Ulung adalah panggilan untuk anak pertama dari orang melayu Rokan Hilir, Bagan Siapi-Api.
“Kita perlu bicara….” Ajak Safira saat melihat Abbas yang baru saja pulang dari berkebun bersama pak Dody dan anaknya. “Mau bicara apa?” “Kita harus kekota yang ada labortariumnya, untuk mengecek barang bukti yang saya temukan….” jelas Safira dengan cara berbisik ditelinga Abbas. Jarak mereka cukup jauh dari jangkaun pak Dody dan anaknya, sehingga mereka tidak perlu khawatir akan didengar pembicaraan mereka. “Baiklah, kita harus izin terlebih dahulu pada pak Dody dan istrinya….” ajak Abbas. Setelah mendapat izin dari pak Dody dan istrinya, Safira dan Abbas bergegas pergi kekota. Cukup jauh dari desa mereka, baru mereka menemukan kota. Mereka pulang saat adzan magrib. Safira berusaha mencari tahu nama dan tempat tinggal orang-orang yang dicurigainya. Malam itu dia mengendap-endap berjalan dibelakang rumah pak Somad, tempat kejadian terdapatnya mayat pak Slamet, tiga hari yang lalu. Namun dia tidak menemukan apapun. “Bagaimana mungkin tidak ada jejak barang bukti sedikitpun?” bath
Abbas dan Safira pulang kerumah pak Dody. Sesampainya disana, mereka disambut dengan tatapan tajam para polisi. “Maaf, apakah kau bernama Safira Ramadhani?” tanya seorang polisi. Safira hanya menganguk dengan cepat. “Bolehkah saya bertanya dengan kamu?” “Silahkan….” jawab Safira singkat. Safira duduk dikursi teras rumah pak Dody. Ada lima kursi disana, pak Dody dan istrinya segera masuk kedalam rumah saat melihat Safira sudah pulang. Abbas dan Safira pun duduk dikursinya dengan tenang, sedangkan dua polisi itu juga duduk dikursinya. Safira menatap tajam seorang pria yang juga ikut duduk disamping pak polisi. “Darimana kamu tahu tentang kejadian kematian pak Slamet?” “Saya mendengar teriakan para warga dan melihat banyak orang-orang berbondong-bondong ke lokasi kejadian…. Jadi kami hanya ingin melihat apa yang terjadi….” jawab Safira sekenanya. “Kami? Berarti kamu tidak sendirian datang ketempat lokasi kejadian?” tanya polisi itu lagi. “Bersama pak Dody, bu Rima dan anaknya Ardi
Pukul 17:45 Pak Somad bergegas pulang kerumahnya dengan berjalan kaki. Namun langkahnya terhenti saat mendapati sosok seorang pria yang berdiri tegak memakai pakaian dan masker hitam ditengah jalan dengan posisi sebelah tangannya memegang balok kayu. “Maaf anda ini siapa? Kenapa berdiri tengah jalan seperti ini? Anda tersesat?” tanya pak Somad kebingungan. Namun pria itu hanya diam, namun tatapan matanya sangatlah tajam seperti pedang yang siap menghunus siapa-saja. “Kenapa diam? Sepertinya anda bukan orang desa ini? Anda mau kemana?” tanya pak Somad lagi. “Mau kerumah pak Somad….” ujarnya membuat pak Somad menunjukkan ekspresi bingung. “Saya pak Somad, ada apa kau bertemu dengan saya?” “Mau membunuh….” ucapnya dingin, diiringi dengan tawa yang melengking, membuat bulu kuduk pak Somad berdiri. “Apa salah saya?” tanya pak Somad dengan suara bergetar. “Karena kau membunuh teman saya bernama Fitra Rafisqy Alfa rezi abangnya Nadira Zerina Adzra Nadhifa, juga pak Slamet, dan sekara
Semua warga pun mendatangi rumah pak Somad, tak terkecuali keluarga pak Dody, Safira dan Abbas juga tiga orang polisi. Safira berjongkok mendekati jenazah pak Somad dan mengeryitkan keningnya. “Sungguh bejat kelakuan pelaku ini, begitu banyak luka yang didapat oleh pak Somad, sampai-sampai wajahnya hancur seperti ini….” celutuk Safira. Sedangkan tiga polisi juga sedang mengamati tubuh pak Somad dan ada juga yang mengambil gambarnya. “Lihat seperti ada sesuatu dikantong baju itu?” ujar Abbas menyenggol bahu Safira. Mata tiga polisi langsung melototi kantong baju pak Somad. Safira segera mengambil sesuatu yang ada dikantong baju pak Somad. Ternyata sebuah surat. “Target selanjutnya adalah pak Basir…. Tunggu saja, maut akan menjemputmu….” Safira membaca surat tersebut membuat para warga spontan melihat kearah Safira. “Ini surat pengancaman…..” ucap Safira menatap tiga polisi yang juga menatapnya. “Dimana pak Basir? Apakah beliau ada disini?” tanya Safira nampak panik. Dia memikirkan
“Mau saya bantu pak?” tanya seorang pria yang memakai kaos oblong dengan celana selutut. Pak Budi yang sedang sibuk membawa kambing-kambingnya masuk kedalam kandang, menoleh sebentar kearah pria tersebut. Pak Budi mengerutkan keningnya bingung. “Anak ini orang baru ya? Kok bapak nggak pernah lihat?” tanya pak Budi bingung. Pria tersebut hanya tersenyum. “Iya pak, saya saudara jauhnya Fitra Rafisqy Alfa rezi abangnya Nadira Zerina Adzra Nadhifa….” Pak Budi nampak kaget. “Ada keperluan apa anak ini kesana?” tanya pak Budi mencoba bersikap tenang. “Saya sangat merindukan Fitra dengan Nadira adiknya pak. Saya ingin sekali bertemu dengan mereka? Kalau boleh tahu, bapak tahu rumah mereka?” tanya pria tersebut dengan ramah. “Apa kamu tidak mendengar apa yang terjadi dengan Fitra?” selidik pak Budi mencoba memasukkan satu persatu kambing-kambingnya masuk kekandang, juga dibanu oleh pria asing tersebut. “Emang apa yang terjadi dengan Fitra pak?” “Fitra sudah meninggal dua minggu yang lal
Paginya warga desa digemparkan dengan penemuan mayat pak Budi dibelakang rumahnya. Yang menemukan mayat pak Budi adalah istrinya sendiri yang baru saja pulang dari rumah ibunya dikampung sebelah. Tiga polisi mendatangi rumah korban, tak ketinggalan Safira dan Abbas juga mendatangi rumah pak Budi. Sang istri sangat histeris melihat tubuh pak Budi yang sudah hancur dibagian kepalanya. Safira memalingkan wajahnya menatap ngeri tubuh pak Budi. “Kita lakukan autopsi saja….” Safira membuka suara. Sedangkan istri pak Budi melirik sejenak kearah Safira dan kembali merapati kematian suaminya. “Autopsi itu akan mengungkapkan siapa pelaku pembunuhan suami ibu, dan pembunuh warga yang telah meninggal sebelumnya….” “Soal uang biar saya dan teman saya yang tanggung, yang penting kasus ini segera terselesaikan…. Saya sudah tidak sabar ingin memukul wajah sipembunuh, dan saya pastikan dia akan memohon ampun agar tidak memukulnya….” geram Safira mengepalkan tangannya. Istri pak Budi hanya diam. “B
Safira berjalan dengan pikirannya masih tidak tenang, memikirkan kejadian pembunuhan yang begitu sadis beberapa hari ini. Safira merasa ada yang mengikutinya, namun saat melihat kebelakang, tidak menemukan siapapun. Seketika hawa dingin berembus menyapa tengkuk Safira membuatnya seketika merinding. Sayup-sayup terdengar suara itu lagi, suara seseorang yang minta tolong diiringi dengan suara tangisan yang lirih. “Siapa kau? Jangan ngangu aku…. Jika kau butuh bantuan, katakan apa yang kau butuhkan? Jangan hanya bisa menakuti orang saja….” teriak Safira kesal dengan suara tanpa wujud tersebut. Saat sedang sibuk mengamati sekitarnya mencari tahu asal suara tersebut, Safira melihat seorang wanita yang sedang berjalan dengan tergesa-gesa. “Kau Dewi Putri Anjani?” hadang Safira dengan sorot mata tajam. “Iya…. Ada apa?” tanya wanita tersebut. Safira mendekati Dewi dan menarik leher baju Dewi dengan cukup keras membuat Dewi ketakutan dan berteriak meminta tolong. “Diam….” bentak Safira mem
Seorang pria mengetuk pintu rumah Nadira. Berulang kali pintu nampak diketuk dengan cukup keras, terdengar seperti gedoran. Akhirnya Nadira berusaha memberanikan diri untuk membuka pintu, mungkin saja itu Ulungnya baru pulang dari bekerja. Perlahan Nadira membuka pintu rumah. Dia nampak kaget saat melihat seorang pria dengan napas ngos-ngosan berdiri didepan pintu. “Ada apa bang?” tanya Nadira takut. Perasaannya kini memikirkan hal yang buruk. Pria yang masih seusia Nadira, menghela napas panjang. “Ulungmu…. Ulungmu dikeroyok warga….” Deg, tiba-tiba jantung Nadira seketika berhenti berdetak. “Ayo kita temui Ulungmu, kasihan dia…. Kita harus selamatkan Ulungmu….” pria tersebut menarik Nadira keluar dari dalam rumahnya. Nadira berteriak membelah kerumunan warga saat mendapati Ulungnya sudah babak belur, yang hanya mengenakan celana pendek tanpa baju. “Ulung…. Apa yang terjadi?” Nadira memeluk sang abang, dia menangis histeris dan memaki para warga yang telah memukul abangnya. “Ulun
Safira menghela napas lelah membaca bait demi bait tulisan diary tersebut. Safira menutup laptopnya, dan segera keluar dari kamarnya. “Mau kemana?” hadang Safira saat melihat Fikri keluar dari kamarnya. “Bukan urusanmu.” jawabnya acuh. “Akan memanaskan motor,” ucap Safira meninggalkan Fikri yang hanya bisa mendengus sebal. Dia harus bisa menghindari Safira, dia tidak ingin terlalu dekat dengan wanita itu. Fikri tidak ingin masalalu nya terulang lagi. Bukankah menjaga lebih baik dari pada merusak. Fikri melangkah keluar dan dilihatnya Safira sedang memanaskan motornya. Fikri mendekati Safira, dengan kasar merampas kunci motor dan segera hendak menaiki motor tersebut, namun dengan gerakan gesit, Safira menarik baju Fikri. “Kau tidak akan bisa pergi tanpa diriku. Apa kau ingin disiksa terus oleh ibumu? Apa kau sangat suka ya disiksa oleh ibumu?” ujar Safira ketus. “Bukan urusanmu.” jawab Fikri dingin. “Akan jadi urusanku jika menyangkut dirimu. Apalagi aku sudah ditugaskan untuk
“Bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanya Safira disebrang telepon.“Silahkan….” jawab Abbas.“Boleh aku minta alamat rumah bu Zivana Azzahra Alfathunissa Hidayatullah?”“Akan saya kirimkan…..” jawab Abbas. Saat sudah mendapatkan alamat Zivana, Safira segera keluar dari rumah pribadi Fikri. Motornya berhenti disebuah rumah dan mengetuk pintu rumah tersebut. Seorang wanita keluar membukakan pintu.“Maaf, bolehkah saya bertemu dengan bu Zivana Azzahra Alfathunissa Hidayatullah?” tanya Safira ramah.“Maaf bu Zivana tidak ada dirumah…. Bu Zivana belum pulang.” jawab sang Art.“Kapan ya pulangnya?”“Mungkin sore ini, kalau tidak lembur….”“Bolehkah saya masuk dan menunggu bu Zivana? Saya ingin sekali bertemu dengannya.” sang Art hanya menganguk perlahan dan menyilahkan Safira masuk. Sesaat setelah masuk, sang Art nampak menelpon seseorang. Safira mengamati seluruh ruangan tersebut. Dia melihat foto keluarga, Safira mengamati foto tersebut dengan seksama. Safira duduk disofa panjang. Tak lama
"Maksud Anda apa berbicara seperti itu? Anda meragukan pengkapan yang kami lakukan? Kau iri? Sudah tidak percaya lagi oleh pak Haikal?" Alfa tersenyum menyeringai. "Saya tahu, ini semua rencanamu untuk mengetahui isu kalian tentang berita Taqy Shafiullah. Bau busuk rencana sudah tercium kok, hanya menunggu waktu kehancuran kalian saja...." ucap Safira dengan dingin. "Bilang saja kau memihak pada teroris ini. Jika iya, itu sama saja kau membela para teroris. Itu sama saja kau berpihak pada kejahatan dan kau memberi kesempatan bagi para teroris membunuh dan menyebarkan teror lagi....""Jika iya memangnya kenapa? Kau takut seorang Safira Ramadhani berpihak pada teroris? Jika aku ikut menyelesaikan kasus ini, sudah pastikan kau kalah, Alfarezel Arfan.... Kesempatan mu untuk menang hanya sedikit.... Jangan sampai saya turun tangan menangani kasus ini Fa...." Safira tersenyum sinis. Saat melewati Alfa, Safira sengaja menyenggol lengan Alfa dengan kasar. Alfa tampak geram, meninggalkan sel
"Saat itu Reyhan di ancam saat melakukan pemberontakan karena apa yang dituduhkan para polisi itu tidak lah benar...." jelas Alfariz. Safira hanya diam, terus saja mendengar apa yang di ceritakan oleh Alfariz. Pecakapan tersebut terekam kamera tersembunyi yang terpasang di baju nya."Kau, harus ikut kami dan mengakui bahwa kau adalah teroris.... Jika tidak, kau dan istrimu akan kami bunuh...." ancam Alfa menarik paksa Reyhan yang masih meronta melepaskan diri. Reyhan di dorong masuk ke dalam mobil tahanan. Mobil melaju meninggalkan rumah Reyhan. Tiga orang tidak ikut rombongan tersebut, kembali mendekati rumah Reyhan. Mengedor pintu yang terkunci, membuat istri Reyhan semakin panik di balik jendela saat mengintip suami nya di bawa polisi.Gedoran semakin kuat terdengar oleh istri Reyhan, dan berubah menjadi tendangan. Istri Reyhan hanya membeku berdiri membelakangi jendela. Jantung istri Reyhan sejenak terhenti, saat tiga polisi tersebut berhasil membuka pintu dan melepaskan beberapa k
Reyhan Aldhani perlahan keluar dari dalam kamar, sedangkan sang istri duduk dengan panik di atas ranjangnya. Saat keluar, Reyhan langsung di borgol oleh polisi. "Bapak kami tangkap...." ucap Alfa. "Apa salah saya pak? Saya tidak melakukan apa-apa yang bertentangan dengan hukum?" balas Reyhan meronta saat polisi memborgol nya. "Kamu telah melakukan tindakkan teroris.... Mengebom rumah makan X dan menewaskan banyak orang...." jelas Alfa mendorong kasar Reyhan keluar dari rumah nya. "Saya tidak melakukannya pak.... Bapak salah orang...." sanggah Reyhan tidak terima dengan tuduhan tersebut. "Tidak usah melawan dan tidak mengakui perbuatan mu.... Kau bisa membela diri saat di kantor polisi...." jelas Alfa menarik paksa Reyhan masuk ke dalam mobil. Sedangkan istri Reyhan mencoba menahan diri tidak keluar dari rumahnya, karena lebih menuruti perintah suaminya. Mobil tahanan tersebut pun meninggalkan rumah Reyhan. Sang istri hanya bisa menahan tangis saat di lihat nya mobil yang membawa s
"Kamu sudah mendengar berita yang sudah viral di TV kan?" tanya Haikal dengan dingin pada Alfarezel Arfan duduk di kursi depan Haikal."Saya sudah mendengarnya pak...." jawab Alfa. "Misi kali ini, kalian yang selesai kan.... Saya harap kalian bisa menyelesaikan nya dengan mudah...." jelas Haikal. "Siap pak.... Ngomong-ngomong kenapa tidak Safira saja yang menyelesaikan misi ini pak? Bukankan gadis itu adalah orang yang sangat bapak percayai?...." tanya Alfa dengan dingin. "Lakukan saja sesuai perintah.... Safira akan menyelesaikan kasus lainnya...." balas Haikal dengan tegas dan memerintahkan dengan satu jarinya untuk pergi dari ruangannya. Alfa pun keluar dari ruangan pak Haikal dan saat keluar berpapasan dengan Safira. Alfa menatap Safira tajam, "Sepertinya ada yang sudah tidak di percaya lagi menyelesaikan kasus besar...." sindir Alfa dengan senyum sinis. Safira menghela napas pendek. "Karena pak Haikal mungkin udah bosan dengan dia yang sok baik, dan menyelamatkan para tahana
Di sebuah ruangan rumah Athailah, "Sebarkan isu-isu, viral kan agar kasus ayah saya bisa teralihkan dan setelah semua masyarakat dan para netizen fokusnya terpecahkan, saat itu lah kita akan menyogok para polisi.... " jelas Athailah. Mengepal tangannya dengan geram, mata nya tajam melihat tiga anak buahnya.“Baik bos...” ucap tiga anak buah nya dengan tegas.“Cepat buat keributan.... jangan sampai gagal....” bentak Athailah. Tiga anak buah Athailah pun segera meninggalkan ruang kerja Athailah.Tiga pria tersebut mendatangi sebuah rumah makan. Setelah beberapa menit mengamati situasi sekitar, mereka pun hendak melemparkan sesuatu ke arah rumah makan tersebut, namun karena kemunculan lima orang berjubah putih dari dalam rumah makan, membuat tiga pria tersebut menghentikan aktivitasnya."Assalamu'alaikum.... " sapa lima pria tersebut dengan ramah. Namun bukannya menjawab salam lima pria tersebut, tiga pria itu hanya diam dan memasang wajah dingin, hingga lima pria tersebut memasuki mobil
“Bagaimana pendapat anda mbak, tentang terlibat nya anda dalam penangkapan pak Taqy Shafiullah? Apakah benar anda terlibat dalam penangkapan tersebut? Benarkah anda di bayar mahal oleh polisi? dan anda juga seorang mata-mata?” tanya para wartawan pada Safira saat di temui di acara bedah buku sebagai pemateri.Safira hanya tersenyum, “Itu semua tidak benar.... Saya hanya di undang untuk bernyanyi di acara tersebut.... kapan pula saya menangkap beliau? sedangkan saya sibuk bernyanyi menghibur tamu undangan hingga acara selesai.... itu hanya fitnah dari orang-orang yang tak menyukai saya, atau itu hanya pengalihan isu agar masalah inti tersebut perlahan-lahan di hilangkan dari media....” jawab Safira dengan tenang. Setelah itu dia meninggalkan gedung acara dengan menaiki motor nya.Sedangkan ke esok pagi nya, seorang pengacara dan Athailah mengajukan melaporkan Safira ke polisi atas tindakkan tidak menyenangkan, dan fitnah terhadap ayahnya.“Kami akan melaporkan beliau atas pencemaran na
Safira baru saja pulang dari kampus, merasa sangat lelah saat sampai kos. Baru saja, dia duduk di kursi plastik di dalam kamar kos nya, sebuah ketukan membuatnya mendengus kesal. Safira segera bangkit dari duduknya dan membuka pintu. Dia mengerutkan keningnya, saat melihat pengantar paket memberikan sebuah paket padanya. Safira menatap curiga map amplop tersebut, takutnya teror lagi. Perlahan Safira membukanya, dan terlihatlah hanya berisi data-data kriminal target yang akan di tangkapnya.“Misi kali ini adalah kau harus menyamar sebagai penyanyi di sebuah acara pertunangan seorang anak dari seorang pembunuh berantai.... kau harus bisa menangkapnya, jika tidak siap-siap untuk di pecat....” jelas jendral Haikal di telepon. Safira hanya menghela napas kasar, akhir-akhir ini pak Haikal sering bersikap tidak ramah padanya.“Baik pak....”Safira meletakkan hp nya di samping meja belajarnya, dia memeluk erat boneka Doraemon dengan erat. Safira mengukir senyum saat bayang-bayang masa lalu be