Bayangan itu menghilang ke dalam gelap dengan langkah ringan, seperti hantu yang tak ingin meninggalkan jejak. Jia merasakan bulu kuduknya meremang, entah karena ancaman nyata di sekitar mereka atau ketegangan antara Revandro dan Arvell yang semakin membara.“Diam di sini,” perintah Revandro dingin, mendorong Jia ke sudut terlindung di belakang kendaraan yang terguling. “Aku akan menangani ini.”Sebelum Jia bisa memprotes, Arvell menyela, “Dia bukan milikmu untuk diperintah-perintah.” Nada suaranya rendah, penuh kemarahan terpendam.Revandro menatapnya dengan sorot mata tajam. “Aku tahu kau ada agenda tersendiri, Arvell. Kau pikir aku tidak tahu permainanmu?”Arvell tersenyum tipis, mendekat dengan langkah lambat namun penuh ancaman. “Permainan? Kau yang pertama membawa Jia ke dalam dunia ini, Revandro. Jika ada yang berhak melindunginya sekarang, itu aku.”“Melindunginya?” Revandro mendekat, membuat mereka hanya berjarak beberapa inci. “Apa itu alasanmu, atau kau hanya ingin mencuri
Malam itu terasa panjang bagi Jia. Ia berjalan tanpa tujuan, hanya ingin menjauh sejauh mungkin dari segala konflik yang terus membelenggunya. Pikiran dan hatinya terasa berat, penuh dengan kebingungan dan kelelahan.Mengapa dirinya harus terjebak di tengah obsesi dua pria yang sama-sama berbahaya?Jia berhenti di tepi taman kota yang sepi. Ia duduk di bangku kayu, menatap kosong ke jalanan gelap di depannya. Udara malam yang dingin menusuk kulitnya, namun itu tidak seberapa dibandingkan dinginnya perasaan yang menguasai dirinya.Di sisi lain, Revandro dan Arvell tidak tinggal diam.“Dia tidak akan memaafkan kita,” ujar Arvell dengan nada penuh keyakinan.Revandro berdiri di depan jendela besar di salah satu penthouse miliknya, memandangi kota yang gemerlap. “Kau pikir aku tidak tahu?”Arvell mendekat, tatapannya tajam. “Aku tahu kau tidak akan menyerah, tapi kali ini, kita harus berhenti memaksa. Dia tidak bisa terus-menerus menjadi korban ambisi dan ego kita.”Revandro menyeringai t
Langkah Jia terasa berat. Hatinya dipenuhi amarah, kecewa, dan kelelahan yang tak terucapkan. Udara malam dingin menyentuh kulitnya, tetapi tidak mampu meredakan panas emosinya. Ia terus berjalan, meninggalkan rumah itu, meninggalkan tiga pria yang seolah memperebutkan dirinya seperti trofi.Namun, langkahnya terhenti ketika suara sepatu yang menginjak kerikil terdengar dari belakangnya. Jia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu.“Berhenti mengikutiku, Revandro,” ucapnya tanpa melihat, suaranya datar.Revandro tidak menjawab, tetapi langkahnya berhenti beberapa meter di belakangnya. Keheningan menyelimuti mereka, hanya terdengar angin malam yang berembus pelan.“Jia,” akhirnya suara berat Revandro memecah keheningan. “Aku tahu aku telah membuatmu marah dan lelah. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja.”Jia memutar tubuhnya, menatapnya dengan mata penuh kemarahan. “Tidak bisa membiarkan? Apa menurutmu aku ini boneka yang bisa kau kendalikan, Revandro? Aku punya hidupku
Mobil itu terus melaju kencang, melintasi jalanan yang mulai sepi. Angin malam terasa menusuk, dan di dalam mobil, suasana semakin mencekam. Thomas terbaring dengan wajah yang memucat, sementara Agatha berusaha sekuat tenaga menghentikan perdarahan dengan tangannya yang sudah lelah."Apakah... ada tempat aman yang bisa kita pergi?" Agatha bertanya dengan suara tercekat, tak mampu menahan kepanikan yang merayap.Pria yang mengemudikan mobil, yang masih belum dikenalnya, mengangguk. "Ada tempat di luar kota. Itu tempat aman, tapi kita harus cepat. Mereka pasti sudah melacak kita.""Siapa mereka?" Agatha bertanya, semakin bingung. "Siapa yang mengirim orang-orang itu?"Pria itu tidak menjawab langsung. Matanya terfokus pada jalan, tangan yang terampil mengendalikan mobil, namun ada kegelisahan yang jelas di wajahnya. "Ada banyak hal yang perlu kau ketahui, Agatha," katanya akhirnya. "Tapi bukan sekarang. Waktu bukanlah sesuatu yang kita miliki banyak."Agatha merasakan ketegangan yang se
Agatha berjalan cepat menuju tangga, menekan rasa cemas yang mulai merayap di dadanya. Setiap langkah yang diambilnya terasa semakin berat, namun tekad di dalam dirinya semakin kuat. Ia tahu, jika ia terus berada di sisi Rohander, ia hanya akan semakin terjerat dalam permainan yang tak pernah ia pilih. Meskipun ketakutan itu ada, rasa ingin tahu dan kebebasan yang lebih besar dari rasa takut itu mendorongnya untuk terus maju.Namun, di balik langkahnya yang mantap, Agatha bisa merasakan tatapan Rohander yang terus mengikuti setiap gerakannya. Rasanya seperti ada bayangan gelap yang terus membayangi setiap langkahnya. Begitu sampai di pintu kamar, Agatha berbalik, berhadapan dengan Rohander yang kini sudah berada di ambang pintu, menatapnya dengan sorot mata yang dalam, penuh dengan campuran antara kekhawatiran dan kemarahan yang terpendam."Agatha," suara Rohander rendah, namun ada ketegangan yang menebal. "Kau pikir, aku akan membiarkanmu pergi begitu saja? Tanpa penjelasan?"Agatha
Pria yang baru datang itu melangkah mendekat dengan tenang, namun setiap gerakannya membawa aura tekanan yang membuat semua orang menahan napas.Pemimpin kelompok bersenjata itu menegang, raut wajahnya berubah dari percaya diri menjadi penuh kehati-hatian. “Kami tidak mengharapkan kehadiran Anda di sini, Tuan...” Suaranya melemah, seolah takut menyebutkan nama pria tersebut.Revandro memperhatikan pria itu dengan tatapan tajam, instingnya langsung mengenali bahwa ini bukan orang biasa. Sementara Arvell berdiri siaga, matanya menyapu sekeliling, mencari tahu apa tujuan pria ini dan apakah ia sekutu atau musuh.“Jia,” suara pria itu akhirnya terdengar, datar namun penuh makna. Tatapannya yang dingin tertuju langsung pada wanita yang berdiri di antara kekacauan. “Apakah mereka mengganggumu?”Jia menatapnya dengan bingung, tak mengenali siapa pria itu. “Siapa... siapa Anda?”Pria itu tidak menjawab langsung. Sebaliknya, ia mengarahkan pandangannya pada pemimpin kelompok bersenjata. “Kamu
Jia masih terdiam, pikirannya dipenuhi oleh teka-teki yang sulit ia pecahkan. Nama Kairos terus bergema di kepalanya, membangkitkan campuran emosi yang sulit ia jelaskan. Dalam pikirannya, ingatan akan pria tua itu semakin jelas.Dia ingat bagaimana Kairos tidak hanya sembuh dari luka-lukanya tetapi juga menjadi bagian penting dalam organisasi kecilnya dulu. Pria tua itu, meski tampak lemah, memiliki pengetahuan mendalam tentang strategi dan taktik yang jauh melampaui siapa pun yang pernah Jia temui. Kairos adalah penasihat diam-diam yang sering membantu Jia keluar dari situasi sulit tanpa meminta apa pun sebagai imbalan.Namun, suatu hari, pria itu menghilang. Tanpa jejak, tanpa pesan. Jia tidak pernah tahu ke mana dia pergi atau apakah dia masih hidup.---Kini, pertanyaan yang menghantui Jia adalah: apakah Kairos yang dia lihat tadi malam benar-benar orang yang sama?Jia memutuskan untuk mencari tahu. Dia meraih ponselnya, mengetik pesan singkat kepada salah satu koneksi lamanya ya
Jia berdiri membeku di tempatnya, matanya menatap tajam ke arah Arvell. Pria itu terlihat tenang, terlalu tenang, dan itu membuat Jia semakin curiga. Apa permainan yang sedang ia rencanakan?Kairos melangkah maju, wajahnya dipenuhi konflik. “Arvell, lepaskan dia. Ini bukan bagian dari kesepakatan kita.”Arvell menoleh ke Kairos dengan senyum yang hampir ramah. “Kairos, jangan campur tangan. Kau di sini karena aku mengizinkannya. Jangan lupa siapa yang memegang kendali.”Jia mengepalkan tinjunya. “Kendali? Kau pikir aku akan membiarkan diriku dimainkan olehmu? Jika kau punya sesuatu yang ingin dikatakan, katakan sekarang!”Namun, Arvell tidak terpengaruh oleh kemarahan Jia. Dia justru melangkah mendekat dengan gerakan yang penuh perhitungan. “Oh, Jia, kau selalu terlalu berani. Itulah yang membuatmu menarik.”“Berhenti bicara omong kosong,” potong Jia. “Apa tujuanmu? Dan apa hubungannya ini dengan Kairos?”Arvell tertawa pelan. “Tujuanku? Hanya memastikan kau tidak lepas dari pengawasa
Jia merasa tubuhnya bergetar, bukan hanya karena ancaman yang nyata di depan matanya, tetapi juga karena kemarahan yang mulai membakar dirinya. Kenapa pria tua ini datang hanya untuk menghancurkan segalanya?Revandro menarik Jia ke belakangnya dengan gerakan protektif. "Kau tidak akan mendapatkan apa pun darinya. Kalau kau berani menyentuhnya, aku bersumpah, kau tidak akan keluar hidup-hidup dari sini."Pria tua itu tersenyum kecil, melangkah mundur dengan tangan di belakang punggungnya, seolah tak terganggu sedikit pun oleh ancaman Revandro. "Kau berpikir ancamanmu berarti sesuatu bagiku, Maxio? Kau mungkin kuat, tapi aku sudah hidup lebih lama dari yang kau tahu."Sementara itu, Arvell, yang diam-diam memperhatikan dari sudut ruangan, mulai menggerakkan pistolnya ke arah salah satu anak buah pria tua itu. Ia tahu waktunya sudah hampir habis—jika Jia tidak menyerahkan kotak itu, konflik ini akan berubah menjadi pembantaian."Jia," bisik Revandro, suaranya rendah namun cukup tegas unt
Langkah Jia semakin cepat saat suara tembakan dan ledakan terus menggema di luar. Udara di lorong itu terasa berat dengan aroma mesiu, dan setiap langkahnya seolah membawa Jia lebih dekat ke dalam bahaya. Namun, di tengah kegelisahan yang mendera, tekad Jia semakin kokoh.Arvell berjalan di sisinya, wajahnya dingin dan penuh perhitungan. Meski jelas ia adalah sekutu sementara, Jia tak bisa mengabaikan fakta bahwa lelaki itu memancarkan aura bahaya yang setara dengan Revandro.Ketika mereka mencapai pintu keluar ke area gudang utama, mereka menemukan beberapa anak buah Revandro tengah bersembunyi di balik tumpukan peti. Salah satu dari mereka segera memberi laporan."Mereka sudah berhasil mendobrak gerbang utama. Revandro masih berusaha menahan mereka, tapi jumlah mereka terlalu banyak!"Jia merasa dadanya mencelos. Revandro sendirian?Arvell melirik pria itu dengan tenang. "Berapa banyak orang kita yang tersisa?""Kurang dari setengah. Sisanya sudah tumbang atau mundur.""Bagus," jawa
Ruangan itu penuh dengan ketegangan yang hampir bisa dirasakan. Jia mencoba mengatur napasnya, namun gemetar tubuhnya tak bisa ia hentikan. Revandro menggenggam tangannya erat, sementara Arvell berdiri dengan raut wajah yang gelap dan penuh amarah."Aku tidak percaya," Arvell memecah kesunyian. "Pria itu pasti berbohong. Dia mencoba mengadu domba kita dengan ceritanya."Revandro tidak menjawab. Tatapannya tertuju pada Jia, menunggu penjelasan, tetapi Jia hanya menggeleng pelan. "Aku sungguh tidak tahu apa yang dia bicarakan... tapi liontin itu..." Suaranya melemah, seolah hanya mengakuinya saja sudah menyakitkan."Liontin itu... terasa familier," sambungnya dengan suara bergetar."Familiar bagaimana?" tanya Revandro tegas."Aku tidak tahu," jawab Jia, frustrasi. "Aku tidak ingat! Tapi aku merasa... seperti itu pernah menjadi milikku.""Kau harus ingat, Jia!" Arvell berseru, langkahnya maju mendekati Jia. "Pria itu jelas tahu sesuatu. Jika kau tidak tahu apa yang kau simpan, kita semua
Jia mundur perlahan, matanya tetap terpaku pada sosok Ignatius yang berdiri tegak di ujung jalan. Ia tidak tahu bagaimana pria itu bisa menemukannya, tapi kehadirannya jelas membawa ancaman.Dari dalam, suara langkah kaki Revandro mendekat. "Jia, kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya penuh kewaspadaan.Jia menoleh cepat. "Dia ada di sana," ujarnya lirih sambil menunjuk ke arah jalan.Revandro langsung bergerak, pandangannya menyapu tempat yang ditunjukkan Jia. Tapi jalanan itu kini kosong. Tidak ada siapa pun."Dia ada di sana, aku melihatnya!" Jia bersikeras, merasa seolah kehilangan akal sehatnya.Arvell muncul dari dalam ruangan dengan alis terangkat. "Apa yang terjadi di sini?""Jia bilang dia melihat Ignatius," jawab Revandro, matanya masih waspada, menyisir setiap sudut.Arvell mendekati Jia, mengamati ekspresinya dengan saksama. "Dia ada di sini? Kau yakin itu dia, Jia?"Jia mengangguk ragu. "Aku melihatnya. Dia berdiri di sana... tersenyum padaku."Arvell melirik Revandro. "
Suara tembakan yang menggema dari belakang semakin mengguncang hati Jia. Ia terpaksa mengikuti langkah cepat Revandro dan Arvell, meski pikirannya penuh dengan kekhawatiran untuk Kairos. Di lorong gelap yang semakin menyempit, Jia merasakan keheningan di antara mereka begitu menyesakkan.“Apa rencanamu sekarang, Arvell?” tanya Revandro dingin tanpa menoleh.Arvell, yang memimpin jalan, hanya memberikan seringai samar. “Rencana? Rencana utamaku adalah memastikan kita keluar hidup-hidup. Sisanya, kita lihat nanti.”“Jangan bermain-main denganku. Jika kau berani mengkhianati kami, aku akan—”“Sudah cukup,” potong Jia, suaranya gemetar tapi tegas. “Kalian berdua terus saling mengancam di tengah situasi seperti ini? Berhenti memperebutkan kendali, atau kita semua akan mati di sini!”Keduanya terdiam, seolah terkejut dengan keberanian Jia. Namun, langkah mereka terus berlanjut hingga tiba di sebuah pintu besi besar.“Ini jalan keluarnya,” kata Arvell sambil memutar sebuah roda besi yang men
Jia berdiri membeku di tempatnya, matanya menatap tajam ke arah Arvell. Pria itu terlihat tenang, terlalu tenang, dan itu membuat Jia semakin curiga. Apa permainan yang sedang ia rencanakan?Kairos melangkah maju, wajahnya dipenuhi konflik. “Arvell, lepaskan dia. Ini bukan bagian dari kesepakatan kita.”Arvell menoleh ke Kairos dengan senyum yang hampir ramah. “Kairos, jangan campur tangan. Kau di sini karena aku mengizinkannya. Jangan lupa siapa yang memegang kendali.”Jia mengepalkan tinjunya. “Kendali? Kau pikir aku akan membiarkan diriku dimainkan olehmu? Jika kau punya sesuatu yang ingin dikatakan, katakan sekarang!”Namun, Arvell tidak terpengaruh oleh kemarahan Jia. Dia justru melangkah mendekat dengan gerakan yang penuh perhitungan. “Oh, Jia, kau selalu terlalu berani. Itulah yang membuatmu menarik.”“Berhenti bicara omong kosong,” potong Jia. “Apa tujuanmu? Dan apa hubungannya ini dengan Kairos?”Arvell tertawa pelan. “Tujuanku? Hanya memastikan kau tidak lepas dari pengawasa
Jia masih terdiam, pikirannya dipenuhi oleh teka-teki yang sulit ia pecahkan. Nama Kairos terus bergema di kepalanya, membangkitkan campuran emosi yang sulit ia jelaskan. Dalam pikirannya, ingatan akan pria tua itu semakin jelas.Dia ingat bagaimana Kairos tidak hanya sembuh dari luka-lukanya tetapi juga menjadi bagian penting dalam organisasi kecilnya dulu. Pria tua itu, meski tampak lemah, memiliki pengetahuan mendalam tentang strategi dan taktik yang jauh melampaui siapa pun yang pernah Jia temui. Kairos adalah penasihat diam-diam yang sering membantu Jia keluar dari situasi sulit tanpa meminta apa pun sebagai imbalan.Namun, suatu hari, pria itu menghilang. Tanpa jejak, tanpa pesan. Jia tidak pernah tahu ke mana dia pergi atau apakah dia masih hidup.---Kini, pertanyaan yang menghantui Jia adalah: apakah Kairos yang dia lihat tadi malam benar-benar orang yang sama?Jia memutuskan untuk mencari tahu. Dia meraih ponselnya, mengetik pesan singkat kepada salah satu koneksi lamanya ya
Pria yang baru datang itu melangkah mendekat dengan tenang, namun setiap gerakannya membawa aura tekanan yang membuat semua orang menahan napas.Pemimpin kelompok bersenjata itu menegang, raut wajahnya berubah dari percaya diri menjadi penuh kehati-hatian. “Kami tidak mengharapkan kehadiran Anda di sini, Tuan...” Suaranya melemah, seolah takut menyebutkan nama pria tersebut.Revandro memperhatikan pria itu dengan tatapan tajam, instingnya langsung mengenali bahwa ini bukan orang biasa. Sementara Arvell berdiri siaga, matanya menyapu sekeliling, mencari tahu apa tujuan pria ini dan apakah ia sekutu atau musuh.“Jia,” suara pria itu akhirnya terdengar, datar namun penuh makna. Tatapannya yang dingin tertuju langsung pada wanita yang berdiri di antara kekacauan. “Apakah mereka mengganggumu?”Jia menatapnya dengan bingung, tak mengenali siapa pria itu. “Siapa... siapa Anda?”Pria itu tidak menjawab langsung. Sebaliknya, ia mengarahkan pandangannya pada pemimpin kelompok bersenjata. “Kamu
Agatha berjalan cepat menuju tangga, menekan rasa cemas yang mulai merayap di dadanya. Setiap langkah yang diambilnya terasa semakin berat, namun tekad di dalam dirinya semakin kuat. Ia tahu, jika ia terus berada di sisi Rohander, ia hanya akan semakin terjerat dalam permainan yang tak pernah ia pilih. Meskipun ketakutan itu ada, rasa ingin tahu dan kebebasan yang lebih besar dari rasa takut itu mendorongnya untuk terus maju.Namun, di balik langkahnya yang mantap, Agatha bisa merasakan tatapan Rohander yang terus mengikuti setiap gerakannya. Rasanya seperti ada bayangan gelap yang terus membayangi setiap langkahnya. Begitu sampai di pintu kamar, Agatha berbalik, berhadapan dengan Rohander yang kini sudah berada di ambang pintu, menatapnya dengan sorot mata yang dalam, penuh dengan campuran antara kekhawatiran dan kemarahan yang terpendam."Agatha," suara Rohander rendah, namun ada ketegangan yang menebal. "Kau pikir, aku akan membiarkanmu pergi begitu saja? Tanpa penjelasan?"Agatha