Tok!
Tok!
Tok!
Emmy si Pelayan mengetuk pintu kamar Johan tengah malan. Di tangannya ia membawa nampan berisi makanan dan minuman. Sesekali ia menoleh ke kanan dan ke kiri dengan was-was.
Pintu terbuka perlahan. Emmy lekas menyerahkan nampan berisi makanan tadi kepada Johan yang berdiri di ambang pintu tanpa membuka sepenuhnya.
Emmy menunduk dan tanpa mengucap apapun, Johan langsung menutup pintu kamarnya.
Begitu pintu tertutup, Pelayan Emmy menghela nafas lega. Di pegangi dadanya yang berdebar tak karuan tiap kali ia melakukan pekerjaan yang di perintahkan Tuan mudanya tersebut.
Tak mau berlama-lama, dalam keremangan rumah yang lampu-lampu utamanya telah di matikan, Emmy segera pergi dari s
Johan yang sedang meminum susu hangat melihat dari balik gelas kaca saat Pelayan Emmy yang membawa nampan berisi cangkir teh dengan beberapa potong roti lewat di depan.Mereka saling lirik sesaat sebelum Emmy berjalan menuju halaman belakang."Silahkan, Tuan, Nyonya." sambil menunduk Pelayan wanita dengan rambut tergelung sederhana itu menyuguhkan bawaannya ke atas meja kecil samping taman.Dua majikannya tak menanggapi. Atau mungkin tak tahu jika dia ada. Meski begitu, Emmy tetap menunduk dan undur diri dengan sopan.Ia sempat melihat sang Nyonya tengah menitikan air mata di pipinya yang terlihat semakin cekung dari hari ke hari. Yah, sudah sebulan Lira hilang dan sampai sekarang belum ada kabar apa pun. Meski pencarian terus di lakukan. Membuat pasangan suami istri Prawira memutuskan tak lagi mengurusi bisnisn
"Aku ingin mengatakan sesuatu pada kalian." Johan yang sedari tadi hanya bermain dengan kedua keponakannya tiba-tiba angkat bicara.Semua yang berada di ruang keluarga itu menghentikan pembicaraan dan menoleh padanya."Apa ada sesuatu tentang Lira yang belum kau ceritakan pada kami?" Liana bertanya penuh harap."Ini memang ada hubungannya dengan Lira. Tapi bukan soal itu sayangnya." Johan menyesal.Liana terlihat kecewa. Ia kembali merebahkan punggungnya ke sofa."Apa kau ingin tambahan uang saku,Jo?" James terkekeh.Jasmine mengulum senyum menahan geli mendengarnya.Johan menarik salah satu ujung bibirnya. Candaan yang tak lucu. Karena jelas James dan Jasmine tahu,sejak dulu Johan tak pernah mendapat uang saku yang cukup.
"Sayang kau tak pernah merasakan pelukan Mama ya,Jo..?" James menyandarkan diri pada samping mobil.Ia membandingkan pundak Johan dan dirinya yang bersisihan.Tanpa sepengetahuan Johan. Wajah pria berkacamata itu sedikit masam. Dalam hal tinggi badan pun,ia kalah dengan adiknya.Entah karena terdoktrin Papa nya, atau ada hal yang lain. Tapi dalam hati James,ia juga menyalahka Johan atas kematian Ibu mereka. Dan sialnya,Johan pula lah yang paling mirip dengan sang Ibu. Bahkan di banding Jamine sekali pun yang notabene seorang wanita."Kau tahu kenapa aku memilih tinggal di luar Negeri?" tanya James sambil melihat sekilas ke arah Johan sebelum kembali memandangi rumah mewah tempat tinggal Keluarga Prawira dengan halaman yang begitu luas dengan satu paviliun terpisah."Karena bisnismu di sana." Johan menjawab senorm
"Kau lama sekali,Jo." dari sofa tempatnya duduk Sonia berseru saat melihat Johan membuka pintu Apartemennya."James mengajakku mengobrol." Johan tersenyum.Ditaruh tas ranselnya di sebelah sebelum duduk."Oh." Sonia terkejut. "Sejak kapan kalian akrab?" ia bergeser dan langsung bergelayut dan mencium pipi Johan manja.Lelaki berkaos merah itu tertawa geli."Nanti kami akan lebih akrab." kelakarnya.Sonia memandanginya penuh cinta."Aku senang akhir-akhir ini kau banyak senyum." ucapnya sambil menyandarkan kepalanya ke pundak Johan."Aku juga sedang senang." Johan tertawa terbahak.Sonia mengangkat kepalanya dari pundak Johan. Tatapannya berubah serius. "Jo,apa kau senang karena Lira?" tanyanya.
Aji Prawira. Pria paruh baya itu membangun bisnisnya dari nol. Di awali ia yang tak mau melihat istrinya yang tengah hamil tua masih harus bekerja.Di tambah layanan kesehatan yang lambat bagi pemegang kartu kurang mampu, dan berujung keguguran anak pertamanya dulu. Dari situ Aji menilai,kita akan di hormati dan di layani dengan baik jika dompet kita tebal. Maka kita yang tak mampu harus bagaimana caranya menjadi merangkak naik agar di hormati dan mendapatkan segala yang terbaik. Tahun-tahun sulit ia lalui bersama keluarga kecilnya. Dengan tekat yang kuat serta ketekunan. Akhirnya ia mampu memberikan kenyamana hidup untuk Keluarga. Terutama untuk sang istri tercinta yang menemani di kala susah. Namun kebahagiaan serta kemewahan itu hanya bisa sesaat sang istri rasakan. Kehamilan yang tak di rencanakan ser
Bulan-bulan berlalu dengan begitu lambat seiring keberadaan Lira yang tak di ketahui.Mencoba mengikhlaskan sambil terus berharap,jika suatu saat Lira akan pulang dalam keadaan baik dan selamat.Kejahatan sempurna yang tak pernah terbayang. Sesempurna hari ini ketika Johan di nyatakan lulus dengan predikat cumlaude.Ia terlihat gagah dan semakin bersinar dengan baju dan topi toganya. Beberapa teman dan junior mengerubuti mengucapkan selamat dan meminta foto.Ah,Johan memang terlalu memikat bagi siapa pun. Apa lagi jika ia tersenyum dan menunjukkan keramahannya."Selamat Kak.""Kak Johan,selamat.""Hilang satu alasanku untuk berangkat kuliah."Dan masih banyak lagi.&
"Sepi sekali. Di mana semua orang?" tanya Sonia saat memasuki rumah keluarga Prawira."Papa dan Mama lebih sering tinggal di luar negeri setelah kedua saudara ku meninggal dan Lira tak ada kabar." Johan menjawab.Rumah mewah nan luas itu memang terasa kosong. Hampir seperti tak ada kehidupan. Senyap dengan hawa yang tak nyaman meskipun segala sesuatu bersih dan tertata."Aku pikir dia mengajakku ke rumah karena ingin mengenalkanku secara resmi kepada orang tuanya." Sonia berkata dalam hati. Ia menunduk, sesikit kecewa."Papa menyerahkan beberapa anak perusahan kepada ku. Termasuk milik James yang terbengkalai."Johan berkata saat mereka menaiki anak tangga."Benarkah?" Sonia ikut senang. "Akhirnya Papa mu mempercayakan semua padamu."
Hancur.Iya,itu lah yang di rasakan Sonia. Tangannya tak henti gemetar dengan air mata yang hanpir tumpah.Di hari istimewa,yang seharusnya menjadi hari di mana masa depan sesungguhnya ia tapaki. Berharap bisa menitinya bersama orang terkasih, di leburkan begitu saja oleh kejutan yang di beri.Ia tak peduli sekalipun Lira menghilang,di culik atau bahkan mati sekalipun. Dari dasar hatinya, ia malah tertawa. Berkurang satu wanita yang berada di lingkaran pujaan hati.Mengingat kedekataan mereka. Sonia sedikit curiga, karena Johan tak terlihat kehilangan atas lenyapnya adik tirinya tersebut. Tapi ia menganggap begitu lah Johan,kejiwaanya agak 'berbeda' dengan orang kebanyakan.Tak ia sangka,setelah ia hampir melupakan dan memilih mengabaikan. Ia di lihatkan keadaan Lira yang bak barang bekas. Di simpan di dalam peti
"Semalam hujannya deras sekali,pohon di dekat rumahku sampai tumbang."seorang suster bercerita. "Padahal sudah masuk musim kemarau.Tapi masih hujan saja." rekannya menimpali. "Bikin malas berangkat shif pagi." ia tertawa. "Mendung memang paling enak buat rebahan." rekannya membenarkan dan ikut tertawa. Dua orang suster itu berjalan beriringan di koridor rumah sakit dengan beberapa pasien yang nampak di sekitar taman untuk menghirup udara segar. "Selamat pagi." dari arah berlawanan,seorang suster lain menyapa. "Selamat pagi." berbarengan mereka menyahut. Pasien yang berada di samping suster tersebut,ikut tersenyum kepada mereka berdua.
Pesta topeng yang di selengarakan di salah satu Hotel milik Keluarga Marthadinata itu begitu meriah.Penyanyi papan atas di undang untuk semakin menghangatkan suasaan.Pesta ulang tahun Perusahaan tahun ini memang spesial,sebab Pimpinan Perusahaan,yaitu Adnan Marthadinata,memperkenalkan menantu beserta cucu cantiknya.Di atas panggung dengan dekorasi hitam-emasnya,Andreas terlihat bahagia mengandeng istri mungilnya yang terlihat menawan dalam balutan gaun malam."Daddy,gendong."putri kecilnya yang bermata cokelat terang mirip dirinya merengek manja.Andreas yang dulu angkuh,terkesan tak peduli,serta seenaknya sendiri.Menjelma menjadi sosok Ayah yang penyayang.Dan itu sangat terlihat dari caranya memperlakukan gadis kecil tersebut.Pria berjas merah dan bertopeng badut itu
Asalamualaikum wr wb Apa kabar?Semoga kita semua masih di beri kesehatan di masa pandemik Covid 19,serta di mudahkan dalam memperoleh rizki. Bercerita tentang PSYCHOPATH LOVE,ini novel yang saya buat paling lama,hampir satu tahun dengan jumlah bab di bawah 90. Jujur saya sangat kesulitan dengan tokoh Johan yang dari awal kemunculan di Novel SEBENARNYA sudah sangat dark. Menulis adegan sadis dan berdarah-darah di Novel ini adalah yang pertama. Saya tertantang,bisa tidak feel dark ini sampai ke pembaca hanya lewat tulisan?(Kalau nonton kan sudah pasti langsung kerasa banget) Dan saya senang membaca beberapa komentar,yang merasakan ketegangan itu. Walaupun untuk saya sendiri,belum merasa berhasil 'menggambarkan' rasa ngeri itu lewat tulisan.🙈
POV Johan- Gelap, Takut, Punggungku sakit,habis di cambuk Papa. Pipi ku perih di pukul Kak James. Kepala ku pusing dan berdengung. Tolong aku... Tolong! Toloong..! .................... "Happy birthday to you...happy birthday to you...happy birthday,happy birthday...Happy birthday kakak.." Mataku silau oleh cahaya lilin yang tertancap di kue ulang tahun yang ia bawa. "Ayo,tiup lilinnya,Kak." ia menyodorkan kue itu ke arahku. "Aku yang membuat,di bantu Mama." adik tiriku itu masih tersenyum lebar. Aku terpana,jantungku berdebar.Selama 10 tahun aku hidup,baru kali ini ulang tahunku di rayakan. Biasanya Papa dan ke
"Kau bilang akan membantuku bebas,kan...?" bibir pucat Lira yang di poles lipstik warna merah oleh Sonia,berucap pelan. Kening Sonia berkerut.Dia sengaja mencoreng pipi Lira dengan lipstik,kemudian mendengus kesal. Lira yang memakai kebaya warna putih,dengan rambut panjang yang di sanggul sederhana,serta sisipan mawar merah,tak berusaha menghapus corengan lipstik yang seolah terlihat ia sedang tersenyum. "Kalau bisa,saat ini juga,aku ingin 'membebaskan' mu sampai dasar neraka." Sonia berkata bengis,persis di depan wajah Lira. Mata Lira meremang,namun ia tak berkata apa pun. "Kenapa kau tak ikut mati bersama anakmu?" Sonia menegakkan tubuhnya congkak.Ia meletakkan palette make up nya begitu saja ke atas meja. Sonia marah,
Adnan mendengarkan dengan kening berkerut dalam. Rendy yang berdiri di belakang Andreas mendesah beberapa kali. "Kenapa masih saja memohon untuk hal yang mustahil?" ucapnya dalam hati. "Johan yang menculik Lira.Dia juga memperkosanya sampai hamil dan anak yang di lahirkan tak selamat,karena Lira mengalami kekerasan fisik." berapi-api Andreas menerangkan di depan Ayahnya yang masih duduk tenang di kursi kebesaran. "Lira juga bilang,pasangan suami istri Prawira bukan meninggal karena kecelakaan seperti yang ada di berita,tapi karena di bunuh oleh Johan." ia melanjutkan. Ayahnya masih tak bergeming. Andreas menelan ludah.Raut wajahnya menyiratkan kekesalan,sebab respon yang di terima Ayahnya,jauh berbeda ketika se
Suara dentuman musik yang memekakan telingan tak mampu mengusik Andreas dari lamuannya tentang kejadian beberapa saat lalu."Lihat!" Rendy menunjukkan berita tentang kecelakaan suami-istri Prawira di ponsel.Andreas tertegun membaca isi berita tersebut."Begini mudahnya Johan membalikkan fakta atas kematian orang tuanya sendiri." Rendy kembali memperingati. "Sekarang,tak hanya gerombolan mafia di belakang Johan.Tapi,dia juga memiliki kekuasaan mutlak atas Prawira Enterprise!"Andreas meneguk gelas vodkanya sampai habis,dan menghisap lintingan ganjanya."Bro!" panggil Bryan dari lantai dansa. "Come on." ia bergoyang mengikuti ritme lagu bersama teman-teman wanitanya.Andreas menarik ujung bibirnya,lalu mengibaskan tangan. "Enak bener hidupn
Perlahan Lira membuka mata,dan mendapati langit-langit yang berwarna putih. Ia merasa tubuhnya begitu lemah,dengan bagian perut yang perih.Lira mulai mengingat-ingat kejadian apa saja yang menimpanya. Ia meneguk ludah dengan air mata meleleh,kala mengingat Ibunya yang di bunuh dengan kejam. Lira hendak bangkit,tapi perutnya begitu sakit. "Lira?" Andreas membuka pintu.Cepat-cepat ia menidurkan lagi Lira dan meninggikan posisi ranjang. "Kak Andreas.." bibir kering Lira berucap. "Kau baru saja di operasi.Kata Dokter,kau belum boleh bangun dan melakukan kegiatan berat apa pun minimal satu sampai dua hari." Andreas menjelaskan. Lira baru sadar,jika kini,ia berada di rumah sakit.Di r
Aku bukannya tak menyayangi anakku sendiri.Tapi rasa nyeri kehilangan ini,begitu menyakitkan.Aku berusaha meneggelamkan diri pada pekerjaan untuk melupakan.Tapi dirinya yang terus tumbuh dan semakin mirip dengan Anita-ku,begitu mengoyak perasaanku.Sakit..Sakit..Begitu sakit rasanya kehilangan pasangan hidup.***"Papa,bu guru bilang,gambarku bagus."bocah berseragam T.K itu sumringah memperlihatkan gambar rumah dengan dua saudara serta Ayahnya di depan pintu.Aji mengabaikan,melirik pun tidak.***"Papa,aku juara kelas!" dengan penuh semangat,Johan yang berseragam putih merah berlari menunjukkan nilai raportnya yang sempurna.Namun Aji hanya melihat