Begitu melihat nama yang muncul di gawaiku, aku segera mengusap lingkaran hijau ke atas agar telpon tersambung, lalu menempelkan benda itu di telingaku.
“Hallo? Ada apa, Luke?”
“Kak Eka di mana?” tanya Lucas langsung to the point. Ia bahkan tidak mau repot-repot mengucapkan salam. Tetapi, karena aku sendiri sedang malas berbasa-basi, kali ini kubiarkan.
“Aku lagi di⏤” Aku melihat sekitar. “Dekat parkiran C. Kenapa?”
“Oke. Aku otw ke sana,” jawabnya langsun
"Kak Eka kok masih di sini?" Ketika aku sedang sibuk memikirkan bagaimana cara membawa Rian tanpa menimbulkan gosip, suara seseorang dari arah atas tangga membuatku terkejut. Saat aku menoleh ke arah asal suara, Lucas yang sedang menuruni tangga dengan riang itu menatapku sok kaget. "Nunggu siapa, Kak? Nungguin aku ya?" lanjutnya kemudian, sambil menaik turunkan alis menggoda ke arahku. Spontan, aku melirik ke arah Rian, menunjuk pemuda itu dengan gerakan kepala untuk menjawab Lucas. "Dia cedera," jelasku singkat. Lucas pun menoleh ke arah yang kutunjuk. Semula, pemuda itu mengernyitkan dahi. Wajahnya tampak bingung. Namun, setelah ia mengenali identitas pemuda yang berdiri bersandar di dinding di dekatku, wajahnya berubah menjadi benar-benar terkejut. "Ya ampun! Kak Eka banting dia lagi?" tuduhnya tiba-tiba. "NGACO! NGGAK, WOY!" sanggahku langsung dengan nada tinggi, karena kaget, seraya menatapnya tidak terima. "Kakinya cedera karena jatuh dari tangga," jelasku spontan den
"Tunggu di sini sebentar, ya. Saya panggilkan dokter Reefhitch dulu."Aku mengangguk pelan sambil tersenyum."Terima kasih, Suster," ucapku sebelum perempuan muda itu pergi.Ketika kami tiba di rumah sakit beberapa menit yang lalu, Lucas langsung menghentikan mobil di depan pintu IGD.Beruntung, perawat yang menyambut kami langsung mengenaliku. Jadi, setelah membantu membaringkan Rian ke brankar terdekat yang masih kosong dan memeriksa organ vital pemuda itu, ia berinisiatif untuk memanggil kak Naki sebelum kuminta.Otomatis, setelah perawat itu pergi, yang tersisa hanya aku dan Rian berdua saja, karena Lucas masih belum kembali dari memarkirkan mobil.Krik krik
"Kenapa, Kak? Diagnosisku keliru, ya? Lukanya lebih parah?" tanyaku waswas.Alih-alih menjawab pertanyaanku, Kak Naki malah memalingkan wajah hingga ia dan Rian bertemu pandang."Kakimu terkilir, tapi jika dilihat dari kondisinya, ada kemungkinan kalau ada keretakan tulang juga. Jadi, kusarankan untuk me-rontgen kaki dan juga bahumu yang baru sembuh."Begitu mendengar diagnosis kak Naki, aku langsung menatap Rian kaget.Jangan-jangan tadi Rian keberatan dipapah oleh Lucas karena bahunya sakit? Tapi kenapa ia tidak bilang?Sejenak, kami bertemu pandang. Namun, Rian segera mengalihkan pandangan dariku. Namun, entah kenapa, aku mendap
Aku mengerjap lambat.Still loading ...Ini bukan pertama kalinya Reina tidak bisa dihubungi selama beberapa hari.Dulu, gadis pelupa itu juga pernah keasyikan main game sampai mengabaikan gawainya selama beberapa hari. Saat itu, ia sedang liburan keluarga di luar kota. Jadi, aku dan Chariz hanya bisa mencari tahu kabar Reina melalui sosial media Krystal, adik semata wayang Reina. Makanya, beberapa hari ini aku tidak terlalu cemas karena mengira bahwa ada kemungkinan kalau kejadian itu terulang lagi.Kalau Chariz, … sejujurnya aku memang agak cemas, sih.Kar
"Kak, aku buka jendelanya, ya?" tanyaku pada kak Naki yang duduk di sampingku, sibuk mengendalikan kemudi SUV silvernya membelah jalanan kota yang cukup padat sore ini."Ya sudah. AC-nya Kakak matikan ya?""Oke," jawabku seraya menekan tombol di pintu mobil untuk membuka jendela.WUUSHAngin pun seketika menerobos masuk melalui celah yang tercipta saat kaca jendela bergerak turun perlahan. Meniup helai rambutku yang tidak terikat, menyingkirkan mereka sehingga kulit wajahku sepenuhnya merasakan sapuan angin.Mulai nyaman, aku pun menyandarkan punggung dan kepalaku ke sandaran kursi. Tak menunggu lama, kelopak mataku pun tergoda untuk terpejam. Namun, pemandangan di trotoar membuatku kembali terjaga dengan dada yang perlahan t
"Terus, tadi kalian ngobrolin apa?"Aku mengernyitkan dahi, lalu menatap kak Naki tidak paham."... 'Kalian' siapa?" tanyaku balik.Kak Naki balas melirikku sekilas. Tentu saja dengan sorot mata yang sarat akan teguran. Karena alih-alih menjawab, aku malah balik bertanya kepadanya."Kamu sama Rian." Untungnya, kak Naki masih mau menjawab, meskipun singkat dan nada bicaranya agak ketus."Oh. Bukan apa-apa, kok," jawabku sambil lalu, kemudian kembali menoleh ke luar jendela. Dalam hati, aku berharap kak Naki lekas paham kalau aku sedang tidak ingin membahasnya."Terus, kenapa kamu nangis?"Spontan, aku menoleh lagi, menatap kak Naki kaget separuh protes.Ok. Kak Naki memang mengubah topik pembicaraan, tetapi BUKAN TOPIK INI JUGA YANG AKU MAU BAHAS. HADEEH!"Siapa yang nangis?" tanyaku pura-pura tidak paham."Memangnya dengan mata sembab begitu, kamu mau bohongi siapa?" sindir kak Naki seraya melirikku sekilas. Ketika mata kami tidak sengaja bertemu pandang, pria itu tiba-tiba mendengk
Satu kata untuk hari ini, MELELAHKAN.Fisikku memang tidak terlalu lelah, karena setelah pulang dari rumah sakit, aku cenderung bersantai atau melakukan kegiatan yang tidak terlalu menguras energi.Thanks to perban yang membalut pergelangan tangan kananku dan juga penjelasan dari kak Naki, Mama Jessica hampir selalu menyuruhku untuk beristirahat. Namun, sayangnya mentalku tidak seberuntung itu.Berita-berita mengejutkan yang kuterima sore ini benar-benar menghajar ketegaran batinku. Begitu kak Naki selesai menceritakan secuil teorinya, si logis dan hati nurani kembali berdebat cukup sengit.Hasilnya? Kami sepakat untuk mengambil kesimpulan setelah berbincang dengan Zean, karena kebetulan, malam ini
“Sebentar, aku fotokan aja, ya. Nanti kamu cek sendiri.”“Oke. Thank you, ya.”“Don’t mind it.”DEG! DEG! DEG!Seketika, mataku melihat sekitar, mencari botol air minum yang biasa kusimpan di atas nakas sebagai persediaan air darurat. Begitu ketemu, aku segera meneguk hampir separuh isi botol air itu untuk menenangkan jantungku yang berdebar kencang.Sayangnya, alih-alih merasa lebih tenang, di dalam batinku malah terjadi pergolakan hebat setel
Netra biru itu melebar sekilas. Ia menatapku tidak percaya. Lebih tepatnya, ia terlihat seperti tidak menyangka kalau aku akan mengaku secepat ini. Tepat ketika Zean mengalihkan pandangan sambil menghela napas panjang, aku sudah mulai menyiapkan hati untuk omelan yang lebih panjang. "HAHAHAHA!" Bukannya omelan, yang terdengar setelah helaan napas yang dramatis itu justru tawa lepas Zean. Otomatis, dahiku langsung mengernyit. Tak kuasa, aku menatap Zean heran separuh bingung. Bukankah tadi dia sedang marah? Kenapa sekarang Zean malah tertawa? Memangnya ada yang lucu? Sayangnya, alih-alih menjawab keheranan yang terpancar di wajahku, si tampan di layar gawaiku itu malah menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ekspresinya menunjukkan seolah ia sedang berusaha keras menahan tawa saat netra birunya menatapku. Yang lebih parah, tawa Zean tidak juga berhenti setelah lima detik penuh, meskipun tawanya sudah agak reda. Wah! Ini benar-benar rekor! Pasalnya, Zean yang aku kenal selama ini
"Apakah seharusnya aku tidak mengingat lagu itu?" Sengaja, kuungkapkan salah satu prasangkaku. Selama beberapa detik, tidak ada jawaban dari tempat Zean. Namun, saat aku akan memeriksa layar gawaiku, memastikan bahwa telepon masih tersambung, tiba-tiba terdengar suara tawa. Ya. Zean memang tertawa, tetapi entah kenapa aku merasa kalau tawa Zean terdengar sedih. "Bukan begitu, Anna. Aku justru senang Anna mengingatnya, karena aku sendiri hampir melupakannya." Kali ini Zean terdengar tulus. Sama sekali tidak berusaha menutupi nada sedih seperti beberapa detik yang lalu. "Terima kasih karena masih mengingat dan menyanyikan lagu itu untukku, Anna. I think I'll have a really nice dream tonight." Kedua ujung bibirku tak kuasa terangkat. Dalam benak, aku membayangkan Zean, dengan wajah letihnya, sedang tersenyum saat mengatakannya. "Istirahatlah, Zean. Thank you for the best present ever. Good night. Sleep tight." "My pleasure, Princess. Good night." ***** "Ma," panggilku lirih
"HOAAEEEMM!" Tiba-tiba Zean menguap. "Can we talk about it next time, Anna? Please?" mohonnya dengan nada lelah. Apakah Zean sedang berusaha menghindar? "Karena ini akan jadi pembahasan yang panjang, Anna. Dan menurutku, akan lebih baik jika aku menjelaskannya secara langsung padamu. Bagaimana?" "Lagipula, aku juga tidak ingin menyita waktu istirahatmu lebih lama dari ini," imbuh Zean lagi setelah jeda sedetik. Usai menimbang keputusan selama beberapa saat, aku mengangguk pelan. Ketika aku melihat jam dinding, ternyata sudah jam dua subuh. Pantas saja tadi Zean bicara begitu. "Baiklah. Ini sudah terlalu larut, dan kamu juga perlu beristirahat." Diam-diam, aku menghela napas panjang. Menyesali kebodohan dan tingkahku yang tidak tahu diri. Bisa-bisanya aku sempat berpikir untuk menginterogasi Zean saat ini juga demi memuaskan rasa penasaranku. "Should I sing you a lullaby?" tanya Zean tiba-tiba. Setelah berkedip dua kali dan mencerna kata-katanya, aku spontan tertawa. "Kan
Aku menyipitkan mata menatap Papa. “Papa tidak percaya pada kemampuanku? Atau Papa tidak suka aku magang di sana?” Sejujurnya, aku sedikit terluka dengan cara Papa mengucapkannya. Aku tak kuasa merasa bahwa Papa meremehkanku. Atau memang sejak awal, Papa tidak memiliki ekspektasi apa pun padaku? Karena itu, ia berpikir kalau kepercayaan diri tentang hasil studiku adalah hal yang menggelikan? Papa menatapku sekilas, lalu menggeleng. “Maksudku bukan begitu.” Ia berdehem sekilas, lalu melanjutkan bicara. "Aku yakin kau akan diterima magang di sana. Hanya, aku tidak yakin kau akan betah magang di sana." Alisku berkedut. Dahiku mengernyit. "Memangnya kenapa?" "Sayang? Astaga! Ternyata kau ada di sini!" Seketika, pembicaraan kami terputus. Fokus mata kami beralih pada sosok yang baru saja memasuki dapur. Dengan langkah lebar dan wajah penuh kelegaan, perempuan cantik yang mengenakan camisole dress dengan motif yang sama dengan piyama Papa itu menghampiri kami. Ia menarik kursi di samp
Papa mengangguk santai."Ada 'Tikus' di perusahaan yang membawa kabur dana perusahaan dengan jumlah yang cukup besar. Sialnya, ternyata dia cukup cerdik dan licin karena butuh waktu yang agak lama untuk menangkapnya," cerita Papa sambil mengambil lagi sepotong puding mangga ke dalam mangkuknya."Kebetulan, peristiwa itu juga terjadi pada saat kondisi keuangan perusahaan sedang tidak bagus. Jadi, efeknya cukup berat, dan tuntutan dari para pemegang saham membuat situasi menjadi lebih buruk lagi."Papa diam sejenak sambil menatapku beberapa saat, seolah sedang memeriksa reaksiku. Jadi, aku balas menatapnya dengan tatapan menyimak."Lalu, apa yang terjadi?" tanyaku.Papa menarik salah satu ujung bibirnya dan membentuk seringai s
Langit di luar sana masih gelap. Angka yang berfungsi sebagai penunjuk waktu di layar gawaiku juga menegaskan bahwa sekarang masih tengah malam. And here I am, tiduran di atas tempat tidur dengan benak dan mata yang masih terjaga seratus persen. Jadi, daripada aku membuang waktu tidak jelas karena tidak bisa tidur, lebih baik aku membuat susu hangat. Well, rencananya sih begitu. Tetapi ketika aku membuka pintu lemari es, hatiku langsung dicobai. Bagaimana tidak? Padahal tadi pagi aku cek lemari es ini hanya berisi sayur dan buah-buahan. Sama sekali tidak ada camilan. Namun, di depanku sekarang ada dua kotak besar dengan logo toko dessert kesukaanku yang ditata bersisian di sab tengah. "TUNGGU DULU! Jangan-jangan ini puding dan fruit cake yang Mama bilang tadi?" Daripada bimbang terlalu lama, aku nekat mengeluarkan salah satu kotak dan memeriksanya. Kalau memang isinya bukan dessert yang kuinginkan, aku tinggal mengembalikan ke tempat semula, 'kan? Dengan hati-hati, aku letakka
Dari segala situasi yang pernah kualami, saat ini adalah momen terlangka dalam hidupku. Bagaimana tidak? Orang yang selama ini berkoar-koar akan selalu memihakku, malah berada di seberang, tempat "lawanku" berpijak. Sementara sosok yang selama ini kupikir sama sekali tidak menyukai eksistensiku, malah mengeluarkan statement seolah ia berada di pihakku. Well, secara keseluruhan, yang diucapkan Papa Ian memang terdengar normal. Netral. Tidak berpihak. Namun, pada saat yang sama, aku merasa sedang dibela. "Kau sudah makan malam?" Pertanyaan Papa Ian kemudian membuatku kembali terkejut.
Suasana di sekitarku perlahan menjadi senyap. Sambil menatapnya menyimak, aku berusaha fokus mendengarkan suara Zean.“Lho? Kak Eka sudah pulang?”ASTAGA!Seketika aku terlonjak kaget. Kemudian, aku segera menoleh ke arah asal suara.Rencananya, aku hendak memarahi adik bungsuku karena memanggilku tiba-tiba dan membuat Zean mengurungkan penjelasannya. Namun, ketika aku melihat Chris yang sedang berjalan ke arahku sambil memberiku tatapan bingung, aku langsung membatalkan niatku.Memarahinya di lokasi yang masih bisa didengar oleh Papa Ian tidak akan memberikan kesan yang baik pada reuni kami. Jadi, aku hanya menghela napas panjang, berusaha menenangkan jantungku yang masih berdegup kenca
Awalnya, aku memang ingin menyerah untuk menebak hadiah dari Zean. Sayangnya, rasa penasaranku jauh lebih besar. Jadi, meskipun aku terus berusaha mengalihkan pikiran, imajinasiku selalu kembali memikirkan segala kemungkinan yang bisa menjadi hadiah pria itu.“Kamu nggak kasih hadiah yang berbahaya ‘kan, Zean?” tanyaku curiga seraya melirik Zean tajam ketika kami berdiri di depan pintu rumahku.Pria yang berdiri di sampingku itu langsung menahan tawa setelah mendengar pertanyaanku.“Kalau Anna memang sepenasaran itu, bagaimana kalau kuberitahu saja apa hadiahnya?” tawarnya sambil menatapku menggoda.Segera, aku menggeleng tegas. “Nggak! Nggak usah! Jangan spoiler