Cantaka begitu kecewa dengan Geni, ia menjebak seenaknya orang yang tidak ia sukai untuk ikut terjerumus dalam kubangan tersangka kasus pungli.
Pengawal istana datang bersama Bayuputra. Terlihat dari rombongan tersebut, masing-masing membawa satu kotak besar berisikan koin dan emas yang tak terhitung jumlahnya.
Mereka membariskan dan meletakan benda-benda itu tepat di hadapan Raja yang tengah berdiri berdampingan dengan Cantaka. Raja tertawa lantang sembari berkacak pinggang ketika melihat kilauan emas memantul dari kotak tersebut.
Raja berbalik badan, memandang tajam ke arah Geni seraya tersenyum licik.
“Kamu memiliki kekayaan yang hampir menyamai kekayaanku. Apa kamu hendak menjadi Raja juga?” tanya ketus Raja.
“T-Tidak, Yang Mulia.”
Raja menjulurkan tangannya, menandakan isyarat kalau dia meminta pengawal istana untuk menyimpan harta rampasan tersebut.
“Bawa Geni dan Menteri Perdagangan keluar dari rua
Gunawarman akhirnya berhasil terbebas dari tuntutan setelah diam tak bersuara selama 15 jam melakukan interogasi. Ia berdiri dengan dibantu oleh Cantaka yang masih setia menemani pria itu hingga larut.“Maafkan aku,” ujar Cantaka, lirih dan tersenyum bahagia.“Haha hukuman ini belum seberapa dibandingkan siksaan dari Kediri. Aku bisa menanganinya,” balas Gunawarman, percaya diri dengan kemampuan fisiknya.Cantaka melepaskan jubah panjangnya dan mulai menutupi darah dan luka yang memenuhi tubuh pria tersebut. Keduanya berjalan dengan perlahan meninggalkan tempat tersebut menuju kediaman Gunawarman, tempat di mana Istri dan anaknya menunggu kehadirannya dengan harap cemas.Meski tubuhnya penuh dengan luka, tetapi Gunawarman tak sedikit pun menunjukan kelemahannya. Ia justru berbincang dengan hangat kepada Cantaka tentang kisahnya dulu waktu masih menjadi komandan resimen pasukan ketika berperang melawan pemberontak.“Aku
“Tenanglah. Aku yang akan menjagamu mulai sekarang,” ujar Cantaka.Ia tersenyum seraya mengusap pelan rambut kepala Ilja, membuat anak laki-laki itu semakin nyaman berada di dekat Pangeran. Saraswati yang mengenal Cantaka sejak kecil tidak pernah melihat sisi lembut pemuda itu seperti saat ini.“Siapa yang membunuh orang tuaku?” tanya Ilja.Ia hanya memastikan saja, mengingat dirinya hanya tahu kalau orang tuanya tewas dibunuh. Syukur baginya, ia tidak melihat kondisi Ayah dan ibunya seperti apa di penjara.Cantaka menelan salivanya dalam-dalam, ia tidak mungkin memberitahu identitas pembunuh orang tua Ilja begitu saja.Ia mungkin berdosa atas kejadian ini, tetapi penebusan yang ia bisa lakukan adalah merawat Ilja seperti anaknya sendiri.“Pihak istana sedang menyelidikinya. Jadi, kamu tidak perlu risau. Aku yakin, sebentar lagi pelakunya akan tertangkap.”Ucapan Cantaka begitu lembut dan hangat, te
***Tiga tahun kemudian“Aku sudah menyelesaikan yang satu ini.”Cantaka meletakan buku berjudul “Strategi dan Kepemimpinan”. Buku yang dia sarankan oleh Saraswati ketika mendengar Cantaka ingin mempertahankan kedaulatan kerajaan dari pihak asing.“Benarkah? Strategi apa yang kamu sukai?” tanya Saraswati, antusias.Pangeran muda itu kembali membuka kembali buku tersebut dan menunjukan bagian strategi yang ia maksud pada Saraswati, jenis strategi perang yang sangat ia sukai ketika pertama membacanya.“Strategi Tipu Muslihat.”“Wah. Bukankah itu sedikit picik?” tanya Saraswati, bingung.“Bisa dibilang begitu, tetapi strategi itulah yang kupikir terbaik jika ingin mencapai tujuan tanpa adanya pertumpahan darah.”Saraswati terdiam, ia menanggapi perkataan Cantaka dengan anggukan pelan. Ia juga tahu beberapa strategi yang tertulis dalam buku tersebut, tet
***“Kamu menyimpulkan terlalu cepat.”Saraswati duduk di hadapan Cantaka, di atas meja sudah tersaji teh hijau hangat yang menjadi kesukaan Cantaka, meskipun takarannya sudah dikurangi menyusul kekeringan panjang.“Kita masih menikmati air meskipun sedikit karena kita cukup beruntung, sungai besar yang mengalir di istana kita belum mengering,” jelas Saraswati.“Mungkin satu-satunya yang belum surut,” sambung Saraswati.Cantaka menghabiskan minuman yang berada di cangkirnya dan menengguk dengan cepat. Teh hijau yang tesisa di dalam teko sudah benar-benar habis, mereka tidak berniat untuk menambahnya lagi.“Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?” tanya Saraswati, penasaran.“Entahlah. Aku menjanjikan untuk menurunkan hujan kepada mereka dan aku bingung apa yang harus kulakukan.”“Haha!”“Memangnya kamu penguasa langit yang bisa menurunkan hujan
***“Apa yang harus kulakukan?”Cantaka masih termenung memandang rak buku yang tersusun rapi di perpustakaan istana. Ia ditemani oleh Han sama bingungnya tentang tantangan Pangeran untuk menurunkan hujan dengan cepat.“Apa kejadian kekeringan ini pernah terjadi di kerajaan ini sebelumnya?” tanya Cantaka, Han mengangguk pelan.“Waktu aku kecil dulu, kekeringan ini juga pernah terjadi. Namun, tidak pernah selama ini,” jawab Han.Mendengar perkataannya memberikan angin segar bagi Cantaka, setidaknya dulu pernah terjadi tetapi keadaan mulai membaik hingga saat ini.Cantaka memang tidak memiliki kuasa khusus untuk menurunkan hujan. Namun, ia mengetahui ada metode tertentu yang dapat digunakan untuk menurunkan hujan. Dengan kata lain, hujan buatan.“Apa aku perlu membawa teh kemari?” tanya Han, berinisiatif.Cantaka memfokuskan pandangannya pada pria tersebut. Pemuda itu mengangguk pel
“Apa yang sedang kamu buat, Pangeran?” tanya Han.Ia datang setelah membersihkan mulutnya dari bekas garam yang tersisa. Han bertanya kepada Pangeran Cantaka yang tengah terduduk sambil mengikat sebuah kain berwarna biru langit.“Aku akan membuat layang-layang,” jawab Cantaka singkat.“Layang-layang? Benda apa itu?” tanya Han, penasaran.Cantaka menghentikan sejenak kegiatannya, menatap pria yang tengah duduk di dekatnya sambil mengangkat kain yang sudah terbentuk jelas seperti layang-layang pada umumnya.Mereka belum mengetahui apa itu layang-layang dan cara kerjanya. Untungnya Cantaka mengalami masa kecil yang menyenangkan bermain di luar, sehingga ia masih ingat betul cara memainkan benda tersebut.“Oh bagaimana kamu bisa tahu hal ini, Pangeran?” tanya Han, penasaran.Kejeniusan Cantaka di zaman itu memberikan pertanyaan bagi yang melihatnya. Pada dasarnya, hal-hal seperti layang-laya
Cukup puas Cantaka merasakan pengalaman bermain layang di zaman ini, ia mulai menarik benda itu untuk mendekat. Ia bisa membayangkan bagaimana cara menurunkan hujan buatan di tempat ini dengan menggunakan sebuah layangan, ide yang benar-benar gila.Saraswati yang sedari tadi menemani Cantaka mulai berbenah, mengambil benang dan barang-barang yang dibawa pemuda itu.“Bawa ini, Saraswati,” ujar Cantaka.Wanita itu hanya berdeham, tanpa membalas pandangan Cantaka padanya. Ia sungguh malu dan grogi dengan sikap Pangeran Cantaka sore itu yang memperlakuannya begitu ramah dan hangat.“Ah, menyenangkan sekali hari ini, rasanya seperti beban yang terpangku di pundakku benar-benar terlepas,” sambung Cantaka.“Aku juga demikian.”“Kamu juga? Ah, ini menjadi pengalaman pertamamu bermain layangan, kan?” tanya Cantaka.Secara tiba-tiba, pemuda itu mendekatkan posisi duduknya ke arah Saraswati. Gadis
“Garam?” tanya Raja, kaget.“Benar,” timpal Cantaka.Pemuda itu juga ikut memeragakan bagaimana rencananya akan berjalan dengan dua benda tersebut, garam dan layangan. Raja terus memerhatikan seraya menyimak penjelasan yang baru ia dengar seumur hidupnya.“Tapi bukankah posisi awan begitu tinggi? Mampukah layanganmu terbang di atasnya?” tanya Raja.Ucapan pria itu didasarkan pada pemikiran sederhananya, bukan berdasarkan ilmu pengetahun dan teknologi.Cantaka menggenggam layangan itu dengan kedua tangannya, memerhatikan bentuk benda itu dengan seksama. Bentuknya sama seperti pada umumnya dan ia tak lagi kesulitan untuk menerbangkan benda ini kembali.Pangeran muda itu meletakan layangannya di atas meja dan duduk bersila seraya menyeruput teh hangat. Ia sudah memikirkan dua rencana untuk menyukseskan hujan buatan ini.“Ada dua cara yang terpikirkan olehku untuk membawa benda ini terbang di angk
***“Apa kau baik-baik saja?”Saraswati datang menghampiri bersama dengan Danar yang berada di sampingnya. Anak laki-laki itu, Cantaka belum kesampaian untuk membawanya menghadap Adibaya. Rencana demi rencana yang sudah ia susun sedemikian tertata harus hancur karena dugaan keterlibatannya dalam pembunuhan para penyusup.“Aku baik.”“Pangeran Cantaka. Aku membuatkan sesuatu untukmu,” ungkap Danar, membuka kedua telapak tangannya yang semula tertutup.Terlihat sebuah kalung yang terbuat dari kayu ukiran terpampang jelas di tangan lembut Danar. Tertulis kata-kata yang menyayat hati Cantaka ketika membacanya, “Aku sayang padamu.”“Itu manis sekali. Aku akan menjaga kalung ini seperti aku menjaga dirimu,” jelas Cantaka, berterima kasih seraya tersenyum.Danar bisa dibilang adalah anak laki-laki yang ceria, dia sudah melupakan kejadian mengerikan di rumahnya dan mengatakan kalau k
***Keadaan Cantaka semakin memburuk di dalam sel penjara. Sejak semalam hingga pagi datang, belum ada satu makanan pun yang masuk ke tubuhnya.Ia masih melihat noda darah yang mengering menempel di jeruji besi tempatnya menginap semalam. Pangeran muda itu bisa membayangkan betapa keji dan brutal pembunuhan yang terjadi di tempat ini.Pintu penjara terbuka, secercah cahaya masuk memantik reaksi terkejut dari diri Cantaka. Derap langkah yang kuat terdengar jelas, menimbulkan bayangan kilat tentang betapa kuasanya orang di hadapannya.Raja Sunda.Matanya berkeliling, begitu juga dengan kepala dan tubuhnya, ikut memutar. Sorot mata Raja memicing memandang pedang khusus milik pangeran tergeletak di atas tanah.“Kenapa pedangmu ada di sini?” tanya Raja, berwibawa.“Karena aku dijebak. Aku tidak mungkin membunuh mereka ketika para tahanan itu mendapatkan pengawasan tentara kerajaan yang ketat,” balas Cantaka, berargu
Mereka bertiga sepakat untuk kembali ke istana, bersama Jayagiri yang berjalan berbarengan dengan Danar.Saraswati masih syok dengan pembunuhan yang terjadi di depannya, apalagi ketika mengetahui kalau pria yang tewas terbunuh tak lain adalah pelayan istana.Pada awalnya, Saraswati menduga kalau Cantaka yang berada di balik semua ini. Setelah melihat ekspresi pemuda itu barusan, ia yakin pelayan pria itu salah satu anak buah Cantaka.Saraswati dengan tegap memegang tangan Cantaka, menghentikan langkah pemuda itu dan menatapnya lekat-lekat.Ada sesuatu yang ingin Saraswati pastikan, hal itu berkaitan dengan kejadian barusan yang mengejutkannya.“Apa ada sesuatu, Saraswati?” tanya Cantaka, bingung.“Iya dan ini berkaitan dengan kejadian penculikan tadi. Aku yakin, itu tidak terjadi atas dasar kebetulan semata.”Mereka berhenti melangkah dan pergi setelah Saraswati memberitahu Jayagiri. Danar mengiyakan karena dia
***Para penyusup itu enggan untuk berbicara, bahka membuka mulut mereka meskipun Jayadharma sudah menginterogasi dengan keras.Hal itu akan sia-sia belaka jika diteruskan, tujuan awal mereka ketika tertangkap adalah mati, maka masuk akal jika mereka tidak berbicara jika tujuan interogasi yang dilakukan adalah kematian.“Ini sulit, mereka masih tidak mau berbicara. Apa perlu aku potong kaki dan tangan mereka untuk membuatnya bicara?” tanya Jayadharma, pria itu berdiri di samping Cantaka.“Tidak perlu, itu justru akan memudahkan rencana mereka untuk mati,” jelas Cantaka, tegas.“Lalu apa yang akan kita lakukan?” tanya Jayadharma, bingung.Ia masih memandang para penyusup yang tertangkap dengan pandangan kuat. Satu persatu dari para pelaku mendapatkan cap dan siksaan yang sama dari Jayadharma, tidak satu pun dari mereka yang memiliki ruang bebas di kulit mereka dari cap besi.“Aku tahu.”
***Mereka berdua begadang hingga larut malam. Danar tidur di ruang kerja Cantaka, sedangkan Pangeran muda itu sedang berbincang dengan seorang pelayan yang merangkap sebagai anggota pasukannya.Sekitar jam 1 malam, mereka berdua berbincang di luar ruang kerja Cantaka, tepatnya di lorong kediamannya yang cukup sunyi.“Pangeran akan menggunakan anak itu sebagai alat untuk membuat Adibaya bicara?” tanya pelayan itu, berbisik.“Benar. Aku ingin kamu besok menculiknya ketika dia tengah berjalan bersamaku keluar istana,” ujar Cantaka, pelan.“Aku mengerti.”Pelayan pria itu segera meninggalkan Cantaka setelah mendengar semua perintah untuknya. Malam itu, hanya ada pasukan pengawal istana yang tengah berjaga dan berpatroli.Mereka melakukannya lebih ketat dan gencar setelah terjadi dua pembunuhan dalam waktu singkat, apalagi kejadiannya di malam hari.Seorang pasukan kerajaan datang menghampiri dan
Gunawarman melepas Cantaka pergi. Pangeran muda itu langsung beranjak pergi meninggalkan kelompok kiri yang tengah menjalani perjamuan.Ia masih menggenggam gulungan tersebut dan membuang pikirannya jauh-jauh tentang tahta. Dia hanya ingin menuntaskan kejahatan terhadap orang terdekatnya.Han yang tengah berjalan di koridor istana melihat keberadaan Cantaka. Ia segera memanggil pemuda itu dan bertanya tentang keberadaannya siang ini.“Ada sesuatu yang perlu kuurus di luar istana,” balas Cantaka, ramah.“Apa boleh aku mengetahui apa itu?” tanya Han, penasaran.Cantaka melihat kalau di sisi pelayannya tersebut, terdapat seorang dayang yang tengah membawa nampan berisi alat-alat menyulam. Keduanya hendak mengirimkan peralatan itu kepada Ratu Citraloka.“Ini hanya bisnisku. Aku sedang berusaha memperluasnya dengan kerja sama antar pihak,” ujar Cantaka, lembut.“Bisnis apakah itu, Pangeran?&r
***Cantaka mengangkat ember berisi air dingin dan langsung menyiram Adibaya yang terikat di atas kursi. Pria itu seketika bangun seraya tersentak kaget mendapati ia berada di satu rumah yang tak ia kenali.“Tch! Apa untungnya kalian menangkapku? Aku sama sekali tidak akan memberikan kalian informasi apa pun tentang penculikan itu,” timpal Adibaya, menantang.Cantaka melempar ember kosong ke depan wajah Adibaya, pemuda itu langsung menjambak rambut panjang Adibaya dan mengancam pria itu dengan siksaan yang sama seperti yang dialami Ayodya.“Lakukanlah. Aku ingin tahu seberapa gigih kalian mengancamku,” tantang Adibaya.Terpancing emosi, Pangeran muda itu langsung mendaratkan tinju pertamanya di hari itu tepat mengenai pelipis kiri Ayodya. Kekuatan Cantaka yang besar membuat Ayodya terjatuh bersama dengan kursi yang terikat dengannya.“Bawakan besi panas itu padaku,” titah Cantaka kepada anggota pasukannya.
Mereka semua pergi meninggalkan kediaman Cantaka tanpa hasil. Saraswati bisa bernapas lega, begitu juga dengan Cantaka. Dengan perginya mereka, maka Cantaka tidak akan dicurigai sebagai dalang dari penculikan Adibaya.Saraswati melepaskan tangannya dari mulut Cantaka. Wanita itu juga ikut membantu Cantaka untuk melepaskan zirah besi yang menempel di tubuhnya.Terkejutnya ia mendapati luka tusukan di punggung sebelah kiri Cantaka. setelah Saraswati membuka zirah tersebut, terlihat ujung anak panah masih tertancap dan berada di dalam tubuh Cantaka.“Siapa yang menembakkan anak panah ini?” tanya Saraswati, kaget.“Argh ... Pangeran Jayadharma.”“Pangeran Jayadharma? Bukankah sudah kukatakan padamu untuk tidak berhadapan secara langsung denngannya?” tanya Saraswati, kesal.Cantaka mengangguk pelan seraya mengangkat tangannya sejajar dengan kepala, meminta maaf karena telah bersikap bodoh dengan mengabaikan nas
***“Apa yang hendak kamu lakukan dengan pakaian besi itu, Pangeran?” tanya Han.Pagi itu, Han datang bersama seorang pelayan hendak memberikan berkas tentang pencariannya di kebun belakang rumah Ayodya. Ia benar-benar terkejut tatkala mendapati Cantaka sudah bersiap dengan zirah besi seakan-akan peperangan akan segera dimulai.“Diam dan berpura-puralah tidak melihatku, Han,” ucap Cantaka, dingin.Tanpa banyak berpikir, Pangeran muda itu segera berjalan menuju halaman belakang kediamannya dan berdiri tepat di depan 20 orang pasukan setia Cantaka.Han semakin terkejut melihat pasukan sebanyak itu, ia melihat wajah mereka tertutup topeng kelana yang berwarna merah pekat dan terlihat menyeramkan. Han baru menyadari kalau apa yang terjadi adalah imbas dari kejadian penculikan Ayodya.Cantaka menarik pedang panjang miliknya dan mengangkatnya tinggi-tinggi, “Tanggalkan semua perasaan, hilangkan rasa empati, hancurkan