Mataku jadi berkaca-kaca; takut, dan sedih. Beberapa kali aku berpikir, bagaimana cara mengumpulkan uang sebanyak itu. Jika mengandalkan gaji sebagai pembantu, akan butuh waktu berbulan-bulan. Padahal, aku ingin keluar bulan depan dari rumah itu. Alternatif lain dengan mengatakan yang sejujurnya pada Nyonya Jovita, tetapi ... apakah ia akan percaya? Kemarin saja tanpa basa-basi ia langsung menjambak kerudungku.“Jangan menangis. Saya tidak suka perempuan cengeng.”“Wulan benar-benar tidak punya uang. Wulan hanya seorang …,” ucapanku terhenti, ketika telepon genggam laki-laki itu berdering. Ia tak banyak bicara, tetapi begitu serius mendengarkan si penelepon.“Baiklah, saya akan ke sana.” Laki-laki itu menutup panggilan, kemudian bangkit dari tempat duduk. “Di mana kamu tinggal?”“Di blok F nomor 4. Kenapa?”“Nanti saya akan ke sana!” Ia melangkah pergi, meninggalkanku begitu saja. Orang kaya yang suka seenaknya!“Tuan! Jangan datang!” seruku sambil mengejarnya.Langkah laki-laki itu y
Rasanya tak tega menolak ajakannya. Kami pun bersiap. Sebelum berangkat, Kevin minta izin pada kedua orang tuanya.“Sudah selesai PR-nya, Sayang?” Tuan Amar bertanya. Kata-kata mesra yang diucapkan dengan nada lembut ini sangat menenteramkan hati, tetapi sayang bukan untukku.“Sudah, Pi. Tadi dibantu Mbak Wulan.” Terangnya menetap ke arahku. “Mbak Wulan pintar matematika, Pi. Ia bisa mengajari aku sampai bisa. Nanti aku lesnya sama Mbak Wulan saja.”Nyonya Jovita menatap ke arahku. Ia seperti tak percaya. “Tidak usah, tetap di tempat les. Guru di sana lebih profesional dan teruji.”“Tapi, kan—”“Tidak ada tapi-tapi,” potongnya cepat, sementara Tuan Amar tak menanggapi permintaan Kevin. Dengan wajah cemberut, Kevin izin pamit. Aku hanya tersenyum, menatap Kevin yang berusaha memperjuangkanku itu. Keluar dari garasi, kami bersepeda menuju taman. Seperti biasa, Kevin berbaur dengan teman sebayanya, sementara aku duduk di bangku memperhatikan setiap gerak-geriknya.“Tidak bersepeda?” T
Aku menghitung mundur hari-hari di rumah ini. Bik Inah bilang, jika aku keluar setelah satu bulan bekerja, maka Nyonya Jovita akan memberikanku gaji. Namun jika belum cukup sebulan, maka ia tak akan memberi apa-apa. Setidaknya dengan penghasilan yang kudapatkan nanti, bisa menjadi modal untuk hidup dikemudian hari.“Wulan, tolong antarkan minuman ini ke Tuan Amar yang duduk di sana.” Tunjuk Bik Inah pada ruang keluarga. Dengan tangan gemetar, aku berjalan membawa nampan. Ayah duduk di sofa, pandangannya fokus pada benda pipih yang ia pegang. Aku berjongkok, dan dengan hati-hati meletakkan minuman di atas meja. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat wajah Ayah dari dekat. Sekilas, kami memang mirip. “Ini minumannya, Tuan.”“Hm,” jawabnya tanpa beralih dari benda pipih itu.“Kalau sudah meletakkan minuman, pergi ke dapur. Jangan di situ terus!” seru Nyonya Jovita mengagetkanku. Perempuan itu menatap tajam, kemudian duduk di samping suaminya.Aku bangkit, dan mengangguk. “Iya, Nya.”
Perkataannya membuat jantungku berpacu kencang. Segara kuambil handphone dari saku rok, kemudian menghubungi laki-laki itu. Ia tak boleh cerita pada Tuan Amar dan Nyonya Jovita.“Maksud Pak David, apa?” tanya Ayah. “Mobil saya dirusak secara tidak sengaja oleh seorang gadis. Ia menyelipkan sebuah permintaan maaf di secarik kertas. Katanya, dia tinggal di sini. Karena itu, saya datang ke sini ingin bertemu dengannya,” aku laki-laki itu.Aku kembali pada handphone yang menyala. Panggilan terhubung. Aku mengintip, guna melihat reaksi si penerima. Benar saja, laki-laki itu merogoh saku celana. Masih bisa kulihat keningnya berkerut, saat melihat layar datar itu.Tanpa mengucapkan salam, aku langsung bicara ketika panggilan diangkat, “Tuan, tolong jangan bicara pada Nyonya dan Tuan Amar, apalagi meminta ganti rugi pada mereka. Wulan di sini hanya seorang pembantu. Wulan janji akan bayar, tetapi beri keringanan.”Hening, tak ada jawaban. “Tuan, Wulan mohon.” Aku bicara sepelan mungkin.
“Wulan, terima kasih,” ucap Bik Inah, ketika kami menata makanan di meja. “Ini masakan yang Wulan bisa, Bik. Semoga saja Tuan dan Nyonya suka.”“Tidak apa-apa. Sebentar, Bibi bilang nyonya dulu.” Perempuan itu beranjak pergi. Ketika aku sedang menuangkan air ke dalam gelas, mereka datang, dan kami pun beranjak ke dapur.“Lo, kok, masakannya ini?” tanya Nyonya Jovita heran, ketika melihat menu di meja.“Maaf, Nya, tangan Bibi terluka. Jadi digantikan Wulan yang masak,” Bik Inah menjelaskan.Makan malam di mulai. Aku deg-degan, ketika mereka mulai mencicipi masakanku. Tuan Amar mulai mengambil nasi dan lauk, kemudian menyantapnya. Seketika ia terdiam cukup lama, bibirnya masih bergerak-gerak. Pandangannya menerawang ke depan, seperti sedang menilai masakanku.“Kenapa, Pi?”“Ini siapa yang masak, Mi?” Tuan Amar bertanya.“Wulan, Pi. Tangan Bik Inah terluka, jadi digantikan Wulan. Kenapa? Apa Papi tidak suka?”“Suka. Ini enak.” Tuan Amar menoleh ke arah dapur, tempat kami menunggu. Sek
Permintaan Mas David membuatku kaget, tak percaya. Bagaimana mungkin ia jatuh hati padaku, sedangkan kami baru beberapa kali bertemu. Kutatap wajah itu, tampan, kaya, dan berkarisma. Perempuan mana yang tak akan jatuh hati padanya? Namun, tawarannya untuk menjadikanku pacar sama sekali tak mencerminkan ada cinta di sana.“Aku akan memenuhi semua kebutuhanmu, memberikanmu fasilitas, serta kita hidup bersama di rumah itu. Kamu tak perlu lagi bekerja.” Laki-laki itu menatapku penuh harap. Permintaannya telah menyentil hatiku. Tiba-tiba buliran bening menetes di pipi. Walaupun cuma lulusan SMA, tetapi aku mengerti maksud perkataannya. Aku memang kampungan dan berasal dari keluarga miskin, tetapi aku punya harga diri. Dengan mudah ia memintaku menjadi pacarnya dan hidup bersama tanpa ikatan, ini sama saja dengan menghinaku. “Maaf, Mas, Wulan tidak bisa.”“Kenapa?”“Agama Wulan melarang menjalin hubungan dengan lawan jenis, apalagi tinggal satu atap tanpa ikatan pernikahan. Wulan mohon ma
Sesampainya di rumah, aku mengembalikan uang itu pada Kevin, tetapi ia menolak. “Mbak saja yang pegang. Besok kalau orang itu datang ke taman, kita berdua yang bicara, Mbak.” “Kevin, jangan Mbak yang pegang. Ini uang kamu.” Aku menyerahkan pada Kevin.“Tidak apa-apa. Kan, aku sudah bilang, kalau kita akan menyelesaikan masalah ini berdua.” Kevin tersenyum, kemudian berlari ke dalam rumah. Segera uang aku simpan ke dalam rok, agar tak terlihat oleh siapa pun. Aku masuk rumah melalui pintu samping yang menghubungkan garasi dan dapur. “Dari mana?” tanya Nyonya Jovita mengagetkanku.“Menemani Kevin main ke taman, Nya.”“Cepat, bantu Bik Inah menyiapkan makan malam.”“Iya.”Perempuan itu berlalu, sedangkan Aku menghela napas lega. Untung saja ia tak menggeledah rokku. Jika itu terjadi, bagaimana cara menjelaskan uang ini kepadanya? Aku bergegas ke kamar untuk membersihkan diri. Setelah melaksanakan salat Magrib, aku kembali ke dapur membantu Bik Inah menyiapkan makan malam. Satu per sa
Setelah membuat sarapan pagi, aku membantu Kevin menyiapkan kebutuhannya untuk berangkat sekolah. Mengambil baju seragam, menyiapkan sepatu, tas dan bekal makanan selama di sekolah. Sambil menunggu Kevin mandi, aku bergegas turun menuju kamar. Amplop cokelat yang tersimpan dalam lemari aku keluarkan. Mas David sudah mengikhlaskan semua, jadi aku harus mengembalikan uang ini pada Kevin. Kusimpan amplop itu di saku rok, kemudian kembali naik ke lantai dua. Ketika akan menaiki tangga, aku berpapasan dengan Clarisa. Wajah perempuan itu tak bersahabat, bahkan matanya menatap tajam. Aku hanya menunduk dan berdiri di samping tangga, memberi kesempatan untuknya lewat. Langkah kaki Clarisa terhenti tepat di depanku.“Di kamarmu ada kaca?” Clarisa bertanya.Aku mengangguk. “Ada.”“Berkacalah! Lihat dirimu, pantas tidak berdampingan dengan David?” Ia menatap diriku dari atas sampai bawah dengan salah satu sudut bibir menyungging ke atas. “Gadis sepertimu tak ada istimewanya.” Aku diam, tanpa b
Salma memperhatikan Sri yang tampak tenang dan tak terusik dengan ucapannya kemarin. Salma masih ingat bagaimana wajah wanita itu berubah ketika mendengar pengakuannya. Kini, sikap tenang istri mantan suaminya itu membuatnya heran. Puas melihat dari kejauhan, Salma mendekati Sri yang sedang sibuk di dapur.“Kamu masak banyak sekali seperti ada pesta? Mas Arya akan pulang sore hari, makanan itu akan dingin sebelum dia datang?” ungkap Salma tiba-tiba. “Dari mana kamu tau?” tanya Sri. Wanita itu tersenyum, niat buruknya kembali muncul untuk memanas-manasi istri Arya itu. “Aku ini mantan istrinya, jadi aku hafal jam kerja Mas Arya. Hari ini adalah jadwalnya praktek di klinik sampai pukul enam sore, jika ada kasus yang harus ia tangani, bisa saja ia akan pulang malam.”Sri menoleh menatap perempuan yang merasa menang itu. “Itu dulu, saat bersamamu. Setelah menikah denganku, Mas Arya mengurangi aktivitasnya. Hari ini tak ada jadwal praktek. Ia akan pulang setelah zuhur.”Salma mengalihka
“Kenapa?”“Mas Arya sangat benci perselingkuhan. Jika Sri dan mantan suaminya berselingkuh maka ia akan menceraikan wanita itu. Kesempatan ini akan aku ambil untuk kembali dalam pelukannya.”Jovita tersenyum sinis, Salma enak, ia bisa kembali pada Arya, bagaimana dengannya yang tetap sendiri.“Aku enggak mau.”“Hei, ayolah, kalau Mas Arya berpisah dari Sri, kan kamu juga bisa kembali pada Amar. Lagi pula wanita itu takkan mau kembali setelah ia dicampakkan oleh lelaki itu kecuali hanya sekedar Pelepas rindu.” Dengan bujukan Salma, Jovita menyanggupi untuk ikut andil membuat pasangan suami itu meski hati kecilnya tak yakin akan bisa menjalankan misi mereka dengan sukses. ***SPW***Setelah mendapatkan informasi tentang keluarga mantan suaminya. Salma kembali ke rumah itu dengan hati panas. Bagaimana tidak, niat hati ingin kembali pada mantan suami malah mendapati bahwa lelaki itu sudah move on darinya dan kini sedang berbahagia memiliki keluarga sempurna dilengkapi seorang buah cinta
Salma berjalan mengelilingi rumah yang dulu pernah menjadi tempatnya bernaung. Hampir 100 persen dekorasinya dirubah total oleh Arya. Tak hanya itu, ia juga membuat hunian ini menjadi asri bahkan, Salma hampir tak mengenalinya. Dahi perempuan itu mengkerut ketika melihat pagar pembatas dengan rumah sebelah tak lagi terpasang. Dulu, ia sangat yakin jika rumah itu ditempati oleh seorang lelaki keturunan asing. Kenapa sekarang rumah ini menyatu dengan rumah Arya? Mungkinkah lelaki itu membelinya. “Sri, kenapa pagar pembatas di robohkan dan bangunan ini menyatu dengan rumah sebelah?” tanya Salma heran. “Itu rumah putri saya, agar kami bisa dekat dan saling menjaga ketika suaminya tak ada, jadinya sekatnya di buka.”“Rumahnya Wulan?”Sri mengangguk.Wanita itu tersenyum miring. “Mas Arya yang membelikan?” “Bukan.”“Menantumu?” Wanita itu tertawa mengejek. Pemuda kayakah menantunya? Rasanya tak mungkin. Lelaki lajang dan kaya itu langka dan sulit di dapat. Jikapun mereka kaya pasti has
“Tante ngapain di situ?” Pertanyaan Wulan mengagetkan Salma yang berdiri di depan pintu kamar. Sudah dari tadi Wulan melihatnya berdiri di depan pintu kamar mamanya. Apa yang dilakukan Salma? Kalau bukan menguping atau mencari sesuatu.“Oh … ti …tidak, tadi aku ingin mengambil minum lalu terhenti di sini karena mendengar suara aneh,” jawab Salma asal. Wulan tersenyum, “Mereka memang begitu tante, kadang aktivitas mereka terdengar sampai keluar kamar hingga suamiku pun ikut-ikutan. Dan ini akibatnya, aku hamil,” ujar Wulan memanasi. “Maklum tante, Ayah Arya lima belas tahun menduda dan mamaku Sembilan belas tahun hidup sendiri, jadi wajar jika mereka berdua bergairah melebihi pasangan perawan dan jejaka.”Salma menatap Wulan tak suka, ia tau jika perempuan hamil itu tengah memancing dirinya. “Sebaiknya tante tidur dari pada nanti tante mendengar suara-suara mereka yang akan membuat tante tak bisa tidur.”Salma menghela napas kasar, ia menatap Wulan benci lalu berlalu ke kamarnya den
Salma duduk di kursi jati yang terletak di samping rumah. Ia begitu kagum melihat pemandangan di depan mata. Tanah kosong yang dulu hanya ditanami rumput, kini telah berubah menjadi taman bunga yang indah. Aneka mawar dan warna warni anggrek tampak cantik mengelilingi kolam ikan. Suara gemircik air mancur yang terpancar dari dinding batu alam terdengar begitu merdu. Siapapun akan betah duduk berlama-lama di sini menikmati indahnya taman yang begitu terawat.Lamunan Salma terhenti ketika derit suara kursi terdengar di geser. Ia menoleh ke samping, senyum wanita itu mengembang mendapati sang lelaki pujaan duduk tak jauh darinya. Bahkan hembusan angin malam memanjakan hidung Salma yang telah lama tak merasakan aroma lelaki itu.“Ada apa kamu ke sini?” suara itu terdengar dingin melebihi udara malam yang membelai kulitnya. Salma menoleh ke dalam ruangan, dari kejauhan ia bisa melihat istri lelaki itu sedang duduk memangku sang anak. Suara gelak tawa Wulan yang menghibur Arkan terdengar d
Tak menyaia-nyiakan kesempatan, aku menerima tawaran Farah untuk ikut bergabung dengan mereka meski Mas Amar terlihat tak nyaman. Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya aku kembali duduk di mobil yang dikendari lelaki itu. Mas Amar menyetir dalam diam, sementara aku dan Farah duduk di jok belakang. Sesekali aku bertanya pada perempuan itu. Ia tampak luwes dan mudah akrab. Sikapnya ini membuatku takut. Rasanya takkan butuh waktu lama bagi Farah untuk menaklukkan Mas Amar.Mobil berhenti di depan sebuah restoran sunda yang belum pernah aku kunjungi. Kami duduk di meja yang tak jauh dari tempat bermain. Suasana restoran yang asri di tambah air mancur buatan membuat tempat ini sangat cocok untuk bersantai, apalagi suara percikan air terdengar bak alunan musik menemati makan siang kami. Satu persatu pelayan datang menghidangkan makanan. Dengan cekatan, Farah mengambil piring kemudian menyendokkan nasi lalu memberikannya pada Mas Amar. Lelaki itu membalas dengan senyuman. “Ini cumi b
Rasanya aku ingin menangis ketika dihadapkan berbagai pekerjaan kantor yang tak aku kuasai, belum lagi bagaimana bersikap pada Budi yang berselingkuh dan berbuat meseum di kantor. Ternyata bukan hanya sekali ini saja lelaki itu membawa selingkuhannya tapi sudah berkali-kali, begitu info yang kudapatkan dari sekretarisnya. Meski hanya duduk dengan setumpuk berkas tapi menjadi pemimpin ini membutuhkan tanggung jawab dan otak yang cerdas untuk mengelolanya hingga menjadi sukses dan menguntungkan.“Budi, mulai besok kamu istirahat dulu di rumah!” tegasku ketika beberapa laporan para petinggi perusahaan aku terima. “Maksud ibu saya di … dipecat?” tanya lelaki itu gugup.“Saya belum sampai ke sana, saya perlu mengkaji keberadaanmu. Nanti akan saya infokan bagaimana kelanjutannya.”Lelaki itu tampak tak tenang, beberapa petinggi diam saja melihat rekan kerja yang berada diujung kehancuran. “Apa ibu mengistirahatkan saya karena kasus kemarin atau karena kasus lain?”Dahiku menyerngit mende
JovitaKehidupanku terasa hampa. Hari-hari kulalui dengan bersembunyi dalam rumah besar yang sunyi. Tidur tak nyenyak dan makanpun tak enak. Meskipun berbagai menu terhidang di meja, lidah ini seperti kehilangan kemampuan mengecap hingga semua terasa tak enak. Belum lagi wajah Clarisa yang selalu murung di depan mata.“Makanlah meski sedikit, bayimu butuh nutrisi.”Gadis itu terdiam, sendok yang ia pegang hanya berputar-putar di atas piring. “Aku tak berselera, Ma.”“Kamu tak ingin makan tapi, bayimu butuh makanan.”Clarisa menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan, tak lama ia mulai memasukkan makanan ke dalam mulut. Mata gadisku berkaca-kaca. “Papa tak ingin kembali pada kita karena …. aku.” “Tidak, ia sangat menyanyangimu meski bukan anaknya sendiri,” hiburku.Clarisa menggeleng lemah, setetes air matanya jatuh. “Jika saja aku tak menghinanya, mungkin papa akan kembali.”Kutatap gadis itu lekat, tangisnya menyayat hati. Bukan hanya dirinya yang butuh lelaki itu tapi juga aku.
Mas David membawaku pergi meninggalkan ayah dan Mbak Farah yang sibuk dengan cerita bisnis mereka. Selama kami ngobrol, aku bisa menilai jika Mbak Farah sosok yang baik dan tulus. Aku berharap ayah bisa membuka hati dan menemukan pengganti ibu, tak perlu balik pada Nyonya Jovita yang telah menginjak harga dirinya.“Bagaimana menurut ayah putri Pak Harum itu?” tanya Mas David ketika mobil yang dikendarainya berlalu pergi meninggalkan hotel. “Dia pintar bahkan sangat mengerti dengan manajemen perusahaan. Pantas saja perusahaan itu semakin berkembang di tangannya,” puji ayah.Mas David menggaruk kepalanya yang tak gatal. Aku tau, bukan itu jawaban yang diinginkan Mas David. “Aneh ya, Yah? Wanita secantik dan sebaik itu masih betah melajang,” pancing Mas David yang seperti tak putus asa menghadapi mertuanya. “Biasanya orang kaya akan memilih calon yang selevel dengan mereka sedangkan jumlah lelaki kaya yang lajang tak banyak, jikapun ada mereka akan memilih wanita yang mereka cintai ta