Pagi harinya, setelah sholat subuh, Arga mengajakku jogging di tepi pantai yang terlihat ramai oleh pengunjung. Sambil menikmati keindahan sunrise.
Sebagian orang mungkin lebih menyukai pemandangan matahari terbenam di pantai. Tetapi, pemandangan matahari terbit juga tak kalah indahnya. Langit yang gelap perlahan mulai terang karena matahari yang mulai nampak. Bulan yang semula berwarna kuning pelan-pelan menjadi putih lalu akhirnya hilang.
Awan bergulung-gulung seakan menyambut datangnya pagi. Udara segar di pagi hari begitu nikmat dan sehat untuk di hirup. Serta ombak yang berdebur menggoda untuk kita ikut serta terjun bermain air.
Aku dan Arga berlari-lari kecil sambil menikmati sapuan angin lembut dan udara yang begitu menyegarkan itu.
"Di sini indah sekali, Mas!" ucapku lirih saat kami berhenti sejenak sambil memandangi deburan ombak. Matahari mulai menampakkan sinar terangnya. Menghangatkan tubuh dan itu sangat menyegarkan.
"Kalau
Kami segera turun menuju mobil yang akan membawa kami mengelilingi Bali. Aku sudah tidak sabar menjajahi Bali.Tempat pertama yang mereka ajak kami kunjungi adalah desa wisata kintamani. Aku sangat suka dengan keramahan penduduk lokal saat kami berjalan-jalan santai di sana. Arga memaksaku untuk ikut menikmati berendam di kolam air panas dari sumber alami yang terletak di desa Toya Bungkah. Karena tak membawa baju ganti, aku menolak permintaan Arga. Kalau tahu akan ada kolam air panas, pasti aku sudah menyiapkan baju ganti."Ayo, ikutan berendam. Nanti kita beli pakaian saja di sekitar sini, pasti ada kok!" paksa Arga."Jangan, Mas saja yang berendam. Aku main di tepi kolam saja!" tolakku.Arga sangat menikmati aktifitasnya merendam di kolam air panas itu. Dia ternyata membawa baju ganti di dalam tas yang dia bawa. Kenapa dia tidak mengatakan padaku sedari awal?Aku hanya bermain di tepi kolam, sambil menikmati keindahan pemandangan danau Batur. Se
Aku keluar dari kamar mandi setelah berpakaian dan menggunakan hijab instan. Ku lihat Arga masih terlelap, sebentar lagi azan magrib akan berkumandang. Aku memilih duduk di sofa sambil memandang keindahan pantai.Menjelang magrib seperti ini, keramaian di sekitar pantai tak berkurang sedikitpun. Aku mendesah pelan, mencoba berdamai dengan pikiranku. Apapun yang terjadi tadi, tidak sepenuhnya salah Arga. Aku yang tak menolak sentuhan itu hingga membaut Arga melakukan semuanya. Aku hanya berharap Arga bisa mulai mencintaiku juga.Saat azan magrib berkumandang, aku segera berwudhu dan sholat magrib. Saat selesai sholat, aku lihat Arga sudah tidak ada di atas ranjang. Hanya terdengar suara air dari kamar mandi. Ternyata dia sudah bangun.Aku merasa sedikit malu pada Arga. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Dengan cepat aku melipat mukena dan sajadah lalu duduk di sofa menghadap keluar jendela.Arga keluar dari kamar mandi, dengan santainya dia keluar
Aku terpaksa bangkit dan menuju ranjang karena Arga kekeh memaksaku untuk tidur di atas ranjang. Arga tersenyum tipis lalu ikutan berbaring di ranjang. Aku menarik selimut lalu memunggungi Arga. Jantungku serasa berdebar tak karuan. Apa yang harus aku lakukan jika Arga kembali mengulangi kejadian tadi sore? Aku berpura-pura memejamkan mata. Aku harap, Arga tak mengulanginya lagi. Cukup lama, aku tak mendengar gerakan Arga lagi. Aku mencoba membalikkan badan. Ternyata Arga sudah tertidur pulas. Dengan hati-hati aku mendekati Arga. Memperhatikan raut wajahnya yang teduh saat tertidur pulas seperti itu. Aku berharap sekali, setiap waktu bisa melihat wajah teduh itu berada di sampingku.Aku ingin kembali ke posisi semula, setelah puas memandangi wajah Arga. Saat tangan Arga dengan cepat menahan lenganku untuk menjauh sedikit darinya."Jangan menjauh, Susan. Tidurlah di sini!" Arga menarik tubuhku hingga menghimpit dada bidangnya."Jangan, M
Selama di Bali, Tepatnya setelah Arga mendapatkan semuanya dariku, dia seakan berubah menjadi pria yang romantis dan perhatian. Tiap tempat yang kami kunjungi, Arga selalu menggandeng mesra lenganku. Tawa ceria yang selama ini jarang aku dapatkan darinya, semenjak itu semakin sering aku lihat. Arga seakan berubah padaku. Hatiku menjadi berbunga-bunga. Aku merasa makin jatuh cinta padanya hari demi hari. Jangan di tanya bagaimana malam-malam kami berikutnya selama di Bali, sungguh itu adalah malam-malam yang sangat menggairahkan. Arga tak pernah merasa bosan, selalu memintaku untuk memenuhi hasratnya yang selalu berkobar. Aku melayani semua permintaannya dengan senang hati. Bahkan, lingerie yang di hadiahkan Mama pernah aku pakai malam itu, saat dia berucap sangat mesra memintaku untuk menggunakan itu. Walau aku merasa sangat malu, tapi tatapan mesra Arga saat aku menggunakannya sungguh membuatku tak berdaya.Bulan madu yang tak di inginkan Arg
"Jangan, bareng saja!" Arga bangkit dari tempat tidur tanpa menggunakan apapun. Mataku sayu menatap milik Arga yang mengacung sempurna."Mas!" bisikku tak menentu saat Arga mendekati tubuhku lalu membopongku memasuki kamar mandi. "Kamu lihat kan? Dia masih menginginkan itu!" bisik Arga dengan manja di telingaku. Tangannya mengarahkan tanganku untuk menyentuh miliknya yang mengacung sempurna.Aku membelai milik Arga dengan lembut. Mendekatkan miliknya pada organ intim milikku.Arga mendesah tak karuan saat milik kami saling bergesekan."Sayang, sekali lagi ya?" pintanya dengan manja. Akhirnya pagutan liar itu kembali lagi terjadi. Arga seakan tak kehilangan tenaga setelah semalaman melakukan itu denganku.Aku meracau tak karuan saat saat Arga membopong tubuhku lalu menancapkan dengan sempurna miliknya memasuki rongga kewanitaanku. Aku dan Arga sama-sama kembali berpagutan mesra. Melakukannya di dalam kamar man
Aku menangis dalam diam. Memeluk erat guling yang ada di sebelahku. Arga bahkan tak keluar kamar sekalipun sejak dia kembali. Hatiku terasa sangat sedih. Apa lagi yang harus aku lakukan? Untuk membuat Arga benar-benar berpihak kepadaku?Pagi harinya aku terbangun, setelah membersihkan diri dan sholat, aku beranjak ke dapur. Membuatkan sarapan untuk Arga serta bekal makan siang untuknya. Setelah selesai, dengan hati-hati aku memasuki kamar Arga. Arga ternyata masih tertidur pulas. Aku mengambil baju kerja Arga, lalu membawanya keluar untuk di setrika. Saat ingin mengantarkan baju itu ke kamar Arga, ternyata dia sudah bangun. Sambil memegang handphonenya, Arga melirikku sekilas."Kok nyiapin baju kerja hari ini?" tanya Arga dengan heran. Aku heran dengan pertanyaan Arga."Emangnya Mas nggak masuk kerja?" tanyaku dengan heran.Dia tersenyum kecil, lalu bangkit menghampiriku. "Sekarang hari sabtu, mas libur!" bisiknya lembut di tel
Aku mengetuk pintu kamar Arga dengan perasaan campur aduk. Baru saja Mama mertua memintaku dan Arga untuk datang ke rumahnya. Sepertinya dia sudah tau kalau kami sudah kembali dari bulan madu itu."Masuk!" Terdengar suara Arga dari dalam.Aku langsung memegang gagang pintu, saat pintu terbuka. Arga tengah duduk di sofa santai yang ada di kamarnya."Ada apa?" tanyanya langsung tanpa menoleh padaku."Mama telpon, katanya nyuruh kita ke sana sekarang!" "Ya sudah, kamu bersiap saja. Aku mau mandi dulu!" jawabnya.Aku langsung berbalik setelah mendengar jawaban Arga. Langsung menuju kamarku kembali lalu berganti pakaian.Saat keluar kamar, aku lihat Arga sudah duduk di ruang tamu."Cepetan! Besok aku harus masuk kantor. Kita sebentar saja di sana!" ucap Arga dingin."Kalau ke rumah Ummi dan Abah kapan? Aku sudah membelikan mereka oleh-oleh," ucapku sedikit memberanikan diri."Besok saja kamu ke san
"Lalu apa lagi gunamu di sini? Sedari awal kamu sudah tau kalau aku hanya mencintai Anita. Tapi kamu masih berupaya bertahan denganku. Setelah semua yang kita lalui di Bali, aku merasa kamu tidak terlalu buruk. Kamu bisa memenuhi hasratku kapanpun aku membutuhkannya. Jadi, jangan membangkang! Turuti saja kemauanku!" "Mas, aku tidak terima semua ini. Aku tidak ingin hanya menjadi pemuas nafsumu saja! Aku ingin kasih sayang darimu!" Isak tangisku tak membuat Arga bergeming sedikitpun."Kalau kamu tidak mau seperti itu, silahkan ajukan gugatan cerai! Biar aku bisa segera menikahi Anita!" "Kamu keterlaluan, Mas! Apa kamu tidak memikirkan sedikitpun perasaan keluarga kita?" "Aku memikirkan itu, makanya aku bertahan. Keluargaku tidak akan bisa bicara apapun jika kamu yang menggugat cerai!" jawab Arga dengan acuh.Aku menyeka airmata dengan perasaan hancur. Aku pikir Arga sudah mulai jatuh hati padaku. Nyatanya dia malah hanya menjadikan aku
"Susan, aku tunggu kamu di bawah! Cepetan dandannya!" ujar Arga sambil meraih jam tangannya di atas nakas lalu beranjak meninggalkan kamar.Aku menganggukkan kepala sedikit kearah Arga saat dia melirikku sebelum tubuhnya menghilang dari balik pintu kamar.Dengan cepat aku memilih gaun yang sekiranya bisa di sukai oleh Arga. Aku ingin memenuhi permintaan dia tadi sore untuk dandan secantik mungkin.Setelah selesai berdandan, aku keluar menuju ruang tamu tempat Arga sedang menungguku sambil memainkan handphonenya."Mas, ayo berangkat!" ajakku pada Arga yang tak menyadari kedatanganku.Dengan cepat dia menoleh kearahku lalu terlihat matanya memandang terpana akan penampilanku kali ini.Aku jadi bingung dengan reaksi Arga kali ini. Biasanya, dia akan langsung berkomentar tapi tidak untuk kali ini. Dia hanya diam lalu buru-buru mengalihkan pandangannya."Apa penampilanku tidak membuatmu puas?" kalimat pertanyaan itu terlontar begitu saja karena heran dengan sikap Arga kali ini.Arga menole
Beberapa hari setelah aku minta Arga untuk menjaga jarak dengan Anita, aku tidak pernah lagi melihat wajah perempuan itu. Anita bahkan tidak pernah datang lagi ke rumah maupun ke kantor. Selama di kantor, Arga juga terlihat fokus dalam bekerja bahkan ketika makan siang Arga lebih memilih untuk makan siang denganku. Para karyawan mulai mengetahui bahwa aku adalah istrinya Arga. Sikap mereka perlahan mulai berubah padaku, yang awalnya cuek serta enggan menyapaku satu persatu mulai mendekatiku. Mulai bersikap ramah kepadaku bahkan ada yang secara terang-terangan mengucapkan selamat kepadaku. Oleh karena itu, aku bisa leluasa keluar masuk ruangan kerja Arga. Arga terlihat lebih fokus dalam bekerja dan itu membuat Papanya merasa senang. Menyaksikan perubahan sikap anaknya itu. Siang itu Papa meminta aku dan Arga memasuki ruang kerjanya. Setelah mempersilahkan kami duduk, Papa mulai bicara."Papa senang dengan perubahan sikap kamu dalam bekerja, Arga. Begitupu
Setelah selesai makan dan membayar tagihannya Arga langsung membimbing tanganku menuju toko yang menjual baju, tas serta sepatu."Silahkan kamu pilih apapun yang kamu mau!""Mas mau beli apa?" tanyaku padanya."Aku rencananya mau beli jam tangan." Aku tersenyum mendengar jawaban Arga."Bagaimana kalau kita beli jam pasangan aja, Masm" tawarku."Boleh, tapi aku yang pilih, ya?"Nggak apa-apa, Mas. Aku suka apapun yang Mas belikan untukku," jawabku langsung. Arga membimbing tanganku menuju toko yang menjual jam tangan saat sampai di sana Arga langsung meminta pelayan untuk memberikan dia beberapa pilihan jam untuk pasangan."Aku ingin yang terbaik, berapapun harganya itu bukan masalah," ucap Arga.Pelayan itu mendengarkan perkataan Arga lalu memberikan jam yang paling bagus serta mahal. Saat melihatnya aku langsung terbelalak harganya sangat mahal dan aku sebenarnya keberatan jika Anda membeli
"Sehabis sarapan nanti sebaiknya kamu tidak usah masak makan siang," kata Arga padaku. Aku menatap heran pada Arga."Ada apa? Kenapa aku tidak boleh masak untuk makan siang nanti?" tanyaku padanya."Aku akan membawamu periksa kesehatan ke dokter dan aku sudah membuat janji dengan dokter," jawab Arga."Jam berapa, Mas?" "Nanti jam 11 siang. Makanya kamu tidak usah masak untuk siang ini. Kita makan di luar saja sekalian aku ingin membawamu nonton di bioskop," ucap Arga Mendengar Arga ingin mengajakku untuk menonton di bioskop wajahku langsung bersemu merah. Aku sangat bahagia sekali karena baru kali ini Arga mau membawaku pergi keluar untuk jalan. Selama ini jika hari libur kerja Arga selalu menghabiskan waktunya dengan Anita. Dia tidak pernah memperdulikan aku sendiri di rumah ini."Benarkah? Mas ingin mengajak aku nonton di bioskop?" tanyaku padanya."Apa kelihatannya aku bercanda?" jawab Arga "Tidak, sih! A
"Silahkan kamu pilih pakaian yang ingin kamu beli!" ujar Arga padaku. Aku mulai memilih beberapa pasang baju kerja untukku. Sedangkan Arga, dia tengah sibuk duduk di pojokan toko sambil memainkan handphonenya. Aku hanya memilih beberapa pasang saja. Setelah merasa cukup, aku segera membayarnya di kasir."Mas, aku sudah selesai. Dan juga sudah aku bayar. Mari kita pulang?" ajakku padanya.Arga melirik belanjaan yang aku tenteng. Dan langsung berkomentar."Kamu beli berapa pasang? Kenapa cepat sekali?" tanyanya."Ada beberapa pasang, Mas. Nanti kalau kurang kan kita bisa beli lagi," bujukku."Ya sudah, ayo kita pergi. Aku lapar. Sebelum pulang kita makan dulu."Aku hanya mengangguk mendengar ucapan Arga. Sebenarnya aku juga tengah kelaparan. Kami makan di kafe yang ada di Mall itu. Saat menunggu makanan datang, aku mulai bicara pada Arga."Mas, apa selama ini kalau siang hari Mas selalu pergi
"Sudahlah, kamu sudah tahu bagaimana sikap Arga. Kamu yang memutuskan untuk tetap bertahan padanya, lalu kenapa kamu masih menangis saat dia membela Anita?" ucapan Diandra membuatku menatapnya dalam."Mas, aku tahu hubungan mereka seperti apa. Aku sudah melakukan segala macam cara untuk bisa menarik sedikit saja perhatian Arga. Tapi, kenapa dia tak bisa memberiku sedikit kesempatan?" Isak tangisku semakin kencang. Rasanya ingin segera menyerah, aku tak kuat lagi menahan rasa cemburu tiap kali Arga lebih membela Anita daripada aku. Saat dia selalu membenarkan perkataan Anita, semua itu membuatku sakit hati. "Arga itu sudah di butakan oleh rasa cintanya pada Anita, jadi percuma saja kamu berharap dia akan memilihmu. Kamu hanya akan semakin terluka. Lebih baik sebelum semuanya terlambat, kamu meyerah saja dan fokus mencari kebahagianmu saja!" "Tapi, Mas! Aku tidak bisa. Aku sudah terlanjur mencintai Arga. Aku tidak bisa menyerah begitu saja."Diand
"Mas, aku bawa bekal makan siang dari rumah. Mau makan dimana? Di mobil?" tanyaku pada Arga sambil menenteng bekal makan siang itu."Ya sudah, bawa saja. Kita makan siang di restoran saja.""Nggak boleh dong Mas? Bawa makanan ke restoran. Aku makan di kantor saja ya? Ini bekal makan siang Mas. Mas bisa makan di ruangan kerja, Mas!" Ku sodorkan bekal makan siang Arga padanya."Kamu kenapa sih? Apa kamu mau makan bareng sama Diandra itu?" "Mas yang aneh, kenapa marah-marah nggak jelas seperti ini. Aku ada meeting nanti jam dua sama Diandra. Dan aku tidak mau telat. Aku balik masuk ke kantor dulu ya?" pamitku pada Arga.Arga yang sudah duduk di kemudi mobil, tak bisa menahan langkah kakiku menjauh dari mobilnya. Aku langsung menuju kantin dan makan di sana.Samar-samar aku mendengar pembicaraan para karyawan yang tengah makan di meja yang sedikit jauh dariku."Hei, kalian lihat nggak? Tadi, Pak Arga dan Pak Diandra lagi-la
"Selama di kantor, kamu harus menjaga sikap. Karyawan kantor belum banyak yang tahu kalau aku sudah menikah. Hanya pejabat penting perusahaan yang tahu bahwa aku sudah punya istri. Jadi, jaga sikapmu! Panggil aku Bapak, seperti yang lainnya!" "Baiklah!" jawabku dengan sedikit kesal. Pernikahan ini bukanlah pernikahan yang dia kehendaki. Mungkin itu sebabnya, dia tidak ingin orang lain tahu bahwa akulah istrinya.Walaupun kesal, aku mencoba untuk tetap mengalah. Biarlah, suatu saat nanti akan ada masanya dia yang akan memperkenalkan aku sebagai istrinya.Setelah sampai di kantor, Arga langsung mengantarku ke ruangan direktur perusahaan yaitu ruangan Papa mertua."Pa, ini karyawan baru Papa sudah datang!" ucap Arga pada Papa.Aku langsung menyalami Papa mertua. "Susan, di kantor ini semuanya bekerja secara profesional. Tidak ada pengecualian baik untuk Arga ataupun dirimu. Papa harap, kamu bisa bekerja dengan baik," ujar Papa.
"Papa dengar Susan mau bekerja? Apa betul, Nak?" tanya Papa mertua padaku.Aku sedikit meremas ujung bajuku dengan perasaan sedikit takut. Wajah Arga seketika berubah saat mendengar orangtuanya bicara soal pekerjaan padaku."Benar kan, sayang? Susan sudah bicara itu sama Mama tadi siang. Makanya Mama segera menghubungi Arga untuk datang ke sini malam ini," jawab Mama.Aku tak menyangka sedikitpun, kalau Mama mertua akan langsung membicarakan soal pekerjaan itu pada Papa hari itu juga. Arga langsung mengajakku ke rumah orang tuanya sesaat setelah dia pulang dari kantor tadi."Kalau Papa dan Mas Arga tidak setuju, Susan tidak keberatan kok!" jawabku dengan sedikit pelan. Aku tak kuasa menatap wajah Arga yang terlihat tidak suka kalau aku bekerja."Iya, Pa! Untuk apa juga Susan bekerja. Lebih baik dia di rumah saja. Lagian, aku masih bisa memenuhi semua kebutuhannya!" ucap Arga dengan yakin."Bukan soal nafkah yang kamu berikan, Arg