Si Kembar melanjutkan perjalanan dari rumah Mira ke alamat yang diberikan Sukma. Alamat yang diduga sebagai tempat penyekapan Anya atau persembunyian Dokter Hardian. Di lain sisi, Inspektur Yoga juga mengirimkan beberapa anggota kepolisian termasuk Bripka Adi menuju lokasi tersebut. Mereka berharap bisa meringkus Dokter Hardian dan segera menyelesaikan kasusnya. Tempat yang akan mereka tuju cukuplah jauh. Bisa memakan waktu satu jam perjalanan. Si Kembar tidak menyangka tempat yang akan mereka datangi ini bukanlah kota yang sebelumnya mereka kunjungi. Itu artinya Juno memang berusaha memburamkan keberadaan Dokter Hardian dengan kemampuan menyamar dan berada di kota itu. "Apa sebenarnya rencana kalian?" tanya Airen penasaran pada Airel. Sejak perbincangan melalui telepon dengan Inspektur Yoga, ia belum menceritakan apa pun. "Kau tahu kan Dokter Hardian sangat menginginkan kita. Jadi aku pikir kenapa kita tidak bertamu saja ke tempat persembunyiannya?" jawab Airel enteng. "Kau sudah
"Sepertinya ada tamu yang tak diundang," kata Hardian lantang. Ia yakin dugaannya benar karena melihat pintu pagar yang bergeser dari posisi semula. Sementara itu Airel yang masih bersembunyi sadar bahwa Dokter Hardian sudah mencurigai keberadaannya. "Sepertinya aku sudah ketahuan," bisik Airel di panggilan grup telepon. "Kita akan lakukan rencana B, sebentar lagi aku akan keluar dari persembunyian.""Kau harus berhati-hati! Jangan beri kesempatan dia menyakitimu," kata Bripka Adi dari seberang telepon. "Sebaiknya kau keluar saja, tempat ini terlalu kecil untukmu bersembunyi," ujar Dokter Hardian pongah. Setelah merasa siap, Airel langsung keluar dari persembunyiannya. "Bagaimana kabar Anda, Dokter Hardian? Sudah lama kita tidak bersua."Lelaki itu menyeringai saat mendengar suara yang datang dari arah belakang—terasa sangat familier. Ia pun membalikkan tubuhnya ke arah sumber suara. Netranya mendapati gadis kecil yang memasang wajah penuh percaya diri. "Oh, ternyata tamu yang sa
Hardian berjalan tertatih menyusuri sisi jalan. Kakinya terkilir karena meloncat dari tembok. Setidaknya ia masih bersyukur masih bisa berjalan meski harus terseok-seok daripada kakinya harus tertembak. Sembari memaksa dirinya harus bergerak, ia mengedar pandangan ke sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mengejarnya. Namun, ia juga sadar tidak mungkin terus menyusuri jalan. Itu akan membuatnya mudah terlihat. Ia harus segera menemukan tempat bersembunyi sementara, setidaknya sampai rasa sakit di kakinya mereda. Seingatnya sekitar dua ratus meter dari tempatnya berdiri, ada sebuah jalan kecil yang di dalamnya terdapat sebuah kios bekas yang sudah lama tidak dipakai. Ia rasa bisa bersembunyi di sana untuk beberapa saat. Ternyata ingatannya tidak meleset, bangunan itu memang ada. Tanpa menunggu lagi ia langsung bersembunyi di balik dinding kayu yang sudah lapuk. Ia duduk dengan kedua kaki terjulur untuk mengurangi rasa ngilu di sekitar mata kaki. "Sialan, bagaimana polisi bisa tah
Pistol yang tadinya dalam genggaman Hardian terlempar begitu saja ke tanah. Ia tarik tangannya yang berdarah ke dada dan mendekapnya erat. Sambil menahan rasa sakit, ia melihat ke arah asal tembakan. Tampak Bripka Adi masih berdiri menyamping—posisi menembak—dan menatapnya lekat. "Sialan," Umpat Hardian. Setelah merasa sudah melumpuhkan lawannya, Bripka Adi datang menghampiri Hardian dengan langkah yang lebar dan tangan kanannya masih memegang pistol. Meski begitu, Hardian tidak merasa takut. Ia pikir masih bisa memberikan perlawanan. Sejurus kemudian ia berupaya untuk mengambil pistolnya yang telah terjatuh. Namun, dengan sigap Airel sadar niat lelaki itu. Ia langsung menendang Hardian tepat di bagian dada sehingga membuat lelaki itu jatuh telentang. Bripka Adi yang baru saja tiba di dekat Hardian langsung menarik lengan buronan itu ke belakang, lalu memborgolnya. Hardian hanya bisa meronta kesal karena kalah serta menahan rasa sakit tangannya yang terus berdarah. "Kita akan ke k
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit saat mobil Alfie dan Airel memasuki halaman rumah. Seharusnya mereka bisa tiba lebih cepat kalau saja Alfie tidak mengajak Airel mampir ke sebuah kedai kopi. Katanya ingin bertemu dengan teman lama. Airel tentu saja tidak punya pilihan lain selain menurutinya. Di kedai itu, mereka duduk di meja yang terpisah. Alfie dan temannya duduk di pinggir, sedangkan Airel duduk di sudut ruangan. Airel bisa memaklumi itu, mungkin saja ada pembicaraan yang tidak seharusnya ia boleh dengar. Saat berdiri di depan rumah, mereka bisa melihat ruangan tamu dan lantai atas tampak terang. Itu artinya Airen sudah tiba duluan. Biasanya kalau rumah itu kosong, mereka hanya menyalakan lampu teras saja. Setelah masuk ke rumah. Ternyata Airen sudah menunggu di ruang tamu. Wajahnya sedikit cemberut. "Kemana saja kalian?" tanyanya dengan tatapan tajam. "Inspektur Yoga bilang kalian sudah pulang sore tadi, harusnya kalian sudah sampai di rumah tidak s
Inspektur Yoga sudah duduk tersandar di kursi kerjanya. Ia sedang menunggu laporan dari Bripka Adi. Setelah melihat jam tangan sekilas, seharusnya Bripka Adi akan tiba dalam waktu lima menit. Entah kenapa hari itu ia tidak sabar menunggu. Padahal biasanya ia lebih santai karena merasa segala kejadian pasti akan dilaporkan. Apa mungkin karena Bripka Adi membawa laporan penyidikan tentang Hardian? Ya, mungkin memang karena itu. Sehari sebelumnya ia telah memercayakan kepada Bripka Adi untuk melakukan interogasi terhadap Hardian. Sebenarnya ia ingin melakukan itu sendiri. Namun, karena adanya pekerjaan lain yang tidak bisa ditunda, ia pun terpaksa meminta Bripka Adi menggantikannya. Belum sampai lima menit menunggu, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Itu pasti Bripka Adi pikirnya. "Masuk!" titahnya tanpa melepaskan pandangan dari pintu ruangan kerja. Benar saja, Bripka Adilah yang datang. Pria itu berjalan dengan langkah tegap menghampiri meja Inspektur Yoga sembari membawa se
Setelah beberapa saat, Inspektur Yoga tetap tak kunjung bicara. Bripka Adi mulai merasa terintimidasi dengan tatapan tajam itu. "Maaf, Pak. Kenapa saya dilihat seperti itu?" tanya Bripka Adi ragu-ragu. Inspektur Yoga langsung mengalihkan pandangan. "Maaf, jika membuatmu jadi tidak nyaman. Aku hanya ingin memastikan kau sudah yakin dengan seluruh deduksimu.""Yakin? Saya tidak mengerti maksud Bapak.""Begini," ucapnya sepatah seraya menarik napas dalam-dalam. "Penjelasanmu sejauh ini sudah sangat logis. Namun, coba pikirkan baik-baik tentang pernyataanmu mengenai Hardian yang memanfaatkan pelecehan Anggi untuk menjerat Edi ke penjara. Kalau memang demikian, maka bagaimana cara Hardian memunculkan kasus itu ke publik? Apa yang sudah dilakukannya?" lanjutnya lagi. Pertanyaan itu membuat Bripka Adi terdiam. Ia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Memang terkesan sepele, tetapi bisa menjadi petunjuk. Seketika otaknya mulai berpikir mengapa kasus pelecehan itu bisa tersebar. Sejau
Alfie buru-buru keluar dari kamar sambil membawa laptop. Ia berjalan menuju ruang tengah dan menghampiri si Kembar yang sedang bercengkerama. "Kalian sedang sibuk?" tanyanya basa-basi sembari menatap si Kembar bergantian. "Tidak," sahut Airen dengan mulut masih mengunyah makanan. "Sepertinya Paman ingin membicarakan hal yang penting.""Ya, kurang lebih begitu."Mendengar balasan itu, Airel langsung beringsut ke samping untuk memberikan ruang agar Alfie bisa duduk di sampingnya. "Apa yang ingin Paman bicarakan?" tanyanya setelah Alfie duduk. Lelaki berambut putih itu meletakkan laptop di meja. Roman wajahnya tampak serius. "Paman sudah mendapatkan hasil pemeriksaan ponsel yang Airel berikan kemarin. Hasilnya sesuai dengan apa yang Paman perkirakan."Airen langsung menyudahi makannya. Seketika ia menjadi penasaran. Ia taruh bantal kursi ke pangkuan dan memasang kuping lebar-lebar. Tampangnya jelas sudah tidak sabar menunggu penuturan lanjutan dari Alfie. "Aku coba tebak," sela Aire
Ingin rasanya Hardian mengelak dari tuduhan Airel, tetapi ia tidak punya alasan untuk membantah. Membunuh Yofi memang bukan kemauannya. Itu adalah permintaan dari Juno. Seharusnya ia menargetkan Sukma terlebih dahulu. Namun, Juno memaksanya untuk merubah target dan ia pun harus melakukan hal tersebut. Saat itu Juno mengatakan bahwa Yofi akan mempersulit pergerakan mereka. Selain itu karakteristik yang dimiliki Yofi juga memiliki kemiripan dengan tulisan Hardian yang ada di buku merah—ahli menyamar dan penggemar Lupin—sehingga itu tidak akan terlihat berbeda dari rencana awal. Oleh karena itu, selain dari tekanan yang diberikan Juno, Hardian pun terpaksa setuju. Jika memang perkataan Juno benar, maka ia tidak ingin Yofi menjadi penghalang dalam eksekusi rencananya. "Kenapa kau bisa berkata demikian?" selidik Hardian sekaligus mencari celah untuk mengelak. "Karena aku tahu kau tidak bergerak sendirian.""Apa buktinya?" tantangnya lagi. "Kau bicara seperti itu seakan aku tidak mempers
Airel mengadu pandangan Hardian tanpa gentar sedikit pun. Meskipun lelaki itu mulai terselimuti amarah, Airel berusaha tetap tenang agar bisa mengontrol keadaan. Ia pun menegakkan tubuhnya dengan duduk setengah menyandar, kemudian berkata, "Mungkin kau akan merasa puas setelah menyingkirkan mereka, tapi tidakkah kau sadar akibat dari yang telah kau lakukan? Ayah angkatmu hampir saja mendekam di penjara atas tindakan yang tidak pernah dilakukannya. Lalu apa bedanya kau dengan orang-orang yang pernah jahat padamu?" tutur Airel. Kata-kata Airel seketika membuat ingatan Hardian kembali pada masa kecilnya. Sejak kecil ia memang sudah terlihat berbeda dengan anak seusianya. Ia lebih tertarik dengan hal yang dilakukan oleh orang dewasa, bahkan sangat senang mempelajari sesuatu yang rumit. Tak heran jika ia tergolong sebagai anak yang cerdas di lingkungannya. Kurniawan—ayah angkat Hardian—bukanlah tipe orang tua yang akrab dengan anak-anaknya, tetapi ia tidak juga membenci mereka. Alasan i
"Apa maksudmu menunjukkan gambar itu?" tanya Hardian. "Kau memang lupa atau sedang berpura-pura," sindir Airel. "Bagaimana mungkin kau tidak ingat sama sekali dengan tempat itu."Tempat yang dimaksudkan Airel adalah gambar sebuah panti asuhan yang sedang ditampilkan oleh proyektor. Panti asuhan itu pernah berdiri lebih dari lima puluh tahun yang lalu. Sayangnya, tempat penampungan yatim piatu tersebut terpaksa ditutup sepuluh tahun belakangan ini dikarenakan kurangnya donatur. Berdasarkan hasil penelusuran yang didapatkan Ethereal, mereka yakin panti asuhan tersebut merupakan tempat yang pernah membesarkan Hardian. "Aku tidak paham maksudmu," elaknya lagi. "Kau yakin tidak paham?" pancing Airel. Hardian menyengir. "Usaha yang cukup bagus untuk mendesakku, tetapi aku tetap tidak mengerti arah pembicaraanmu.""Jadi, kau tidak mau mengaku?" desak Airel lagi. "Pengakuan seperti apa yang kau mau? Jangan terlalu membuang waktu dengan gambar semacam itu."Airel sadar Hardian sedang beru
Setelah Alfie menjelaskan rencananya pada Inspektur Yoga. Akhirnya polisi muda itu pun setuju untuk melakukannya. Sebagai langkah awal, Alfie memercayakan Airel untuk melakukan interogasi kembali terhadap Hardian. Kini gadis bersurai hitam itu telah menunggu di ruangan yang ukurannya tidak lebih dari dua belas meter persegi. Ruangan itu tidak tampak seperti ruangan interogasi. Suasananya begitu hangat dan tenang yang didominasi oleh warna hijau pastel. Airel duduk di atas kursi kayu dengan kaki menyilang. Tepat di hadapannya ada sebuah meja persegi kecil dan kursi lain yang sengaja disediakan untuk Hardian. Ruangan itu terhubung dengan ruangan lain yang dipisahkan oleh cermin satu arah. Sehingga ruangan tersebut bisa diamati dari ruangan sebelahnya di mana telah ada Airen dan Alfie yang turut mengawasi.Selang beberapa menit kemudian, daun pintu di ruangan Airel terbuka. Tampak seorang sipir dan Hardian berdiri di bibir pintu. Sipir itu langsung melangkah masuk dan menuntun Hardian du
Belum genap pukul sepuluh pagi, Alfie dan si Kembar sudah menghadap Inspektur Yoga. Kali ini suasana tidak seperti biasanya yang lebih santai. Raut Inspektur Yoga jelas sedang menuntut penjelasan. "Terima kasih sudah mau datang memenuhi permintaanku. Tanpa perlu berpanjang lebar lagi, aku hanya ingin melanjutkan pembicaraan di telepon kemarin," ujar Inspektur Yoga memulai pembicaraan. "Tentu saja," timpal Alfie sambil mengangguk samar. "Memang untuk itu kami datang kemari."Inspektur Yoga menegakkan tubuh diikuti tatapan serius. Kedua tangannya tertumpu di meja. "Jujur saja aku tidak bermaksud menuduh kalian di sini. Kami—pihak kepolisian—hanya menemukan banyak ketimpangan setelah menginterogasi Hardian. Jadi, aku harap kalian bisa mengerti dan mau membantu." Kata-kata itu membuat Alfie mengukir senyuman tipis di bibir. "Sangat halus sekali pernyataanmu barusan, tetapi penuh keyakinan bahwa kami memang menyembunyikan sesuatu dari kepolisian. Aku suka cara seperti itu.""Saya tidak
Alfie buru-buru keluar dari kamar sambil membawa laptop. Ia berjalan menuju ruang tengah dan menghampiri si Kembar yang sedang bercengkerama. "Kalian sedang sibuk?" tanyanya basa-basi sembari menatap si Kembar bergantian. "Tidak," sahut Airen dengan mulut masih mengunyah makanan. "Sepertinya Paman ingin membicarakan hal yang penting.""Ya, kurang lebih begitu."Mendengar balasan itu, Airel langsung beringsut ke samping untuk memberikan ruang agar Alfie bisa duduk di sampingnya. "Apa yang ingin Paman bicarakan?" tanyanya setelah Alfie duduk. Lelaki berambut putih itu meletakkan laptop di meja. Roman wajahnya tampak serius. "Paman sudah mendapatkan hasil pemeriksaan ponsel yang Airel berikan kemarin. Hasilnya sesuai dengan apa yang Paman perkirakan."Airen langsung menyudahi makannya. Seketika ia menjadi penasaran. Ia taruh bantal kursi ke pangkuan dan memasang kuping lebar-lebar. Tampangnya jelas sudah tidak sabar menunggu penuturan lanjutan dari Alfie. "Aku coba tebak," sela Aire
Setelah beberapa saat, Inspektur Yoga tetap tak kunjung bicara. Bripka Adi mulai merasa terintimidasi dengan tatapan tajam itu. "Maaf, Pak. Kenapa saya dilihat seperti itu?" tanya Bripka Adi ragu-ragu. Inspektur Yoga langsung mengalihkan pandangan. "Maaf, jika membuatmu jadi tidak nyaman. Aku hanya ingin memastikan kau sudah yakin dengan seluruh deduksimu.""Yakin? Saya tidak mengerti maksud Bapak.""Begini," ucapnya sepatah seraya menarik napas dalam-dalam. "Penjelasanmu sejauh ini sudah sangat logis. Namun, coba pikirkan baik-baik tentang pernyataanmu mengenai Hardian yang memanfaatkan pelecehan Anggi untuk menjerat Edi ke penjara. Kalau memang demikian, maka bagaimana cara Hardian memunculkan kasus itu ke publik? Apa yang sudah dilakukannya?" lanjutnya lagi. Pertanyaan itu membuat Bripka Adi terdiam. Ia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Memang terkesan sepele, tetapi bisa menjadi petunjuk. Seketika otaknya mulai berpikir mengapa kasus pelecehan itu bisa tersebar. Sejau
Inspektur Yoga sudah duduk tersandar di kursi kerjanya. Ia sedang menunggu laporan dari Bripka Adi. Setelah melihat jam tangan sekilas, seharusnya Bripka Adi akan tiba dalam waktu lima menit. Entah kenapa hari itu ia tidak sabar menunggu. Padahal biasanya ia lebih santai karena merasa segala kejadian pasti akan dilaporkan. Apa mungkin karena Bripka Adi membawa laporan penyidikan tentang Hardian? Ya, mungkin memang karena itu. Sehari sebelumnya ia telah memercayakan kepada Bripka Adi untuk melakukan interogasi terhadap Hardian. Sebenarnya ia ingin melakukan itu sendiri. Namun, karena adanya pekerjaan lain yang tidak bisa ditunda, ia pun terpaksa meminta Bripka Adi menggantikannya. Belum sampai lima menit menunggu, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Itu pasti Bripka Adi pikirnya. "Masuk!" titahnya tanpa melepaskan pandangan dari pintu ruangan kerja. Benar saja, Bripka Adilah yang datang. Pria itu berjalan dengan langkah tegap menghampiri meja Inspektur Yoga sembari membawa se
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit saat mobil Alfie dan Airel memasuki halaman rumah. Seharusnya mereka bisa tiba lebih cepat kalau saja Alfie tidak mengajak Airel mampir ke sebuah kedai kopi. Katanya ingin bertemu dengan teman lama. Airel tentu saja tidak punya pilihan lain selain menurutinya. Di kedai itu, mereka duduk di meja yang terpisah. Alfie dan temannya duduk di pinggir, sedangkan Airel duduk di sudut ruangan. Airel bisa memaklumi itu, mungkin saja ada pembicaraan yang tidak seharusnya ia boleh dengar. Saat berdiri di depan rumah, mereka bisa melihat ruangan tamu dan lantai atas tampak terang. Itu artinya Airen sudah tiba duluan. Biasanya kalau rumah itu kosong, mereka hanya menyalakan lampu teras saja. Setelah masuk ke rumah. Ternyata Airen sudah menunggu di ruang tamu. Wajahnya sedikit cemberut. "Kemana saja kalian?" tanyanya dengan tatapan tajam. "Inspektur Yoga bilang kalian sudah pulang sore tadi, harusnya kalian sudah sampai di rumah tidak s