"Maafkan Amel, Kek," lirih Amel seraya menunduk dalam. Tak lama kemudian, dia kembali duduk di tempat semula.Pak Joko tak menanggapi ucapan Amel, dia justru menatap sengit arah gadis yang tengah mengigit bibir bawahnya kuat-kuat tersebut.Namun, Pak Joko justru menoleh ke arahku dan Rifky, ketika dia kembali duduk."Maaf, atas keributan yang telah terjadi. Sebenarnya saya pun tak ingin bila hal ini sampai terjadi, hanya saja anak ini benar-benar kurang ajar!" tutur Pak Joko seraya sesekali melirik ke arah Amel yang masih menunduk."Tidak apa-apa, Pak. Saya memakluminya!" sahutku yang berhasil membuat Amel langsung mendongak.Akan tetapi, tak lama kemudian Amel kembali menunduk, kala dia sadar bila Pak Joko kembali menatapnya tajam."Ngomong-ngomong apa boleh saya menanyakan suatu hal?" tanya Rifky beberapa saat kemudian. Ini kali pertamanya membuka mulut, setelah sekian lama terdiam."Tentu! Tanyakan saja, tak usah ragu-ragu," balas Pak Joko seraya tersenyum. Sangat berbeda sekali de
"Saya mengenalmu, tetapi mungkin kamu yang tak mengenal saya," sahut wanita yang berdiri di hadapanku itu. Pandangan matanya sama sekali tak pernah lepas menyorotiku lekat."Memang benar, jika saya tak mengenalmu. Tetapi, ada apa? Dari sorot matamu, sepertinya kamu hendak menyampaikan sesuatu!" balasku tanpa berbasa-basi. Sejujurnya aku tak suka pada orang yang terlalu banyak berbicara. Bila ada apa-apa, bukannya lebih baik di katakan secara langsung, bukannya malah terbelit-belit dahulu. "Kamu orang yang ada di balik ini semua, 'kan?" tanya wanita tersebut dengan penuh tekanan.Aku yang tak paham dengan maksud ucapannya, hanya mampu memicingkan mata."Apa maksudmu?"Bukannya langsung menjawab, wanita berkerudung itu justru mendelik, memperlihatkan kebenciannya padaku."Kamu yang membunuh Rani!" hardiknya dengan suara nyaring, membuat aku dan Rifky langsung membulatkan mata secara bersamaan.Sontak, pria yang berdiri di samping wanita itu membulatkan mata, bibirnya tampak bergetar h
Malam harinya, Rifky berniat untuk menginap di rumahku. Katanya dia takut, kalau sewaktu-waktu para manusia tak waras itu datang.Sebenarnya aku sendiri cukup khawatir, bila orang-orang yang tadi aku temui akan datang ke sini, mengingat bisa saja Amel memberitahu, bila aku tinggal di sini."Ngomong-ngomong, tadi Ibu dan paman habis dari mana?"Aku dan Rifky yang tengah duduk di ruang tengah, secara serempak langsung menoleh, menatap Panji yang baru saja keluar dari kamar sambil sesekali menggosk rambutnya yang basah dengan handuk."Habis--""Kami habis jalan-jalan, sekalian mencari buah-buahan yang Ibumu mau," potong Rifky yang berhasil membuat aku menelan ludah.Tak kusangka, Rifky cukup pandai dalam membuat alasan, membuatku yakin kalau Panji akan langsung percaya. Mengingat Panji bukanlah orang yang mudah ditaklukkan."Emang cari buah-buahannya ke mana?""Cukup jauh, katanya, sih, sekalian untuk melihat-lihat daerah sini. Kamu tahu sendiri, 'kan, kalau Ibumu baru menginjakkan kaki
"Apa kamu bisa diam saja, Susi?" hardik Kakek, memarahi anak bungsunya yang tengah menunduk dalam, begitupula denganku.Aku sedikit tak menyangka, bila wanita yang berstatus sebagai bibiku itu sampai bisa satu hati denganku, menuduh Tante Melda sebagai dalang di balik kematian Ibu.Meskipun begitu, aku yakin bila Tante Melda memang terlibat, mengingat cukup aneh saja bila dia tiba-tiba datang ke sini untuk turut berbelasungkawa.Namun, tidak dengan Kakek. Pria tua itu tak pernah berpihak padaku, mungkin karena statusku dan Ibu yang hanya merupakan hanya anaknya saja. "Maafkan aku, Ayah. Aku hanya merasa ada kejanggalan di sini. Jadi--""Dasar kurang ajar!" hardik Kakek, raut wajahnya tampak masam dan penuh tekanan. "Apa kamu tak tahu, kalau aku sudah bilang pada Melda dan adiknya, kalau kamu keluarga kita tak ada yang mau mengurus Amel, kecuali aku saja. Tetapi, aku rasa kamu telah menghancurkan semuanya!"Kulihat dari sudut mata, bila Bibi Susi sampai mendongak. Matanya melebar deng
"Amel, Amel!"Aku yang tengah memasak di dapur, lantas berlari terbirit-birit menuju keluar rumah, menghampiri seseorang yang terus memanggil-manggil namaku."Ada apa, Tante?" tanyaku kala melihat Tante Mona tengah berdiri di halaman rumah, wajahnya tampak masam, bibirnya pun mengerucut, mempertontonkan gincu merah yang sengaja dia oleskan pada bibirnya."Kenapa lama banget?!" hardik Tante Mona."Maaf, aku lagi masak, Tante."Tante Mona tak menjawab ucapanku, dia justru mendelik tajam, memperlihatkan ketidaksukaannya padaku."Halah, cepat selesaikan dulu dan setelah itu kembali ke sini!"Aku hanya mengangguk pelan, kemudian berbalik badan, berniat untuk kembali ke dapur.Namun, belum sempat aku melangkah, tiba-tiba saja terdengar suara lengkingan Tante Mona."Astaga, bau gosong apaan, sih, ini! Heh, Amel, kamu mau membakar rumah ini, 'kah? Aku yakin kamu lupa mematikan kompor."Aku begitu terperanjat kala mendengar suara teriakkan Tante Mona, bersamaan dengan itu aku mengambil ancang-
Di tempat kerja, aku sama sekali tak bisa melakukan banyak hal dengan cukup benar, ada saja kesalahan kecil yang aku lakukan.Kata orang-orang, jangan bawa masalah keluarga ke tempat kerja. Aku ingin seperti itu, tetapi rasanya sangat sulit, otakku terus saja bekerja, memutar kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini menimpaku."Bu Melda, bisa tolong bawakan pesanan ini ke meja nomor delapan?"Aku yang tengah terdiam, gegas mengangguk, kemudian mengambil sebuah nampan yang berisi beberapa menu makanan.Aku sempat celingak-celinguk ke berbagai arah, mencari meja nomor delapan, hingga pada akhirnya, aku langsung berdecak, kala melihat meja yang aku cari berada tak jauh dari tempatku."Selamat menikmati makannya!" ucapku seraya menyajikan beberapa menu makanan di atas meja."Terima kasih banyak, Mbak," ucap seorang wanita yang duduk lesehan sambil memangku seorang anak laki-laki yang aku perkirakan berumur tiga tahunan."Sama-sama, Mbak."Aku kemudian menoleh, menatap wanita tersebut. Di ma
"Ah, itu ... teman saya," ucapku sedikit ragu-ragu.Bagaimana tidak, pria yang berdiri di belakangku itu adalah bosku yang sama sekali belum aku ketahui namanya."Begitu rupanya. Kenapa ada keributan tadi, apa kamu dan dia sedang berselisih paham?"Aku meneguk ludah, kemudian mematikan gawai secara perlahan. "Ti-tidak, kami baru saja bertemu kembali," balasku seraya menunduk. "Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak!""Baik, lanjutkan pekerjaanmu! Kamu ingat dengan apa yang saya katakan kemarin, 'kan?""Iya, saya paham, Pak!"Tidak lama kemudian, terdengar suara derap langkah yang semakin menjauh. Diam-diam aku mendongak, menatap bosku yang sudah pergi itu.Aku menghela napas panjang, merasa telah melakukan kelalaian di hari pertama bekerja. Aneh juga, kenapa aku harus bertemu dengan Ayana, padahal kami sudah lama tak saling menyapa.Benar-benar s*al!"Ada apa?"Aku yang masih menunduk, seketika mendongak, kala mendengar seseorang melontarkan sebuah pertanyaan. "Kamu bertanya pada saya
"Siapa pria yang mengantar Ibu tadi?"Deg!Aku yang baru saja melepaskan sepatu, lantas menoleh, menatap ke arah Panji yang tengah mematung, sorot matanya menatapku dengan begitu tajam."Dia hanya teman kerja Ibu, Nak. Ibu--""Aku tak suka Ibu berhubungan dengan pria lagi, aku tak ingin melihatnya lagi. Jadi, aku harap Ibu tak melakukannya!" tegas Panji seraya melenggang dari hadapanku, meninggalkan aku yang tengah melongo seorang diri.Perkataan Panji benar-benar menusuk, terlebih nada bicaranya sedikit bergetar, seperti tengah menahan rasa sakit.Aku sendiri tak mampu membuka mulut, lidahku kelu dengan tenggorokan yang sedikit tercekat. Cukup lama aku mematung di tempat, sebelum akhirnya aku terpejam dan segera meraih sepatu, lalu menyimpannya di rak sepatu yang berada tak jauh dari pintu masuk.***Di dapur yang terasa sepi dan dingin, aku langsung mengambil pisau dan beberapa sayuran yang hendak aku masak. Tak lupa, aku pun memotong daging ayam dan langsung menggorengnya. Aku kha
Hari demi hari semakin berlalu, tak terasa sudah satu bulan saja semenjak Mas Alif meninggal. Aku sudah bisa sepenuhnya ikhlas akan kepergiannya, begitupun dengan Panji.Anakku yang awalnya sampah murung tersebut, perlahan kembali ceria. Senyumnya sudah mulai kembali merekah, semangat yang ada di dalam dirinya pun tampak sudah kembali.Satu bulan pula, Ibu memilih untuk tinggal denganku. Tentu saja aku merasa senang, karena seperti mendapatkan teman mengobrol tiap kali hendak berangkat ataupun pulang kerja."Bu, aku berangkat dulu, ya!"Ibu yang tengah menikmati sarapan, lantas menoleh ke arahku, seulas senyuman tergambar di bibirnya."Iya, Melda. Hati-hati di jalan.""Iya, Bu."Setiap akan pergi kerja, aku tak lupa untuk bersalaman pada Ibu, meminta doa restu padanya."Kalau sudah sampai tempat kerja, kamu kaba
Ibu dan Rifky sudah pulang lebih awal ke rumah, mereka sengaja ingin menginap di rumahku. Sementara itu, aku dan Panji menginap di rumah mendiang Mas Alif, hendak mengaji selama tujuh malam berturut-turut.Kondisi Panji sendiri sudah lebih baik dari sebelumnya. Anakku yang awalnya lebih banyak terdiam itu, perlahan sudah mulai mengobrol bersama kakeknya.Aku yang tengah berada di dapur, sesekali memperhatikannya yang tengah mengobrol. Meskipun masih sedikit tersirat kesedihan di dalamnya, tetapi Panji nampaknya berusaha untuk tetap terlihat tegar."Mbak!" sapa Andin yang membuat aku langsung menoleh ke arahnya."Ya, ada apa, Andin?""Mbak, baik-baik saja, 'kan?" tanya Andin dengan mata sedikit menyipit."Aku baik-baik saja, Andin. Memangnya kenapa?"Andin menggeleng pelan, seulas senyuman tergambar di bibirnya yang sedikit pucat.
Duka masih terasa menyelimuti aku dan Panji, juga keluarga besar mendiang Mas Alif. Meskipun begitu kehidupan kami masih harus berjalan, karena memang inilah hidup, ada yang datang dan ada yang pergi. Bagaimanapun itu, aku harus bisa mengikhlaskan semuanya dan tentunya memaafkan semua kesalahan mendiang Mas Alif."Melda, jadi kamu mau pulang hari ini?" tanya mantan Ibu mertuaku."Iya, Bu. Aku harus pulang hari ini, aku tak enak pada bosku, bila harus mengambil cuti lebih lama."Wanita paruh baya yang memakai gamis merah maroon itu pun mengangguk pelan, seulas senyuman tergambar di bibirnya."Baiklah kalau begitu, lagipula Ibu gak bisa memaksamu untuk tetap di sini. Tetapi, terima kasih karena sudah mau tinggal di sini, meskipun hanya tiga hari tiga malam saja.""Sama-sama, Bu. Aku harap Ibu dan Bapak sehat-sehat, Andin juga sama.""Iya, Nak. Kamu dan Panji juga. Kalau semisalnya kamu ingin ke sini, datang saja, ya, jangan ragu.""Iya, Bu. Sesekali aku dan Panji pasti akan datang ke s
Acara pemakaman mendiang Mas Alif akan segera di laksanakan. Aku yang sedari tadi duduk di samping tubuhnya sambil melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, sedikit terperanjat kala tak mendapati kebenaran Panji."Ya ampun, ke mana Panji?!" Aku sedikit memekik, sesekali ekor mataku mengamati sekeliling."Mencari siapa, Mbak?" tanya Andin yang baru datang dari dapur."Andin, apa kamu melihat Panji?"Sontak, Andin menggeleng pelan, dia yang awalnya berdiri segera menghampiri diriku. "Tidak, Mbak. Memangnya Panji tak ada di sini?""Tidak ada, Andin."Aku yang sudah cengeng, semakin bertambah cengeng, ketika mengetahui bila Panji tak ada di sekitarku. Ketakutan yang ada di dalam diriku sedikit memuncak, kala mengetahui bila Panji tak ada di sekitarku. Kejadian beberapa waktu silam membuat aku sedikit trauma."Mbak, jangan menangis, lebih baik kita mencari Panji saja," saran Andin yang langsung aku jawab dengan anggukan pelan.Mantan Bapak mertuaku yang tengah duduk di sofa sambil sesekali m
Dengan langkah gontai, aku turun dari mobil yang terparkir tepat di halaman rumah warga, karena halaman rumah nenek sendiri penuh ddenga yang para pelayat.Bendera kuning terbentang, menandakan sedang berduka. Satu demi satu para pelayat ada yang datang, ada pula yang pergi. Sesekali ekor mataku melirik ke arah Ibu, menatapnya yang tengah menunduk dalam. Bisik demi bisik mulai terdengar di telinga."Bukannya itu Melda, ya?""Oh, iya, itu anaknya juga tuh, si Panji yang katanya sempat masuk rumah sakit.""Masuk rumah sakit?" tanya yang lainnya. Aku tak terlalu memperhatikan mereka, aku hanya mendengarnya saja."Iya, pas mendiang Alif ketahuan berselingkuh, secara dia berselingkuh sama kekasih anaknya.""G*la banget! Kalau aku jadi anaknya, aku tak sudi datang kemari."Aku sempat ingin melirik ke arah Ibu-ibu yang tengah bergosip ria di tengah berita duka ini. Tetapi, Ibu yang sepertinya juga mendengar hal tersebut, justru menarik tanganku dengan sedikit kasar, membawaku menjauh dari t
Drrt ... drrt ....Aku yang tengah mengendarai motor, merasa sebuah getara di saku hoodie. Dengan sengaja, aku menghentikan motor di pinggir jalan dan seger merogoh gawai.Tepat di layar ponsel, terpampang nama kontak Ibu. Aku sempat memicingkan mata, sebelum akhirnya membuka kunci ponsel, kemudian menggeser ikon telepon berwarna hijau dan segera menempelkan benda pipih itu di samping telinga."Halo, Bu. Ada apa?" sapaku pada melalui sambungan telepon."Panji, kamu di mana, cepatlah pulang."Sontak, aku langsung menyipitkan mata, kala mendengar suara Ibu yang cukup serak, seperti habis menangis, sangat berbeda dengan nada bicaranya yang seperti biasa."Aku masih di jalan, ada apa, Bu?""Bapakmu, Nak," lirih Ibu berhasil membuat jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Kekhawatiran dalam diriku memuncak, takut Bapak kabur dari penja
"Dia ... orang yang mengantar Ibu barusan."Panji terlihat memutar bola mata malas, dia tampak kesal mungkin juga merah dengan apa yang aku katakan. Meskipun begitu, memang itulah yang sebenarnya terjadi. Aku tak mau menyembunyikan hal tersebut dariku, sebab bisa saja Panji semakin marah padaku."Begitu rupanya!"Tak lama kemudian, Panji tiba-tiba bangkit dari posisi duduk sembari menggeser piring ke hadapanku."Mau ke mana?" tanyaku secara spontan."Aku sudah kenyang, Bu. Ditambah lagi aku sudah ngantuk.""Baiklah, selamat tidur, Nak."Panji tak menjawab ucapanku, dia langsung melenggang pergi dari hadapanku. Aku sendiri memilih untuk terdiam, tak banyak bicara. Takutnya kalau aku semakin banyak bicara, Panji justru akan semakin kesal padaku dan aku tak ingin hal itu sampai terjadi."Ah, benar-benar memusingkan! Sepertinya aku memang harus menjaga jarak dengan siapapun, aku takut Panji benar-benar salah paham."Aku bergumam seorang diri, kemudian kembali menyantap makanan yang suda
"Siapa pria yang mengantar Ibu tadi?"Deg!Aku yang baru saja melepaskan sepatu, lantas menoleh, menatap ke arah Panji yang tengah mematung, sorot matanya menatapku dengan begitu tajam."Dia hanya teman kerja Ibu, Nak. Ibu--""Aku tak suka Ibu berhubungan dengan pria lagi, aku tak ingin melihatnya lagi. Jadi, aku harap Ibu tak melakukannya!" tegas Panji seraya melenggang dari hadapanku, meninggalkan aku yang tengah melongo seorang diri.Perkataan Panji benar-benar menusuk, terlebih nada bicaranya sedikit bergetar, seperti tengah menahan rasa sakit.Aku sendiri tak mampu membuka mulut, lidahku kelu dengan tenggorokan yang sedikit tercekat. Cukup lama aku mematung di tempat, sebelum akhirnya aku terpejam dan segera meraih sepatu, lalu menyimpannya di rak sepatu yang berada tak jauh dari pintu masuk.***Di dapur yang terasa sepi dan dingin, aku langsung mengambil pisau dan beberapa sayuran yang hendak aku masak. Tak lupa, aku pun memotong daging ayam dan langsung menggorengnya. Aku kha
"Ah, itu ... teman saya," ucapku sedikit ragu-ragu.Bagaimana tidak, pria yang berdiri di belakangku itu adalah bosku yang sama sekali belum aku ketahui namanya."Begitu rupanya. Kenapa ada keributan tadi, apa kamu dan dia sedang berselisih paham?"Aku meneguk ludah, kemudian mematikan gawai secara perlahan. "Ti-tidak, kami baru saja bertemu kembali," balasku seraya menunduk. "Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak!""Baik, lanjutkan pekerjaanmu! Kamu ingat dengan apa yang saya katakan kemarin, 'kan?""Iya, saya paham, Pak!"Tidak lama kemudian, terdengar suara derap langkah yang semakin menjauh. Diam-diam aku mendongak, menatap bosku yang sudah pergi itu.Aku menghela napas panjang, merasa telah melakukan kelalaian di hari pertama bekerja. Aneh juga, kenapa aku harus bertemu dengan Ayana, padahal kami sudah lama tak saling menyapa.Benar-benar s*al!"Ada apa?"Aku yang masih menunduk, seketika mendongak, kala mendengar seseorang melontarkan sebuah pertanyaan. "Kamu bertanya pada saya