Aku semakin cemas. Jika ia membuka galeri itu lebih jauh, maka foto Ibu akan muncul di sana. Namun tidak, ia hanya melihat foto yang aku ambil sebulan terakhir.Nonya Jovita tampak tak suka, kemudian menghampiriku. “Kamu menyukai suami saya?” Aku menggeleng.“Lalu, kenapa kamu simpan foto suami saya? Jawab!” Aku menatap laki-laki itu, kemudian kembali menunduk. Tak lama sebuah cekalan tangan meremas daguku dan memaksa untuk mendongak menatap perempuan itu.“Kamu mencintai suami saya?”Aku menggeleng.“Lalu, kenapa foto-foto suami saya ada di sini?”Aku hanya terdiam. Perlukah aku jujur? Jika itu aku lakukan, pasti akan membuat kaget semua. Apakah Tuan Amar akan mengakuiku sebagai anak, atau malah menyerangku dengan tuduhan palsu?Tangan perempuan itu mengepal, emosinya begitu terlihat menatapku tajam. Plak! Sebuah tamparan melayang, kemudian dilanjutkan dengan jambakan pada kerudungku. “Beraninya kamu ambil foto suami saya! Untuk apa? Atau jangan-jangan ... kamu ingin guna-guna sua
Seorang laki-laki paruh baya sudah berada di kantor polisi sebelum aku datang. Ternyata dia adalah pengacara Nyonya Jovita. Jantungku berdegup kencang, ketika mendengar laporan itu sudah masuk dan perintah penyidikan pun dimulai. Aku dijerat dengan pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan. Petugas mulai menginterogasi dengan memberondong beberapa pertanyaan. Lidahku kelu, ketika mereka mempertanyakan alasan mengapa aku mengambil foto Tuan Amar tanpa izin. Aku hanya bisa menunduk dengan mulut terkunci. Walaupun Tuan Amar tak pernah menganggapku anak, tetapi aku berusaha untuk menyelamatkan kebahagiaannya dengan tidak mengungkap identitas dan alasan perbuatanku itu. Bayangan terkurung beberapa bulan dan dinginnya penjara mulai menghantui. Di usia yang masih remaja, haruskah aku merasakan hidup sebagai seorang tahanan?“Kenapa diam? Jawablah. Semakin saudari bungkam, maka akan menyulitkan saudari sendiri,” ungkap seorang petugas. Pengacara Nyonya Jovita tak henti menatapku. Laki-
“Wulan.” Suara Ibu bergetar memanggil namaku. Perempuan yang kurindukan itu datang, kemudian memelukku erat. Tangisku pecah menatap buliran bening yang mengalir di pipinya. Pak Arya dan Pak Sandi meninggalkan kami berdua. Mereka mendatangi petugas dan pengacara Nyonya Jovita. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. “Kenapa bisa begini, Nak?” tanya Ibu dengan tangis tak terbendung. Perempuan itu mengambil ujung rambutku yang pendek dengan tangan bergetar, kemudian beralih mengusap air mataku yang jatuh tak henti. Ibu membuka tas yang ia bawa, kemudian mengeluarkan sebuah kerudung dan memakaikannya padaku. “Ibu sudah makan?”Perempuan itu mengangguk, dan kembali memelukku. “Siapa yang melakukan ini semua, Nak? Kenapa wajahmu terluka, dan rambut terpotong? Kesalahan apa yang telah Wulan lakukan?” Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Genggaman tangan Ibu terasa hangat dan menenteramkan. “Ibu masih mendoakan Ayah?” Ibu melepas pelukan. Dahinya mengernyit mendenga
Pak Arya memegang pundakku. Aku memeluknya, layaknya seorang anak yang mengadu pada ayahnya. Aku menangis keras, tak kuhiraukan di mana aku berada dan berapa banyak tatapan mata yang melihat. Aku hanya butuh tempat bersandar untuk mencurahkan semua kepiluan ini. Pak Arya mengusap punggungku lembut, seperti mengalirkan kekuatan agar aku bertahan dan kuat menghadapi ujian kehidupan. Puas mencurahkan semua, aku melepaskan pelukan dan mengusap air mata di pipi. Tatapan Ibu tampak sendu dengan tangis tak terbendung, sementara dia, orang yang enggan kupanggil ayah hanya menatap tanpa berani berbuat apa-apa. Aku lemah, tubuh seperti tak bertulang. Pak Arya segera membopongku ke mobil diiringi Ibu. Hati kami sama-sama hancur. Hanya saja, Ibu sudah 18 tahun mempersiapkan diri. Pak Arya duduk di depan mengendarai mobil, sedangkan aku dan Ibu duduk di belakang. Sepanjang jalan, kami menangis bersama mengeluarkan sesak. Laki-laki itu hanya diam, seperti memberikan waktu bagi kami untuk menang
Setelah makan malam, kami duduk di ruang keluarga. TV layar datar menyala, menampilkan film asing yang tak berselera untuk di tonton. Aku tak suka menonton televisi, apalagi Ibu, karena selama ini sibuk dengan pekerjaan rumah tangga. Pak Arya pun kulihat tak menikmatinya, bahkan ia lebih tertarik menatap wajah Ibu ketimbang TV itu. Selama ada aku di antara mereka, suasana akan hangat karena celotehku. Namun begitu kutinggal saja sebentar ke kamar mandi, mereka berdua kembali terdiam seperti dua orang asing. “Bagaimana lukanya, Wulan?” tanya Pak Arya memecah keheningan.“Sudah membaik, Pak.”Laki-laki itu mengangguk. “Besok kita rapikan rambut Wulan, biar kelihatan tambah cantik.” Aku mengangguk. Entah kenapa bayangan kekejaman Nyonya Jovita kembali teringat. Pak Arya berkali-kali ingin memperkarakan kasus ini, tetapi aku menolak, walaupun tak ada iktikad baik dari mereka untuk meminta maaf.Tiba-tiba handphone Pak Arya berdering. Ia melihat layar yang menyala itu, kemudian beralih m
“Seandainya aku bisa mengetahui masa depan, tak akan pernah aku izinkan kamu pergi, Mas. Atau ... setidaknya aku akan ikut, dan kita jalani kehidupan bersama dalam suka dan duka. Namun aku salah, dan terlalu berharap banyak. Kini aku baru sadar, ternyata aku telah kehilangan suami sejak lama,” kata Ibu sambil terisak.Tuan Amar hanya terdiam, mendengar kepedihan Ibu. Sedangkan Nyonya Jovita tak peduli, bahkan ia tampak gelisah seperti bosan berada di sini.“Aku minta maaf padamu atas kelancangan Wulan masuk ke dalam keluarga kalian. Ini murni hanya kerinduan seorang anak pada ayahnya. Maaf, jika kehadirannya telah membuat masalah. Mulai hari ini, kami tak akan mengganggu hidupmu lagi, Mas.” Ibu menangis tersedu. Beberapa kali, ia mengusap air mata yang jatuh. Sementara laki-laki itu hanya menunduk tanpa ada jawaban. Aku tak tahu, apa yang ia pikirkan.“Maukah kamu mengabulkan permintaan terakhirku, Mas?” tanya Ibu di antara tangisnya.Tuan Amar mengangkat kepalanya, dan menatap mata
Aku duduk, kemudian menyandarkan kepala di lengan Ibu. Perempuan itu membalas dengan menggenggam erat tanganku. “Wulan baik-baik saja, kan?” Pak Arya bertanya.Aku mengangguk. Rasanya sekarang lebih tenang. Mungkin, karena selama ini aku sudah kehilangan sosok yang aku impikan, sehingga hati ini tak perlu berlarut-larut memendam kesedihan. “Kenapa Ibu meminta kata talak pada Pak Amar? Ibu bisa saja mengajukan gugatan perceraian ke KUA, karena suami Ibu telah meninggalkan Ibu selama 18 tahun berturut-turut tanpa ada kabar dan memberi nafkah,” ujar Pak Arya menatap Ibu. “Ia telah melanggar taklik talak. Bahkan, dalam taklik talak saja meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut sudah bisa diproses atau digugat ke pengadilan agama.”Ibu tersenyum. “Saya awam masalah itu, Pak. Yang saya pikirkan hanya bertahan, karena menginginkan rumah tangga yang bahagia.”Pak Arya menghela napas. “Itu adalah janji laki-laki, Bu. Kadang pihak perempuan lupa di saat sang suami membacakan taklik
Hari Ini Pak Arya meluangkan waktunya untuk membawaku mengobati luka di wajah, dan memperbaiki rambut yang terpotong tak beraturan akibat ulah Nyonya Jovita. Aku menyayangi laki-laki itu. Perhatiannya melebihi seseorang yang seharusnya bertanggung jawab memberikannya. Mobil berhenti tepat di sebuah klinik kecantikan. Kedatangan kami disambut hangat karyawan di sana. Mereka sudah mengenal Pak Arya, bahkan beberapa karyawan tampak heran melihat laki-laki itu datang dengan membawa dua perempuan. Beberapa dari mereka memandang kami heran, tetapi tak ada yang berani bertanya.Pak Arya meminta perawatan untuk kami, tetapi Ibu menolak dengan halus. Sementara aku tak punya alasan untuk menghindar, karena memang butuh. Ibu dan Pak Arya menunggu di kafe yang berada di sebelah klinik ketika aku dalam perawatan.Seorang dokter memeriksa lukaku. Katanya, sudah membaik. Ia memberikan paket krim perawatan wajah. Tak hanya itu, rambutku dirapikan. Potongan tak beraturan yang disebabkan Nyonya Jovita
Salma memperhatikan Sri yang tampak tenang dan tak terusik dengan ucapannya kemarin. Salma masih ingat bagaimana wajah wanita itu berubah ketika mendengar pengakuannya. Kini, sikap tenang istri mantan suaminya itu membuatnya heran. Puas melihat dari kejauhan, Salma mendekati Sri yang sedang sibuk di dapur.“Kamu masak banyak sekali seperti ada pesta? Mas Arya akan pulang sore hari, makanan itu akan dingin sebelum dia datang?” ungkap Salma tiba-tiba. “Dari mana kamu tau?” tanya Sri. Wanita itu tersenyum, niat buruknya kembali muncul untuk memanas-manasi istri Arya itu. “Aku ini mantan istrinya, jadi aku hafal jam kerja Mas Arya. Hari ini adalah jadwalnya praktek di klinik sampai pukul enam sore, jika ada kasus yang harus ia tangani, bisa saja ia akan pulang malam.”Sri menoleh menatap perempuan yang merasa menang itu. “Itu dulu, saat bersamamu. Setelah menikah denganku, Mas Arya mengurangi aktivitasnya. Hari ini tak ada jadwal praktek. Ia akan pulang setelah zuhur.”Salma mengalihka
“Kenapa?”“Mas Arya sangat benci perselingkuhan. Jika Sri dan mantan suaminya berselingkuh maka ia akan menceraikan wanita itu. Kesempatan ini akan aku ambil untuk kembali dalam pelukannya.”Jovita tersenyum sinis, Salma enak, ia bisa kembali pada Arya, bagaimana dengannya yang tetap sendiri.“Aku enggak mau.”“Hei, ayolah, kalau Mas Arya berpisah dari Sri, kan kamu juga bisa kembali pada Amar. Lagi pula wanita itu takkan mau kembali setelah ia dicampakkan oleh lelaki itu kecuali hanya sekedar Pelepas rindu.” Dengan bujukan Salma, Jovita menyanggupi untuk ikut andil membuat pasangan suami itu meski hati kecilnya tak yakin akan bisa menjalankan misi mereka dengan sukses. ***SPW***Setelah mendapatkan informasi tentang keluarga mantan suaminya. Salma kembali ke rumah itu dengan hati panas. Bagaimana tidak, niat hati ingin kembali pada mantan suami malah mendapati bahwa lelaki itu sudah move on darinya dan kini sedang berbahagia memiliki keluarga sempurna dilengkapi seorang buah cinta
Salma berjalan mengelilingi rumah yang dulu pernah menjadi tempatnya bernaung. Hampir 100 persen dekorasinya dirubah total oleh Arya. Tak hanya itu, ia juga membuat hunian ini menjadi asri bahkan, Salma hampir tak mengenalinya. Dahi perempuan itu mengkerut ketika melihat pagar pembatas dengan rumah sebelah tak lagi terpasang. Dulu, ia sangat yakin jika rumah itu ditempati oleh seorang lelaki keturunan asing. Kenapa sekarang rumah ini menyatu dengan rumah Arya? Mungkinkah lelaki itu membelinya. “Sri, kenapa pagar pembatas di robohkan dan bangunan ini menyatu dengan rumah sebelah?” tanya Salma heran. “Itu rumah putri saya, agar kami bisa dekat dan saling menjaga ketika suaminya tak ada, jadinya sekatnya di buka.”“Rumahnya Wulan?”Sri mengangguk.Wanita itu tersenyum miring. “Mas Arya yang membelikan?” “Bukan.”“Menantumu?” Wanita itu tertawa mengejek. Pemuda kayakah menantunya? Rasanya tak mungkin. Lelaki lajang dan kaya itu langka dan sulit di dapat. Jikapun mereka kaya pasti has
“Tante ngapain di situ?” Pertanyaan Wulan mengagetkan Salma yang berdiri di depan pintu kamar. Sudah dari tadi Wulan melihatnya berdiri di depan pintu kamar mamanya. Apa yang dilakukan Salma? Kalau bukan menguping atau mencari sesuatu.“Oh … ti …tidak, tadi aku ingin mengambil minum lalu terhenti di sini karena mendengar suara aneh,” jawab Salma asal. Wulan tersenyum, “Mereka memang begitu tante, kadang aktivitas mereka terdengar sampai keluar kamar hingga suamiku pun ikut-ikutan. Dan ini akibatnya, aku hamil,” ujar Wulan memanasi. “Maklum tante, Ayah Arya lima belas tahun menduda dan mamaku Sembilan belas tahun hidup sendiri, jadi wajar jika mereka berdua bergairah melebihi pasangan perawan dan jejaka.”Salma menatap Wulan tak suka, ia tau jika perempuan hamil itu tengah memancing dirinya. “Sebaiknya tante tidur dari pada nanti tante mendengar suara-suara mereka yang akan membuat tante tak bisa tidur.”Salma menghela napas kasar, ia menatap Wulan benci lalu berlalu ke kamarnya den
Salma duduk di kursi jati yang terletak di samping rumah. Ia begitu kagum melihat pemandangan di depan mata. Tanah kosong yang dulu hanya ditanami rumput, kini telah berubah menjadi taman bunga yang indah. Aneka mawar dan warna warni anggrek tampak cantik mengelilingi kolam ikan. Suara gemircik air mancur yang terpancar dari dinding batu alam terdengar begitu merdu. Siapapun akan betah duduk berlama-lama di sini menikmati indahnya taman yang begitu terawat.Lamunan Salma terhenti ketika derit suara kursi terdengar di geser. Ia menoleh ke samping, senyum wanita itu mengembang mendapati sang lelaki pujaan duduk tak jauh darinya. Bahkan hembusan angin malam memanjakan hidung Salma yang telah lama tak merasakan aroma lelaki itu.“Ada apa kamu ke sini?” suara itu terdengar dingin melebihi udara malam yang membelai kulitnya. Salma menoleh ke dalam ruangan, dari kejauhan ia bisa melihat istri lelaki itu sedang duduk memangku sang anak. Suara gelak tawa Wulan yang menghibur Arkan terdengar d
Tak menyaia-nyiakan kesempatan, aku menerima tawaran Farah untuk ikut bergabung dengan mereka meski Mas Amar terlihat tak nyaman. Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya aku kembali duduk di mobil yang dikendari lelaki itu. Mas Amar menyetir dalam diam, sementara aku dan Farah duduk di jok belakang. Sesekali aku bertanya pada perempuan itu. Ia tampak luwes dan mudah akrab. Sikapnya ini membuatku takut. Rasanya takkan butuh waktu lama bagi Farah untuk menaklukkan Mas Amar.Mobil berhenti di depan sebuah restoran sunda yang belum pernah aku kunjungi. Kami duduk di meja yang tak jauh dari tempat bermain. Suasana restoran yang asri di tambah air mancur buatan membuat tempat ini sangat cocok untuk bersantai, apalagi suara percikan air terdengar bak alunan musik menemati makan siang kami. Satu persatu pelayan datang menghidangkan makanan. Dengan cekatan, Farah mengambil piring kemudian menyendokkan nasi lalu memberikannya pada Mas Amar. Lelaki itu membalas dengan senyuman. “Ini cumi b
Rasanya aku ingin menangis ketika dihadapkan berbagai pekerjaan kantor yang tak aku kuasai, belum lagi bagaimana bersikap pada Budi yang berselingkuh dan berbuat meseum di kantor. Ternyata bukan hanya sekali ini saja lelaki itu membawa selingkuhannya tapi sudah berkali-kali, begitu info yang kudapatkan dari sekretarisnya. Meski hanya duduk dengan setumpuk berkas tapi menjadi pemimpin ini membutuhkan tanggung jawab dan otak yang cerdas untuk mengelolanya hingga menjadi sukses dan menguntungkan.“Budi, mulai besok kamu istirahat dulu di rumah!” tegasku ketika beberapa laporan para petinggi perusahaan aku terima. “Maksud ibu saya di … dipecat?” tanya lelaki itu gugup.“Saya belum sampai ke sana, saya perlu mengkaji keberadaanmu. Nanti akan saya infokan bagaimana kelanjutannya.”Lelaki itu tampak tak tenang, beberapa petinggi diam saja melihat rekan kerja yang berada diujung kehancuran. “Apa ibu mengistirahatkan saya karena kasus kemarin atau karena kasus lain?”Dahiku menyerngit mende
JovitaKehidupanku terasa hampa. Hari-hari kulalui dengan bersembunyi dalam rumah besar yang sunyi. Tidur tak nyenyak dan makanpun tak enak. Meskipun berbagai menu terhidang di meja, lidah ini seperti kehilangan kemampuan mengecap hingga semua terasa tak enak. Belum lagi wajah Clarisa yang selalu murung di depan mata.“Makanlah meski sedikit, bayimu butuh nutrisi.”Gadis itu terdiam, sendok yang ia pegang hanya berputar-putar di atas piring. “Aku tak berselera, Ma.”“Kamu tak ingin makan tapi, bayimu butuh makanan.”Clarisa menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan, tak lama ia mulai memasukkan makanan ke dalam mulut. Mata gadisku berkaca-kaca. “Papa tak ingin kembali pada kita karena …. aku.” “Tidak, ia sangat menyanyangimu meski bukan anaknya sendiri,” hiburku.Clarisa menggeleng lemah, setetes air matanya jatuh. “Jika saja aku tak menghinanya, mungkin papa akan kembali.”Kutatap gadis itu lekat, tangisnya menyayat hati. Bukan hanya dirinya yang butuh lelaki itu tapi juga aku.
Mas David membawaku pergi meninggalkan ayah dan Mbak Farah yang sibuk dengan cerita bisnis mereka. Selama kami ngobrol, aku bisa menilai jika Mbak Farah sosok yang baik dan tulus. Aku berharap ayah bisa membuka hati dan menemukan pengganti ibu, tak perlu balik pada Nyonya Jovita yang telah menginjak harga dirinya.“Bagaimana menurut ayah putri Pak Harum itu?” tanya Mas David ketika mobil yang dikendarainya berlalu pergi meninggalkan hotel. “Dia pintar bahkan sangat mengerti dengan manajemen perusahaan. Pantas saja perusahaan itu semakin berkembang di tangannya,” puji ayah.Mas David menggaruk kepalanya yang tak gatal. Aku tau, bukan itu jawaban yang diinginkan Mas David. “Aneh ya, Yah? Wanita secantik dan sebaik itu masih betah melajang,” pancing Mas David yang seperti tak putus asa menghadapi mertuanya. “Biasanya orang kaya akan memilih calon yang selevel dengan mereka sedangkan jumlah lelaki kaya yang lajang tak banyak, jikapun ada mereka akan memilih wanita yang mereka cintai ta