menit kemudian ia tiba di sebuah rumah sakit, yang dalam beberapa hitungan jam lalu ia tinggalkan. Ibunya dirawat di rumah sakit yang sama dengan Dewi. Derap langkahnya begitu cepat, beradu dengan jantung yang berdegup tak kalah cepatnya. Pikiranya kacau, ini kali pertama ia mengetahui perempuan yang sangat ia hormati jatuh pingsan. Langkah kakinya terhenti di ruangan bernomor Anggrek 11. Dimas masuk karena merasa yakin ibunya berada di sana, sebagaimana di informasikan s
Dimas menyusuri lorong rumah sakit dengan perasaan gelisah. Denga langkah seribu pria itu berjalan ke ruangan bersalin. Satu per satu kamar dia periksa demi mendapati sang istri, nyaris putus asa karena Dewi tak juga ditemukan. Kini langkahnya tiba di ruangan paling ujung. Pria itu menekuk lutut dengan kedua mata terpejam. Jantungnya memompa darah begitu cepat, bayangan dari rasa bersalah telah membiarkan istrinya yang saat ini sedang membutuhkannya terus berkelibat di kepala. Dewi tidak memiliki keluarga lain selain Dimas di kota itu. Suara rintihan dari seorang perempuan yang sangat familiar masuk ke dalam telinganya. Seketika kedua mata pria itu terbuka lebar dan menegakkan badan. Bergegas Dimas membuka gorden yang berada di sebelah kiri tubuh. Dilihatnya seorang wanita yang tengah menangis sembari berpegangan pada lengan Rina, salah satu karyawati di perusahaan tempatnya bekerja."Sabar, Bu. Bu Dewi pasti kuat." wajah wanita itu terlihat panik. Dia belum memiliki pengalaman mela
Di ambang pintu berpegangan pada kusen dan satu tangan mengelus perut yang terasa berdesir karena janin di dalam perut melakukan sebuah pergerakan, Dewi menatap nanar pada Dimas yang pergi berlalu melewatinya tanpa sepatah kata. Perasaan nyeri menyerang ulu hati mendapati sang suami beraut dingin, tidak sehangat biasanya. Dewi tidak menyangka jika Dimas akan semarah itu. Biasanya pagi-pagi sekali pria itu sudah mempersiapkan makanan untuk mereka sarapan, namun pagi ini terasa jauh berbeda dari biasanya. Hanya ada roti tawar dan selai kacang di balik tudung saji. Tidak ada lagi baki berisi beragam menu masakan seperti kemarin. Pria itu pergi ke tempat kerja tanpa berpamitan (walau di waktu lalu ucapan pamitnya kerap kali dibalas ketus, bahkan seolah terkesan Dewi abaikan), tetapi Dewi merasa lega. Keberadaannya masih berada dalam jangkauan perhatian pria itu. Tetapi itu kemarin, entitasnya saat ini seperti sebuah mahluk tak kasat mata. "Ini semua salahku. Seharusnya sejak awal aku m
Pagi itu Dewi bangun dan mendapati sarapan sudah tersedia di atas nakas di samping tempat tidur. Dimas menjadi suami siaga semenjak tahu istrinya hamil. Pria itu selalu menyempatkan diri untuk memasak jika waktu subuh tiba, atau membeli masakan di warteg jika dia tak sempat. Hal itu dilakukan Dimas tanpa pamrih, meski hingga hamil memasukki trimester terakhir pun Dewi masih hemat bicara dengannya. Segala sikap dingin Dewi diakari oleh kesalah pahaman Dewi terhadap Dimas dan Anggita. Pria itu hampir putus asa. Berulang kali Dimas menjelaskan, jika antara dirinya dengan Anggita tak ada hubungan sepesial, namun hanya punggung sang istri yang dia dapat. Perlahan Dewi beringsut mendekati nakas tanpa ada keinginan untuk melepas pantat yang menempel pada benda yang ada di bawah tubuh. Perlahan dia mengambil baki makanan dengan sangat hati-hati, khawatir jika makanan di dalamnya tumpah. Namun alis tebalnya tiba-tiba bertaut, mendapati secarik kertas di sekatan baki logam.'Mas sudah siapka
Akhir-akhir ini Dewi merasa tidak enak badan. Tubuhnya mudah lelah, nafsu makan berkurang, mual disertai sakit kepala, bahkan tak jarang gadis itu muntah. Gejala-gejala tersebut selalu datang mengganggu harinya, dan semakin parah di waktu pagi.Sudah selama satu minggu Dewi tinggal di kosan Eva, Dewi enggan untuk kembali pulang. Rasa kecewanya terhadap Dimas yang membabi buta menjadikan dia lupa atas segala kebaikan sang suami."Wi, apa kau tidak ingin memeriksakan kondisimu ke dokter?" tanya Eva dengan raut wajah menunjukkan kekhawatiran. Gadis itu membaca gejala-gejala kesehatan yang Dewi alami akhir-akhir ini sebagai tanda kehamilan. Namun, melihat kondisi hati sahabatnya yang masih didera kecewa, Eva tidak ingin mengatakannya terlebih dahulu. Biarkan Dewi mengetahui sendiri."Tidak, Va, aku baik-baik saja." jawab Dewi yang baru saja keluar dari kamar mandi setelah menumpahkan isi perutnya, bubur ayam yang menjadi sarapannya pagi ini.Jelas sekali gadis itu berbohong. Wajahnya yang
Dewi langsung memeluk Eva saat gadis itu muncul dari balik pintu. Membuat gadis itu terkesiap, dengan kehadiran Dewi yang tanpa aba-aba siang itu.Alis Eva bertaut, apa yang sudah membawa sahabatnya ini datang? Melihat gadis itu menangis terisak, Eva tahu betul, Dewi sedang tidak baik-baik saja saat ini. "Kita bicarakan di dalam ya?" bujuk Eva kepada Dewi yang langsung berbalas anggukan. Eva kembali di hadapan Dewi dengan segelas air. Dengan bibir mengulas senyum, Eva menyerahkan gelas berisi air tersebut kepada Dewi. "Kamu minum ya?" kembali Eva membujuk Dewi saat menyerahkan segelas air putih kepada perempuan itu. Dewi mereguk air minum sekali tandas. Menangis sepanjang hari benar-benar membuat tenggorokannya kering. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Eva dengan hati-hati. Pembawaan gadis bertubuh jangkung tersebut terdengar sangat hangat, sehingga Dewi tanpa ragu menceritakan masalah yang dia alami kepada Eva. "Rumah tanggaku ... sedang tidak baik-baik saja saat ini." ucap D
Tiga hari berlalu setelah bertemu dengan Risman wajah Dewi berangsur-angsur membaik. Bekas lebam sudah semakin memudar, hanya perlu sedikit polesan make up untuk menutupinya. Dewi segera menyusul Dimas di ruang makan seusai ia memantas diri. Seperti yang Dimas katakan tempo hari, Dimas mengijinkan Dewi untuk ikut ke tempat kerja.Aroma wangi yang menguar membuat pria yang sibuk berkutat dengan alat makan mengangkat wajah. Pandangannya menatap wanita yang berjalan mendekat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Wanita itu terlihat bertambah cantik setiap harinya. Lama Dimas memperhatikan Dewi yang diam mematung setelah menyadari pandangan sang suami seolah melekat pada tubuhnya. “Ada yang aneh?” tanya Dewi sembari melempar tatapan ragu. Takut jika karyawan di kantor tempat Dimas bekerja menilai penampilannya norak.“Engga, Sayang. Buruan makan.” Jawab Dimas datar lalu kembali dengan sarapannya.Dewi mendengus pelan. Disaat seperti ini dia membutuhkan saran atau pujian dari Dimas. Tapi pr
“Aduh, Mas, pelan-pelan, sakit,” Dewi meringis kesakitan saat Dimas mengompres pipinya dengan handuk kecil yang sebelumnya dicelup dalam air dingin.Tamparan perih yang Risman daratkan pada wajah wanita itu menyisahkan lebam. Sudah bisa dipastikan tamparannya begitu keras.“Lagian. Kenapa sih, pake bersihin halaman segala. Kan kita bisa suruh orang buat bersihin.” Jawab Dimas sembari mengulangi kegiatan yang sama. Mengompres pipi yang sering dia ciumi. “Hih. Aku itu bosen, Mas, karena nggak ngapa-ngapain. Kamu sih, enak, kerja di kantor, ketemu teman-teman. Ada yang daiajak bercanda. Lah aku?” Dewi mengarahkan telunjuk pada wajahnya yang memperlihatkan ekspresi kesal.Dimas menggeleng pelan mendengar alasan istrinya. Setelah menikah, Dewi mulai agak cerewet, tidak semalu dulu. “Kan bisa cari hiburan, nonton video youtttup mungkin.”Dewi menghembuskan nafas pasrah. Setelah diingat, memang benar apa yang Dimas katakan. Dunia ini tidak bisa diarunginya dengan aman tanpa pria itu disisih
Dimas mengerjap beberapa kali saat netranya tidak menemukan raga sang istri disebelahnya. Sayup-sayup terdengar suara wajan dan serok beradu. Pria bertubuh tinggi itu berjalan ke arah sumber suara. Di dapatinya sang istri sedang memasak, masih menggunakan lingerie berwarna hitam yang dipakai semalam. Pria itu tersenyum melihat kelakuan istrinya. Aroma lezat masakan menguar di dapur minimalis bernuansa klasik tersebut. Dari belakang Dimas memeluk tubuh wanita tersebut. Membuatnya terperanjat, nyaris melempar alat masak yang saat ini ada dalam genggamannya. Untung Dewi cepat sadar. Seandainya reflek ia melempar alat masak tersebut, bisa=bisa wajah tampan suaminya ternoda dengan lepuhan minyak.“Kaget ya?” ucap Dimas sembari membelai leher jenjang istrinya dengan bibir dan hangat hembusan nafas.“Kagetlah, kamu tiba-tiba nongol begitu,” gerutu Dewi atas kemunculan Dimas yang datang tanpa terdengar suara derap kakinya. Dimas tersenyum sembari membelai gemas rambut istrinya yang diikat eko
Dimas menyusuri jalanan ramai dengan hati yang gelisah. Berulang kali ia mengusap kasar wajahnya. Baru saja pria itu menerima kabar kalau ibunya jatuh sakit. Perasaan bersalah kepada wanita yang telah melahirkannya pun muncul. Dimas memutuskan untuk keluar dari rumah sejak Mayang mengancam tidak akan lagi menganggapnya sebagai anak jika Dimas masih menjalin hubungan dengan gadis yang dianggapnya rendahan itu. Didalam ruangan yang didominasi warna putih seorang wanita tua yang amat ia kenali langsung menghadap kanan memunggunginya begitu Dimas menampakkan batang hidung. Dalam hati, Mayang merasa sangat senang dengan kedatangan Dimas. Mungkin putranya merasa menyesal dan bersedia meninggalkan gadis murahan itu saat mengetahui kondisi kesehatanya menurun.“Apa kata dokter, Pa?” tanya Dimas kepada ayahnya yang sedari awal menyambutnya dengan hangat.“Biasa, Dim. Darah tinggi Mama kamu kumat.” Jawaban Suhendar disambut dengan decahan oleh Mayang.Dimas menarik nafas dalam setelah mendengar