Aku berjalan menghampiri seorang pemuda yang berdiri di samping Mbok Yem.
"Jadi kamu, orang yang dikirim untuk memperbaiki brankas saya?" tanyaku kepada pemuda tersebut.
"Iya, Bu," sahutnya mengangguk sopan.
"Baik, ikuti saya, kebetulan brankasnya ada di atas," ajakku dengan berjalan lebih dulu.
"Delia, tunggu." Mas Heru dengan cepat mencengkal lenganku.
"Kenapa lagi, Mas? Aku buru-buru. Nanti kita telat lo ke kantornya."
"Kantor? Maksudmu ke butik? Ya sudah, kamu ke butik saja, biar Mas yang mengurus brankas kita." Matanya seketika berbinar.
"Bukan, Mas. Aku tidak ke butik tapi ke kantor kita. Perusahaan Angkasa group," jawabku lugas. Mata Mas Heru terbelalak kaget. Mulutnya menganga terbuka lebar.
Mas Heru masih bergeming di dekatku tampak pasrah. Wajahnya sayu seperti orang sakit. Kulingkarkan tanganku di lengannya."Mas, Del," seru Lastri melihat kami yang sudah berdiri di depannya."Kami akan ke kantor, apa hari ini kamu juga kerja?" Lastri mengangguk pasti dan menatap lekat Mas Heru."Oh, baguslah. Yuk! Mas," ajakku pada Mas Heru dengan masih menggandeng tangannya. Kutarik Mas Heru mengikuti langkahku. Lastri terbengong melihat Mas Heru yang mengacuhkan dirinya, tapi dia segera mengekor langkah kami di belakang. "Tunggu, kenapa aku ditinggal?"Aku masuk ke dalam mobil Mas Heru, duduk di depan, di sampingnya.Kulihat Lastri ingin membuka knop pintu mobil kursi belakang."Las, bukankah kamu bawa mobil sendiri? Pakai saja
Dilan menghampiriku. "Terima kasih, Bu. Sudah memberikan saya kesempatan untuk bekerja kembali di sini." Aku menganggukkan kepala dengan tersenyum padanya."Delia, kamu …, ehm bagaimana mungkin kamu bisa meminta Dilan kerja kembali di sini, dia itu sudah banyak merugikan perusahaan kita," tanya Mas Heru penuh penekanan. Dia menatap tajam ke arah Dilan."Itu karena …." Kulihat Lastri ternyata belum keluar juga dari ruangan ini. Dia mengamati kami. "Las, apa butuh bantuan untuk mengemas barangmu itu, dari tadi saya lihat kamu masih terlihat sibuk," ucapku mengusirnya secara halus.Gerakan tangan Lastri semakin cepat merapikan barang-barangnya dengan kasar, ia bahkan sudah berani menatapku nyalang menunjukkan kemarahannya padaku.Aku tak peduli. Baru begini saja kamu marah, lalu apa kabar aku yang
Mas Heru belum juga kembali dari toilet. Aku yang menunggu di dalam ruangannya tiba-tiba juga ingin ke toilet. Lebih baik aku ke toilet dulu menuntaskan hajatku.Rasanya lega, membuang sesuatu yang terisi penuh akibat kebanyakan minum air pada saat rapat tadi. Baru saja ingin membuka knop pintu toilet untuk keluar, gerakan tanganku terhenti. Ada yang menyebut namaku di luar sana. Kupasang telinga lebih tajam."Bu Delia, cantik ya, kok bisa Pak Heru masih kepincut janda gatel." Suara seseorang terdengar sampai ke dalam, membuatku terdiam, dan bergerak pelan. Tidak jadi membuka pintu. Aku mundur ke belakang dan memutuskan kembali duduk diatas toilet. Sepertinya itu suara karyawan di kantor ini. Siapa lagi yang masuk ke toilet kantor kalau bukan karyawannya sendiri. Terdengar banyak bunyi derap sepatu di lantai, artinya ada beberapa orang di luar sana."Godaannya m
"Bagaimana Bu, mungkin Dilan sudah menjelaskan semuanya. Apa Bu Irma bersedia? Waktu saya terbatas," ucapku pada Bu Irma setelah kembali duduk di depannya."Maaf, Bu. Saya tidak bisa menyetujui keinginan Bu Delia. Semua kontrak sudah selesai, Pak Heru telah menyelesaikannya dengan baik. Memang benar, Pak Heru minta tiga kali angsuran untuk membayar rumah tersebut, tapi semua sudah disepakati antara penjual dan pembeli, jadi tidak mungkin lagi saya ubah. Bukan wewenang saya. Walaupun Ibu mengimingi saya dengan pembelian kontan," jelasnya.Aku tersenyum. "Sebenarnya ini mudah saja. Saya menawarkan ke Bu Irma agar Ibu mendapatkan untung juga. Bisa saja 'kan saya pergi ke pemiliknya langsung, dia pasti setuju karena tidak mau berurusan dengan hukum," jawabku lagi sembari melihat ke arloji di pergelangan tangan. Waktuku tidak banyak. Masalah ini harus selesai secepatnya."
kotak perhiasan? Apa itu perhiasan …."Tidak, itu milikku. Kembalikan! Itu hadiah dari Mas Heru." Lastri merangsek dan ingin mengambil paksa perhiasan tersebut. Namun tidak bisa, karena Dilan mengangkat tinggi tangannya ke atas. Badannya yang lebih tinggi dari Lastri sangat menguntungkannya. Lastri tidak menyerah dengan memaksa melompat-lompat ke atas mencoba menggapai tangan Dilan.Aku berdiri, mendorong tubuh Mas Heru yang masih duduk bersimpuh hingga ia terjungkal ke belakang karena hentakan lututku.'maaf Mas, aku tidak sengaja, bukan maksudku mendorongmu.' Kulirik Mas Heru sebentar, lalu mendekati Lastri.Kutangkap tubuh Lastri dan menghadapkannya ke arahku. Kuamati hingga yakin dengan apa yang sedang kulihat. Lastri mengernyit melihat tindakanku padanya.La
Sayup masih kudengar suara panggilan Mas Heru, dan teriakan Lastri di dalam rumah ini. Mereka berdua bagai dua kutub yang berseberangan. Satu menyuarakan pengibaan, permintaan maaf, sedangkan satunya penuh hujatan dan caci maki untukku. Tidak kupedulikan kekacauan yang terjadi di rumah ini. Dilan dan Surya pasti bisa mengatasinya.Aku terus berjalan pelan, melangkah hingga tanpa kusadari langkahku memasuki ruangan yang tampak seperti ruang makan. Ada meja panjang dengan kursi besar mengelilinginya. Aku duduk di salah satu kursi tersebut. Netraku mengitari ruangannya yang megah. Lalu kutelungkupkan wajah ini ke atas meja, bertumpu pada tangan. Aku menangis. Air mata yang sedari tadi kutahan, akhirnya luruh juga, tumpah setelah kepergian mereka, para pengkhianat. Mencoba kuat di depan mereka, agar tidak ditertawakan. Nyatanya hatiku rapuh, tidak sekuat baja.Kenapa hidupku seperti ini. Hidup
"Untuk Pak Heru, Lastri dan ….Aku sengaja menjeda ucapanku. Pak Jayus bahkan harus menelan saliva menunggu lanjutannya."Bella." Makin terbelalaklah matanya mendengar nama terakhir yang kusebut. Pak Jayus menelan salivanya lagi."Bel--la, Bu?" Ulangnya memastikan. Aku mengangguk pasti."Pak Heru, kok bisa? Bukankah Pak Heru direktur utama di,""Memangnya ada masalah? Dia memang direktur di perusahaan ini. Namun Pak Jayus tentu tahu kalau saya juga mempunyai wewenang tertinggi di perusahaan ini." Pak Jayus mengangguk lemah. Dari wajahnya tampak gurat ketakutan."Bukankah di rapat kemarin sudah kita bahas, kalau laba perusahaan menurun. Anda pasti tahu apa penyebabnya?" Mataku mendelik tajam ke arahnya. Kuambil pulpen yang berada di atas meja dan memaink
Sepanjang perjalanan hatiku gelisah. Aku memikirkan pembicaraanku dengan Mbok Yem di kantor tadi, lewat sambungan telepon.Mereka? Nekat sekali mendatangiku. Apa Mas Heru belum memberitahukan tentang hubungan kami?***"Mereka siapa Mbok?" Aku penasaran."Mertua Non dan adiknya Pak Heru.""Mbok tanya, apa mau mereka datang ke rumah?""Katanya mau ketemu sama Non Delia. Sudah saya bilang kalau Non itu kerja, nggak ada di rumah. Eh malah maksa masuk. Kebetulan Dini yang bukain pintunya. Dia nggak tahu, mendengar kata mertua, ya ngasih izin aja buat masuk.""Ya sudah Mbok, saya akan pulang sekarang. Tolong Mbok awasi terus gerak-gerik mereka," pesanku, mengakhiri pembicaraan.&
Cup! Sebuah ciuman mendarat di bibir ranum Shanum kala ia selesai berbincang puas bersama keluarga. Mata Alan mengerling menggoda dengan menaik turunkan alisnya setelah berhasil membuat istrinya tersebut melotot tajam. "Masih sore, papinya baby A." Shanum mencubit hidung menukik tajam miliknya Alan dengan terkekeh kecil. Mereka memang sudah memberi inisial huruf untuk nama anaknya kelak dengan awalan huruf A untuk mempermudah memanggilnya saat ini, meskipun sudah ada beberapa pilihan nama lengkap yang sudah dipersiapkan oleh mereka berdua. "Nggak papa. Kan di rumah cuma kita berdua. Ingat kata dokter, paling bagus begituannya sesering mungkin di bulan mendekati HPL ini, biar mempermudah jalan lahir baby A nanti." Alan beralasan untuk memuluskan kehendaknya. Bayangan Shanum yang hanya mengenakan handuk barusan tadi masih membekas di benaknya hingga memunculkan kembali hasrat kelelakiany
"Masih mencintainya?" Lagi Hanum bertanya setelah melihat Fatih hanya diam tidak menjawab pertanyaan sebelumnya."Tidak. Jangan tanyakan dia. Sekarang fokus ke hidup kita. Jangan merusak kebahagian kita dengan bertanya tentang orang lain. Wanita itu hanya masa lalu. Tidak ada hubungan apapun lagi denganku. Kita juga sudah mempunyai pasangan masing-masing. Soal aku yang mungkin pernah menyebut namanya saat tidur, akupun tidak menyadarinya tapi bukan menjadikan itu alasanku masih mencintainya." Fatih mencoba menyangkal dan memberi pengertian."Benarkah? Tapi kenapa rasanya aku sakit ya setelah melihat wanita itu secara langsung." Hanum melirik Fatih sekilas, lalu memalingkan muka kembali menghadap jendela kaca mobil."Please … Num, jangan dimulai.""Justru itu, aku mau menyelesaikan semuanya sekarang. Aku ingin kejelasan apa kamu mencintaik
Hingga sampailah Heru di sebuah tempat yang sebenarnya tidak begitu layak disebut rumah."Heru?!" Seorang wanita paruh baya berjalan tertatih mendekati Heru dengan cepat. Raut wajahnya tidak dapat menyembunyikan rasa keterkejutan dengan matanya yang membulat sempurna tatkala mendapati sosok yang dikenalnya dulu datang ke rumah kecilnya.Heru mengaku sebagai teman dari wanita yang diduganya adalah Lastri agar bisa mampir ke rumah remaja tersebut. Tak disangka yang ia temui adalah orang dari masa lalunya."Bu." Heru mendekat ingin mencium takzim tangan wanita sepuh itu, tapi ditepis kasar."Darimana kamu tahu rumah kami?" Matanya melotot tajam ke arah Heru saat bertanya. Sekarang Heru yakin kalau wanita yang ia kira Lastri itu benar dia orangnya dan wanita tua yang memandang sinis ini adalah mantan mertuanya. 
"Jadi dia yang namanya Shanum." Fatih tertegun seraya melirik Hanum yang membuka obrolan dalam perjalanan pulang ke hotel. Wanita yang garis wajahnya tidak beda jauh dari Shanum itu tidak berani menatap ke arah suaminya saat bertanya.Fatih hanya mengangguk pelan tanpa ingin bersuara. Bibirnya terkatup rapat malas untuk membahas nama yang sedang dipertanyakan isterinya tersebut."Cantik. Pantas masih Mas panggil di tiap tidur Mas." Fatih mendesah berat mendengar sindiran halus dari Hanum. Jujur hatinya merasa tak enak karena kedapatan sering menyebut nama wanita lain saat tidur.Shanum. Nama itu begitu membekas di hati Fatih. Bahkan setelah melewati beberapa purnama, nama itu masih bertahta kuat di hatinya. Baginya, wanita itu adalah cinta pertama yang sulit dilupakan. Kalau bukan karena permintaan ayah sambungnya, mungkin dia akan tetap memperjuangkan wanita itu agar tetap
POV authorAlan memutuskan kembali ke Inggris dengan memboyong Shanum ikut dengannya ke sana. Melanjutkan kuliah mengambil S2 dengan jangka waktu setahun. Ini dilakukan untuk mengoptimalkan kinerja kerjanya nanti saat memasuki perusahaan Keluarga Atmanegara. Shanum pun demikian, ikut mengambil S2 juga memanfaatkan momentum yang ada. Ia pikir daripada berdiam diri di rumah menunggu kepulangan Alan, kenapa tidak ikut menimba ilmu untuk meningkatkan kualitas ilmu yang sudah diperoleh sebelumnya. Alan pun mendukung keinginannya. Keluarga juga merestui. Mereka akhirnya memutuskan pergi setelah melengkapi segala berkas dan keperluan di sana. Kakek sudah membeli lagi satu apartemen baru untuk mereka tinggali. Yang pasti lebih besar dari apartemen Alan sebelumnya.***"Alhamdulillah, sebentar lagi kita bakal punya cucu," ucap Anya melirik Delia membuka obrolan. Tiga wanita berkumpu
POV ShanumCantik. Satu kata untuk kamar pengantin yang telah dipersiapkan untuk kami di salah satu kamar hotel berbintang lima.Taburan kelopak bunga mawar dibentuk menyerupai hati menghiasi atas tempat tidur yang didominasi warna putih. Harum semerbak menguar dari lilin beraroma terapi. Ada juga lilin-lilin kecil yang sengaja diletakkan di berbagai sudut kamar untuk menambah suasana semakin romantis."Suka?" Bisik Alan di dekat telinga. Mata masih takjub memandang keindahan kamar ini. Hati mendesir. Suaranya membuat bulu romaku berdiri. Kucoba mengendalikan rasa yang ada.Aku mengangguk. "Kamu yang buat?"Ia menggeleng lalu meraih tanganku. Menuntunku mendekati ranjang pengantin."Bukan. Orang hotel, tapi aku yang minta dibuatkan secantik mungkin. Mana ada
POV AlanTidak terasa waktu setahun telah terlewati. Masa perkuliahan akhirnya selesai juga. Wisuda sudah kujalani, tinggal pulang saja ke Indonesia. Nilai IPK-ku sangat memuaskan dan berhasil meraih cumlaude. Bahkan sudah ada tawaran kerja di perusahaan asing, tempatku magang dulu. Namun aku ingat pesan Kakek, "kita boleh menuntut ilmu di luar, tapi jangan lupa pulang dan praktekkan ilmu tersebut di negerimu sendiri." Lagipula ilmu tersebut bakalan kugunakan untuk mengembangkan perusahaan Keluarga, sesuai kemauannya.Hubunganku dengan Shanum, baik. Kami selalu berkirim pesan dan kabar agar selalu terjalin komunikasi yang erat. Tidak ada yang ditutupi, apapun itu. Sering bercerita tentang keadaan kampus masing-masing dan apa saja yang dipelajari di sana. Walau terkadang bingung dengan istilah yang terdengar asing di telinga karena perbedaan program studi yang kami ambil."Assalam
POV Shanum"Maaf, saya tidak setuju."Kaget.Ayah?Ada apa dengan Ayah? Kenapa ia tidak setuju?Kutatap wajahnya dengan khawatir. Tidak mungkin Ayah akan membatalkan pertunangan kami. Ayah bersikap biasa saja. Bahkan tidak ada pembicaraan serius di rumah mengenai hal tersebut. Malah Bunda lah yang paling nampak kesulitan menerima Alan sebelum adanya pertemuan dengan Mami Anya."Apa Alan melakukan kesalahan? Atau Delia masih marah dengan Anya?" Tebak Kakek Atma dengan Kening mengernyit. Mencoba mencari tahu.Semua mata menatap bergantian ke arah Bunda dan Mami Anya.Bunda cuma tersenyum tipis dan menggeleng cepat. Begitupun Mami Anya. Mereka saling melempar senyum meski tampak kebingungan di wajah merek
POV AlanSeharian ini aku persis seperti bodyguard. Mengikuti kemana langkah Mami pergi. Dari mengantarkannya bertemu Bunda, hingga pergi ke supermarket bagian perlengkapan kue. Ini untuk pertama kalinya kulihat Mami mengunjungi tempat yang tidak pernah ia kunjungi sebelumnya. Aneh"Untuk apa Mami masuk ke sini?" Aku bertanya saat Mami memilih benda asing di mataku."Inih," jawabnya seraya menunjukkan salah satu benda berbahan aluminium berbentuk persegi dengan ukuran besar."Untuk?" tanyaku heran."Buat kue." Mami berjalan pelan memperhatikan benda tersusun rapi yang berada di sampingnya."Maksudnya, Mami yang akan membuat kue?" tanyaku tidak percaya.Mami menganggukkan kepala, tapi matanya terfokus pada deretan rak-rak seperti sedang