Kami bergegas menaiki mobil, ketika orang suruhan Mas David berhasil menemukan keberadaan Ayah. Sepanjang jalan aku tak tenang, bahkan jantung pun berdegup kencang. Semula Mas David melarangku untuk ikut dan menyuruh menunggu di rumah, tetapi aku bersikeras. Tak sabar ingin tahu keadaannya. Apakah ia baik-baik saja selama ini?Mobil berhenti, tepat di depan sebuah bangunan. ‘Distributor Beras’, itulah yang tertulis dalam sebuah spanduk besar. Beberapa truk terparkir, dan para buruh satu per satu memanggul karung berwarna putih untuk dibawa masuk.“Mas, mau membeli beras?” Aku bertanya.Mas David memandangku lekat, kemudian beralih pada para kuli panggul yang sedang lalu-lalang. “Ayahmu ada di sana, Lan.”Tanpa menunggu, aku turun dari mobil mencari sosok yang kurindukan. Satu per satu wajah mereka tak luput dari perhatianku, tetapi tak ada yang kukenal. Di mana Ayah? Aku mencoba memasuki gedung, hanya kesibukan yang terlihat. Mata terus memindai sekeliling, menatap para kuli panggul,
“Ini perayaan sederhana atas diterimanya Wulan kuliah. Hanya keluarga kita saja,” ucapku menjawab pertanyaan yang tersirat di wajahnya.Semula Ayah menolak, ia merasa tak enak, tetapi aku terus memohon hingga laki-laki itu pun setuju. Aku menunggunya di dalam mobil yang tak jauh dari gang tempat tinggal Ayah. Ia melarangku mengikuti, dan menyuruh menunggu di luar. Bahkan, Ayah tak mengizinkanku untuk sekadar melihat tempat tinggalnya.Tak lama, dari ujung gang tampak Ayah sudah rapi memakai baju koko dan celana panjang hitam. Ayahku kembali terlihat tampan. Pak Wahyu—sopir yang setia mengantarku ke mana-mana—segera melajukan kendaraan untuk pulang. Aku dan Ayah duduk di belakang. Kugenggam tangan Ayah yang sekarang terasa agak kasar. Sepanjang jalan memasuki kompleks, laki-laki itu menatap keluar jendela. Setelah berbulan-bulan meninggalkan tempatnya bernaung 18 tahun silam, akhirnya ia kembali ke sini. Kami pun turun dan bergandengan tangan memasuki rumah. Ketika masuk, pandangan A
Pandanganku beralih pada dua orang yang tak menyadari kami menonton kemesraan mereka. Ayah Arya mematikan selang air, kemudian merangkul Ibu masuk ke dalam rumah. Sudah pasti mereka akan mandi, atau bisa saja melanjutkan kemesraan yang barusan terjadi di tempat berbeda. “Ayah,” panggilku selembut mungkin. “Ini Wulan bawakan teh dan kue.”Ayah terkejut dan tampak gugup. “Eh, Wulan.” Laki-laki itu membalikkan badan, lalu menatapku dengan sebuah senyuman. Aku tahu, itu terpaksa, bahkan aku bisa melihat ada luka yang terpancar dalam sorot matanya. Kesedihannya bisa aku rasakan. Jika saja Ibu masih sendiri, akan kubujuk untuk kembali. Namun sayang, jodoh mereka tak panjang.“Bagaimana tidurnya, Yah?”“Alhamdulillah, sangat nyenyak.” Ayah duduk di sofa, kemudian menyesap teh yang masih mengeluarkan uap panas dari cangkirnya.“Wulan sudah bikin sarapan. Mari, kita ke bawah.” Mereka berdua turun, sedangkan aku melangkah ke kamar guna menemui Mas David yang ternyata sudah rapi dan tampan.“A
Andai kejadian ini di desa, sudah pasti akan membuat warga berkerumun. Namun karena di perumahan elite yang kebanyakan warganya sibuk, jadi tak mengundang perhatian. Perempuan itu menarik napas, menenangkan debaran di dada. Sorot matanya memandang tajam pada Ayah dan Ibu bergantian, hingga terhenti pada perut Ibu. “Jangan-jangan ... anak yang dikandung dia bukan anak Dokter Arya.”“Jovita!” teriak Ayah.Perempuan ini sudah keterlaluan. Pagi-pagi bikin ribut, dan sekarang memfitnah. Karena geram, aku pun angkat bicara, “Nyonya, silakan pergi dari rumahku! Anda sungguh tak beradab.”Kevin yang tak suka dengan sikap maminya, menarik Nyonya Jovita pergi. Sumpah serapah dan makian terus terucap dari bibir, hingga perempuan itu menghilang dari pandangan.Ayah terpaku, menatap keduanya yang berlalu. Kudekati Ayah dan menggenggam tangannya. Ia terlihat tak bersemangat.“Ayah pergi dulu. Terima kasih sudah mengundang Ayah ke sini.” Laki-laki itu menyentuh pipiku. Sorot matanya sendu dan berka
Ibu dan Ayah Arya mendukung keputusanku. Aku meminta mereka untuk menyembunyikan dari Mas David, karena ini akan menjadi kejutan yang akan aku persiapkan untuknya. Menurut Ayah, keadaanku baik-baik saja, apalagi usia pernikahan kami yang baru beberapa bulan. Perlu waktu untuk menghabiskan waktu bersama. Pil kontrasepsi yang rutin kuminum, segera kuhentikan. Rasanya tak sabar menunggu bulan depan untuk melihat hasilnya dan memberikan kebahagiaan ini pada Mas David.“Kenapa?” tanya Mas David curiga, ketika aku mengajaknya pulang lebih awal. Biasanya aku yang malas pulang, karena ingin bersama Ibu dan bayinya. Namun, sekarang justru kebalikannya.“Wulan ingin sama, Mas,” bisikku sambil menggandeng tangannya memasuki rumah kami.“Kan, kita sudah bersama.”Kucubit pinggangnya, karena tak mengerti juga maksudku. “Bilang, dong, kalau mau. Dengan senang hati, akan aku kabulkan,” jawabnya dengan seringai mesum. Tak apalah jika ia beranggapan aku agresif. Selama ini selalu dia yang memulai,
Keadaan Ayah sudah membaik. Aku sengaja menempatkannya di kamar tamu yang pemandangannya menghadap jalan. Ini lebih baik, daripada kamar sebelumnya yang pemandangannya ke rumah Ibu. Pasti sangat sakit berhadapan dengan cinta yang tak akan bisa diraih kembali. “Ayah akan bekerja,” ucapnya, ketika kami sedang menikmati sarapan pagi.Aku mengerti, Ayah enggan ditinggal sendiri di rumah ini saat aku dan Mas David tak di rumah, apalagi bertetangga dengan Ibu. Rumah yang telah bersatu ini pasti akan membuat mereka mudah bertemu. Aku percaya Ayah tak akan menggoda Ibu, dan Ibu tak akan mengkhianati pernikahan mereka. Namun jika keduanya sering bertemu, bisa menimbulkan fitnah dan dosa.“Ayah, bisakah Ayah mengantar Wulan ke kampus?”Ayah terdiam, kemudian menatapku dan Mas David bergantian. “Ayah harus—”“Untuk apa Ayah bekerja keras seperti itu? Siapa yang Ayah nafkahi?” potongku cepat. Emosiku mulai naik. Kenapa begitu sulit memberinya pengertian? “Ayah cuma—”“Bisakah Ayah tak meninggal
“Maaf sudah membuat Ayah menunggu lama?” Kehadiran Wulan menyadarkanku dari lamunan. Suaranya yang lembut begitu menenteramkan hati, sama seperti Sri, mantan istriku. Kenangan kami tak banyak, tetapi semua manis tanpa cela. Betapa bodohnya aku melepasnya.“Tidak. Tadi Ayah ikut pengajian kampus.”“Oh, ya?”“Membuang kejenuhan dengan sesuatu yang bermanfaat.”Aku melajukan kendaraan keluar dari universitas bergengsi ini. Aku sangat bangga dengan Wulan, putriku akan menjadi seorang dokter, tetapi hati ini juga sedih karena tak bisa bertanggung jawab membiayai kuliahnya. Allah sangat adil, kesengsaraan 18 tahun, ia bayar dengan memberikan seorang imam yang baik untuk putriku.“Kita makan dulu, Ayah yang traktir.” Kuhentikan mobil di sebuah restoran mewah yang dulu menjadi tempat favorit bersama keluargaku; Jovita, Clarisa dan Kevin. Aku sengaja memilih tempat terbaik dengan pemandangan yang indah. Makanan di sini sangat mahal untuk kantongku yang sekarang, tetapi sebanding dengan cita r
Aku kaget, dan Jovita terpaku mendengar teriakannya. Bagaimana tidak, Kevin yang lembut, tak pernah menghardik atau berkata kasar sekarang menjadi galak. Dadanya naik turun dengan napas tersengal. Matanya memerah karena marah. Perlahan Jovita melepaskan pegangannya, karena tak sanggup melihat reaksi Kevin yang tak biasa.“Mami jangan memaksa aku. Aku muak tinggal di sini. Aku benci Mami!” Bukan Jovita namanya kalau tidak bisa menang terhadap Kevin. Muka cantik itu berubah menyeramkan, dan terlihat nyalang pada Kevin. Dengan kasar, ditariknya Kevin masuk. Clarisa mengusirku dengan paksa keluar, lalu mengunci pintu rumah.Masih terdengar suara Kevin berteriak memanggil namaku. Untuk kesekian kalinya, aku kecewa karena tak mampu berbuat apa-apa. Tubuh terasa tak bertulang, saat meninggalkan rumah megah itu. Langkah ini terasa berat menuju rumah Wulan. Dari kejauhan, kulihat putriku bersama suaminya yang sudah berdiri di dekat pagar. Raut kelegaan tampak di wajah cantik itu.“Ayah!” Put
Salma memperhatikan Sri yang tampak tenang dan tak terusik dengan ucapannya kemarin. Salma masih ingat bagaimana wajah wanita itu berubah ketika mendengar pengakuannya. Kini, sikap tenang istri mantan suaminya itu membuatnya heran. Puas melihat dari kejauhan, Salma mendekati Sri yang sedang sibuk di dapur.“Kamu masak banyak sekali seperti ada pesta? Mas Arya akan pulang sore hari, makanan itu akan dingin sebelum dia datang?” ungkap Salma tiba-tiba. “Dari mana kamu tau?” tanya Sri. Wanita itu tersenyum, niat buruknya kembali muncul untuk memanas-manasi istri Arya itu. “Aku ini mantan istrinya, jadi aku hafal jam kerja Mas Arya. Hari ini adalah jadwalnya praktek di klinik sampai pukul enam sore, jika ada kasus yang harus ia tangani, bisa saja ia akan pulang malam.”Sri menoleh menatap perempuan yang merasa menang itu. “Itu dulu, saat bersamamu. Setelah menikah denganku, Mas Arya mengurangi aktivitasnya. Hari ini tak ada jadwal praktek. Ia akan pulang setelah zuhur.”Salma mengalihka
“Kenapa?”“Mas Arya sangat benci perselingkuhan. Jika Sri dan mantan suaminya berselingkuh maka ia akan menceraikan wanita itu. Kesempatan ini akan aku ambil untuk kembali dalam pelukannya.”Jovita tersenyum sinis, Salma enak, ia bisa kembali pada Arya, bagaimana dengannya yang tetap sendiri.“Aku enggak mau.”“Hei, ayolah, kalau Mas Arya berpisah dari Sri, kan kamu juga bisa kembali pada Amar. Lagi pula wanita itu takkan mau kembali setelah ia dicampakkan oleh lelaki itu kecuali hanya sekedar Pelepas rindu.” Dengan bujukan Salma, Jovita menyanggupi untuk ikut andil membuat pasangan suami itu meski hati kecilnya tak yakin akan bisa menjalankan misi mereka dengan sukses. ***SPW***Setelah mendapatkan informasi tentang keluarga mantan suaminya. Salma kembali ke rumah itu dengan hati panas. Bagaimana tidak, niat hati ingin kembali pada mantan suami malah mendapati bahwa lelaki itu sudah move on darinya dan kini sedang berbahagia memiliki keluarga sempurna dilengkapi seorang buah cinta
Salma berjalan mengelilingi rumah yang dulu pernah menjadi tempatnya bernaung. Hampir 100 persen dekorasinya dirubah total oleh Arya. Tak hanya itu, ia juga membuat hunian ini menjadi asri bahkan, Salma hampir tak mengenalinya. Dahi perempuan itu mengkerut ketika melihat pagar pembatas dengan rumah sebelah tak lagi terpasang. Dulu, ia sangat yakin jika rumah itu ditempati oleh seorang lelaki keturunan asing. Kenapa sekarang rumah ini menyatu dengan rumah Arya? Mungkinkah lelaki itu membelinya. “Sri, kenapa pagar pembatas di robohkan dan bangunan ini menyatu dengan rumah sebelah?” tanya Salma heran. “Itu rumah putri saya, agar kami bisa dekat dan saling menjaga ketika suaminya tak ada, jadinya sekatnya di buka.”“Rumahnya Wulan?”Sri mengangguk.Wanita itu tersenyum miring. “Mas Arya yang membelikan?” “Bukan.”“Menantumu?” Wanita itu tertawa mengejek. Pemuda kayakah menantunya? Rasanya tak mungkin. Lelaki lajang dan kaya itu langka dan sulit di dapat. Jikapun mereka kaya pasti has
“Tante ngapain di situ?” Pertanyaan Wulan mengagetkan Salma yang berdiri di depan pintu kamar. Sudah dari tadi Wulan melihatnya berdiri di depan pintu kamar mamanya. Apa yang dilakukan Salma? Kalau bukan menguping atau mencari sesuatu.“Oh … ti …tidak, tadi aku ingin mengambil minum lalu terhenti di sini karena mendengar suara aneh,” jawab Salma asal. Wulan tersenyum, “Mereka memang begitu tante, kadang aktivitas mereka terdengar sampai keluar kamar hingga suamiku pun ikut-ikutan. Dan ini akibatnya, aku hamil,” ujar Wulan memanasi. “Maklum tante, Ayah Arya lima belas tahun menduda dan mamaku Sembilan belas tahun hidup sendiri, jadi wajar jika mereka berdua bergairah melebihi pasangan perawan dan jejaka.”Salma menatap Wulan tak suka, ia tau jika perempuan hamil itu tengah memancing dirinya. “Sebaiknya tante tidur dari pada nanti tante mendengar suara-suara mereka yang akan membuat tante tak bisa tidur.”Salma menghela napas kasar, ia menatap Wulan benci lalu berlalu ke kamarnya den
Salma duduk di kursi jati yang terletak di samping rumah. Ia begitu kagum melihat pemandangan di depan mata. Tanah kosong yang dulu hanya ditanami rumput, kini telah berubah menjadi taman bunga yang indah. Aneka mawar dan warna warni anggrek tampak cantik mengelilingi kolam ikan. Suara gemircik air mancur yang terpancar dari dinding batu alam terdengar begitu merdu. Siapapun akan betah duduk berlama-lama di sini menikmati indahnya taman yang begitu terawat.Lamunan Salma terhenti ketika derit suara kursi terdengar di geser. Ia menoleh ke samping, senyum wanita itu mengembang mendapati sang lelaki pujaan duduk tak jauh darinya. Bahkan hembusan angin malam memanjakan hidung Salma yang telah lama tak merasakan aroma lelaki itu.“Ada apa kamu ke sini?” suara itu terdengar dingin melebihi udara malam yang membelai kulitnya. Salma menoleh ke dalam ruangan, dari kejauhan ia bisa melihat istri lelaki itu sedang duduk memangku sang anak. Suara gelak tawa Wulan yang menghibur Arkan terdengar d
Tak menyaia-nyiakan kesempatan, aku menerima tawaran Farah untuk ikut bergabung dengan mereka meski Mas Amar terlihat tak nyaman. Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya aku kembali duduk di mobil yang dikendari lelaki itu. Mas Amar menyetir dalam diam, sementara aku dan Farah duduk di jok belakang. Sesekali aku bertanya pada perempuan itu. Ia tampak luwes dan mudah akrab. Sikapnya ini membuatku takut. Rasanya takkan butuh waktu lama bagi Farah untuk menaklukkan Mas Amar.Mobil berhenti di depan sebuah restoran sunda yang belum pernah aku kunjungi. Kami duduk di meja yang tak jauh dari tempat bermain. Suasana restoran yang asri di tambah air mancur buatan membuat tempat ini sangat cocok untuk bersantai, apalagi suara percikan air terdengar bak alunan musik menemati makan siang kami. Satu persatu pelayan datang menghidangkan makanan. Dengan cekatan, Farah mengambil piring kemudian menyendokkan nasi lalu memberikannya pada Mas Amar. Lelaki itu membalas dengan senyuman. “Ini cumi b
Rasanya aku ingin menangis ketika dihadapkan berbagai pekerjaan kantor yang tak aku kuasai, belum lagi bagaimana bersikap pada Budi yang berselingkuh dan berbuat meseum di kantor. Ternyata bukan hanya sekali ini saja lelaki itu membawa selingkuhannya tapi sudah berkali-kali, begitu info yang kudapatkan dari sekretarisnya. Meski hanya duduk dengan setumpuk berkas tapi menjadi pemimpin ini membutuhkan tanggung jawab dan otak yang cerdas untuk mengelolanya hingga menjadi sukses dan menguntungkan.“Budi, mulai besok kamu istirahat dulu di rumah!” tegasku ketika beberapa laporan para petinggi perusahaan aku terima. “Maksud ibu saya di … dipecat?” tanya lelaki itu gugup.“Saya belum sampai ke sana, saya perlu mengkaji keberadaanmu. Nanti akan saya infokan bagaimana kelanjutannya.”Lelaki itu tampak tak tenang, beberapa petinggi diam saja melihat rekan kerja yang berada diujung kehancuran. “Apa ibu mengistirahatkan saya karena kasus kemarin atau karena kasus lain?”Dahiku menyerngit mende
JovitaKehidupanku terasa hampa. Hari-hari kulalui dengan bersembunyi dalam rumah besar yang sunyi. Tidur tak nyenyak dan makanpun tak enak. Meskipun berbagai menu terhidang di meja, lidah ini seperti kehilangan kemampuan mengecap hingga semua terasa tak enak. Belum lagi wajah Clarisa yang selalu murung di depan mata.“Makanlah meski sedikit, bayimu butuh nutrisi.”Gadis itu terdiam, sendok yang ia pegang hanya berputar-putar di atas piring. “Aku tak berselera, Ma.”“Kamu tak ingin makan tapi, bayimu butuh makanan.”Clarisa menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan, tak lama ia mulai memasukkan makanan ke dalam mulut. Mata gadisku berkaca-kaca. “Papa tak ingin kembali pada kita karena …. aku.” “Tidak, ia sangat menyanyangimu meski bukan anaknya sendiri,” hiburku.Clarisa menggeleng lemah, setetes air matanya jatuh. “Jika saja aku tak menghinanya, mungkin papa akan kembali.”Kutatap gadis itu lekat, tangisnya menyayat hati. Bukan hanya dirinya yang butuh lelaki itu tapi juga aku.
Mas David membawaku pergi meninggalkan ayah dan Mbak Farah yang sibuk dengan cerita bisnis mereka. Selama kami ngobrol, aku bisa menilai jika Mbak Farah sosok yang baik dan tulus. Aku berharap ayah bisa membuka hati dan menemukan pengganti ibu, tak perlu balik pada Nyonya Jovita yang telah menginjak harga dirinya.“Bagaimana menurut ayah putri Pak Harum itu?” tanya Mas David ketika mobil yang dikendarainya berlalu pergi meninggalkan hotel. “Dia pintar bahkan sangat mengerti dengan manajemen perusahaan. Pantas saja perusahaan itu semakin berkembang di tangannya,” puji ayah.Mas David menggaruk kepalanya yang tak gatal. Aku tau, bukan itu jawaban yang diinginkan Mas David. “Aneh ya, Yah? Wanita secantik dan sebaik itu masih betah melajang,” pancing Mas David yang seperti tak putus asa menghadapi mertuanya. “Biasanya orang kaya akan memilih calon yang selevel dengan mereka sedangkan jumlah lelaki kaya yang lajang tak banyak, jikapun ada mereka akan memilih wanita yang mereka cintai ta