Darren dan pak Sugeng tercenung mendengar ucapan Sabrina. Yang dikatakan kembaran Jessi itu ada benarnya. Jika hubungan Darren dengan keluarganya renggang, Angelica pasti bahagia. Bisa saja tujuan Angelica memang demikian. "Mas ...." panggil Sabrina lembut, menyentuh telapak tangan sang suami. "Nanti aku pikirkan lagi," kata Darren meninggalkan Sabrina dan pak Sugeng yang duduk di ruang tamu. Darren masuk ke dalam kamar, merenungi ucapan istrinya. "Sabrina, enggak apa-apa, Nak. Kamu jangan bersedih. Papa yakin, sebentar lagi Darren mau kembali lagi ke rumah," kata pak Sugeng melihat kesedihan di raut wajah Sabrina. Wanita itu menganggukkan kepala. Tersenyum tipis. "Aamiin. Semoga saja, Pa. Saya juga kasihan pada mama.""Ya sudah, Papa berangkat ke kantor sekarang."Pak Sugeng beranjak, keluar dari apartemen menuju kantor. Setelah kepergian pak Sugeng, Sabrina masuk kamar. Terlihat Darren sedang mengenakan dasi. Sabrina berdiri di hadapan Darren, membantu suaminya mengenakan dasi.
Sekitar pukul tujuh malam, ibu Anita datang menjenguk ibu Renata yang duduk di ruang keluarga. Ia tak mau di dalam kamar terus."Astaga Renata, kenapa kamu sakit-sakitan terus?" tanya ibu Anita duduk di samping sahabatnya. "Kamu ada apa datang ke sini? Anakmu membuat masalah lagi?" terka ibu Renata dan mengabaikan pertanyaan wanita yang duduk di sampingnya. Ibu Anita jadi bingung menjawab. Satu sisi dia tidak ingin bercerita, mengingat kondisi ibu Renata yang tak enak badan. Sisi lain, dia tak tahu lagi pada siapa akan bercerita? Ibu Anita butuh teman bicara. "Kalau kamu ingin cerita, cerita saja. Aku akan mendengarkannya," sambung ibu Renata seolah tahu yang ada di dalam pikiran ibu Anita. Ibu Anita berdehem, ia mengubah posisi duduk, lebih menghadap sahabatnya. "Rupanya ada kamu di sini, ibu Anita," ucap pak Sugeng yang tiba-tiba datang ke ruang keluarga. Ibu Anita mendongak, tersenyum tipis. "Maaf kalau kedatangan saya mengganggu.""Enggak. Justru saya berterima kasih. Kalau
"Mama!" panggil Sabrina berjalan cepat menghampiri wanita yang tubuhnya terlihat lebih kurus. Sabrina meraih telapak tangan ibu Renata, mencium punggung tangan takzim, lalu dengan penuh kerinduan, ibu Renata memeluk tubuh menantunya. "Sabrina, terima kasih, Nak ... terima kasih udah datang ke sini lagi. Terima kasih ...."Dalam pelukan, ibu Renata menangis. Darren dan ibu Anita yang menyaksikan terharu melihat kedekatan ibu Renata dengan Sabrina. "Mama sakit apa? Kenapa Mama sampai diinfus begini, Maa?" Sabrina duduk bersimpuh di bawah kedua kaki ibu mertua. Ibu Anita mempersilakan Sabrina agar duduk di sofa tempatnya supaya lebih dekat ibu Renata. "Terima kasih, Tante.""Sama-sama, Sabrina. Darren, Renata, kalau begitu saya pulang dulu. Udah malam juga," ucap ibu Anita yang tak mau mengganggu kebersamaan mereka. Ibu Anita tahu kalau ibu Renata sangat menginginkan kedatangan Darren dan istrinya. "Mama mau aku anterin pulang?"Ibu Anita terkejut mendengar Darren yang masih menyebut
Ditempat lain, di sebuah gubuk kecil pinggiran kota seorang wanita berwajah kusam, pakain kumal sedang menyantap sebungkus nasi untuk mengganjal perutnya. Wanita itu sekarang sudah tidak cantik lagi. Badannya tercium bau busuk yang berasal dari salah satu alat v1talnya. Namun, kondisinya yang demikian tidak membuat wanita yang tengah lahap menghabiskan nasi bungkus sisa semalam itu tak merasa malu. Kubungan lalat sudah menjadi teman akrab. Di tengah menyantap nasi bungkus, tiba-tiba saja perutnya sakit. Mungkin karena memakan nasi yang sudah basi. Dengan kasar, wanita yang sekarang bernama Wati itu membuang nasi, mengambil kantong plastik hitam, lalu membuang kotorannya di pinggiran sungai yang dipenuhi sampah.Perut Wati sudah mulai merasa lebih baik. Hanya satu bagian tubuhnya yang mulai membusuk. Namun, ia tak peduli. Sudah terhitung empat bulan Wati tinggal di tempat kumuh. Sebelumnya ia pernah tinggal di Jogyakarta, di Bali bahkan sempat di kota Batam. Tujuannya berpindah tempat
Benar saja, tidak berselang lama, Sabrina yang tengah mengandung benih Darren itu keluar dari dalam rumah. Angelica meletakkan tas usangnya di atas lantai. Sebilah pisau sudah berada di tangan. Napas Angelica semakin memburu melihat kebahagiaan yang terpancar dari raut wajah Sabrina, wanita yang berhasil membuat Darren menceraikannya, wanita yang telah membuat ibu Renata mengusirnya. "Kali ini kamu akan m4ti, Sabrina. Harus m4ti."Pada saat ibu Renata dan Sabrina hendak turun dari teras depan rumah, dengan sekuat tenaga, Angelica berlari sambil membawa pisau dengan erat. "Ciaaaatttttt ...." Teriakan Angelica membuat ibu Renata dan Sabrina terkejut. Kedua mata mereka membeliak melihat seorang wanita berpakaian lusuh seperti pengemis mengangkat pisau ke udara yang diarahkan pada Sabrina. "Sabrina awaaaaassss ...." Dengan sigap, Ibu Renata menghadang tubuh Sabrina hingga perut yang terkena tusukan pisau Angelica bukanlah perut Sabrina melainkan ibu Renata. "Mamaaaaaaa!" Jeritan Sabri
Hati Darren dan Sabrina sangat bahagia melihat kelahiran buah hati mereka. Darren baru saja melantunkan azan dan iqomat di kedua telinga anak-anaknya. Sabrina berhasil melahirkan secara normal, tidak melakukan operasi caesar. Setengah jam masuk ke ruangan operasi, kedua bayi berjenis kelamin laki-laki itu telah lahir."Terima kasih, Sayang. Kamu wanita yang hebat. Kamu sangat kuat. Lihatlah, dua anak kita. Mereka lahir dengan selamat dan sehat," ucap Darren pada Sabrina yang masih tergolek lemah di atas ranjang pasien. Senyum Sabrina terlihat tipis. Ia tak lupa akan kejadian beberapa jam lalu. Kejadian yang hampir membuatnya terbunuh. Di balik kebahagiaan yang mereka alami, ada kesedihan mendalam mengingat ibu Renata yang menghalanginya dari aksi kejahatan Angelica. "Mas, bagaimana kabar mama?" Pertanyaan Sabrina membuat senyum Darren memudar. Lelaki yang tengah menggendong bayi itu berdehem. Lalu, meletakkan satu bayinya di box, dan bayi satunya lagi yang digendong salah satu peraw
Pak Sugeng bergegas menuju ruangan Sabrina yang letaknya cukup jauh. Sedangkan Darren berjalan, menghampiri jendela ruangan yang di dalamnya ada ibu Renata. Darren tak menyangka kalau ibu Renata yang menyelamatkan nyawa Sabrina dan calon anaknya. Ternyata ibu Renata sikapnya sudah benar-benar berubah. Sangat menyayangi dan perhatian pada Sabrina. Dari kejauhan, Darren melihat pergerakan jari ibu Renata. Lalu, perlahan-lahan kedua mata wanita tua itu terbuka. Mulutnya menganga, seolah sedang bicara. Menit berikutnya, perawat yang menjaga ibu Renata di dalam ruangan membuka pintu. "Sus, Mama saya sudah sadarkan diri?" tanya Darren tampak sumringah."Betul, Mas. Apa Mas keluarga pasien?""Saya anaknya, Sus.""Oh silakan masuk, Mas."Suster membuka pintu ruangan lebar, mempersilakan Darren masuk. Lalu, suster itu berjalan cepat, hendak memanggil dokter yang menangani kesehatan ibu Renata. "Mama!" pekik Darren berdiri di samping wanita yang telah melahirkannya. Ibu Renata mengulas sen
Ibu Anita yang memutuskan pindah tempat tinggal terkejut mendengar kabar anak semata wayangnya menusuk perut ibu Renata. Kabar itu disampaikan oleh Jessi yang mengetahui keberadaan wanita yang telah melahirkan Angelica. "Anak kurang ajar! Aku pikir dia sudah m4ti!" geram ibu Anita mengepalkan kedua telapak tangan di hadapan wanita yang wajahnya mirip Sabrina. Tiga bulan lalu, ibu Anita tanpa sengaja bertemu dengan Jessi di kantor keluarga Wirawan. Jessi kala itu menemani Mr. Whang meeting di kantor Darren. Singkat cerita hubungan mereka semakin dekat. Jessi yang telah kehilangan sosok ibu, seperti menemukan sosok ibu dalam diri ibu Anita. Begitu pula ibu Anita. Sampai akhirnya, ibu Anita memutuskan pindah rumah karena tak nyaman selalu didatangi ibu Regina. Sekarang ibu Anita tinggal di apartemen yang dulu ditempati Darren dan Sabrina. "Awalnya Angelica ingin menusuk Sabrina. Tapi, dihalangi mama Renata.""Ya Tuhan ... Kenapa anak itu selalu mencari masalah?" Ibu Anita menutup waja
"Kalian mau kemana?" Pak Sugeng bertanya ketika Darren dan ibu Regina berpapasan dengannya di pintu depan. "Aku mau ---""Anterin aku pulang ke panti. Aku mau ambil beberapa pakaian ganti. Kalau boleh, aku mau nginap di sini sampai acara tahlilan mbakyu selesai," sela ibu Regina. Tidak ingin kalau pak Sugeng mengetahui kalau dirinya dan Darren menemui Angelica. "Boleh saja. Silakan."Setelahnya, Pak Sugeng masuk ke dalam rumah. Darren dan ibu Regina melanjutkan langkah, menuju tempat di mana Angelica ditahan. "Tante, kenapa enggak tinggal bersama kami saja?" tanya Darren ketika kendaraan yang mereka tumpangi melaju. "Enggak, Darren. Tante udah nyaman tinggal di panti."Jawaban ibu Regina membuat Darren terdiam seribu basa. Mereka baru bertemu beberapa jam, tapi Darren merasa kalau sudah sangat lama bertemu dengan ibu Regina. Mungkin karena diantara mereka terdapat ikatan darah. "Kenapa selama ini Tante enggak pernah muncul di acara keluarga kami?" tanya Darren heran. Mengingat k
Usai pemakaman, Ibu Regina bertanya kembali pada Darren. Di rumah itu hanya Darren yang bisa diajak bicara. Ibu Regina bertanya kenapa ibu Renata sampai ditusuk orang perutnya? Siapa pelakunya?Awalnya Darren tak ingin menjawab namun karena ibu Regina memaksa, akhirnya Darren mengatakannya. Kedua mata ibu Regina membeliak mendengar nama Angelica. "Jadi, yang membuat Mbakyuku meniggal Angelica juga?" ibu Regina teramat terkejut. "Iya, Tante. Tapi keadaan mama sempat membaik."Ibu Regina menggelengkan kepala berulang kali. Rasa sakit hati pada Angelica semakin besar. Anak dan kakaknya telah dibunuh wanita berhati iblis itu. Pandangan ibu Regina beralih pada ibu Anita yang menangis di depan pusara ibu Renata. Dengan kasar, ibu Regina mendorong tubuh ibu Anita hingga wanita itu terjungkang. "Munafik! Gara-gara anakmu, Mbak Renata meninggal! Anakmu, anak iblis! Dulu anakku yang dibunuhnya, sekarang kakakku!" Teriakan ibu Regina membuat ibu Anita dan orang lain terkejut. Mereka kasak-ku
Keluarga Wirawan berduka. Wanita yang selama ini mengharapkan cucu kini telah tiada ketika keinginannya itu dikabulkan Tuhan. Pak Sugeng duduk di samping jenazah ibu Renata sejak beberapa jam lalu. Belahan jiwanya telah hilang. Dibiarkan air mata membasahi wajah. Tak ada lagi sikapnya yang tegas, yang berwibawa dan yang berkharismatik. Kini, ia telah kehilangan semangat. "Pa, Papa makan dulu," ucap Darren mengingatkan sang papa yang seharian ini tidak ada makanan yang masuk ke dalam perut. "Nanti saja." Hanya itu jawaban yang terucap dari mulut lelaki yang ditinggal kekasih hatinya. Kekasih yang telah menemani hidupnya. Sabrina yang berada di dalam kamar, tengah memberi ASI pada kedua buah hatinya meneteskan air mata. Masih teringat jelas, bagaimana perhatiannya ibu Renata, bagaimana keinginan ibu Renata memiliki cucu. "Ya Allah, mohon kesabaran serta keikhlasan dalam hatiku ya Allah. Hamba tahu, semua ini sudah menjadi takdir-Mu."Rumah duka keluarga Wirawan semakin berjalan wak
Pak Sugeng bergegas keluar ruangan, hendak membeli brownies keinginan ibu Renata. Lelaki itu membeli brownies di toko yang letaknya tak jauh dari rumah sakit. Ia tak ingin berlama-lama meninggalkan ibu Renata. Hanya memakan waktu lima belas menit, pak Sugeng sudah kembali ke ruangan ibu Renata. Di dalam ruangan, terlihat ibu Renata sedang berbicara sendiri di depan handphone. "Lho, Mas. Cepat sekali belinya?" tanya ibu Renata heran. Ia lantas mematikan rekaman suara di handphone milik suaminya. Jangan sampai pak Sugeng tahu kalau ibu Renata meninggalkan pesan suara pada ponselnya. "Aku sengaja beli di toko kue terdekat. Ini aku beli dua. Ada yang pake toping keju dan ada yang enggak pake toping. Kamu mau makan yang mana dulu?" tanya pak Sugeng sembari menunjukan dua kotak brownies. Sengaja membeli dua supaya Ibu Renata memilih. "Aku mau toping keju. Mas, suapin aku ...," rengekan ibu Renata membuat hati pak Sugeng mencelos. Permintaan itu seperti mengisyaratkan sesuatu. "Tentu. A
"Aku harus bilang gitu, Anita. Umur orang enggak ada yang tau. Paling enggak kalau aku udah bilang, kamu bisa wujudin," jelas ibu Renata menatap sendu wanita yang napasnya turun naik karena kesal akan ucapannya. "G1la kamu, Renata! Bisa jadi umurku lebih dulu yang tamat daripada kamu." Sangat sewot ibu Anita menanggapi ucapan ibu kandung Darren. Ibu Renata meraih telapak tangan ibu Anita. Ia seolah memohon pada mantan besannya itu."Anita, aku mohon padamu. Kabulkan---""Stop!" sela Anita menghempaskan genggaman tangan ibu Renata. "Aku enggak mau dengar soal itu lagi. Renata, kamu pasti sembuh. Sekarang keinginan terbesarmu sudah Tuhan penuhi. Langsung dikasih dua, Renata. Kamu harus sembuh. Oke?" ucap ibu Anita. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia sangat takut kalau sahabat dari semasa SMA-nya itu benar-benar pergi meninggalkannya. Dia sangat takut, jika apa yang dikatakan ibu Renata akan terjadi. Ibu Anita menggelengkan kepala, menghalau pikiran dan firasat buruk. Sesaat, terjad
"Mama Anita?" pekik Darren melihat mantan ibu mertuanya yang berdiri di hadapan. "Darren, apa Mama boleh menjenguk Mamamu?" suara ibu Anita bergetar. Ia takut sekali jika keluarga Wirawan membencinya karena perbuatan jahat anak semata wayangnya, Angelica."Boleh, Ma. Silakan masuk."Darren memberi ruang pada ibu Anita agar masuk ke dalam ruangan. Semuanya terkejut akan kedatangan ibu Anita. Wanita yang telah melahirkan Angelica. "Anita?" gumam ibu Renata melihat sahabatnya datang menjenguk. Ibu Anita merasa sangat bersalah akan perbuatan jahat yang dilakukan Angelica pada ibu Renata. "Renata, Renata ...." Ibu Anita menghambur dalam pelukan wanita yang telah melahirkan Darren. Pak Sugeng menarik mundur kursi roda Sabrina agar tidak menghalangi Ibu Anita yang memeluk sahabatnya. "Aku minta maaf, Renata ... aku minta maaaff ...." Permohonan maaf diucapkan ibu Anita disela pelukan pada sahabatnya. Ibu Renata mengusap lembut punggung ibu Anita. "Kamu enggak perlu minta maaf, Anita. Ka
Pertanyaan ibu Anita sarat penekanan. Tatapannya sangat tajam. Angelica memicingkan kedua mata, merasa kesal karena mamanya lagi dan lagi tidak membelanya justru membela orang lain. "Aku enggak bermaksud mencelakai dia. Tujuanku Sabrina dan calon anaknya!" tandas Angelica membalas tatapan ibu Anita tak kalah tajam. "Kenapa? Memangnya Sabrina melakukan kesalahan apa sama kamu, Lica?" Ibu Anita mencondongkan tubuh lebih ke depan. "Kesalahan apa?" Angelica mengulang pertanyaan mamanya. "Mama lupa, dia udah ngerebut kebahagiaanku! Gara-gara kedatangan dia di rumah itu, aku diusir! aku diceraikan. Hidupku hancur, kacau gara-gara dia! Dia enggak boleh lebih lama bahagia. Aku ingin ... aku ingin Sabrina hidupnya hancur dan menderita sepertiku!" Mendengar ucapan Angelica, ibu Anita menggelengkan kepala berulang kali. "Bodoh!" maki ibu Anita dipenuhi amarah. "Kamu sangat bodoh, Lica! Lihatlah ... akibat kebodohanmu, sekarang kamu di penjara! kamu akan mati di dalam sel sana, Lica!" sambun
Ibu Anita yang memutuskan pindah tempat tinggal terkejut mendengar kabar anak semata wayangnya menusuk perut ibu Renata. Kabar itu disampaikan oleh Jessi yang mengetahui keberadaan wanita yang telah melahirkan Angelica. "Anak kurang ajar! Aku pikir dia sudah m4ti!" geram ibu Anita mengepalkan kedua telapak tangan di hadapan wanita yang wajahnya mirip Sabrina. Tiga bulan lalu, ibu Anita tanpa sengaja bertemu dengan Jessi di kantor keluarga Wirawan. Jessi kala itu menemani Mr. Whang meeting di kantor Darren. Singkat cerita hubungan mereka semakin dekat. Jessi yang telah kehilangan sosok ibu, seperti menemukan sosok ibu dalam diri ibu Anita. Begitu pula ibu Anita. Sampai akhirnya, ibu Anita memutuskan pindah rumah karena tak nyaman selalu didatangi ibu Regina. Sekarang ibu Anita tinggal di apartemen yang dulu ditempati Darren dan Sabrina. "Awalnya Angelica ingin menusuk Sabrina. Tapi, dihalangi mama Renata.""Ya Tuhan ... Kenapa anak itu selalu mencari masalah?" Ibu Anita menutup waja
Pak Sugeng bergegas menuju ruangan Sabrina yang letaknya cukup jauh. Sedangkan Darren berjalan, menghampiri jendela ruangan yang di dalamnya ada ibu Renata. Darren tak menyangka kalau ibu Renata yang menyelamatkan nyawa Sabrina dan calon anaknya. Ternyata ibu Renata sikapnya sudah benar-benar berubah. Sangat menyayangi dan perhatian pada Sabrina. Dari kejauhan, Darren melihat pergerakan jari ibu Renata. Lalu, perlahan-lahan kedua mata wanita tua itu terbuka. Mulutnya menganga, seolah sedang bicara. Menit berikutnya, perawat yang menjaga ibu Renata di dalam ruangan membuka pintu. "Sus, Mama saya sudah sadarkan diri?" tanya Darren tampak sumringah."Betul, Mas. Apa Mas keluarga pasien?""Saya anaknya, Sus.""Oh silakan masuk, Mas."Suster membuka pintu ruangan lebar, mempersilakan Darren masuk. Lalu, suster itu berjalan cepat, hendak memanggil dokter yang menangani kesehatan ibu Renata. "Mama!" pekik Darren berdiri di samping wanita yang telah melahirkannya. Ibu Renata mengulas sen