"Om!" Dengan berlari kecil kuhampiri Pak Darwin. Rasanya senang melihatnya sudah datang. Lelaki berumur hampir setengah abad itu masih terlihat gagah di usianya yang tidak muda lagi.
"Kamu nggak apa? Apakah ada yang terluka?" Pak Darwin mengamatiku. Ditelisiknya wajah dan badanku. Tampak gurat kekhawatiran dari mimik wajahnya. Kugelengkan kepala dengan seulas senyum tipis menepis kekhawatirannya.
Kami berada di depan ruangannya Deni. Ruang inap kamar VVIP. Kutempatkan ia di kamar terbaik. Operasinya berhasil. Masa kritisnya sudah lewat. Namun sayang, Deni belum sadarkan diri. Syukur keluarganya juga sudah datang. Lega sudah ada yang menggantikan tugasku menjaganya. Kutunaikan tanggung jawabku atas apa yang telah menimpanya. Ada istri dan ibunya. Kutemui mereka untuk meminta maaf atas apa yang telah menimpa Deni. Mereka menerima dengan ikhlas dan tidak menyalahkanku, memaklumi kalau ini adalah kon
"Del, kamu percaya?" Aku hanya mengedikkan bahu dan menggeleng.Pertanyaan Pak Darwin pasti tentang pembicaraan kami barusan di kantor polisi.***"Siapa?" Tanyaku dan Pak Darwin secara bersamaan."Lastri. Apa Bu Delia mengenalnya?" Jawaban petugas polisi ini refleks membuatku menoleh ke arah Pak Darwin. Ia hanya membalas dengan anggukan kepala."Iya, Pak. Saya mengenalnya. Apa kata Mas Heru? Kenapa dia menuduh Lastri, apa alasannya?" Tanyaku beruntun karena penasaran."Kita menangkap saudara Heru karena ada bukti transfer ke rekening montir yang menyabotase mobil Ibu 'kan? Nah, saudara Heru bilang kalau waktu itu, di hari ada transferan m-banking dari ponselnya itu ke rekening montir tersebut, yang menggunakan ponselnya adalah Lastri, bukan
Aku merenung di depan meja kerjaku. Aneh. Sudah jam segini Dilan belum juga datang ke kantor. Ini bukan kebiasaannya. Dia adalah orang yang on time. Tidak pernah telat, apalagi tanpa keterangan. Kemana dia? Elsa--sekretarisnya mengatakan kalau nomornya dari malam tadi tidak dapat dihubungi.Dilan, dimana kamu? Jangan buatku berprasangka buruk terhadapmu.Ponselku berdering. Dengan cepat kugeser tombol terima."Bagaimana Son, ada kabar apa? Dilan?" Kuserbu Soni dengan beberapa pertanyaan. Tidak sabar ingin tahu informasi darinya, terutama tentang Dilan."Dari informan saya, dia mengatakan kalau Dilan terakhir terlihat di restoran Jepang semalam, bersama seorang perempuan," jawabnya."Perempuan? Siapa?" Kutegakkan punggung dan mendengarkan dengan seksama. Mendengar kata perempuan, hatiku bertany
"hah!" Tersentak kaget sampai aku harus bergeser ke samping, saat mendengar suara ketukan di kaca jendela mobil.Pak Samsul ternyata. Aku mengelus dada meredakan degup jantungku yang berdebar karena terkejut."Kenapa berhenti?" Kepala Pak Samsul menyembul setelah kaca jendela kubuka.Aku dan Yanto saling pandang. "Segera ke rumah Pak, ada masalah penting," ucap Yanto memberitahu. Pak Samsul menoleh ke arahku. Dengan gugup kuanggukkan kepala membenarkan perkataan Yanto. Pak Samsul terlihat mengernyitkan alisnya. Heran."Baik, jalan dulu, saya tetap di belakang," ujarnya memberi perintah. Mobil dilajukan kembali oleh Bani--bodyguard-ku satunya."Om, bisa ke rumah sekarang?" Kuhubungi Pak Darwin agar beliau datang ke rumah."Kenapa Del, ini Om
POV Heru.Pak Heru, keluar." Panggilan dari petugas polisi membuatku segera bangkit dari duduk di pojokan. Kuhela napas berat saat berjalan keluar dari kurungan jeruji besi ini.Entah apa lagi yang diinginkan mereka. Beberapa kali aku dipanggil untuk melengkapi berkas terlaporku sebagai calon penghuni lapas. Status tersangka pun sudah tersemat di diriku walau belum diputuskan pengadilan. Harapanku masih bisa bebas dari sini. Apa pun itu akan kulakukan asalkan terhindar dari jeratan hukum.Sudah lima hari berada di sini. Sempat sakit karena tidak terbiasa dengan suasananya. Cuma demam biasa, sudah diberi obat penurun panas dan sekarang sudah mendingan. Aku tertawa getir bila mengingatnya. Di sini cukup diberi obat penurun panas. Tidak ada perawatan atau memanggil petugas kesehatan. berbeda dengan dulu, saat masih bebas dan bersama Delia. Masih kuingat jelas bagaimana pan
"Halo?" Sapaku setelah terdengar suara di seberang sana."Del, Dilan ketemu. Sekarang dia berada di rumah sakit. Lukanya cukup parah." Aku yang terkejut refleks segera duduk dari posisi rebahan. Kabar yang kudapat dari Pak Darwin membuatku hampir tidak percaya. Mataku berbinar bahagia."Yang benar Om, bagaimana kejadiannya?""Bukankah Pak Samsul sudah cerita, kalau anak buah Komar yang ketangkap akhirnya mau buka suara dan mau menunjukkan lokasi markas mereka. Nah dari situlah kepolisian dapat menemukan keberadaan Dilan," jelas Pak Darwin."Oh, iya Om. Hampir lupa. Delia masih nggak percaya. Terus bagaimana, apakah penjahat lainnya juga ketangkap? Mengingatkan waktu di video call itu ada dua orang yang Delia lihat.""Om kurang tahu. Cuma sekarang pihak polisi minta kamu ke k
"Tidak perlu Om. Paling bentar lagi mau kok." Mendengar penolakan dokter Ryan aku pun melanjutkan langkahku."Ya sudah. Saya pamit ya Om," tukasku."Tunggu Del!" Aku berbalik, kulihat Pak Darwin mengambil paksa kunci mobil dokter Ryan yang tergantung di dalam, lalu mendorong tubuh dokter Ryan ke arahku. Hampir saja tubuhnya menubrukku."Om, apaan," gerutu dokter Ryan rada kesal."Sudah sana! Del, titip ponakan Om. Maklumi ya, orangnya rada pemalu," kelakarnya. Aku terdiam dan bingung melihat apa yang dilakukan Pak Darwin pada dokter Ryan. Namun aku tidak ambil pusing, lebih baik masuk ke dalam mobil."Om, kembalikan kunci mobilnya," rengeknya dapat kudengar dari dalam mobil."Bu, apa kita jalan sekarang?" Tanya Yanto.&n
Tiba-tiba gelap. Ada tangan yang menutup kedua mataku. Kusentak kasar tangan tersebut."Dokter Ryan," gumamku."Nggak usah dilihat, takut patah hati." Aku mengernyit mendengarnya."Siapa yang patah hati?" Dokter Ryan malah menatapku lekat."Awww." Aku menjerit karena kaget. Dokter Ryan menyentil keningku. Lagi. Apa ini kebiasaannya? Jelek sekali. Kuusap keningku pelan."Apaan sih, Dok, pake disentil segala. Sakit," keluhku dengan masih mengusap bekas sentilannya."Cuma mau ngetes aja, ada isinya nggak tuh otak. Masa nggak ngerti apa yang kumaksud. Bukankah kamu cerdas, apalagi waktu SMA, masuk sebagai siswa berprestasi, masa mencerna apa yang kukatakan barusan nggak bisa?"Waktu SMA?
Aku segera meluncur ke rumah sakit Bunda Asih tempat Lastri berada. Kata Pak Darwin, Lastri tertangkap di terminal bus. Sepertinya dia memang ingin melarikan diri, karena dari tiket yang dipesannya adalah tempat yang jauh dari kota ini. Aku membenarkan informasi dari Pak Darwin, karena setahuku, keluarganya pun tidak ada yang tinggal di sana."Jadi Lastri sudah ketemu Bu?" Tanya Bani. Dia yang sekarang menemaniku. Melajukan mobil ini ke rumah sakit tempat Lastri dirawat. Sedangkan Yanto kuminta di rumah saja. Menurutku situasi juga sudah aman. Selain Lastri, dua orang teman Pak Rustam juga sudah tertangkap. Pak Edi dan Pak Karsa. Mereka berdua ketangkap atas informasi dari keluarga mereka masing-masing. Syukurlah keluarga mereka kooperatif tidak berniat sama sekali untuk melindungi keberadaan mereka."Iya." Aku menjawab singkat.