JovitaHatiku hancur untuk kedua kalinya. Dikhianati oleh orang yang sama dan kehilangan keluarga bahagia. Kutatap wajah yang tampak berantakan dari cermin, sekilas aku mengenang kejadian pahit yang aku alami. Dipenjara, dimaki dan dihajar tanpa ampun dalam waktu hampir bersamaan semenjak berselingkuh dengan Johan. Dia datang hanya untuk menguji kesetiaanku pada Amar, suamiku. Aku yang angkuh terlena oleh janji sikap dan manisnya. Kenapa aku tak belajar dari pengalaman dan kenapa pula hati ini begitu rapuh menerima cintanya? Aku menangis meratapi nasib yang kian buruk. Kadang, kehadiran seseorang menjadi pahlawan untuk kita atau mereka datang sebagai musuh yang siap menghancurkan apa yang sudah kita bangun. Bodohnya aku terlambat mengetahuinya.Mas Amar datang menyelamatkan hidupku dari aib dan rasa malu. Ia yang bertanggung jawab membesarkan anak yang aku kandung diluar pernikahan dengan cinta dan kasih sayang. Jika saja aku tak rakus, mungkin kini hidup kami akan bahagia tanpa ke
JovitaClarisa tertunduk lesu tanpa berani menatap mata kakeknya. Sedangkan aku tak tau harus berbuat apa? Hanya papa tempatku mengadu saat ini. “Sudah berapa bulan usia kandunganmu?” tanya papa menatap cucunya lekat. “Lebih kurang empat bulan, Kek,” jawab Clarisa ragu. Semenjak mengetrahui kalau dirinya berbadan dua, baik Clarisa atau aku tak pernah berencana untuk memeriksakan kandungannya ke dokter. Di tarok dimana mukaku jika anak remaja seusianya hamil di luar nikah?“Selama itu, kamu tak tau putrimu hamil?” tanya papa dengan sorot mata penuh tanda tanya.Aku menggeleng lemah, jika bukan karena sikap Clarisa yang berubah, aku takkan tau jika dia sedang berbadan dua.“Apa kamu kenal dengan lelaki itu?” kembali papa bertanya. “Aku kenal, Pa. Clarisa pernah mengajaknya ke rumah dan beberapa kali menjemput Clarisa pergi nonton.”Leleki itu menyimak dengan seksama. Sesekali matanya melirik padaku dan Clarisa bergantian. “Apa kamu tak sadar jika gaya pacarannya berlebihan?”Pertany
“Sepertinya kedatangan saya mengganggu waktunya. Kalau begitu, saya datang lain kali saja.” Mendengarnya berkata dengan formal dan begitu merendah, membuatku heran. Benarkah ini Nyonya Jovita yang dulu?Setelah beberapa lama tak bertemu, ia tampak berubah. Penampilannya masih seperti dulu, tetapi keangkuhan dan kesombongannya kian memudar.“Tidak. Silakan duduk, Jovita.” Ayah Arya mempersilakan duduk dengan memberi ruang pada sebuah sofa. “Kevin, Mami nih!”Kevin hanya memandang sekilas, kemudian kembali pada Arkan yang berada dalam gendonganku. “Salim dulu sama Mami, ya,” pintaku.Kevin bergeming. Ia tampak kecewa dengan permintaanku, tetapi setelah Mas David membujuk, barulah Kevin bangkit lalu mencium tangan Nyonya Jovita dengan canggung. Tak ada kecupan atau pelukan hangat, sepertinya Nyonya Jovita belum berani memulai. Ia seperti ragu jika nanti Kevin akan menolak.“Jika butuh berdua dengan Kevin, saya akan memberikan ruang khusus untuk bicara,” ungkap Mas David, ketika melihat
“Ayah.”Laki-laki itu menoleh sambil tersenyum menatap ke arahku. Sebelum subuh berkumandang, Ayah sudah bangun. Setelah mandi, ia menunaikan salat Subuh di masjid yang lumayan jauh dari rumah ini bersama Kevin, Mas David, dan Ayah Arya. Karena itu, suasana subuh di rumah kami sangat hidup dan menenteramkan.Entah terbuat dari apa hati Ayah, hingga ia sangat menghormati suami sang mantan istri. Bahkan, keduanya tampak akrab tanpa pernah membicarakan perempuan yang sama-sama mereka cintai.Aku meletakkan secangkir kopi di atas meja, kemudian duduk di samping Ayah.“Ayah tak tahu bagaimana cara berterima kasih pada ibumu,” ungkapnya memulai pembicaraan.“Maksud Ayah?”Laki-laki itu menarik udara dalam, lalu mengembuskannya perlahan. “Ucapan Jovita kemarin menampar Ayah. Ia benar, perilaku Clarisa yang melewati batas juga tanggung jawab Ayah karena memanjakannya hingga lupa mendidiknya dengan agama.”Tangan Ayah bergerak mengambil cangkir yang masih mengeluarkan uap panas, kemudian menye
Wulandari PrawiraSudah dua kali Nyonya Jovita berkunjung, semenjak pertemuan itu. Hasilnya, ia selalu pulang dengan tangan kosong. Seperti tak putus asa dan berharap Ayah melunak, hari ini ia datang tidak sendiri, melainkan berdua dengan Clarisa.Aku kaget melihat mereka muncul di depan pintu. Entah angin apa yang membawanya, hingga Clarisa berani menginjakkan kaki di rumahku. Namun sebagai tuan rumah yang baik, aku menghormati layaknya tamu di rumah ini.“Silakan diminum,” ucapku, menatap cangkir teh yang hampir dingin di depan mereka karena diabaikan.“Terima kasih.” Nyonya Jovita tersenyum, kemudian mengambil cangkir di depannya. Tak lupa ia menyuruh Clarisa melakukan hal yang sama, meskipun wajah sang putri tampak tak suka. Perlahan, ia meletakkan cangkir ke posisi semula, kemudian beralih menatap perutku yang tampak membesar. “Bayinya laki-laki atau perempuan?” tanyanya lembut.“Hasil USG perempuan.”“Clarisa juga mengandung bayi perempuan,” lirihnya, menatap sang anak yang dar
Wulandari PrawiraKutatap lelaki itu penuh kekaguman. Jas mewah, rambut tertata rapi, dan sebuah jam mahal melekat di tangannya. Diusia kepala empat, wajahnya tetap tampan berbalut wibawa hingga membuat para wanita tergila-gila, termasuk nyonya Jovita yang tak henti menguntit ayah hingga kini. Dua lelakiku duduk berdampingan di jok depan sedangkan aku harus puas duduk seorang diri di jok belakang. Keduanya tampak akrab dengan percakapan tak jauh dari pekerjaan hingga mobil yang dikendarai Mas David berhenti di sebuah lobi hotel bintang lima. Hari ini kami menghadiri undangan pernikahan putri pengusaha kaya yang tentunya masih memiliki keterikatan bisnis dengan perusahaan suamiku.Aku merasa bak ratu yang dikawal dua orang penjantan tangguh. Mas David berada di sebelah kanan dan ayah di sebelah kiri. Beberapa pasang mata melirik pada kami termasuk tatapan para wanita sosialita yang masih melajang hingga bersuami. “Selamat malam Pak David, Pak Amar,” sapa seorang lelaki paruh baya. J
Mas David membawaku pergi meninggalkan ayah dan Mbak Farah yang sibuk dengan cerita bisnis mereka. Selama kami ngobrol, aku bisa menilai jika Mbak Farah sosok yang baik dan tulus. Aku berharap ayah bisa membuka hati dan menemukan pengganti ibu, tak perlu balik pada Nyonya Jovita yang telah menginjak harga dirinya.“Bagaimana menurut ayah putri Pak Harum itu?” tanya Mas David ketika mobil yang dikendarainya berlalu pergi meninggalkan hotel. “Dia pintar bahkan sangat mengerti dengan manajemen perusahaan. Pantas saja perusahaan itu semakin berkembang di tangannya,” puji ayah.Mas David menggaruk kepalanya yang tak gatal. Aku tau, bukan itu jawaban yang diinginkan Mas David. “Aneh ya, Yah? Wanita secantik dan sebaik itu masih betah melajang,” pancing Mas David yang seperti tak putus asa menghadapi mertuanya. “Biasanya orang kaya akan memilih calon yang selevel dengan mereka sedangkan jumlah lelaki kaya yang lajang tak banyak, jikapun ada mereka akan memilih wanita yang mereka cintai ta
JovitaKehidupanku terasa hampa. Hari-hari kulalui dengan bersembunyi dalam rumah besar yang sunyi. Tidur tak nyenyak dan makanpun tak enak. Meskipun berbagai menu terhidang di meja, lidah ini seperti kehilangan kemampuan mengecap hingga semua terasa tak enak. Belum lagi wajah Clarisa yang selalu murung di depan mata.“Makanlah meski sedikit, bayimu butuh nutrisi.”Gadis itu terdiam, sendok yang ia pegang hanya berputar-putar di atas piring. “Aku tak berselera, Ma.”“Kamu tak ingin makan tapi, bayimu butuh makanan.”Clarisa menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan, tak lama ia mulai memasukkan makanan ke dalam mulut. Mata gadisku berkaca-kaca. “Papa tak ingin kembali pada kita karena …. aku.” “Tidak, ia sangat menyanyangimu meski bukan anaknya sendiri,” hiburku.Clarisa menggeleng lemah, setetes air matanya jatuh. “Jika saja aku tak menghinanya, mungkin papa akan kembali.”Kutatap gadis itu lekat, tangisnya menyayat hati. Bukan hanya dirinya yang butuh lelaki itu tapi juga aku.
Salma memperhatikan Sri yang tampak tenang dan tak terusik dengan ucapannya kemarin. Salma masih ingat bagaimana wajah wanita itu berubah ketika mendengar pengakuannya. Kini, sikap tenang istri mantan suaminya itu membuatnya heran. Puas melihat dari kejauhan, Salma mendekati Sri yang sedang sibuk di dapur.“Kamu masak banyak sekali seperti ada pesta? Mas Arya akan pulang sore hari, makanan itu akan dingin sebelum dia datang?” ungkap Salma tiba-tiba. “Dari mana kamu tau?” tanya Sri. Wanita itu tersenyum, niat buruknya kembali muncul untuk memanas-manasi istri Arya itu. “Aku ini mantan istrinya, jadi aku hafal jam kerja Mas Arya. Hari ini adalah jadwalnya praktek di klinik sampai pukul enam sore, jika ada kasus yang harus ia tangani, bisa saja ia akan pulang malam.”Sri menoleh menatap perempuan yang merasa menang itu. “Itu dulu, saat bersamamu. Setelah menikah denganku, Mas Arya mengurangi aktivitasnya. Hari ini tak ada jadwal praktek. Ia akan pulang setelah zuhur.”Salma mengalihka
“Kenapa?”“Mas Arya sangat benci perselingkuhan. Jika Sri dan mantan suaminya berselingkuh maka ia akan menceraikan wanita itu. Kesempatan ini akan aku ambil untuk kembali dalam pelukannya.”Jovita tersenyum sinis, Salma enak, ia bisa kembali pada Arya, bagaimana dengannya yang tetap sendiri.“Aku enggak mau.”“Hei, ayolah, kalau Mas Arya berpisah dari Sri, kan kamu juga bisa kembali pada Amar. Lagi pula wanita itu takkan mau kembali setelah ia dicampakkan oleh lelaki itu kecuali hanya sekedar Pelepas rindu.” Dengan bujukan Salma, Jovita menyanggupi untuk ikut andil membuat pasangan suami itu meski hati kecilnya tak yakin akan bisa menjalankan misi mereka dengan sukses. ***SPW***Setelah mendapatkan informasi tentang keluarga mantan suaminya. Salma kembali ke rumah itu dengan hati panas. Bagaimana tidak, niat hati ingin kembali pada mantan suami malah mendapati bahwa lelaki itu sudah move on darinya dan kini sedang berbahagia memiliki keluarga sempurna dilengkapi seorang buah cinta
Salma berjalan mengelilingi rumah yang dulu pernah menjadi tempatnya bernaung. Hampir 100 persen dekorasinya dirubah total oleh Arya. Tak hanya itu, ia juga membuat hunian ini menjadi asri bahkan, Salma hampir tak mengenalinya. Dahi perempuan itu mengkerut ketika melihat pagar pembatas dengan rumah sebelah tak lagi terpasang. Dulu, ia sangat yakin jika rumah itu ditempati oleh seorang lelaki keturunan asing. Kenapa sekarang rumah ini menyatu dengan rumah Arya? Mungkinkah lelaki itu membelinya. “Sri, kenapa pagar pembatas di robohkan dan bangunan ini menyatu dengan rumah sebelah?” tanya Salma heran. “Itu rumah putri saya, agar kami bisa dekat dan saling menjaga ketika suaminya tak ada, jadinya sekatnya di buka.”“Rumahnya Wulan?”Sri mengangguk.Wanita itu tersenyum miring. “Mas Arya yang membelikan?” “Bukan.”“Menantumu?” Wanita itu tertawa mengejek. Pemuda kayakah menantunya? Rasanya tak mungkin. Lelaki lajang dan kaya itu langka dan sulit di dapat. Jikapun mereka kaya pasti has
“Tante ngapain di situ?” Pertanyaan Wulan mengagetkan Salma yang berdiri di depan pintu kamar. Sudah dari tadi Wulan melihatnya berdiri di depan pintu kamar mamanya. Apa yang dilakukan Salma? Kalau bukan menguping atau mencari sesuatu.“Oh … ti …tidak, tadi aku ingin mengambil minum lalu terhenti di sini karena mendengar suara aneh,” jawab Salma asal. Wulan tersenyum, “Mereka memang begitu tante, kadang aktivitas mereka terdengar sampai keluar kamar hingga suamiku pun ikut-ikutan. Dan ini akibatnya, aku hamil,” ujar Wulan memanasi. “Maklum tante, Ayah Arya lima belas tahun menduda dan mamaku Sembilan belas tahun hidup sendiri, jadi wajar jika mereka berdua bergairah melebihi pasangan perawan dan jejaka.”Salma menatap Wulan tak suka, ia tau jika perempuan hamil itu tengah memancing dirinya. “Sebaiknya tante tidur dari pada nanti tante mendengar suara-suara mereka yang akan membuat tante tak bisa tidur.”Salma menghela napas kasar, ia menatap Wulan benci lalu berlalu ke kamarnya den
Salma duduk di kursi jati yang terletak di samping rumah. Ia begitu kagum melihat pemandangan di depan mata. Tanah kosong yang dulu hanya ditanami rumput, kini telah berubah menjadi taman bunga yang indah. Aneka mawar dan warna warni anggrek tampak cantik mengelilingi kolam ikan. Suara gemircik air mancur yang terpancar dari dinding batu alam terdengar begitu merdu. Siapapun akan betah duduk berlama-lama di sini menikmati indahnya taman yang begitu terawat.Lamunan Salma terhenti ketika derit suara kursi terdengar di geser. Ia menoleh ke samping, senyum wanita itu mengembang mendapati sang lelaki pujaan duduk tak jauh darinya. Bahkan hembusan angin malam memanjakan hidung Salma yang telah lama tak merasakan aroma lelaki itu.“Ada apa kamu ke sini?” suara itu terdengar dingin melebihi udara malam yang membelai kulitnya. Salma menoleh ke dalam ruangan, dari kejauhan ia bisa melihat istri lelaki itu sedang duduk memangku sang anak. Suara gelak tawa Wulan yang menghibur Arkan terdengar d
Tak menyaia-nyiakan kesempatan, aku menerima tawaran Farah untuk ikut bergabung dengan mereka meski Mas Amar terlihat tak nyaman. Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya aku kembali duduk di mobil yang dikendari lelaki itu. Mas Amar menyetir dalam diam, sementara aku dan Farah duduk di jok belakang. Sesekali aku bertanya pada perempuan itu. Ia tampak luwes dan mudah akrab. Sikapnya ini membuatku takut. Rasanya takkan butuh waktu lama bagi Farah untuk menaklukkan Mas Amar.Mobil berhenti di depan sebuah restoran sunda yang belum pernah aku kunjungi. Kami duduk di meja yang tak jauh dari tempat bermain. Suasana restoran yang asri di tambah air mancur buatan membuat tempat ini sangat cocok untuk bersantai, apalagi suara percikan air terdengar bak alunan musik menemati makan siang kami. Satu persatu pelayan datang menghidangkan makanan. Dengan cekatan, Farah mengambil piring kemudian menyendokkan nasi lalu memberikannya pada Mas Amar. Lelaki itu membalas dengan senyuman. “Ini cumi b
Rasanya aku ingin menangis ketika dihadapkan berbagai pekerjaan kantor yang tak aku kuasai, belum lagi bagaimana bersikap pada Budi yang berselingkuh dan berbuat meseum di kantor. Ternyata bukan hanya sekali ini saja lelaki itu membawa selingkuhannya tapi sudah berkali-kali, begitu info yang kudapatkan dari sekretarisnya. Meski hanya duduk dengan setumpuk berkas tapi menjadi pemimpin ini membutuhkan tanggung jawab dan otak yang cerdas untuk mengelolanya hingga menjadi sukses dan menguntungkan.“Budi, mulai besok kamu istirahat dulu di rumah!” tegasku ketika beberapa laporan para petinggi perusahaan aku terima. “Maksud ibu saya di … dipecat?” tanya lelaki itu gugup.“Saya belum sampai ke sana, saya perlu mengkaji keberadaanmu. Nanti akan saya infokan bagaimana kelanjutannya.”Lelaki itu tampak tak tenang, beberapa petinggi diam saja melihat rekan kerja yang berada diujung kehancuran. “Apa ibu mengistirahatkan saya karena kasus kemarin atau karena kasus lain?”Dahiku menyerngit mende
JovitaKehidupanku terasa hampa. Hari-hari kulalui dengan bersembunyi dalam rumah besar yang sunyi. Tidur tak nyenyak dan makanpun tak enak. Meskipun berbagai menu terhidang di meja, lidah ini seperti kehilangan kemampuan mengecap hingga semua terasa tak enak. Belum lagi wajah Clarisa yang selalu murung di depan mata.“Makanlah meski sedikit, bayimu butuh nutrisi.”Gadis itu terdiam, sendok yang ia pegang hanya berputar-putar di atas piring. “Aku tak berselera, Ma.”“Kamu tak ingin makan tapi, bayimu butuh makanan.”Clarisa menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan, tak lama ia mulai memasukkan makanan ke dalam mulut. Mata gadisku berkaca-kaca. “Papa tak ingin kembali pada kita karena …. aku.” “Tidak, ia sangat menyanyangimu meski bukan anaknya sendiri,” hiburku.Clarisa menggeleng lemah, setetes air matanya jatuh. “Jika saja aku tak menghinanya, mungkin papa akan kembali.”Kutatap gadis itu lekat, tangisnya menyayat hati. Bukan hanya dirinya yang butuh lelaki itu tapi juga aku.
Mas David membawaku pergi meninggalkan ayah dan Mbak Farah yang sibuk dengan cerita bisnis mereka. Selama kami ngobrol, aku bisa menilai jika Mbak Farah sosok yang baik dan tulus. Aku berharap ayah bisa membuka hati dan menemukan pengganti ibu, tak perlu balik pada Nyonya Jovita yang telah menginjak harga dirinya.“Bagaimana menurut ayah putri Pak Harum itu?” tanya Mas David ketika mobil yang dikendarainya berlalu pergi meninggalkan hotel. “Dia pintar bahkan sangat mengerti dengan manajemen perusahaan. Pantas saja perusahaan itu semakin berkembang di tangannya,” puji ayah.Mas David menggaruk kepalanya yang tak gatal. Aku tau, bukan itu jawaban yang diinginkan Mas David. “Aneh ya, Yah? Wanita secantik dan sebaik itu masih betah melajang,” pancing Mas David yang seperti tak putus asa menghadapi mertuanya. “Biasanya orang kaya akan memilih calon yang selevel dengan mereka sedangkan jumlah lelaki kaya yang lajang tak banyak, jikapun ada mereka akan memilih wanita yang mereka cintai ta