Bab 37 "Rumah Terkutuk"Vera memutuskan untuk mandi, agar tubuhnya yang terasa panas dan penat itu sedikit rileks. Saat Arman pintu, Vera tak mendengar, karena saat itu ia tengah mengguyur kepalanya dengan air shower yang dingin. Arman pun tak sabar lalu menggedor-gedor pintunya.Vera kaget, ia bergegas mengeringkan rambutnya, lalu tubuhnya. Kemudian memakai kimono handuk dan pergi keluar dengan agak melayang karena pengaruh dari Anggur.Saat Vera membuka pintu, Arman terlihat melebarkan mata. Ia tak menyangka Vera berpenampilan seperti itu."Ngapain bengong? Masuk!" Vera mendelik dipandangi sedemikian rupa oleh Arman. Ia lalu melenggang berjalan ke arah meja dimana minuman favoritnya berada.Arman duduk di sofa setelah mengunci pintu. Matanya nanar menatap lekuk-lekuk tubuh Vera yang menggoda. Apalagi saat mengulurkan gelas anggur, ia sedikit menunduk, hingga belahan dadanya tersingkap."Jadi apa perlumu kesini?" Vera duduk sambil menyandar, kakinya disilangkan hingga kimononya ters
Bab 38 "Dua Wanita Berbeda"Vera menahan nafsu Arman yang menggebu-gebu. "Hei, tunggu sebentar, aku ingin ngomong sesuatu." Vera mencoba menjauhkan kepala Arman dari leher dan bahunya."Nanti saja." Dengus Arman lalu kembali menciumi bahu Vera, terus turun hingga dadanya."Sebentar kataku." Vera mendorong Arman. "Aku berencana menculik Celine tapi aku sudah tak punya uang untuk membayar orang."Arman terlihat kesal. "Aku bisa melakukannya.""Lalu bagaimana kuliah dan daganganmu?" "Aku sudah putus kuliah, juga enggak jualan lagi, sudah empat bulan." Arman menghela nafas. Ia teringat ucapan Evi.*Flashback*Evi menyuruh Arman mencari pekerjaan."Kamu tahu kan Man, suamiku sudah tak pernah memberi uang. Jadi kamu harus mencari pekerjaan!" Evi menatap Arman dengan perasaan dongkol.Arman masih terdiam sambil memainkan hpnya."Kamu kan sudah putus kuliah dan juga sudah empat bulan nggak jualan sayur, kalau kamu nggak kerja, kita nanti makan apa? Evi menambahkan."Nanti saja aku pikirkan.
Bab 39 "Kolaborasi Terbaik"Malam semakin larut ketika Alex berpamitan kepada Celine. Ia mengenakan kemeja putihnya dengan rapi, lalu menyelipkan dasinya ke dalam saku. Senyuman Celine mengiringinya."Kamu yakin tidak mau menginap? Aku siapkan kamar tamu," ujar Celine, suaranya terdengar lembut namun penuh harap.Alex menggeleng pelan. "Celine, aku memang mencintaimu, tapi ada batas yang harus kita jaga sampai waktunya tiba. Dua bulan lagi, di malam pengantin kita, aku baru akan menginap di sini, dan itu pun di satu ranjang bersamamu."Celine tertawa kecil, rona merah muncul di pipinya. "Kamu benar-benar pria yang berpegang teguh pada prinsip. Aku kagum sekaligus bahagia mendengarnya."Alex mendekat, memegang kedua tangan Celine dengan erat. "Kamu adalah wanita yang istimewa, Celine. Aku ingin setiap momen bersama kamu punya makna, bukan sekadar memenuhi keinginan sesaat."Celine tersenyum lebar, lalu mengantar Alex sampai ke pintu apartemen. Saat Alex melangkah pergi, ia sempat menol
Bab 40 "Arman Sang Penjagal"Setelah selesai melapor ke polisi, Alex dan Celine kembali ke kantor. Suasana terasa sedikit tegang di antara keduanya setelah pertemuan intens di kantor Polisi. Meski begitu, mereka tetap menjaga kemesraan.Setibanya di kantor, Alex menuju ruangannya, sementara Celine memimpin rapat singkat dengan beberapa kepala divisi. Beberapa waktu kemudian, Pak Made mengetuk pintu ruang kerja Alex."Silakan masuk, Pak Made," ujar Alex sambil menyusun dokumen di mejanya.Pak Made melangkah masuk, tampak ragu namun berusaha tenang. "Maaf, Pak Alex. Saya ingin meminta sedikit waktu untuk membicarakan sesuatu yang penting."Alex menyandarkan tubuhnya ke kursi dan memberi isyarat agar Pak Made duduk. "Tentu. Ada apa?"Pak Made menghela napas panjang sebelum berbicara. "Begini, Pak. Saya ingin meminta bantuan. Adik ipar saya, Eva, sedang membutuhkan pekerjaan. Kalau bisa, saya mohon agar dia diberi kesempatan di perusahaan ini."Alex mengernyitkan dahi, lalu tersenyum tip
Bab 41 "Derita Tiada Akhir"Arman duduk santai di depan Alex. "Sebenarnya, saya ingin semuanya berjalan lancar tanpa perlu kekerasan. Tapi... Anda terlalu keras kepala. Jadi saya putuskan untuk menyelesaikan ini dengan cara saya."Alex menyipitkan mata. "Rencana apa? Kau ingin apa dariku?"Arman melipat tangannya, memasang wajah berpikir. "Awalnya, saya pikir Anda sudah menikahi Celine. Itu akan mempermudah segalanya. Jika Anda lenyap, semua warisan Anda otomatis jatuh ke tangan Celine, bukan? Tapi ternyata... kalian belum menikah ya?."Alex mendengarkan dengan cermat. Ia menyadari celah dalam rencana Arman dan Vera."Jadi, apa rencanamu sekarang?" tanya Alex, berusaha memancing informasi.Arman tertawa kecil. "Saya akan memaksa Celine menikah dengan saya. Tentu, setelah Anda pergi ke alam kubur. Dengan begitu, seluruh warisan dan perusahaan ini akan jatuh ke tangan saya."Alex mengepalkan tangan, rasa marah membakar dadanya. "Kau pikir Celine akan menurut begitu saja? Dia lebih pinta
Bab 42 "Arief Tersingkir"Keesokan harinya, Arief mulai membereskan barang-barang yang paling penting. Karena kursi roda membuatnya terbatas membawa banyak, maka ia hanya akan membawa koper dan beberapa tas yang bisa ia bawa dengan mudah. Barang lainnya akan ia tinggalkan di rumah ini, menyerahkannya kepada pembeli baru.Saat ia mengangkat tas terakhir ke ruang tamu, ponselnya berbunyi. Nama Vera muncul di layar."Vera..." gumamnya sebelum mengangkat telepon. "Kenapa, Vera?"Suara Vera di seberang terdengar ringan, hampir tanpa rasa bersalah. "Oh, Arief. Aku lupa memberi tahu, ya? Rumah itu sudah aku jual. Kamu bisa pindah, kan? Aku yakin kamu pasti punya tempat lain untuk tinggal."Arief mengepalkan tangan, mencoba menahan amarah. "Kamu menjual rumah ini tanpa bilang ke aku? Aku tinggal di sini, Vera!""Apa bedanya? Kamu toh sudah tidak berguna lagi, dan aku sedang butuh uang. Kamu pasti bisa cari tempat lain kan?," balas Vera enteng.Arief mendengus frustrasi. "Kamu ini keterlaluan,
Bab 43 "Vera Menari Di Atas Luka"Celine berdiri di depan gerbang villa yang megah namun sunyi, matanya menerawang jauh ke depan, meski yang tampak hanyalah rerumputan liar dan kebun yang mulai tak terurus. Harapannya sempat membuncah ketika mendengar kabar tentang villa ini, tempat terakhir yang diduga menjadi persembunyian Vera. Namun, semua itu sirna seketika tatkala pemilik baru villa, seorang pria paruh baya yang ramah, berkata dengan penuh penyesalan. "Vera sudah menjual villa ini tiga minggu lalu. Saya sama sekali tidak tahu di mana dia sekarang."Pak Made dan Eva berdiri di dekatnya, menatap Celine dengan wajah penuh simpati. Namun, tak satu pun dari mereka mampu menghibur hati Celine yang kian hancur. Langkahnya perlahan menjauh dari villa itu, tubuhnya terasa berat, seakan beban dunia menumpuk di pundaknya.Pak Made mencoba menyemangati."Bu, kita masih punya waktu, untuk mencari ke tempat lain."Namun, Celine hanya mengangguk kecil. Suaranya serak saat menjawab, "Ya, tapi
Bab 44 "Musuh Dalam Selimut"Sore itu, Vera melangkah dengan penuh percaya diri memasuki kantor Bayu. Di sampingnya, Arman setia mendampingi, meski matanya waspada. Vera terlihat anggun, tapi tatapan matanya menyiratkan ambisi besar yang sulit dibendung. Namun, sesampainya di dalam kantor Bayu, senyumnya menghilang tatkala sekretaris Bayu memberitahunya bahwa Bayu tidak masuk kantor."Mana Bayu?!" Vera meninggikan suara, membuat sekretaris itu gemetar."S-saya tidak tahu, Bu Vera. Hari ini dia belum datang," jawab sekretaris dengan gugup.Arman mendekati salah satu rekan Bayu yang terlihat lebih tahu situasi. Dia memegang lengan pria itu dengan kuat. "Kau tahu ke mana dia pergi?" tanyanya dingin.Orang itu menggeleng.Arman kemudian mencengkram kerahnya. "Katakan! Atau kubikin rontok gigimu!"Rekan Bayu ketakutan melihat sorot mata Arman yang berbahaya. Ia akhirnya menyerah. "Pak Bayu pergi membawa surat-surat itu," katanya dengan suara bergetar.Wajah Vera berubah drastis. "Apa maks
Bab 55 "Akhir Yang Menyakitkan"Celine yang menyaksikan kejadian itu dari kejauhan langsung mendekat, tak bisa lagi menahan dirinya. "Daniel, apa-apaan kamu bicara seperti itu pada Bi Minah? Dia sudah tua dan perlu istirahat!"Daniel menoleh ke arah Celine dengan tatapan santai. "Kenapa, Tante? Dia itu kan pembantu, tugasnya melayani. Kalau nggak becus, ya sudah, cari yang lain. Simple kan?""Dia bukan robot yang bisa kamu suruh sesukamu! Ini jam dua pagi, Daniel! Tidak sopan menyuruh seseorang bangun tengah malam hanya untuk memenuhi permintaan sepele!" suara Celine meninggi, emosi mulai menguasainya.Daniel menyeringai. "Kalau Tante mau bantuin, Tante juga boleh bikin nasi goreng buat saya. Tapi saya nggak yakin Tante bisa masak enak."Celine terkejut dengan ucapannya. "Kamu sudah keterlaluan, Daniel!"Daniel mendekat dengan sikap santai. "Santai aja, Tante. Ini rumah Om Alex, kan? Saya cuma menikmati fasilitas keluarga. Lagipula, Tante cuma istri barunya. Jadi, jangan sok mengatur,
Bab 54 "Daniel Berulah"Daniel menyeringai lebar, matanya memandanginya dengan nafsu yang menjijikan, membuat Celine merasa tidak nyaman. "Santai saja, Tante."Celine langsung menegakkan tubuhnya, menahan kimono yang terikat di pinggangnya. "Apa-apaan ini? Kenapa kamu di kamar saya?"Daniel bangun melangkah maju, senyumnya tetap lebar. "Ah, Tante Celine... saya hanya ingin bilang kalau Tante itu cantik sekali. Om Alex benar-benar beruntung punya istri seperti Tante."Wajah Celine memerah, bukan karena tersanjung, tapi karena amarah dan merasa terhina. "Keluar sekarang juga, Daniel! Sebelum saya memanggil Hera!"Daniel tidak bergerak. "Kenapa marah? Saya hanya memuji. Lagian mama tidak pernah marah, ketika saya bergaul dengan wanita manapun.""Keluar!" Celine menghardik dengan nada tinggi, matanya membara. "Saya tantemu sendiri, bukan wanita manapun!"Daniel tertawa kecil, tapi akhirnya melangkah mundur. "Baiklah, baiklah. Jangan terlalu tegang, Tante. Saya pergi sekarang. Tapi lain ka
Bab 53 "Keluarga Arogan"Malam itu, kamar pengantin dihiasi cahaya lampu temaram. Celine duduk di atas ranjang, mengenakan gaun tidur sutra berwarna putih gading. Ia memandang Alex yang tampak sibuk melepaskan dasinya, lalu duduk di kursi di dekatnya.Alex menghela napas, seakan sedang mempersiapkan sesuatu yang berat untuk dibicarakan."Sayang," ucapnya, memecah keheningan. "Ada yang perlu kamu tahu soal Hera."Celine menoleh, alisnya sedikit terangkat. "Apa itu?" tanyanya lembut, meski hatinya berdebar.Alex menarik napas dalam-dalam. "Hera adalah satu-satunya keluargaku yang tersisa. Saat dia melahirkan Daniel, ayah kami meninggal dunia. Lalu, ketika Daniel berusia sepuluh tahun, ibu kami juga pergi."Celine menyentuh tangan Alex, merasakan kesedihannya yang tersirat dalam suara. "Aku tidak tahu kamu melalui semua itu sendiri," katanya pelan.Alex melanjutkan, "Setelah Daniel berusia tiga tahun, Latif membawa mereka ke Kanada karena pekerjaannya di sana. Hera hanya sempat dua kali
Bab 52 "Lembaran Baru"Pesta pernikahan Alex dan Celine berlangsung megah di sebuah aula yang dihiasi bunga putih dan lilin mewah. Hari itu, kebahagiaan pasangan pengantin terpancar dari wajah keduanya. Walaupun sudah berjam-jam berdiri menyambut 3000 tamu undangan, tapi Alex dan Celine tetap tersenyum cerah, menyalami tamu undangan yang datang dari berbagai kalangan."Selamat ya, Alex! Akhirnya kau menemukan pasangan hidup yang tepat," ujar seorang kolega Alex sambil tertawa ringan."Terima kasih," jawab Alex hangat.Tak jauh dari pelaminan, antrean panjang masih terlihat mengular. Namun, perhatian Alex tiba-tiba tertuju pada sekelompok tamu yang baru saja tiba, seorang wanita paruh baya yang anggun dengan aura tegas, seorang pria berkacamata dan dua anaknya.Alex membelalakkan mata. "Hera?" bisiknya tak percaya.Ketika wanita itu sudah dekat, Alex tak bisa menahan diri. Ia langsung memeluk wanita yang wajahnya tak asing baginya."Mbak Hera!" seru Alex penuh keharuan, mencium pipi
Bab 51 "Vonis Untuk Vera"Ruang sidang sore itu penuh sesak. Suasana tegang sangat terasa. Banyak pengunjung yang berbisik-bisik karena penasaran.Di kursi pesakitan, Vera duduk dengan wajah penuh amarah, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Di sebelahnya ada Arman, Evi, Arief, dan Ario Bayu, masing-masing menunduk menanti vonis hakim.Alex duduk di bangku pengunjung, ditemani Celine yang memegang erat tangannya. Di belakang mereka, para pegawai Alex seperti Pak Made, Eva, Vina, Maya, Dion, dan Anto turut hadir untuk menyaksikan akhir dari perjuangan panjang mereka.Hakim mengetukkan palu tiga kali, menandakan sidang dimulai."Sidang putusan terdakwa Vera dimulai," ujar Hakim dengan suara tegas.Vera menatap hakim dengan tatapan dingin, sementara para pengunjung menahan napas menanti putusan.“Setelah melalui serangkaian persidangan dan mempertimbangkan semua bukti yang ada, terdakwa Vera, sebagai otak utama dalam kasus penculikan dan percobaan pembunuhan terhadap saudara Alex Subr
Bab 50 "Pertemuan"Pak Made lalu berbalik ke arah petugas polisi. “Pak, di mana tepatnya Pak Alex sekarang? Kami ingin segera ke sana.”Petugas itu membuka catatannya, lalu menjawab, “Pak Alex saat ini berada di sebuah perkampungan nelayan di Lombok. Beliau ditemukan oleh nelayan di daerah itu, lalu dibawa ke Puskesmas setempat untuk mendapatkan perawatan.”Pak Made mengangguk mantap. “Baik, kami akan segera ke sana.”Eva menatap Pak Made dengan raut cemas. “Tapi, Pak, bagaimana kita bisa sampai ke Lombok dengan cepat? Perjalanan ke sana tidak mudah.”Pak Made berpikir sejenak, lalu berkata, “Kita akan cari penerbangan secepat mungkin. Ini soal hidup dan mati. Aku tidak peduli berapa biayanya, kita harus ke sana sekarang juga.”Anto ikut menyela. “Aku bisa bantu mengatur tiket pesawat. Aku punya kenalan di travel agent, mungkin dia bisa mempercepat urusannya.”“Bagus,” jawab Pak Made. “Kau urus itu. Eva dan aku akan mengabari Celine. Dia harus tahu bahwa Pak Alex masih hidup.”Dion me
Bab 49 "Kebenaran Akan Terungkap"Setelah puas, Anto menggiring Vera ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Awalnya ia menolak, tapi karena dipaksa dan Vera takut Anto berbuat macam-macam lagi, akhirnya ia mau.Tidak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar di luar rumah. Beberapa polisi masuk ke dalam kontrakan, dipimpin oleh seorang perwira yang mengenakan seragam rapi.“Dimana terduga pelakunya?” tanya sang perwira dengan nada tegas.Anto segera melangkah maju. “Ini pak. Wanita itu yang bertanggung jawab atas pembunuhan bos kami. Dia juga sedang berencana kabur ke Jambi.” Perwira polisi itu mengangguk sambil mengamati Vera. “Kami akan membawanya ke kantor untuk penyelidikan lebih lanjut.”Salah satu polisi menghampiri Vera dan mengikat tangannya. “Silakan ikut.” katanya dengan nada dingin.Vera berdiri dengan angkuh, meskipun wajahnya tetap memerah karena rasa malu. Ia berjalan keluar rumah, diikuti Polisi,
Bab 48 "Pencarian Sia-sia"Arman terbangun dari pingsannya dengan rasa pening luar biasa di kepala. Anak buah Anto yang menyadarkannya tampak dingin, sementara Pak Made berdiri di depannya dengan wajah penuh amarah."Dimana kalian membuang Pak Alex?" Pak Made bertanya dengan nada mengintimidasi.Arman hanya menyeringai lemah. "Pak Made, bahkan jika saya bilang, itu tidak akan mengubah apapun. Dia sudah mati."Pak Made mengepalkan tinjunya, tapi Eva buru-buru menahan lengannya. "Jangan! Kita butuh dia bicara," katanya sambil melirik ke arah Arman.Pak Made menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Eva lalu menyarankan. "Sebaiknya kita bawa Arman ke lokasi kejadian. Karena dia yang paling tahu tempatnya," Pak Made mengangguk setuju, lalu memberi perintah kepada anak buah Anto. "Pakaikan dia kaos dan celana pendek. Kita tidak punya waktu untuk basa-basi."Arman tertawa kecil, meski terbatuk karena efek puk
Bab 47 "Vera Tertangkap"Alex membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, dan kepalanya terasa berat seperti habis dihantam benda keras. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa lemah. Seorang perawat mendekat, membawa segelas air.“Pak, Anda sudah sadar. Alhamdulillah,” ucap perawat itu lembut.Alex menatap wajah perawat itu, bingung. “Di mana saya? Apa yang terjadi?”“Anda sedang di puskesmas, Pak. Sudah dua hari Anda tidak sadarkan diri. Tiga nelayan menolong Anda di laut. Lalu mereka membawa Anda ke sini,” Si perawat menjelaskan sambil membantu Alex duduk dan menyerahkan segelas air.Alex tersentak. Bayangan dirinya terikat besi besar dan tenggelam kembali menghantui pikirannya. Ia ingat saat-saat menegangkan itu, tubuhnya terhisap oleh gelapnya laut, udara semakin menipis, dan ketakutan akan kematian yang mengintai.“Dua hari?” gumam Alex. “Saya… saya diculik dan dibuang ke laut. Bagaimana bisa saya selamat?”“N