Seharusnya akhir pekan adalah waktu yang tepat bagi Lewis untuk menikmati hari liburnya dengan bersantai di depan layar televisi sambil merebahkan tubuhnya di atas kursi sofa berwarna cokelat tua favoritnya tanpa gangguan dari siapa pun. Dan saat dia mengatakan tanpa gangguan dari siapa pun, itu artinya tidak ada seorang pun yang boleh mengganggu akhir pekannya. Termasuk dari Clara, kakak perempuannya, yang tiba-tiba saja datang ke apartemennya dan langsung mematikan layar televisinya itu tanpa menunggu persetujuannya, yang tentu saja tidak setuju dengan apa yang baru saja kakak perempuannya itu lakukan padanya. Atau lebih tepatnya, kakak perempuannya berhasil menghancurkan rencana akhir pekannya yang sempurna.
"Kok Kakak matikan sih? Nggak liat apa, kalau aku lagi nonton film kesukaanku?"
"Maze Runner? Sudahlah, menyerah saja kalau kamu berencana untuk menontonnya hari ini. Kamu kan, bisa menontonnya kapan pun kamu mau. Daripada itu, aku ingin mengajakmu ke su
Halo pembaca! Terima kasih karena telah membaca 'Promise Me, Macchiato' di Goodnovel! Jika kalian menyukai karya ini, kalian bisa meninggalkan komentar di bawah dan mendukung cerita ini dengan gem di bagian voting ya! Stay safe!
Sepertinya memang bukan ide bagus untuk menuruti Clara, kakak perempuan tirinya yang terpaut sepuluh tahun darinya itu, untuk meninggalkan apartemennya dan pergi ke suatu tempat yang bahkan sampai saat ini kakak perempuannya masih belum berniat untuk memberitahunya soal tempat tujuan mereka berikutnya. Hanya itu yang terlintas di pikirannya ketika melihat begitu panjangnya antrian kendaraan yang mengular hingga beberapa kilometer di depan mereka saat ini. Melihatnya saja sudah lebih dari cukup baginya untuk menyesali keputusannya yang setuju dengan ajakan kakak perempuannya itu. Kalau saja dia tahu akan seperti ini jadinya, tentu dia tidak akan membiarkan kakak perempuannya memaksanya untuk ikut dengannya dan membatalkan rencana akhir pekannya untuk menonton Maze Runner, salah satu film kesukaannya yang sudah lama sekali tidak dia tonton sejak kali pertama film itu rilis di bioskop dekat sekolahnya beberapa tahun yang lalu."Dam
Lewis langsung menelan ludahnya begitu mendapati kedua orang yang berdiri di hadapannya saat ini. Terutama salah satu dari dua orang itu yang sangat dia kenal bahkan sebelum mereka bertemu di depan gedung hotel yang ada di samping mereka saat ini. Seluruh tubuhnya terasa membeku dan sulit untuk dia gerakkan dengan leluasa, apalagi orang yang ada di hadapannya itu kelihatannya juga tidak menyangka kalau mereka akan bertemu di tempat tujuannya dan kakak perempuannya yang sebenarnya.Dia terus mematung selama beberapa saat, seakan tidak memercayai apa yang dia lihat saat ini sebelum mengikuti Clara, yang sudah membungkukkan tubuhnya di depan kedua orang itu. Hal yang selalu kakak perempuannya lakukan sebagai cara untuk menghormati orang lain, terutama dengan orang yang lebih tua darinya dan cara mereka untuk berterima kasih pada orang lain. Atau sebagai cara untuk meminta maaf atas kesalahan yang mereka lakukan. Dalam kasus mereka, kakak
Sekarang dia berada dalam satu lift yang sama dengan Detroit Thompson. Orang yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan akan bertemu di saat dia seharusnya bersantai menikmati hari liburnya di apartemen miliknya. Beberapa kali dia melirik sekilas ke arah Detroit, yang tampak begitu santai menunggu lift yang mereka naiki saat ini tiba di lantai tujuh belas, yang menjadi tempat tujuan mereka berikutnya dan segera memalingkan pandangannya begitu dia merasa pria itu menyadari tatapannya tadi. Dalam hati, dia berharap semoga saja pria yang ada di sampingnya saat ini tidak akan menyadari apa yang dia lakukan tadi.Sambil mengetukkan jemarinya di saku jaketnya, Lewis mencoba untuk menyembunyikan perasaan tegangnya karena dia sama sekali tidak tahu apa yang akan Detroit rencanakan bersama dengan kakak perempuannya. Dan juga Scott Sinclair, pria yang tadi sempat menunggu kedatangannya dan kakak perempuannya di depan pintu masuk hotel yang dia datangi saat ini.Dia
Pria itu kembali menutup bibirnya rapat-rapat saat mengucapkan sesuatu yang sepertinya berhubungan dengan pertanyaan yang dia ajukan pada Detroit tadi. Kedua mata pria itu lantas memandang lurus ke arahnya, sementara kedua tangannya yang masih menahan tangannya semakin mempererat cengkeramannya."Detroit?""Hm?""Tolong lepasin tanganmu sekarang. Sakit.""Oh. Sorry about that."Belum sempat Detroit melanjutkan perkataannya, suara dering ponselnya sepertinya berhasil mengalihkan sejenak perhatian Detroit darinya dan perlahan melepaskan kedua tangannya darinya."Lebih baik kamu angkat dulu teleponnya.""Iya. Ini juga mau angkat kok. Bawel.""Tadi kamu bilang apa?"Buru-buru dia beranjak dari tempat tidur dan mengambil ponselnya dari saku celananya, tanpa memedulikan Detroit yang dari nada bicaranya tadi, terlihat sama sekali tidak suka dengan tanggapan yang dia berikan pada pria itu tadi. Namun dia memilih untuk meng
Beberapa hari berlalu sejak dia dan Scott bertemu dengan Clara dan Lewis di hotel tempat dia dan sahabatnya sering menghabiskan akhir pekan mereka, dan sekarang dia mendapati dirinya sendiri tengah termenung di meja kerjanya. Kedua matanya sibuk memandangi butiran pasir yang ada di dalam jam pasir pemberian Scott di ulang tahunnya beberapa tahun yang lalu itu yang turun ke bawah dengan begitu cepat melalui sebuah lubang kecil yang ada di tengah jam pasir miliknya.Sesekali dia menghela napas panjang, memikirkan kejadian beberapa hari yang lalu dengan Lewis Hall, satu-satunya barista yang bekerja di Raymond Café. Kedai kopi baru yang menjadi tempat Lewis bekerja itu menjadi salah satu tempat favoritnya di mana dia bisa bertemu dengan Lewis. Dia selalu menyempatkan diri untuk menemui barista itu di sela-sela pekerjaannya maupun setiap kali dia pulang kerja. Karena itu, rasanya sulit baginya untuk membayangkan akan ada hari
Akhirnya waktu yang dia tunggu-tunggu sejak Lewis meninggalkannya dalam lingkaran penuh kebingungan telah tiba. Sambil menyembunyikan keinginannya untuk menemui salah satu pegawai dari kedai kopi baru yang menjadi lokasi baru favoritnya, Detroit merapikan meja kerjanya yang agak berantakan dan keluar dari ruang kerjanya dengan tas kerja dan mantelnya yang dia sampirkan di lengan kanannya. Tangan kirinya yang menggenggam ponsel pintar miliknya yang telah setia menemaninya selama hampir lima tahun itu lantas mengecek notifikasi dan mendapati beberapa panggilan tidak terjawab dari Lewis yang membuatnya segera berlari ke salah satu lift kosong yang berada tidak jauh dari ruang kerjanya dan masuk ke dalamnya.Begitu dia menekan tombol lift untuk menutup pintu lift itu dan mengantarkannya ke lantai tujuannya, Detroit menekan tombol panggilan dan menunggu selama beberapa saat sebelum dia mendengar suara Lewis yang membuatnya menyadari betapa ia merindukan sosok laki-laki yang baru d
Untungnya, dia berhasil membujuk Lewis agar memberikannya kesempatan untuk menjelaskan soal hubungannya dengan Scott yang dia yakin sekali kalau barista itu salah memahami status hubungannya dengan sahabatnya yang sudah bersamanya selama belasan tahun. Sambil menghela napas panjang, dia mulai menjelaskan mengenai hubungannya dengan Scott yang hanya sebatas sahabat sekaligus partner BDSM yang sudah jelas berbeda dengan hubungan partner pada umumnya yang cenderung ke arah romansa.Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah dia baru mengetahui kalau laki-laki yang duduk di sebelahnya saat ini sama sekali tidak mengerti soal hubungan BDSM, yang membuatnya tidak habis pikir dengan keputusan Clara untuk membawa adik tiri wanita itu ke dalam pertemuan mereka beberapa hari yang lalu. Sekarang dia mulai memahami alasan di balik raut wajah Lewis yang terus menyandarkan dagunya di salah satu sandaran kursi sambil menutupi sebagian bibirnya dan sesekali memalingkan wajahnya darinya saat meli
Tampaknya kali ini dia harus setuju dengan apa yang Lewis katakan padanya sebelum masuk ke dalam apartemen milik laki-laki yang sudah masuk ke dalam dan mempersilakannya untuk menyusulnya masuk ke dalam. Tempat yang dia datangi saat ini tampak sangat berantakan. Seperti yang bisa dia amati dari ruang tamu yang mereka lewati begitu masuk ke apartemen Lewis. Ada belasan buku yang berserakan di tempat dia berdiri saat ini, lengkap dengan gelas-gelas kertas kosong yang bahkan dia tidak tahu apa saja yang Lewis lakukan dengan kumpulan gelas kertas yang sepertinya masih belum terisi oleh minuman apa pun dan dia yakin kalau itu berasal dari kedai kopi tempat laki-laki itu bekerja belum lama ini. Ada juga dua buah selimut berwarna cokelat dan biru tua yang dibiarkan begitu saja di atas kursi sofa, bersama dengan beberapa t-shirt berwarna kuning dan biru muda yang dia bahkan sudah tidak tahu lagi sudah berapa lama selimut dan t-shirt itu berada di tempat yang dia lewati saat ini.Saat