Aileen mengunyah roti bakar di tangannya dengan ogah-ogahan. Itu adalah roti yang ia siapkan sendiri padahal Gama sudah memasak nasi goreng untuknya. Sebenarnya, selera makan Aileen sama sekali tidak ada. Namun, ia ada meeting pagi itu sampai siang dan menunjukkan kalau ada masalah dalam rumah tangganya bukanlah pilihan bagus untuknya.Sementara Gama sedang berada di dekat jendela yang mengarah ke kolam renang, memberi arahan kepada Adnan untuk mengambilkan kunci yang semalam ia lempar ke luar.“Udah gila kali lo ya? Kalo ada kebakaran gimana?” oceh Adnan sambil memunguti beberapa kunci di lantai, bahkan salah satunya hampir masuk ke kolam renang.“Udah deh, gue lagi nggak minat berantem. Bukain buruan. Yang gantungan kuncinya warna coklat buat pintu itu.” Gama menunjukkan pintu yang tida jauh darinya.Sambil bersungut, Adnan memasukkan satu anak kunci ke pintu yang ditunjukkan Gama.“Lagian kenapa sih sampe ngelempar kunci rumah ke luar? Aileen mau kabur?” Adnan terdiam setelah beber
“Leen, Gama jemput kamu. Nunggu di luar.”Aileen mendongak dari tumpukan pekerjaannya. Helaan napas kasar keluar darinya. Pagi tadi, ketika ia dan Kemala turun dari lantai 14 di mana unit apartemen Kemala berada, sosok Gama telah menunggunya di depan lobby apartemen. Dia tidak bisa menerka bagaimana cara Gama menemukannya. Mungkin Kemala yang membocorkan keberadaannya atau Gama punya sumber lain.Namun, sore ini, ketika Gama muncul lagi di kantornya, Aileen jadi yakin tentang tujuan laki-laki itu. Apalagi kalau bukan berusaha untuk menyeretnya pulang.“Ok, noted,” jawab Aileen sebelum kembali menekuri draft perjanjian di tangannya.“Nggak disuruh masuk ke sini?”“Biarin aja kalo dia mau nunggu aku kelar. Oh iya, Van, draft MoU yang aku minta tadi siang, kirim ke aku sekarang ya.”“Itu masih ada waktu buat di-review sampe besok kok, Leen.”“Nggak apa-apa, kirim sekarang aja.”Vania sempat mengernyit mendengar permintaan Aileen, tapi pada akhirnya ia mengalah dan pamit keluar dari ruang
“Kok kamu sendiri, Kak? Gama mana?”“Masih ada kerjaan, Ma,” jawab Aileen sambil mencium kedua pipi mamanya. Buru-buru ia mengalihkan pandangan dari tatapan matanya. Sungguh, ia tidak terbiasa berbohong di depan kedua orang tuanya. Mungkin karena itu ia kena karmanya. Pura-pura mencintai Gama dan menikah dengan laki-laki itu. Lalu ketika hatinya mulai terbuka untuk menerima Gama, ia dihianati dengan begitu sadisnya.“Ya udah, sana istirahat dulu.”Aileen mengangguk sebelum berlalu menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Sungguh, sekarang ia bisa mengembuskan napas dengan lega karena mamanya tidak bertanya lebih jauh tentang keadaan rumah tangganya.Ia melemparkan diri ke atas kasur, tidak peduli kalau ia belum bersih-bersih ataupun berganti pakaian. Yang jelas, Aileen benar-benar merasa nyaman, apalagi berada di kamarnya sendiri—kamar yang ia tempati sejak ia masih kecil.***Gama sudah berusaha pulang secepat mungkin, tapi sayangnya ada sedikit masalah dengan proyek film terbaruny
“Kak, ke kantor Mama sekarang ya.”Aileen yang siang itu mendapati telepon dari mamanya tak sempat lagi mempertanyakan keinginan mamanya untuk bertemu. Ia pikir, mungkin mamanya sedang butuh teman bicara terkait masalah batalnya pertunangan Ervin.Meskipun Aileen tidak pernah membayangkan kalau adiknya memiliki kenekatan luar biasa untuk kabur dari acara pertunangan, toh nyatanya ia merasa lega karena tindakan berani adiknya itu. Yang penting Ervin tidak terjebak dalam pernikahan tanpa rasa cinta seperti dirinya.Buru-buru Aileen menyambar tasnya di atas meja.“Van, aku ke tempat Mama ya.”“Sendiri?”Aileen mengangguk. “Mama minta ketemu tiba-tiba. Kalau ada yang nyari, dijadwalin ulang aja ya.”“Ok.”Usai mendapat anggukan dari Vania, Aileen meneruskan langkahnya.Sesampainya di depan kantor mamanya yang merangkap coffee shop, Aileen langsung menaiki anak tangga ke lantai tiga. Langkahnya berhenti di depan sebuah meja kosong tidak jauh dari ruang kerja mamanya.Ia tahu meja itu adala
“Seharian sama Mama?” Gama sedikit bingung karena diminta menjemput Aileen di kantor mamanya.“Nggak seharian sih. Siang tadi diminta ke sini sama Mama.”“Kenapa? Masih masalah Ervin? Mama masih banyak pikiran karena itu?”Aileen menggeleng. “Ervin akhirnya jatuh cinta dan serius sama seorang cewek. Itu salah satu hal yang paling membahagiakan untuk keluargaku.”Gama terkekeh. “Emang separah itu Ervin dulu?”“Hm. Semoga aja dia setia terus kalau nanti udah nikah.”Padahal Aileen sedang mendoakan adiknya, tetapi entah kenapa Gama merasa tersentil. Bukan ia tidak setia, tapi menutupi sesuatu yang besar dalam pernikahan mereka jelas membuat Aileen kecewa besar kepadanya.Gama lantas meraih tangan Aileen, membawanya ke dalam genggaman dan meneghujani punggung tangan istrinya itu dengan kecupan.“Kerjaan lancar?” tanya Aileen tiba-tiba. Ia bisa melihat jelas kalau Gama sedang banyak pikiran. Tidak mungkin hanya memikirkan masalah hubungan mereka membuat Gama seperti itu.Sebuah helaan napa
“Gama, gue rasa lo harus pergi dari sini sebelum pemberitaannya meluas.” Adnan dengan panik mencari keberadaan Gama dan ketika akhirnya ia melihat Gama hanya termenung di depan Kemala, buru-buru Adnan menegurnya.Gama membuka ponselnya, membaca sekilas pemberitaan yang dimaksud Kemala dan Adnan. Ternyata, bukan hanya inisial Arabella yang disebut. Inisialnya pun disebutkan di sana.Hubungan mereka … atau di kalangan entertainer biasa disebut dengan ‘skandal’, yang dulu berusaha mereka tutupi, kini pasti menarik ingatan para pemburu berita yang ingin memunculkan skandal itu ke permukaan.“Aileen ke apart lo lagi?” tanya Gama sambil menatap Kemala.“Lah kan gue masih di sini. Gimana dia naik kalo nggak ada gue.” Kemala memang pernah menawarkan kartu akses apartemennya untuk Aileen, tapi tentu Aileen menolak karena tempat tinggal bagi Aileen adalah sesuatu yang privasi. Setiap Aileen datang ke apartemennya pun, Aileen selalu memberi kabar lebih dulu. Jadi, ia berkata begitu bukan karena
“Jadi masalah aborsi itu bener? Kamu dapat info dari siapa? Lia?” Kalau benar aborsi itu pernah terjadi, maka hanya Arabella, Lia—mantan manajer Arabella, dan ayah si calon bayi itu yang tahu. Jadi tebakan Gama merujuk ke Lia, atau … jangan-jangan Aileen punya akses ke ayah calon bayi itu? Gama mulai pusing dengan potongan puzzle di dalam kepalanya.“Bukannya kamu yang mau cerita ke aku, kenapa jadi aku yang harus jelasin semuanya?” Aileen menatap Gama dengan tidak percaya. Pertama kali mendengar dari Lia, bahkan Aileen sempat berpikir kalau anak yang dikandung Arabella dan akhirnya digugurkan sebenarnya adalah anak Gama.Gama menarik tangan Aileen untuk digenggam, meskipun ia merasakan Aileen seperti ingin menarik tangannya, tapi Gama coba untuk bertahan.It’s the old story.Cerita yang Gama tutupi karena menyangkut aib Arabella—mantan pacarnya. Cerita yang sebenarnya tidak ingin ia buka kalau saja keadaan tidak memaksanya. Namun, karena saat ini keadaannya termasuk kategori memaksa,
Gama membutuhkan waktu beberapa saat untuk sadar dari rasa kagetnya.Aileen telah beranjak dari ruang makan saat Gama masih termenung dan mengatur debaran jantungnya yang menggila.“Aileen.” Gama menyusul Aileen ke kamar mereka.Pemandangan pertama yang Gama lihat adalah dua koper besar milik Aileen yang telah terbuka dan tergeletak di lantai. Satu di antaranya telah berisi beberapa tas.Tak lama kemudian, Aileen terlihat berjalan dari walk in closet sambil membawa setumpuk baju dan meletakkannya ke dalam koper. Tanpa bicara apa-apa lagi, meskipun ia melihat Gama duduk bersimpuh di samping kopernya, Aileen kembali ke walk in closet untuk mengambil barang-barangnya yang lain.Begitu kembali dengan tumpukan pakaian di tangan, Aileen hanya bisa menghela napas lelah saat menyaksikan pakain yang tadi ia masukkan ke dalam koper telah berpindah tempat ke atas karpet.Aileen seperti sedang puasa bicara setelah obrolan panjang mereka di ruang makan. Yang dilakukan Aileen kemudian mengembalikan
"Kamu serius?" Gama mengernyitkan kening setelah mendengar permintaan Aileen sore itu. Aileen mengangguk dengan wajah penuh harapnya. "Kenapa tiba-tiba?" Gama masih belum bisa menghilangkan rasa herannya. Meski memang sejak ada seorang putri menggemaskan di tengah-tengah mereka, Aileen jadi lebih lembut dan … hopeless romantic—kalau bisa Gama simpulkan dengan sebuah frasa. Dan Gama tidak pernah keberatan menghujani Aileen dengan keromantisan seperti yang diinginkan Aileen. "Pengen aja, Gam. Nggak mau ya?" Aileen tidak sadar kalau ia memperlihatkan rasa kecewanya karena Gama seakan menolak ajakannya. "Bukan nggak mau. Tapi semuanya pasti udah beda. Nggak bakal sama kayak dulu. Udah puluhan tahun kan." "Ya nggak apa-apa. Sekalian olahraga. Ya?" rengek Aileen. "Jarak segitu mana bisa disebut olahraga, Cinta. Kalau dulu aja kita kuat apalagi sekarang." "Tapi kan—” Aileen langsung terdiam saat Gama berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri. Ia akhirnya bisa terseny
“Kakek juga punya villa di Bandung, ngapain kita nginep di hotel?” Aileen mengerucutkan bibir kala mobil yang dikendarai sopir berhenti di depan sebuah hotel. Ya meskipun ia juga salah satu bisnis di bawah jaringan Candra Group, tetap saja ia lebih nyaman jika menginap di villa kakeknya. “Villanya Kakek lagi direnov kata Mama.” “Hah? Renov? Apanya?” “Cuma dirapi-rapiin aja dikit. Nanti kita ke sana kok, Mama minta tolong aku buat sekalian ngelihat hasilnya. Tapi sekarang kamu mesti istirahat dulu. Villa Kakek masih ke atas lagi kan, sekitar satu jam dari sini. Kita udah empat jam di perjalanan. Aku nggak mau kamu kecapekan, jadi kita mesti istirahat dulu.” “Iya kita lama di perjalanan itu karena kamu berkali-kali nyuruh sopir buat pelan-pelan.” “Kan biar Kakak nggak keguncang-guncang.” Aileen mengernyitkan kening. Kadang ia masih bingung dengan panggilan ‘Kakak’ yang disebut Gama. Pasalnya dari kecil pun ia dipanggil ‘Kakak’ oleh semua anggota keluarganya, termasuk mama dan papan
“Aku mau nikahin Aileen lagi.”Tiga orang di hadapan Gama—Ervin, Yara, dan Kemala—menatap Gama dengan bingung.“Maksudku, aku mau … semacam ngulang acara pernikahanku sama Aileen. Akad nikahnya sih nggak. Cuma perayaannya aja,” terang Aileen saat melihat ketiga orang di hadapannya benar-benar terlihat kebingungan. “Bisa bantu aku? Karena aku maunya ini jadi kejutan buat Aileen, aku nggak bisa nanya langsung dia maunya gimana. Kalian sebagai orang terdekat Aileen, pasti pernah dong denger gimana pernikahan impian Aileen.”“Emangnya itu bakal ngobatin sakit hatinya Kak Aileen?” sindir Ervin terang-terangan.“Mungkin nggak. Tapi aku mau mewujudkan pernikahan impian Aileen.”Gama sudah memikirkannya jauh-jauh hari. Mungkin ia tidak bisa mengobati sakit hati Aileen karena kelakuannya dulu yang menjadikan acara pernikahan mereka sebagai ajang balas dendam kepada mantan kekasihnya. Tapi setidaknya, ia ingin Aileen memiliki kenangan tentang acara pernikahan yang pernah Aileen impikan.“Jadi,
“Kak Beta, ini adeknya bisa dibawa pergi nggak? Apaan sih? Ngomong aneh-aneh,” gerutu Aileen. “Kamu pikir aku sejahat apa sampe bisa gugurin anakku …, kalau bener aku hamil. Aku bukan dia.”Gama menutup mulutnya, begitu juga dengan Beta yang entah mengapa merasa tersindir, padahal Aileen tidak berniat menyindir siapa pun. Ia hanya mengungkap fakta.“Kayaknya kalian perlu ngobrol. Aku tinggal ya, Gam. Kopermu nanti biar dianter orang ke rumahmu.” Beta lantas beralih ke Aileen. “Selamat ya, Leen. Jangan lupa cek lagi ke dokter.”Aileen hanya bisa mengangguk sambil menatap kepergian kakak iparnya itu. Ia masih malas melihat Gama yang ada di hadapannya, padahal berminggu-minggu sebelumnya ia benar-benar ingin bertemu dengan Gama.“Mau ke dokter sekarang? Kak Beta ada jadwal praktek jam dua. Tapi kalo kamu mau ke dokter lain, coba … biar aku tanya ke stafku di kantor, ada yang udah punya anak kok. Siapa tau dokter kandungannya bagus. Atau … tanya Mama—”“Gam.” Aileen menggeleng. “Jangan bi
"Gama!""Hm?"Kemala semakin menggeram kesal mendengar gumaman Gama. Jelas kalau Gama baru saja bangun tidur atau bahkan sekarang pun masih memejamkan mata setengah tidur."Lo tau kan kalo Aileen nggak enak badan? Lo tau kan kalo Aileen muntah-muntah?" sentak Kemala."Hm?""Bangun, Gam! Gue perlu ngomong serius sama lo."Aileen menatap kosong kepada Kemala. Ia sedang mengabaikan kenyataan bahwa Kemala sedang menghubungi suaminya karena ada kemyataan lain yang harus ia hadapi.Gama terkesiap. Ia kini benar-benar dalam mode siaga. "Aileen kenapa, Mal? Lo masih sama dia kan?""Udah gila ya lo? Denger istri lagi begitu bukannya pulang? Nggak mampu beli tiket lo? Apa urusan di sana lebih penting daripada istri lo?""Mal, Aileen kenapa?"Kemala masih berusaha menenangkan diri sambil mengatur napasnya. Di otaknya hanya ada sumpah serapah untuk Gama. Karena itu, ia tidak menjawab apa pun yang ditanyakan Gama. Fokusnya adalah mengeluarkan semua uneg-uneg yang ada di kepalanya."Pulang lo pagi
“Kamu mau balik, Kak? Ngapain? Di rumah juga nggak ada orang kan.”“Kangen rumah, Pa,” jawab Aileen sembari ikut duduk di samping papanya dan bergelayut manja di lengan sang Papa.“Kangen rumah apa kangen suami? Belum pulang juga tuh si Gama? Emangnya nggak bisa nyempetin waktunya? Weekend gitu, pulang ke Jakarta sebentar. Cuma Kalimantan loh, bukannya Amerika.”“Masalah di tambang belum selesai, Pa. Kalo dia pulang, malah makin lama di sananya nanti,” jawab Aileen menenangkan sang Papa yang sepertinya mulai kesal.Apa itu artinya Aileen tidak kesal dengan suaminya?Jangan salah! Aileen juga kesal setengah mati karena Gama tidak kunjung pulang setelah satu bulan pergi ke Kalimantan. Kadang ia bahkan curiga kalau Gama memiliki perempuan lain di sana. Namun, sleep call yang mereka lakukan setiap malam tidak menunjukkan hal-hal yang mencurigakan."Ajak Bibi, atau Mbak, atau siapa pun dari sini, Kak. Mama sama Papa nggak tenang kalo kamu sendirian di rumah." Rhea menepuk punggung tangan A
“Dari mana lo yakin dia nggak akan balik lagi?” “Yakinlah, at least untuk sementara.” Kemala mengangguk pasti. “Kontraknya lima tahun. Lama ya tanda tangan kontraknya kalo diitung-itung, hampir satu tahun kan ya, setelah kalian depak dia dulu. Tapi sekarang lo bisa lega kan?” Aileen terkekeh. Memang lebih lama dari yang diperkirakannya. Ia dan Gama juga tidak terlalu mengurus kepindahan Arabella atau apa pun yang berkenaan dengan perempuan itu. Namun, pada akhirnya ada kepastian bahwa Arabella akan berkarir di luar untuk sementara waktu. Meski tidak ada yang namanya kontrak untuk selamanya. Suatu hari nanti, kemungkinan besar Arabella akan kembali lagi. Entah apa yang akan terjadi pada hubungannya dengan Gama ketika hal itu terjadi. Lima tahun lagi, mungkin saja hubungannya dengan Gama jadi lebih erat dengan hadirnya seorang anak. Atau … mungkin juga hubungannya jalan di tempat seperti sekarang karena ia yang masih merasa ragu dengan hubungan rumah tangganya. Ini bukan hanya tenta
“Beneran nggak ada kerjaan urgent?”Aileen mengangguk begitu mendengar pertanyaan Gama yang dilemparkannya berkali-kali sejak suaminya itu memintanya untuk ikut bertemu dengan Adit—suami Beta.“Mas Adit ngebolehin nggak ya kalo aku ngajak Risa ke rumah Ibu?” Gama menggaruk kepalanya yang tidak gatal.Perceraian Beta dan Adit memang masih dalam proses. Tapi karena Adit juga masih harus bekerja dan Adit tidak ingin Risa terkontaminasi dengan kelakuan buruk Beta, maka Adit membawa Risa ke Semarang untuk diasuh oleh orang tuanya. Itu juga yang sedang diperjuangkan Adit—hak asuh Risa.“Nanti kita coba yakinin, kalau niat kita cuma ngobatin kangennya Ibu, bukan mau ngambil Risa dan bikin Risa jauh dari Mas Adit.”Jam makan siang sudah hampir berakhir ketika Gama memarkirkan mobilnya di area parkir sebuah hotel.“Ayo, Mas Adit udah nunggu di lobby.”Benar seperti yang dikatakan Gama, Adit tengah duduk di sofa yang berada di lobby hotel sembari memangku Risa yang masih berumur dua tahun.“Hai
“Iklan yang itu cancel juga, Ra.”Arabella menatap manajernya dengan tatapan nyalang. “Gimana sih kamu? Gitu aja nggak becus! Udah berapa iklan yang cancel? Berapa acara yang juga cancel? Kamu bisa bayangin nggak seberapa besar kerugianku?”Jemmi menggaruk pelipisnya. Ia juga tidak bisa apa-apa ketika klien artisnya itu satu per satu memutuskan untuk mundur. Bukan ia tidak becus, tapi ia sudah mencoba negosiasi ulang, berkali-kali, tetapi tetap saja klien mereka memutuskan untuk membatalkan kontrak, baik yang sudah ditandatangani, atau bahkan yang masih tawar-menawar.“Turunin rate-ku deh,” ketus Arabella. Ia yakin banyak juga artis di luar sana yang menurunkan rate-nya di masa paceklik seperti dirinya sekarang. Ini bukan lagi perkara ‘yang penting dapur ngebul’. Kalau hanya untuk urusan hidup sehari-hari, tabungannya jauh lebih daripada cukup. Tetapi ini masalah eksistensi di dunia hiburan. Jangan sampai orang-orang lantas lupa ada seorang artis yang bernama Arabella.“Sudah, Ra. Kam